Followers

Google
 

Beternak Lele Dumbo, Siapa Takut...

Friday, July 31, 2009

Lele dumbo (Clarias gariepinus) semula dipandang sebelah mata. Namun, komoditas perikanan air tawar ini sekarang menjelma menjadi industri rakyat. Nilai perdagangannya setiap tahun mencapai lebih dari Rp 1 triliun, penyerapan tenaga kerja, nilai tambah, dan multyplier effect yang dihasilkan juga besar.

Berbagai jenis usaha terkait lele pun meluas, mulai dari industri pakan (pelet), perbenihan, budidaya, perdagangan, hingga pengolahan pangan berbahan baku lele yang umumnya skala rumahan.

Konsumen lele juga menyebar luas. Dari desa hingga ke kota. Tidak saja rakyat jelata yang makan di warung-warung tenda dengan sambal terasi dan lalapan, tetapi merambah ke konsumen menengah atas.

Perubahan status sosial komoditas lele ini telah merangsang tumbuhnya berbagai inovasi usaha dalam teknologi pengolahan pangan. Ada lele goreng kremes, bakso lele, mi basah lele, lele asap, abon lele, rolade lele, hingga pizza lele.

Karena potensinya yang besar, tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut mendukung pengembangan usaha berbasis lele dumbo dengan kampanye makan lele.

Konsumsi meningkat

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan Made L Nurdjana, Rabu (29/7) di Sukabumi, Jawa Barat, mengungkapkan, terus meningkatnya konsumsi lele dan produk olahannya secara otomatis mendorong peningkatan produksi lele dalam negeri. Tahun 2008 saja produksi lele hidup untuk konsumsi mencapai 108.200 ton.

Dengan menghitung per kilogram lele ukuran konsumsi ada delapan ekor, setidaknya dalam setahun produksi lele nasional mencapai 868,6 miliar ekor atau 2,37 miliar ekor per hari. Apabila dirupiahkan, produksi lele 108.200 ton per tahun itu senilai Rp 1,41 triliun, dengan asumsi harga lele konsumsi Rp 13.000 per kilogram.

Belum menghitung nilai ekonomi yang timbulkan dari usaha lele, baik dari aspek off farm maupun sarana produksi, seperti produksi pakan, obat-obatan, material kolam, pemupukan, hingga pembenihannya.

Semakin besar lagi perputaran ekonomi kalau menghitung berapa juta pedagang di seantero negeri ini berkat lele, baik dalam bentuk warung tenda maupun produk olahan. Juga berapa banyak tenaga kerja yang terserap baik tingkat hulu maupun hilir, dan perdagangannya.

Dewasa ini permintaan lele juga tidak saja berasal dari dalam negeri. Konsumen di Amerika Serikat dan Eropa juga sudah melirik lele. Begitu pula dengan Singapura dan Malaysia.

Arus bawah

Berkembangnya ”industrialisasi” lele dumbo berbasis kerakyatan secara tanpa disengaja tumbuh dari bawah. Ketika lele dumbo masuk Indonesia beberapa dekade lalu, minat masyarakat terhadap jenis ikan catfish yang satu ini cenderung negatif.

Kala itu masyarakat tidak begitu suka dengan lele karena kesan menjijikkan. Kulitnya yang berlendir mengingatkan konsumen tertentu pada jenis hewan melata seperti belut.

Kemampuan adaptasi binatang air yang satu ini karena mampu hidup dalam lingkungan air yang kotor sekalipun telah menggeser persepsi masyarakat terhadap komoditas lele yang terkesan jorok.

Namun, seiring melemahnya daya beli masyarakat akibat berbagai tekanan ekonomi, lele semakin diminati. Selain murah kandungan proteinnya tinggi.

Munculnya fenomena pecel lele kian mendongkrak citra lele di mata masyarakat. Mengonsumsi lele bukan lagi memalukan. Di Yogyakarta, pecel lele menjadi santapan yang digemari mahasiswa karena terjangkau. Kebutuhan lele dumbo di Yogyakarta 10-15 ton per hari.

Pelan dan pasti, permintaan lele terus naik. Bila tahun 2004, produksi lele budidaya hanya 51.271 ton per tahun, tahun 2005 naik menjadi 69.386 ton, 2006 (77.272 ton), 2007 (91.735 ton), dan 2008 (108.200 ton).

Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengungkapkan, lele merupakan industri rakyat. Tak ubahnya raksasa yang tidur (sleeping giant), bisa diusahakan siapa saja.

Yang diperlukan saat ini adalah inovasi teknologi pangan. Karena sekarang ini konsumsi terbesar lele dumbo lebih pada bentuk segar, belum banyak ke produk olahan. Kalau tidak segera mengembangkan industri pangan olahan berbasis lele, akan terjadi kelebihan pasokan dan ini akan membahayakan bagi kelangsungan usaha.

”Kalau menunggu inovasi teknologi pengolahan pangan dari masyarakat, perlu waktu lama. Kebijakan pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian di bidang pangan perlu di arahkan ke sana,” katanya.

Industri lele dumbo berbasis usaha kecil rakyat ini jelas lebih tahan banting.
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Berpikir Sukses Harus sejak Awal

Wednesday, July 29, 2009

Catatan penting bagi wiraswasta sejati adalah sejak awal harus berpikir sukses. Cuma dengan cara itu, bisnis bisa makin terus berkembang.

Pesan dari sosok sekaliber Brad Sugars seperti inilah yang kelak bisa diperoleh pelaku bisnis di Tanah Air.

Menurut rencana, pelatih bisnis terkemuka asal Australia ini datang ke Jakarta pada Rabu (25/11) dan Kamis (26/11) dan menjadi pembicara utama seminar "Brad Sugars Billionare in Training".

Menurut CEO Action COACH Indonesia Herman Susanto pada Selasa (28/7), Sugars yang memulai karier bisnisnya sejak usia tujuh tahun bakal membantu pemilik bisnis di Indonesia agar tidak kehilangan strategi mencapai visi dan misi yang diharapkan. Total, diharapkan 6.000 peserta bakal hadir selama pergelaran dua hari tersebut.

Saat ini, Brad Sugars telah menjelma menjadi seorang tokoh bisnis yang dikagumi oleh para pemilik bisnis. Usianya masih muda, tetapi kesuksesannya mencetak “miliarder” lewat ActionCOACH telah mengangkat namanya di jajaran tokoh paling berpengaruh dunia, seperti Rupert Murdoch, Henry Ford, Richard Branson, dan Anita Roddick.

Sugars sukses membantu para pemilik bisnis. Utamanya, kala melakukan reformasi sistem bisnis.

Pelatihan bisnis (business coach) garapan pemilik nama lengkap Bradley J Sugars mengklaim menggunakan pendekatan berbeda ketimbang pada umumnya. Pada bisnis ini, justru pemilik bisnislah yang melakukan seluruh strategi, formula serta teknik bisnis yang disarankan pelatih bisnis.

Menurut Sugars, bantuan terbesar pelatih bisnis kepada anak didiknya adalah mindset sukses berikut sistem pemantauan (monitoring) efektif. Apabila mindset pengusaha berubah menjadi lebih positif, segala hal juga berubah menjadi positif. Termasuk arah perusahaan dan kondisi keuangan pada akhirnya.

Seusai menamatkan sekolah di Universitas Queensland, Sugars menjadi "wiraswastawan serial" sekaligus menjadi pemilik atau pihak yang menjalankan lebih dari 30 kegiatan bisnis berbeda.

Sugars adalah pendiri waralaba pelatihan bisnis ActionCOACH pada 1993. Pada 2006, ia me-rebrand usahanya itu menjadi ActionCOACH.

Sementara di Tanah Air, ActionCOACH Indonesia sampai sekarang memiliki 28 pelatih bisnis. Di tahun pertama, ActionCOACH Indonesia memiliki 12 klien yang kemudian berkembang hingga lebih dari 1.000 klien pada 2009.

XV
Selengkapnya...

Ujang, Anak Kemarin Sore dan Pertanian Organik

Tuesday, July 28, 2009

Petani konvensional di tanah Sunda umumnya mengenal falsafah ”kadenge, kadeuleu, karampa, karasa” atau mendengar, melihat, meraba, dan merasakan. Bagi Ujang Ahmad Zaenal Muttaqin, falsafah yang dianut oleh para petani tradisional tersebut menjadi hambatan serius ketika dia ingin mengajak mereka untuk bertani organik.

Para petani konvensional harus mendengar, melihat, dan meraba dulu baru mereka percaya terhadap teknologi baru dalam bertani. Susahnya minta ampun untuk meyakinkan petani konvensional bahwa bertani organik dengan cara budidaya baru itu merupakan cara terbaik guna meningkatkan kesejahteraan mereka,” kata Ujang, ayah dua anak ini.

Kegelisahan Ujang terhadap nasib petani di desanya, Jambenenenggang, Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mulai muncul sekitar akhir tahun 2000. Ketika itu Ujang baru kembali dari Jepang, setelah bekerja di sebuah pabrik sejak tahun 1997.

Ketika di Jepang, setiap akhir pekan Ujang menyempatkan diri magang di sebuah sentra pertanian. Ini bisa dia lakukan dengan rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi. Di sini dia melihat pertanian yang sudah sistematis dikerjakan mesin. Petani di Jepang hanya menjadi operator sejak membajak sawah, menyemai, menanam, hingga memanen. ”Produktivitas lahan mereka tinggi, mencapai 11 ton per hektar waktu itu,” ceritanya.

Pulang ke Indonesia, Ujang membuang mimpinya untuk melihat petani di kampungnya mengoperasikan mesin di sawah. Namun, muncul keyakinannya bahwa petani bisa meningkatkan taraf hidup jika mereka mau. ”Dari teknologi, jelas kita ketinggalan (dari Jepang). Tapi, kalau petani mau mengubah pola bertaninya, saya yakin mereka bisa meningkatkan taraf hidup,” kata Ujang.

Petani miskin

Lulusan Madrasah Aliyah Negeri Syamsul Ullum Sukabumi itu mendapati petani di sekitarnya sebagai petani miskin yang penghasilannya amat kecil. ”Di lahan seluas 1 hektar, petani penyewa hanya mendapat pemasukan sebesar Rp 2 juta selama satu musim, atau sekitar Rp 500.000 per bulan,” kata Ujang.

Penghasilan itu dihitung dari ongkos produksi, mulai dari pupuk dan pengolahan lahan sebesar Rp 2,2 juta per hektar serta sewa lahan Rp 7 juta per hektar per musim.

Hasil panen mereka hanya 5,6 ton per hektar dan dijual dengan harga Rp 2.000 per kilogram. Dengan demikian, panen semusim hanya memberi hasil Rp 11,2 juta. Setelah dikurangi ongkos produksi dan sewa lahan, petani hanya memperoleh Rp 2 juta per musim. ”Kami mengenal istilah, petani hanya timbul daki setelah bertani karena mereka memang tidak mendapat apa-apa,” kata Ujang.

Dengan falsafah yang dianut oleh para petani konvensional itu, dia harus memulai lebih dulu bagaimana bertani organik dan budidaya yang baik hingga bisa memberikan keuntungan.

Ketika memulai cara bertani organik, banyak petani konvensional yang mencemooh Ujang. Apalagi, dia masih termasuk ”anak kemarin sore” di kampung Kebonpedes. ”Banyak petani yang mengatakan bahwa mereka lebih dulu bertani daripada saya, jadi tentunya merasa lebih tahu. Saya diam saja, tetapi tetap yakin ketika melihat hasilnya, mereka akan percaya,” katanya.

Ujang kemudian memulainya dengan mengganti pupuk pabrik dengan pupuk kompos dari tumbuh-tumbuhan hijau dan granole (pupuk dari kotoran hewan yang dicampur dengan dekomposer). Ujang memerlukan waktu tiga musim untuk mengakhiri penggunaan pupuk pabrik karena kondisi tanah belum terbiasa.

Dia memproduksi sendiri granole dengan maksud agar tak bergantung pada pihak mana pun. Dia mendapatkan kotoran hewan dari warga yang beternak sapi dan para tetangga yang memiliki kambing dan ayam.

Apabila menggunakan kompos, sawah seluas 1 hektar memerlukan sekitar 5-7 ton. Adapun dengan granole, sawah luas yang sama hanya memerlukan 500 kilogram sampai 1 ton. Kebutuhan ini tergantung dari kondisi keasaman tanah.

Beralih ke organik

Selain beralih ke pertanian organik, Ujang juga memulai budidaya bertani yang baru, yakni dengan mengurangi penggunaan benih padi.

”Petani konvensional biasanya menggunakan hingga delapan bibit dalam satu lubang. Ketika tumbuh, maksimal hanya 18 anakan yang jadi karena bibit sulit tumbuh,” katanya.

Adapun cara yang dilakukan Ujang adalah dengan menggunakan satu-dua bibit saja per lubang. Ternyata setelah tumbuh, tanaman itu bisa menghasilkan 25 anakan per lubang.

Dengan cara itu, dia hanya memerlukan paling banyak 8 kilogram benih per hektar. Bandingkan dengan petani konvensional yang memerlukan benih sampai 35 kilogram per hektar.

Masih belum puas, Ujang berusaha menambah pengetahuan bertaninya dengan mengikuti Sekolah Lapangan Pengelola Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kebonpedes. Terbukti, Ujang bisa mendongkrak produktivitas tanaman padinya menjadi 8 ton lebih per hektar.

Adapun ongkos produksi yang diperlukan Ujang untuk mengolah 1 hektar lahan hanya Rp 2,1 juta. Ditambah sewa lahan Rp 7 juta, dia hanya menghabiskan biaya sebanyak Rp 9,1 juta. Namun, hasil panen dan harganya bisa naik signifikan.

Dengan hasil panen padi organik pada musim terakhir sebanyak 8,82 ton per hektar dan harga gabah basah Rp 2.400 per kilogram, Ujang memperoleh penghasilan Rp 21,168 juta. Jumlah itu, setelah dikurangi modal kerja, masih bersisa Rp 12,068 juta dalam semusim, atau Rp 3 juta per bulan.

Melihat keberhasilan Ujang, puluhan petani konvensional dan pemuda pengangguran di Kebonpedes mulai tertarik menekuni pertanian organik. Dalam satu musim terakhir, delapan kelompok tani setempat meminta Ujang mendampingi mereka mempraktikkan cara bertani organik. Setiap kelompok tani itu mempunyai anggota 20-25 petani.

Seiring dengan makin banyaknya petani konvensional yang menerapkan pertanian organik dan cara budidaya baru itu, Ujang yakin petani di Kebonpedes akan mandiri. ”Apa lagi yang mau dibantah? Pupuk sudah bisa kami produksi sendiri dan harga gabah padi organik juga jauh di atas harga padi nonorganik. Kalau ada kemauan, sebenarnya tidak sulit menjadi petani mandiri,” kata Ujang.
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Buchori, dari Sopir Taksi Jadi Juragan Roti

Sempat mengecap pengalaman menjadi sopir taksi, dan gonta-ganti aneka macam usaha sampai bangkrut, kini Buchori (40) sukses menjadi juragan roti. Sekarang, ia mempunyai enam outlet roti Aflah. Namun, itu tidak dicapainya dengan kerja sistem instan.

Enam outlet-nya, dua berada di Yogyakarta dan Purworejo, serta satu outlet tersebar di Purwodadi, dan Kutoarjo. Untuk oulet di Yogyakarta, berada di Jalan Nyi Ahmad Dahlan dan di rumahnya, Dusun Sorobayan, Kecamatan Sanden, Bantul.

Karena tuntutan pemenuhan ekonomi keluarga, sejak duduk di bangku SMA, Buchori selalu nyambi kerja. Dari usaha sablon, berjualan pakaian, stiker, hingga pernak-pernik. Selama kuliah di Jurusan Dakwah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, ia berkelana sebagai sopir taksi di Yogyakarta. Dengan penghasilan yang tidak tentu, Buchori nekat menikah.

Terlalu capek nyopir, di kampus sebagai aktivis, dan berkecimpung di beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM), Buchori menjadi malas kuliah. Alasannya, kuliah kebanyakan mengajarkan teori bukan praktik. Alhasil ia cabut, meski sebenarnya tinggal mendaftar wisuda. "Saya masih heran, kok dulu bisa masuk Fakultas Dakwah, ya?" ujarnya.

Bersama istri, ia lantas pindah ke Pemalang, Jawa Tengah, dan membuka beberapa usaha. Mulai dari keripik aneka rupa, hingga roti. Semuanya tak bisa dibilang sukses. Namun, yang paling monumental adalah apa yang dilakukan dengan sisa tabungannya.

"Uang tinggal Rp 40 juta, tahun 2003 saya nekat pergi haji sendiri, dengan pesan ke istri bahwa suatu saat saya janji memberangkatkan dia untuk haji juga. Ketika pulang, uang tabungan tinggal Rp 4 juta. Banyak orang bilang saya sudah gila," katanya.

Namun, yang dipercayai adalah dorongan naik haji amat kuat. Seperti ada suara Tuhan bahwa dengan berhaji, hatinya tenang dan semua usaha akan dimudahkan. Pilihan usaha kini jatuh ke pembuatan roti. Buchori mengontrak rumah di Sorobayan.

Langkah pertamanya sebagai strategi berjualan adalah mendatangi teman-teman kuliah, aktivis, dan saat di LSM. Kartu nama pun disebar. "Karena belum mempunyai motor, untuk wira-wiri ya memakai angkutan umum. Kalau dekat naik sepeda," papar dia.

Aflah, nama roti usahanya itu, mengkhususkan diri membuat roti-roti seperti mandarin, lapis legit, dan roll cake yang dikemas dalam kotak kardus. "Saya bukan menjual roti yang dikemas satu-satu. Kalau seperti itu, untungnya kecil dan menjualnya lama. Jika jualannya roti kardusan, lebih menguntungkan," kata Buchori, bapak dua anak ini. Dalam sehari, produksi Aflah sekitar 1.000 dus.

Menariknya lagi, Buchori mengaku tak pandai membuat roti. "Lha semua akhirnya saya serahkan kepada karyawan. Mereka yang sekarang membuat roti. Saya tinggal memantau dan memikirkan kira-kira masyarakat akan suka roti apa, dan menyampaikannya ke mereka. Karyawan saya malah lebih lihai membuat roti, ha-ha-ha," ujarnya. (Lukas Adi Prasetya)
Selengkapnya...

Menikmati Gurihnya Laba Icip-icip Jangkrik

Sunday, July 26, 2009

Hewan bernama jangkrik (gryllus sp) lebih banyak beken sebagai salah satu bahan pakan ayam atau burung. Lebih dari itu, jangkrik sering dipelihara anak-anak ataupun di rumah-rumah sebagai hewan aduan ataupun sebagai pengusir tikus.

Namun, banyak penelitian menyebutkan bahwa kandungan gizi dalam daging jangkrik ternyata bermanfaat bagi manusia. Kandungan proteinnya tiga kali lipat kandungan daging ayam, sapi dan udang.

Jangkrik juga mengandung protein omega 3, omega 6 dan omega 9 yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. Selain itu, konsumsi jangkrik dipercaya dapat menambah stamina tubuh, menambah gairah seksual, serta mampu menunda menopause bagi wanita.

Tak heran jika jangkrik kemudian marak dibudidayakan. Apalagi pada tahun 1998 ketika budidaya jangkrik dan cacing sedang booming. Saat ini, sebagian besar hasil budidaya jangkrik untuk pasokan pakan ternak.

Namun, di tangan Sri Rahayu, pemilik Sri Gryllus/Latansa, jangkrik diolah menjadi peluang usaha baru yang patut dilirik. Yaitu sebagai makanan siap saji. Seperti peyek, rendang, balado, biskuit dan srundeng.

Semua makanan ini sudah mendapat sertifikat dari dinas kesehatan dan dari MUI setempat. sehingga halal dan aman dimakan. “Tapi hati- hati, yang alergi udang tidak bisa makan ini,” tutur Sri.

Dari hasil jualan jangriknya ini, nenek berusia 66 tahun ini bisa mendapat penghasilan antara Rp 7 juta sampai Rp 8 juta per bulannya. Padahal wilayah pasar utamanya masih sekitar Riau saja.

Menurut Sri, tahun 1998 silam dirinya tertarik membudidayakan jangkrik. “Gara-garanya, di Jogja waktu itu sedang marak budidaya jangkrik. Lalu saya tertarik mempelajari dari buku,” ujarnya.

Tanpa pikir panjang, Sri lantas membeli 300 ekor jangkrik betina dan 100 ekor jangkrik jantan. Harganya waktu itu Rp 25 per ekor. “Budidaya jangkrik sangat mudah dan tidak makan tempat. Cukup sediakan kotak-kotak khusus saja,” ujar Sri enteng. Sri sendiri saat ini tinggal memiliki 30 kotak jangkrik berisi masing-masing 4000 ekor jangkrik.

Kemudian, tahun 2000 Sri mulai panen jutaan ekor jangkrik. Sayang, waktu itu harga jangkrik sedang turun. Bingung harus berbuat apa, Sri lantas menggoreng jangkrik-jangkrik tersebut dan dibagikannya ke teman-temannya. “Rata-rata suka dan bilang enak. Dari situ saya berfikir bahwa ada peluang usaha di jangkrik ini,” ujarnya.

Sejak itu, Sri terkenal sebagai pengusaha kapsul jangkrik. Kapsul tersebut dijual seharga Rp 100.000 per botol dengan isi 50 butir kasul. Beratnya 500 miligram. “Dalam sebulan, saya bisa memenuhi pesanan kapsul sebanyak 20 kilo kapsul,” ujarnya senang.

Nah, tahun 2008 silam, Sri kembali melakukan kreasi dengan membuat peyek jangkrik. Tak disangka, peminatnya membeludak. Dalam sebulan, Sri bisa menghasilkan 15 kilo peyek yang dijual seharga Rp 60.000 per kilo. Peyek jangkrik ini bisa tahan sampai 20 hari.

Sementara bahan jangkriknya hanya butuh 5 kilo saja. “Kalau sedang kekurangan jangkrik, saya ambil dari jangkrik pembudidaya lain seharga Rp 45.000 per kilo. Tapi jarang,” ujarnya.

Setelah sukses dengan peyek jangkrik, Sri lantas berinovasi membuat rendang jangkrik. “Kebetulan di Riau banyak orang Minang. Mereka kan suka rendang,” kilahnya.

Dalam sebulan, Sri bisa membuat 12 kilo rendang dari bahan 10 kilo jangkrik. Harga jualnya Rp 80.000 per kilo. Makanan ini bisa tahan sampai tiga bulan.

Lantas, muncul pula balado jangkrik. Untuk makanan jenis ini, jangkrik dan sambal (balado) digoreng terpisah. Lalu setelah itu, dicampurkan. “Untuk balado ini belum banyak peminatnya. Saya hanya buat 8 kilo sebulan. Harganya Rp 80.000 per kilo,” lanjut Sri. Balado ini tahan selama sebulan.

Ada juga biskuit jangkrik. Bahan-bahannya dari kelapa, jahe dan jangkrik yang digiling halus dan ditambahkan telor serta mentega. Setelah jadi adonan, dicetak. “Warna biskuitnya hitam seperti Oreo. Jadi banyak yang suka,” kekeh Sri.

Dalam sebulan, Sri bisa memproduksi 20 kilo biskuit dengan bahan jangkrik sebanyak 10 kilo. Harganya Rp 60.000 per kilo. Tak hanya itu, Sri juga membuat serundeng jangkrik. Dalam sebulan, Sri bisa membuat lima kilo serundeng jangkrik seharga Rp 30.000 per kilo. “Bahan jangkriknya sedikit karena hanya untuk suwiran saja,” ujarnya.

Lantaran unik, produk Sri sering mendapat kesempatan pameran ke luar negeri sebagai produk unggulan Provisni Riau. Misalkan saja ke Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. “Sampai saat ini, mungkin baru saya pemain olahan makanan jangkrik ini,” pungkasnya. (Aprillia Ika/Kontan)
Selengkapnya...

Wirausaha Tidak Perlu Terlalu Banyak Teori

Thursday, July 23, 2009

Kewirausahaan tidaklah melulu menyangkut bisnis dan keuntungan. Secara lebih luas, kewirausahaan itu juga mencakup karakter dan pola berpikir. Karakter unggul ini idealnya ada di setiap diri manusia.

Demikian salah satu pokok pikiran yang muncul di dalam pelaksanaan hari kedua Indonesian Conference on Innovation, Entrepreneurship, and Small Business (ICIES) ke-I di Hotel Grand Preanger, Kamis (23/7). Dalam acara ini, pada sesi di siang hari, Wakil Pr esiden Jusuf Kalla turut hadir.

Dalam pidatonya, Jusuf Kalla mengatakan, kewirausahaan adalah sesuatu untuk dilakukan dan diterapkan. Bukan untuk dipelajari semata. "Hendaknya itu dimulai dengan cara yang sederhana. Jangan terlalu berat-berat, kebanyakan teorinya. Nanti malah mahasiswa yang mau mempraktikkannya bingung," ujarnya.

"Makanya, tidak usah terlalu banyak seminar," ujarnya sambil disambut tawa spontan dari para peserta konferensi yang hadir di ruangan. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Wali Kota Bandung Dada Rosada, serta Rektor Institut Teknologi Bandung Djoko Santoso yang hadir dalam acara ini juga ikut tertawa.

Menurut Kala, salah satu karakter terpenting yang bisa diadopsi masyarakat dari wirausahawan adalah keberanian di dalam mengambil keputusan dan resiko. "Seperti belajar renang. Kalau kita takut-takut, mesti tidak akan bisa. Tetapi, kalau sudah nyemplung langsung, dengan sendirinya bisa," ujarnya memberi analogi.

Ia berharap, mental wirausaha yang diadopsi warga ini pada akhirnya dapat membentuk kemandirian bangsa. "Mudah-mudahan, ini bisa menjadi spirit (semangat) pendorong kita dari dalam," ucap calon presiden ini.

Di dalam acara sama namun jam berbeda, Chief Executive Officer (CEO) Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo mengatakan, kewirausahaan menyangkut kultur. Ia menyebutkan sepuluh hal yang menjadi kebiasaan atau kultur khas dari wirausaha yang maju.

"Salah satu yang terpenting, yaitu berani melawan arus. Waktu dulu mendirikan TV7 (sekarang Trans7), kami sempat kebingungan apakah akan mengambil (relai) berita CNN atau tidak. Sebab, CNN jelas punya nama dan ratingnya tinggi. Namun, di akhir keputusan, kami memilih pakai Al-Jazeera. Malahan, oleh mereka dibilang gratis dan rating TV7 sempat naik di urutan ke-3," ucapnya memberi contoh.

Kebiasaan dan karakter penting lainnya adalah kemauan mengambil langkah-bukan sekadar berbicara, kemampuan untuk memperluas perkawanan dan jejaring sosial, tidak lekas puas dan pekerja keras. "Pada umumnya, mereka bekerja hingga 18 jam sehari. Ketika orang tidur terlelap, mereka masih tetap bekerja," ucap Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas ini.

Gerald Lidstone, Director Institute for Creative Cultural Entreprenuership (ICCE) Inggris membenarkan, yang namanya wirausaha itu tidak melulu menyangkut soal bisnis. Melainkan, juga pola pikir kreatif, inovatif, dan kemampuan memecahkan masalah. Paham ini jika dimiliki setiap profesi akan menghasilkan output yang baik.

Wirausahawan merusak bumi

Amat bahaya apabila kewirausahaan hanya diarahkan pada kepentingan bisnis dan keuntungan. Pengusaha bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini. "Selama ratusan tahun mereka bebas mengeksploitasi alam tanpa berpikir menyisakannya untuk anak cucu," ujar Howard Frederick, pakar inovasi dan kewirausahaan dari Unitec Institute of Technology, Selandia Baru.

Inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya paham socialpreneur dan ecopreneur. Dalam sepuluh tahun ke depan, ia percaya ecopreneur akan menjadi tren baru di dunia. "Di Inggris, jumlah sosial-entrepreneur, termasuk di dalamnya ecopreneur mencapai 12 persen, melampaui wirausaha bisnis yang 9 persen," tuturnya.
Selengkapnya...

Mencicipi Peluang Bisnis Puding Kedelai

Thursday, July 16, 2009

Banyak orang menyukai kedelai. Selain rasanya yang nikmat, khasiatnya juga bagus untuk tubuh. Kedelai biasa diolah menjadi susu, tahu, dan tempe. Tapi di tangan pengelola PT Zehat International, muncul inovasi produk olahan puding kedelai atau yang biasa disebut tofu puding.

Marketing Manager PT Zehat International Agus M. Dien bilang, ide membuat tofu puding muncul karena mereka ingin memberi variasi pilihan kepada konsumen dalam bentuk makanan siap saji. “Makanya kami buat puding, apalagi selama ini belum ada yang membuat puding dari kedelai,” ujarnya.

Zehat memulai usaha ini sejak 2006. Awalnya, perusahaan ini sebatas mengolah kedelai menjadi susu cair. Setelah melakukan beberapa kali inovasi, akhirnya mereka berhasil meracik tofu puding.

Untuk bahan baku, tutur Agus, Zehat mengimpor kedelai dari Kanada. Mereka memilih kedelai Kanada karena biji kedelainya lebih besar dan putih, sehingga menghasilkan puding yang bersih. “Jadi, bukan kami tak mau pakai produk lokal, tapi selama ini kalau kami coba selalu gagal, ada ampas hitam tersisa,” ujar Agus.

Proses produksi puding tofu ini diawali dengan mengolah biji kedelai menjadi bubuk. Lalu, bubuk kedelai dicampur air dari mata air pegunungan di Ciawi. Selanjutnya ditambahkan gula putih dan rasa alami. Ada tiga pilihan rasa, yaitu manis, jahe, dan kopi. Untuk puding beraroma jahe dan kopi, dicampurkan jahe atau kopi yang digiling halus.

Bahan-bahan tersebut kemudian dimasak 30 menit. Setelah didinginkan sesaat, dituang ke dalam wadah dan dikemas dengan label merek Soylicious. Lalu dimasukkan ke ruang pendingin selama 5 menit. Kemudian, puding yang sudah dikemas direndam sesaat di dalam air mentah, lalu dikemas dalam dus. Untuk mempertahankan rasa, dus puding dimasukkan ke gudang pendingin dengan suhu 2 derajat sampai 7 derajat celcius.

Zehat rutin memproduksi puding setiap tiga hari sekali. Produksinya mencapai 40.000 pieces per bulan dengan harga Rp 4.000 per pieces.

Zehat memasarkan tofu puding buatannya ke Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Bali. Produk ini juga sudah dipasarkan di beberapa hipermarket besar seperti Sogo, Giant dan Carrefour.

Menurut Agus, setiap bulan Zehan bisa menjual 90 persen dari total produksi mereka. Omzet nya sekitar Rp 144 juta per bulan dengan marjin Rp 20 juta sampai Rp 30 juta. Karena tanpa tambahan pengawet, tofu pudding ini hanya bisa tahan satu bulan.

Karena masa kadaluarsa yang terbilang singkat inilah, Zehat ragu memasarkan tofu puding ke wilayah Sumatera. “Mungkin dengan membangun pabrik di sana, kerjasama dengan distributor, atau cara lainnya, masih dipertimbangkan,” papar Agus.

Saat ini, Zehat dalam tahap pengenalan dan penanaman imaji produknya sebagai produk olahan kedelai yang berkualitas dan tanpa bahan pengawet. “Untuk menjaga imaji, kami tidak bisa memperpanjang masa kadaluarsa dengan memakai bahan pengawet,” ujar Agus. Zehat berencana menghadirkan tofu puding rasa baru untuk menambah pilihan bagi para konsumen.

Agus optimistis, prospek bisnis tofu puding masih sangat cerah. Sebab, Agus mengklaim, hingga saat ini pemainnya baru Zehat saja. Selain itu, “Beberapa bulan terakhir, kami juga telah menerima pesanan dari sejumlah restoran,” ujarnya. (Dupla Kartini/Kontan)
Selengkapnya...

Agoes, dari Iseng Jadi Pengusaha Jamur

Friday, July 10, 2009

Agoes Poernomo, pendiri usaha jamur UD Payung Manfaat, tak pernah membayangkan bahwa ia bakal menjadi pengusaha jamur seperti sekarang. Semula, pria kelahiran Blitar ini hanya iseng mencoba membuat bibit jamur merang di sekeliling rumahnya. Apalagi, keluarganya penyuka masakan jamur. Ternyata, selain hasilnya bagus, jamurnya juga disukai tetangganya. Agoes pun mulai memperbanyak bibit jamur yang disemainya.

Namun, aktivitas yang dilakoninya sejak tahun 1976 itu hanya bertahan setahun. Sebab, informasi tentang jamur masih sangat terbatas. Ketika itu, bapak dua anak yang masih berstatus pegawai di Departemen Kesehatan di Blitar itu akhirnya kembali menekuni bisnis sampingannya yang lain, yaitu usaha bengkel motor, pembuatan mebel kayu, dan kerajinan batu.

Meski tidak lagi membuat bibit jamur, Agoes terus mengikuti perkembangan bisnis jamur di Blitar. Uniknya, setelah tak menyentuh bisnis jamur beberapa tahun, ternyata nasib membawanya kembali ke budidaya jamur.

Lantaran melihat besarnya peluang bisnis jamur di Blitar dan jumlah pemainnya yang masih sedikit, Agoes memutuskan untuk kembali menekuni budidaya jamur pada 1996. Tapi, ia fokus menggarap bisnis jamur kayu. “Pertimbangannya secara ekonomi, produksinya lebih gampang,” papar Agoes.

Kali ini, Agoes serius menekuni bisnis ini. Pria berumur 59 tahun ini membangun satu rumah kecil di Desa Sumberdiren sebagai pusat usahanya. Ia memajang nama Toko Jamur. Untuk semua ini, dia mengeluarkan modal sekitar Rp 6 juta.

Karena ingin lebih fokus di bisnis jamur, Agoes mengajukan pensiun dini di tempatnya bekerja pada tahun 2000. Selanjutnya, bersama putra pertamanya, Agoes makin serius menekuni bisnis jamur. Ia mengubah nama usahanya menjadi UD Payung Manfaat.

Bisnis Agoes mengalami masa keemasan dari tahun 1998 hingga 2000. Kala itu, dia bisa memproduksi jamur kering maupun jamur segar hingga 6 kuintal setiap bulan.

Agoes pun rajin memberikan penyuluhan tentang budidaya jamur kepada para petani. Bahkan, saat ini, di Blitar saja ia punya sekitar 300 petani plasma binaan. Omzet di tahun pertamanya yang hanya Rp 10 juta per bulan kini berkembang hingga lima kali lipat.

UD Payung Manfaat sudah bisa memproduksi bibit sendiri dan mengolah jamur menjadi berbagai jenis makanan. Dengan dua pabrik serta rumah jamur yang dimilikinya, aset usaha Agoes kini mencapai Rp 700 juta.

Belajar secara otodidak

Menariknya, Agoes mempelajari semuanya dengan otodidak. Ia tak segan melancong ke luar daerah untuk belajar lebih dalam tentang jamur dari petani jamur lain.

Namun, meski tidak mempunyai pengetahuan cukup, Agoes memiliki semangat tinggi untuk belajar. Pada masa awal usahanya, di 1996, anak keenam dari 11 bersaudara ini belajar budidaya jamur lewat berbagai literatur, termasuk buku panduan terbitan dinas pertanian dan kehutanan. “Dua tahun pertama memang berat, cari informasi ke mana-mana, juga cari bibit sampai ke luar daerah,” kenang pria 59 tahun ini.

Setelah merasa memiliki pengetahuan lumayan memadai, ia mulai menjalin kerjasama dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang dan Universitas Airlangga Surabaya. Dengan kedua kampus itu, ia menggelar penelitian dan pengembangan budidaya jamur. Dari sini, ia belajar soal pemilihan media tanam.

Bersama putra pertamanya, Agung Hidayanto, Agoes juga beberapa kali melakukan studi banding ke petani jamur di wilayah Lembang, Bogor dan Yogyakarta. Tujuannya untuk mendalami budidaya jamur secara langsung.

Berbekal ilmu dari petani, dia belajar memodifikasi cara pembudidayaan mereka. Ternyata langkah-langkah itu membuahkan hasil. Bahkan, ia sukses membudidayakan jamur di wilayah Blitar, daerah dataran rendah yang sebenarnya kurang cocok untuk bertanam jamur.

Produktivitas dan kualitas tanaman jamurnya tak kalah dengan yang dihasilkan petani di dataran tinggi. Maka, dari sekedar budidaya, pada awal 1998, ia membuka toko untuk berjualan jamur.

Lini usaha Agoes kian bertambah. Kalau awalnya ia hanya memproduksi jamur kayu segar dan kering, sejak punya toko, dia mulai menjual bibit jamur dan media tanamnya. Pada tahun-tahun tersebut, dalam sebulan ia bisa menghasilkan 6 kuintal jamur segar, 4 kuintal jamur kering dan sekitar 3.000 media tanam yang sudah berbibit.

Pada 2000, Agoes melangkah lebih jauh lagi. Ia tak hanya mengolah jamur menjadi makanan seperti kripik jamur, kopi jamur, hingga kapsul jamur. Ia juga mengganti mereknya, dari semula Toko Jamur, menjadi merek Payung Manfaat. Ia memilih nama itu agar sesuai dengan visi usahanya yang ingin memberi perlindungan (payung) kepada masyarakat.

Di tahun yang sama, dia juga mendapatkan sertifikat dari Dinas Kesehatan untuk semua proses dan hasil produknya. Melihat berbagai kemajuan itu, Agoes makin jatuh hati pada jamur. Agar bisa lebih fokus mengembangkan Payung Manfaat, pria lulusan SMA ini pun mengajukan pensiun dini pada tahun 2000, enam tahun lebih cepat dari jadwal pensiunnya.

Sejak pensiun dini, Agoes kian optimistis terus mengembangkan usahanya. Dalam jangka pendek ini, dia ingin meningkatkan kapasitas produksinya. Selain itu, lelaki tamatan SMA ini terus melakukan inovasi, baik terkait bahan baku, proses pengolahan, hasil produksi, maupun pemasarannya.

Semua itu adalah bagian dari upayanya memujudkan impian besarnya. “Ekspansi ke seluruh Nusantara dengan pengembangan plasma adalah impian terbesar saya,” ujar kakek satu cucu ini.

Agoes yakin, pengembangan plasma di seluruh daerah Indonesia tidak terlalu susah. Sebab, sejak awal dia sudah melakukan pelatihan gratis kepada para petani jamur. Bukan hanya untuk petani di Blitar, Agoes juga memberikan pelatihan kepada para petani dari berbagai daerah lain. “Ini menjadi kebahagiaan tersendiri. Banyak orang bisa belajar dari pengalaman saya,” tuturnya.

Kerelaan Agoes berbagi ilmu inilah yang membuatnya sukses mengembangkan jaringan plasma selama ini. Saat ini dia sudah punya 300 petani plasma di Blitar. Dalam skema plasma ini, Agoes menyediakan bibit jamur dan menampung hasil panen. Jadi petani tinggal memelihara tanamannya saja.

Ke depan, Agoes berharap bisa merangkul ribuan orang yang pernah mendapat pelatihan darinya, khususnya yang berasal dari luar Jawa. Agoes akan memberi bimbingan dan konsultasi bagi mereka yang mau menjadi petani plasma. Da akan memanfaatkan teknologi agar konsultasi bisa kontinyu.

Seiring usianya yang kian bertambah, Agoes mundur perlahan dari kepadatan aktivitas bisnisnya. Sejak tahun 2000, meski masih memegang kendali bisnis, dia tak lagi turun tangan langsung memberi pelatihan.

Lalu sejak 2006, dia mendelegasikan kendali bisnis kepada putra sulungnya, Agung Hidayanto. Impian besarnya pun dia titipkan ke pundak Agung yang sejak awal ikut membesarkan Payung Manfaat. “Sekarang saya hanya turun tangan untuk pembibitan saja,” tuturnya.

Sebagai pegangan bagi penerus bisnisnya, Agoes mewariskan prinsip utama yang selalu dipegangnya selama ini. “Kunci sukses berbisnis adalah ketekunan, serta tidak pelit berbagi ilmu, karena itu sebuah bentuk ibadah,” ujar Agoes.

Dia juga berharap putranya bisa mengembangkan bisnis jamurnya dengan menerapkan teknologi tepat guna. “Dan jangan lupa menjadikan pengalaman sebagai guru terbaik,” ujar Agoes membagikan nasehatnya kepada putra tertuanya itu.
Selengkapnya...

Mengeruk Puluhan Juta dari Bongkahan Batu Apung

Thursday, July 9, 2009

Bongkahan batu apung bisa dimanfaatkan untuk rnempercantik lampu hias. Nilai ekonominya lumayan. Deddy Effendy, perajin batu apung untuk lampu hias dari Yogyakarta, bisa menghasilkan omzet puluhan juta per bulan dengan marjin 30 persen dari kerajinan ini.

Asal kreatif, banyak barang yang kelihatannya tak berguna bisa diolah menjadi barang yang punyai nilai jual lumayan. Salah satunya adalah batu apung. Batu yang lazim kita temui di dasar laut ini bisa hadir di dalam rumah sebagal interior dalam bentuk lampu bias.

Adalah Deddy Effendy, perajin asal Yogyakarta, yang memanfaatkan serpihan batu apung untuk mempercantik desain atau model lampu bias buatannya.

Sejatinya, sejak 2000, dengan modal awal Rp 30 juta, Deddy mulai menekuni bisnis pembuatan kerajinan lampu bias di bawah bendera usaha Palem Craft Jogya. Awalnya, ia hanya memakai material rotan.

Ide pemanfaatan batu apung muncul di benaknya pada 2002. Kala itu, Deddy mencoba memadukan sergihan batu apung pada media fiber. Saat disinari lampu, tekstur batu apungnya memunculkan kesan eksotik dan unik.

Yakin produk kreasi barunya itu bakal menarik minat konsumen, Deddy pun mulai menggunakan batu apung untuk produk lampu hiasnya. Apalagi, saat itu belum ada yang membuat produk sejenis. Hingga saat ini Deddy sudah membuat sekitar 70 model lampu bias dalam bentuk table lamp dan standing lamp.

Dia membeli bongkahan batu apung dari Lombok dan Bali. "Bata asal Lombok berwarna keputihan, sementara asal Bali agak keabu-abuan," papar Deddy. Deddy membeli batu apung dengan harga Rp 200.000 per karung. Satu karung dengan bobot 5-6 kg bisa menghasilkan sekitar 201ampu bias model table lamp.

Pembuatan satu lampu hias makan waktu satu hari. Proses pembuatannya dimulai dengan memotong batu apung dengan gergaji mesin menjadi lempengan setebal 2-3 milimeter dengan panjang dan lebarnya sekitar 10-15 cm. Lalu dicuci bersih.

Kemudian siapkan rangka besi sesuai bentuk dan ukuran yang dinginkan. Bentuknya, misalnya oval, persegi, atau piramida. Saat membuat kerangka tersebut sekaligus buat dudukan lampu dari bahan kayu atau bola-bola besi.

Kemudian, rangka besi dibalut bahan fiber atau mika dan dilapisi kain waring k atau jala. Selanjutnya, serpihan batu apung dilem dan ditempel memenuhi badan lampu. Hasilnya, bentuk rangkaian tersebut mengikuti karakter patahan batu sehingga terlihat alami.

Untuk finishing, Deddy menyemprotkan cat water base berwarna bening pada rangkaian batu. "Sengaja tidak diwarnai karena memang ingin menonjolkan warna alami bate apung," ujar lelaki 36 tahun ini.

Dibantu 30 perajinnya, Deddy bisa memenuhi pesanan 100 unit lampu batu apung per bulan. Sedangkan, untuk stok di galeri, dia biasa membuat 5 hingga 10 unit untuk setiap model. Lampu buatan Deddy rata-rata memiliki lebar dan panjang 20 cm - 45 cm, dengan tinggi 30 cm-150 cm.

Adapun harga jualnya tergantung model dan ukurannya. Untuk jenis table lamp, harganya Rp 150.000 - Rp 300.000 per unit. Sedangkan harga standing lamp sekitar Rp 500.000 - Rp 1,5 juta per unit. Harga standing lamp lebih mahal karena membutuhkan material lebih banyak dan pengerjaannya makan waktu lebih lama.

Dari penjualan lampu bertahtahkan batu apung ini, Deddy meraup omzet Rp 30 juta - Rp 50 juta, dengan margin sekitar 30 persen.

Pasar Deddy bukan hanya di di dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Misalnya, Italia, Spanyol, Australia, Jepang, Polandia, dan Rumania.

Menurut Deddy, sejauh ini tak ada kendala dalam usahanya.Bahan bakunya melimpah, dan perajin dengan mudah mempelajari proses pembuatannya. Soal persaingan, meski kini sudah ada pesaing, Deddy optimistis permintaan lampu kreasinya akan terus mengalir karena dia selalu mengeluarkan disain baru. (Dupla Kartini PS/Kontan)
Selengkapnya...

Tati Hartati, Inspirasi Ibu untuk Pakaian Muslim Rumah Dannis

Tuesday, July 7, 2009

Sebuah inspirasi bisa muncul dari lingkungan terdekat. Tati Hartati pun bisa menjadi seorang pengusaha pakaian muslim nan sukses berkat terinspirasi kemandirian ibu kandungnya.

Sewaktu kecil dulu, pemilik Rumah Dannis ini hidup dalam keprihatinan. Untuk membeli pakaian saja tidak mampu. Bila ingin baju baru, sang ibu rajin membuatkan baju untuk Tati dan juga saudara-saudaranya.

Alhasil, Tati terbiasa mengenakan pakaian hasil jahitan sang ibu. Begitu pula ketika Hari Raya Lebaran tiba. Ketekunan dan ketelatenan sang ibu inilah yang menjadi sumber ilham bagi Tati untuk memberanikan diri menjahit pakaiannya sendiri saat duduk di kelas empat sekolah dasar (SD).

Anak ketiga dari enam bersaudara ini memang sedari kecil mencintai kain. Bahkan, sejak kelas empat SD itu Tati sudah menjual pakaian boneka dan tempat pensil dari kain kepada teman-temannya.

Sejak itu pula Wati belajar mandiri. Setidaknya, dia tak lagi meminta uang jajan kepada orangtuanya lantaran dia bisa mencari uang sendiri dari jualan pakaian boneka dan tempat pensil. Apalagi hasil keterampilan tangan Tati semakin terkenal di kalangan teman-temannya. “Di sekolah jadi banyak yang tahu, dan pesanan terus bertambah,” kenang Tati.

Kecintaan Tati terhadap kain sempat memudar lantaran dia harus sekolah di Sekolah Kejuruan Analis Kimia. Kesibukan sekolah menyebabkan Tati harus rela menanggalkan ide-idenya tentang model busana. Apalagi ketika itu orangtuanya juga menginginkan Tati segera lulus dan secepatnya mencari pekerjaan. “Ayah saya melihat saudara yang lulus dari sekolah itu bisa langsung bekerja,” ujar perempuan yang tinggal di Surabaya ini.

Setelah lulus sekolah kejuruan itu, bukannya bekerja, Tati malah masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tidak tanggung-tanggung, dia bisa kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) hingga berhasil meraih gelar insinyur kimia.

Setelah lulus kuliah, Tati pun harus bekerja di kantoran. Maklum, ketika itu sang ayah memasuki masa pensiun dari sebuah badan usaha milik negara (BUMN). Tanggung jawab keluarga seolah berpindah ke pundak Tati. “Ibu saya tidak bekerja dan ayah pensiun. Jadi, untuk biaya kuliah adik, saya harus mencari uang,” kata Tati.

Setelah menikah pada 1998, ternyata sang suami tidak mengizinkannya bekerja di kantoran. Larangan inilah yang menjadi dorongan kuat bagi Tati untuk berjualan pakaian buatan sendiri. Dengan modal Rp 1 juta dari suami, Tati mulai membuktikan keahliannya dalam menggambar dan mendesain pakaian. Itu semua dia lakukan di sela-sela kegiatan mengurus rumah dan anak.

Meski disambi mengurus rumah tangga, saban bulan, Tati mampu membikin 50 potong pakaian anak. Semuanya dia desain, jahit, dan bordir sendiri. “Jiwa saya selalu ingin menghasilkan sesuatu,” ujar Tati.

Dan ternyata, baju anak hasil kreasinya diterima pasar. Tati pun kian semangat. Dia juga mulai berani memasang merek Dannis pada baju bikinannya.

Lantas, tumbuh pula kepercayaan dirinya untuk mengembangkan usaha. Tati mulai memproduksi pakaian muslim dewasa, mukena, hingga jilbab.

Sayang, kali ini tidak laku. Toko-toko pakaian di Surabaya emoh menjual produknya. Ternyata, pakaian muslim buatan Tati bukan segmen dari toko-toko pakaian itu. Dia lantas berpikir, produk Dannis harus jelas target dan segmentasinya. “Akhirnya saya fokuskan produk ini untuk kalangan menengah ke atas,” tutur Tati.

Untuk bisa membuat model baju dengan mode mutakhir, Tati rajin menonton acara mode di televisi, membuka majalah wanita, hingga jalan-jalan ke berbagai kota. “Kalau lihat ada pameran fashion di televisi, saya selalu membayangkan berada di acara tersebut dan melihat semua desain untuk menyelami,” ujar Tati.

Siap menerima kritikan

Di dunia mode, Tati merasakan sebuah ide itu menguras pikiran dan tenaga; hingga terkadang Tati merasa jenuh. Tapi, karena bisnis ini menguntungkan, dia pun tetap senang menjalaninya.

Kemampuannya berimajinasi soal model membuat busana Dannis selalu segar. Karena itu, tak perlu heran kalau bisnis Tati juga terus berkembang. Sekarang ini Tati mampu memproduksi 35.000 potong baju dengan omzet mencapai Rp 2 miliar per bulan. Harga termahal dari baju muslim bermerek Dannis ini Rp 250.000.

Tati kini memperkerjakan 1.000 orang karyawan dengan melibatkan 500 agen yang tersebar di kota-kota besar. Dia menerapkan konsep kemitraan. “Jadi, saya tidak perlu membuat gerai, sehingga lebih efektif dan efisien,” imbuh Tati.

Kendati sudah malang melintang di dunia busana, pakaian muslim buatan Tati tak lepas dari kritikan, termasuk dari konsumen. “Saya anggap kritikan itu sebagai pemacu untuk menampilkan produk yang lebih baik lagi,” ujar Tati. (Azis Husaini/Kontan)
Selengkapnya...

Biogas: Banyak Jalan Menuju Terang

Friday, July 3, 2009

Angin laut selatan bertiup dari arah Pantai Malingping, Kabupaten Pandeglang, Banten. Embusannya memutar pelan kincir angin sekitar 100 meter dari pantai. Di bawah kincir angin itu berjejer dua belas panel surya memantulkan sinar matahari yang terik.

Kincirnya baru menyala dua hari yang lalu. Terakhir nyala setahun lalu, tetapi enggak sampai tiga bulan mati tersambar petir,” ujar Hendra (30), warga Desa Tenjolaya, Kecamatan Wanassalam, Kabupaten Pandeglang, 23 Juni lalu.

Sudah dua malam pula Hendra dan keluarganya bisa merasakan lagi listrik menerangi rumah mereka. Lampu cempor yang biasa ia gunakan pun diistirahatkan. ”Lumayan, kalau anginnya bagus, listriknya bisa menyala terus-terusan sampai pagi. Tetapi, kalau anginnya lagi lemas, paling listrik menyala sampai jam 12 malam saja,” kata ayah dua anak itu.

Di rumah, listrik hanya dipakai untuk menyalakan dua titik lampu. Hendra termasuk 40 keluarga di Desa Tenjolaya yang sempat menikmati aliran listrik yang dihasilkan proyek percobaan Penyediaan Listrik Sistem Kombinasi Energi Angin, Matahari, dan Hidrogen. Proyek itu berada di bawah Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Warga sekitar lebih mengenalnya sebagai proyek kolecer. Kolecer adalah istilah warga setempat untuk kincir angin.

Penyediaan listrik sistem kombinasi ini merupakan model penggunaan energi setempat untuk memenuhi kebutuhan listrik. Idenya adalah menggabungkan tiga sumber energi sekaligus di satu lokasi untuk memaksimalkan daya yang bisa dihasilkan. Energi yang diperoleh disimpan di dalam aki besar yang mampu menyalurkan daya sampai 20 volt ampere.

Juned, warga Desa Tenjolaya, yang sehari-hari ditugasi menjaga fasilitas proyek, mengatakan, proyek penyediaan listrik itu diresmikan 28 Desember 2007. ”Waktu itu ada 40 rumah yang menyala. Lumayanlah tiap rumah bisa dapat dua titik lampu,” kata Juned.

Sebenarnya lokasi Desa Tenjolaya hanya sekitar 1,5 kilometer dari jaringan distribusi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun, keterbatasan penyambungan listrik oleh PLN membuat warga harus menunggu cukup lama untuk penyambungan baru. Sejumlah warga bahkan sampai menumpang pasang kWh meter di rumah-rumah yang sudah berlistrik. Tak heran di satu rumah bisa ada empat kWh meter sekaligus.

”Makanya semua senang sewaktu ada alternatif pasokan listrik langsung dari kincir angin ini. Warga yang punya televisi tak perlu mematikan lampu kalau mau menonton karena ada tambahan listrik pada waktu malam. Iurannya sebulan tak sampai Rp 20.000,” ujar Juned.

Warga yang belum mendapat listrik seperti Bu Juju masih menggunakan lampu cempor. Namun, sejak pemerintah mencanangkan program konversi minyak tanah ke elpiji, minyak tanah sulit didapat.

Peneliti senior LIPI, Achiar Oemry, mengatakan bahwa pihaknya masih menghitung keekonomian penggunaan energi angin dan matahari untuk menghasilkan listrik. Hanya saja energi primer intensitasnya sangat fluktuatif. ”Matahari hanya ada saat siang, angin bisa ada bisa tidak. Ini yang harus dihitung apakah cukup,” ujarnya.

Penggunaan energi setempat menjadi kunci untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Meskipun kecil, daya yang dihasilkan cukup untuk memenuhi penggunaan listrik oleh masyarakat desa yang juga tidak banyak karena pemakaian listrik masih sebatas untuk penerangan. Rata-rata daya yang digunakan tidak lebih dari 300 watt.

Selain angin dan matahari, Desa Tenjolaya sebenarnya juga berpotensi untuk lokasi pengembangan biogas karena banyak warga yang beternak sapi potong. Pemanfaatan energi alternatif biogas dari kotoran ternak sudah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1970. Tahun 1981, Organisasi Pangan dan Pertanian sempat mendukung proyek pengembangan biogas. Namun, upaya ini tidak berkembang karena harga bahan bakar minyak bersubsidi murah. Biogas sebagai energi alternatif kembali dilirik setelah harga minyak meroket. Proyek biogas semakin terjangkau masyarakat dengan dikembangkan instalasi biogas sistem plastik bongkar pasang yang harga peralatannya cukup murah. Biogas dapat dihasilkan melalui penguraian bahan-bahan organik dalam kotoran sapi oleh mikroorganisme.

Dalam kondisi normal, dua ekor sapi perah menghasilkan biogas sebanyak 4,14 meter kubik per hari. Jumlah ini setara dengan 1,9 kilogram elpiji, 2,5 liter minyak tanah, dan 3,5 kilogram kayu bakar. Biogas dapat dibakar seperti elpiji dengan memakai kompor gas atau digunakan sebagai bahan bakar genset. Warga Desa Haurngombong, Kabupaten Sumedang, sudah merasakan pemakaian genset listrik dengan biogas.

Sayangnya, pemanfaatan energi setempat ini tidak digarap secara serius oleh pemerintah. Bahkan, pelaksanaannya cenderung tumpang tindih. Anggaran untuk pengembangan energi ada di beberapa departemen, yaitu Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Selama 64 tahun Indonesia merdeka, rasio elektrifikasi baru 60 persen. Setiap kali harga minyak naik, pemerintah mengeluhkan kenaikan beban subsidi listrik. Padahal, masih banyak jalan menuju terang.

Sumber: Kompas
Selengkapnya...

Perlengkapan Medis dari Industri Rumahan

Wednesday, July 1, 2009

Jika suatu saat Anda menjalani rawat inap di rumah sakit, kemungkinan Anda akan menggunakan tempat tidur dengan merek SKN Medical atau Karixa.

Sekilas, merek yang juga menempel di meja operasi, filing cabinet dokter, atau pensteril ruangan itu seperti merek asing, produk negara lain yang mesti kita impor.

Nyatanya, perlengkapan medis dan perlengkapan rumah sakit dengan dua merek itu bukan merupakan produk impor, tetapi produk Desa Cibatu, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Dari desa kecil di Kabupaten Sukabumi itulah, perlengkapan medis yang kini masuk ke sebagian besar rumah sakit di Indonesia dan negara-negara lain itu berasal.

”Awalnya, kami membuat berbagai peralatan berbahan dasar logam yang dipesan oleh pelanggan sebelum akhirnya fokus membuat medical equipment dan hospital furniture (perlengkapan medis dan furnitur rumah sakit),” kata Direktur Utama PT Sarandi Karya Nugraha (SKN) Isep Gojali, Selasa (30/6). Tahun 1997, PT SKN memulai usaha bengkel las dengan delapan pekerja.

Bersama 39 unit usaha pengerjaan logam lain di Sentra Industri Sukabumi (Sentris) Desa Cibatu, PT SKN diresmikan pengoperasiannya oleh Presiden Soeharto pada 21 April 1998. Sentris adalah pusat kerajinan logam yang diprakarsai oleh Yayasan Dharma Bhakti Astra. Unit usaha di Sentris mendapat bantuan permodalan sebanyak 30 persen dari Astra Modal Ventura.

Tahun 2000, PT SKN fokus pada pembuatan perlengkapan medis dan furnitur rumah sakit yang kala itu belum populer di kalangan pelaku usaha pengerjaan logam.

Justru karena produsen masih langka itulah produk perlengkapan medis dan furnitur rumah sakit sangat mudah terserap oleh rumah sakit. Omzet produksi pada tahun itu baru sekitar Rp 200 juta.

Pada tahun 2004, PT SKN sudah membukukan omzet Rp 1,5 miliar untuk 500 perlengkapan medis dan furnitur rumah sakit dari berbagai jenis. Tahun ini omzetnya diperkirakan mencapai Rp 14 miliar. Kini PT SKN memiliki 95 karyawan tetap dan 66 karyawan tidak tetap.

Karyawan tetap PT SKN umumnya lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) dari jurusan mesin atau elektronik. PT SKN juga melibatkan 19 subkontraktor untuk mengerjakan bagian-bagian tertentu yang berhasil menyerap 117 karyawan. Subkontraktor itu sebagian besar merupakan unit usaha yang pernah gulung tikar terkena dampak krisis moneter 1998.

Proses pembuatan peralatan kedokteran dan rumah sakit itu rumit, mulai dari pemotongan bahan baku, pembentukan, pengelasan, penyelesaian, pengecatan, hingga ke pengepakan. Bagian desain memegang peranan penting dalam proses produksi itu. Desain harus presisi dan dapat diakses secara online oleh semua lini produksi.

Kepala Seksi Desain PT SKN Agustian mengatakan, hasil akhir desain adalah foto produk kendati produknya belum ada.

”Kami belajar perlahan-lahan mengenai perangkat lunak sampai akhirnya bisa membuat desain yang sempurna, yakni foto produk yang sesuai dengan produk yang akan dibuat,” ujar Agustian.

Pegawai PT SKN tak hanya memanfaatkan mesin untuk memproduksi produk perlengkapan kedokteran dan rumah sakit, tetapi juga untuk membuat mesin baru yang dibutuhkan perusahaan.

”Mesin yang kami buat sendiri membuat pengerjaan menjadi efisien,” ujar Agustian yang bersama rekan-rekannya sedang merancang Computer Numerical Control (CNC) Cutting Pipe.

Bagian welding atau pengelasan pun sudah menggunakan cara pengerjaan otomatis. Robot yang secara otomatis mengelas sambungan-sambungan baja itu sudah beberapa bulan ini menggantikan peran alat las mesin dan manual.

”Berubah 1 milimeter saja, semua setting akan berubah karena otomatisasi itu. Namun, alat ini jauh lebih praktis,” kata Dede Usman (26) dari bagian welding. Kini, sama sekali tak terlihat jejak bengkel las dengan peralatan sederhana di PT SKN.

SKN Medical dan Karixa memiliki keunggulan layanan purnajual dibandingkan dengan produk sejenis dari China. PT SKN memberikan jaminan perbaikan produk dalam waktu jauh lebih singkat dibandingkan dengan produk China yang harus menunggu suku cadang dari tempat asalnya.

Dengan makin digemarinya produk dalam negeri, lambat laun ketergantungan Indonesia terhadap perlengkapan medis dan furnitur rumah sakit dari negara asing berkurang.
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...