Followers

Google
 

Raup Jutaan Rupiah dari Keripik Jamur Tiram

Tuesday, October 27, 2009

Tahun 2006 merupakan tahun perkenalan pasangan Tri Sugiatno dan Wiwik Widiastuti dengan jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Namun, hanya dalam waktu tiga tahun, mereka berhasil membudidayakan jamur dan mengolahnya menjadi keripik sehingga menghasilkan pendapatan jutaan rupiah.

Perkenalan itu dimulai saat Wiwik datang ke acara lomba desa di Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Di sana, hasil budidaya jamur tiram petani menjadi salah satu peserta lomba. Setelah melihat dan mengetahui budidaya jamur itu mudah dan murah, Wiwik pun terdorong membudidayakannya.

”Hanya coba-coba awalnya,” ujar Wiwik. Latar belakang Tri adalah lulusan jurusan mesin Universitas Merdeka, Madiun. Wiwik lulusan jurusan ekonomi Universitas Merdeka, Malang. Namun, ketidaktahuan mereka mengenai budidaya jamur tidaklah menjadi penghalang.

Dibelilah 200 bag log (campuran bibit jamur, serbuk kayu, bekatul kapur kawur, dan pupuk dalam plastik) seharga Rp 300.000. Bag log itu lalu disusun di kumbung (rumah jamur) berdindingkan anyaman bambu seluas 42 meter persegi, di samping rumahnya di RT 29 RW 3 Jatirogo, Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun.

Hanya dengan disiram air bersih setiap hari, jamur berwarna putih bertumbuhan di setiap bag log. Dalam waktu satu bulan, jamur sudah bisa dipanen. Jamur itu terus muncul sampai empat hingga lima bulan berikutnya, sebelum kemudian bag log harus diganti baru.

Jamur putih yang dipanen sekitar lima kilogram setiap hari itu lalu dijual ke tetangganya Rp 8.000 per kilogram. Tanpa dinyana, mereka tertarik membeli guna dipakai membuat sayuran.

Banyaknya peminat itulah yang mendorong Wiwik dan Tri menambah jumlah bag log sampai akhirnya tahun 2007 sebanyak 1.000 bag log dibudidayakan di kumbung. Hasilnya, setiap hari mereka panen sampai 30 kilogram jamur putih.

Namun, banyaknya jamur putih yang dipanen itu justru membingungkan Wiwik dan Tri. Pasalnya, dari 30 kilogram hasil setiap hari, hanya sekitar 5 sampai 10 kilogram yang bisa terjual. Sisanya, menumpuk di gudang, tak ada pembelinya.

Dari situlah Tri lalu berpikir mengolah jamur tiram menjadi keripik, tetapi tidak mudah diwujudkan. Percobaan membuat keripik jamur tiram tidak kunjung berhasil. ”Ada yang keripiknya melempem, ada yang rasanya enggak enak,” kata Tri.

Sampai pada percobaan memasak ke-10, Tri dan Wiwik menemukan takaran yang pas. Jamur tiram yang digoreng dengan dicampur tepung terasa gurih dan enak rasanya.

Dengan pegangan ”resep rahasia” itu, keduanya memasak sekitar lima kilogram jamur untuk dijadikan keripik. Ada dua jenis keripik yang dijual, keripik berkualitas baik dijual Rp 70.000 per kilogram. Keripik yang nomor dua dijual Rp 1.250 per kemasan kecil.

Keripik jamur tiram awalnya dicoba dijual ke tetangga, warung, dan restoran sekitarnya. Awalnya ada penolakan karena sejauh yang mereka tahu jamur bisa membuat keracunan. Namun, setelah keripik dicoba dan aman, mereka pun membelinya dan menjadi pelanggan tetap.

Permintaan mengalir

Penyebaran dari mulut ke mulut membuat keripik kian dikenal. Awal 2009, permintaan bertambah, tetapi produksi jamur tiram terbatas.

”Permintaan datang dari luar Madiun, seperti Banjarmasin, Samarinda, Riau, dan Madura. Ada eksportir dari Lumajang yang menawarkan ekspor produk saya. Banyak juga tenaga kerja Indonesia yang membawa keripik saya untuk dijual di luar negeri,” ujar Tri.

Tri pun mencoba bekerja sama dengan 11 petani jamur di wilayah Dungus dan Kresek, Madiun. Jamur petani dibeli Rp 8.500 per kilogram ditambah jamur budidaya sendiri, Tri dan Wiwik mendapatkan jamur setengah kuintal per hari. Jamur dimasak dengan enam penggorengan untuk menghasilkan setengah kuintal keripik per hari.

Omzet penjualan keripik sekitar Rp 3 juta per hari. Penghasilan bersih sekitar 10-20 persen dari omzet, antara Rp 300.000 sampai Rp 600.000. Padahal, tiga tahun yang lalu, omzet dari menjual jamur tiram putih hanya Rp 40.000 per hari.

Ternyata jumlah produksi itu belum cukup memenuhi permintaan, terutama seperti mendekati Lebaran. ”Permintaan naik 100 persen. Butuh satu kuintal jamur tiram putih per hari untuk memenuhi permintaan. Hanya separuh permintaan yang dipenuhi,” kata Tri.

”Budidayanya mudah, murah, dan potensi pasarnya besar, tetapi sayang tidak banyak warga yang mengetahui hal ini sehingga ragu membudidayakannya,” tambahnya.

Karena itu, setiap kali warga atau mahasiswa datang belajar budidaya jamur tiram, dia memberikan pelajaran gratis. Biar semakin banyak orang mau menanam jamur tiram. Jika pasokan jamur tiram itu terbatas, obsesinya membuat waralaba keripik produksinya pun terganjal.

Dia harus berkutat sendiri dengan usahanya karena perhatian Pemerintah Kabupaten Madiun, terutama Dinas Pertanian pada pengembangan budidaya jamur sangat minim. Padahal, budidaya itu bisa menambah kesejahteraan petani.

”Perhatian pemerintah baru muncul kalau mengadakan acara. Kami diperebutkan oleh dinas-dinas yang mengklaim kami sebagai industri binaan mereka,” kata Tri sambil tersenyum. (A Ponco Anggoro)

Editor: Edj
Sumber : Kompas Cetak

0 comments: