Followers

Google
 

Kaligrafi Bambu Mustamil Rambah Eropa

Saturday, April 30, 2011

Berawal dari ketidaksengajaan, Mustamil telah menemukan jalannya untuk meraup puluhan juta, dengan kaligrafi bambung runcing Al-Mustamil.

"Tadinya juga enggak sengaja juga sih, ya coba-coba aja," ujar Mustamil kepada Kompas.com di Jakarta, Sabtu (23/4/2011).

Awalnya, Mustamil memulai eksperimennya dengan pelepah pepaya. "Tadinya kan mengambil batang pepaya untuk (buat) mainan. Saya coba potong menyerong tahu-tahu bisa membentuk kalimat Allah," ujar pria yang pernah menjalankan usaha rumah makan ini.

Dari situ, ketika sedang jalan-jalan ke pegunungan, dia pun melihat bambu dan mencobanya. Dengan rasa senang dan percaya diri, dia coba mengembangkannya. Namun Mustamil mengungkapkan kesulitannya dalam berproduksi jika tidak menemukan bambu kering. "Saya kurang perhatian tentang bahan baku," ujarnya.

Mustamil mengatakan, cukup irit dalam menggunakan bambu. Satu gelondong bisa jadi tiga-empat karya. Untuk menghasilkan ukiran kaligrafi yang bagus, dia membutuhkan bambu yang dan bagian bawahnya, karena kebutuhan akan ketebalan batangnya.

"Sebenarnya di mana-mana bisa, cuma bambu yang bagus ditanam di tanah merah," katanya.

Bambu yang ditanam di tanah merah memiliki tekstur khusus. Banyak pori-pori di potongan batangnya, dan pencarian bambu pun tidak jauh dari pusat pembuatannya di Yogyakarta.

Untuk modal awal, Mustamil mengaku tidak banyak mengeluarkan dana. Hanya Rp 150.000-Rp200.000. Sampai kini, dana tidak menjadi masalah bagi usaha kaligrafi tulisan arabnya itu.

Mengenai pemasaran, Mustamil mengaku masih menggunakan cara personal, yaitu dari mulut ke mulut, lewat pameran, dan lewat konsinyasi. Hingga kini dia belum menggunakan agen karena pembuatannya belum bisa massal. Belum lagi jika diproduksi secara massal,dikhawatirkan orang akan berpikir kaligrafi bambu mudah cara pembuatannya.

Bahkan untuk pekerja, Mustamil hanya menggunakan tenaga kerja sebanyak dua orang saja, termasuk dirinya.

Sekalipun produksi belum banyak, permintaan pun telah merambah daratan Eropa, khususnya Perancis. "Dari akademi apa itu tadi," ungkapnya mengenai si pembeli dari Perancis tersebut, yang bertemu di pameran Inacraft, di Jakarta Convention Center (JCC), beberapa waktu lalu.

Terkait omzet, usaha yang telah dimulainya sejak 2007 ini bisa mencapai Rp 35 juta per bulannya, dengan 10-20 karya yang dihasilkan. Harganya pun bervariasi antara Rp 1 juta dan Rp 5 juta.

"Misalnya sulit tapi bisa berhasil, saya senang, nah itu bisa mahal," ungkapnya, mengenai harga yang bervariasi berdasarkan tingkat kesulitan pengerjaannya.

Ke depannya, dia berkeinginan membuka toko di Jawa Barat, di sebuah pesantren. Sembari membuka toko, dia pun diminta mengajari para santri di pesantren tersebut.

Selengkapnya...

Banjir Rupiah karena Ayam Ketawa

Wednesday, April 27, 2011

Sekilas tidak ada yang istimewa dengan ayam ini. Bentuk, warna, dan ukuran sama dengan ayam kampung pada umumnya. Namun, siapa sangka ayam ini bisa bersuara unik mirip orang tertawa.

Itulah sebabnya disebut ayam ketawa. Ayam ketawa merupakan ayam yang berasal dari daerah Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, sekitar 184 kilometer dari Makassar.

Dari daerah asalnya, ayam ini dinamakan ayam manugaga. Manu artinya ayam dan gaga artinya gagap atau ayam yang tergagap-gagap.

Selain bisa tertawa, ayam ini juga bisa mengeluarkan suara seperti lagu dangdut, slow rock, bahkan rock. Menurut kepercayaan masyarakat Bugis, ayam ini juga bisa membawa keberuntungan.

Maka tidak heran, bila harga jual ayam ketawa ini sangat mahal hingga puluhan juta rupiah. Saat ini banyak yang memburu ayam ketawa untuk dipelihara sendiri atau dijual lagi.

Pada beberapa kesempatan, ayam ini juga dilombakan. Salah satu pelaku usaha ayam ketawa adalah Suhardjo (54), warga Dusun Bayanan, Banjarnegoro, Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Usaha yang ditekuni merupakan usaha sampingan karena sehari-hari ia bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Kesbangpolinmas Kota Magelang. Bisa dibilang Suhardjo orang pertama di Kota Magelang yang memiliki usaha ini.

Suhardjo menceritakan, awal mula menekuni usaha ini secara tidak sengaja. Suatu sore ketika ia sedang beristirahat di halaman belakang sambil memandangi bekas kandang burung cucak rowo.

"Waktu itu saya berpikir, mau diapakan kandang yang sekarang sudah kosong ini. Tiba-tiba istri saya memanggil dan bilang di televisi sedang disiarkan soal ayam ketawa," katanya. Ia pun segera menyimak acara di televisi.

"Saat itu juga insting bisnis saya langsung timbul. Wah, boleh juga nih," pikirnya saat itu. Secara kebetulan, kantor tempatnya bekerja di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (sebelum dipindah ke Kesabangpolinmas) memberi tugas kepadanya untuk tugas mencari lahan transmigran di daerah Sulawesi.

Maka, ia pun berangkat menunaikan tugas di sana. Setelah tugas selesai, ia pun meneruskan perjalanan ke Sidrap untuk "berburu" ayam manugaga. Karena waktu itu hanya membawa uang Rp10 juta, ia hanya memdapatkan ayam manugaga 17 ekor bukan indukan.

Maka mulailah ia beternak ayam ketawa. Setelah beberapa lama, ia kembali berpikir, kapan ayam ini bisa bertelur karena masih kecil-kecil. Dua bulan sejak ia membeli, ia kemudian menjual seluruh ayam miliknya.

"Waktu itu, ayam sudah laku Rp 21,5 juta. Jadi dalam tempo dua bulan, saya untung Rp12,5 juta," kata suami dari Dwi Sawitri ini.

Hasil penjualan itu kemudian dibelikan lagi ayam ketawa indukan. Saat ini, ia memilik 11 ayam ketawa betina dan 5 ayam ketawa jantan.

Dari jumlah ayam yang dimiliki saat ini, ia sudah mulai menuai hasil. Karena ayam sudah berkali-kali bertelur dan menetas.

Untuk ayam dengan umur 0 minggu (kuthuk), harganya mencapai Rp 300.000 per ayam. Pesanan terus berdatangan bahkan ia kewalahan melayani pembeli.

"Kalau ada yang mau beli harus inden dulu sampai dua bulan karena harus antre," kata ayah dari dua putra dan kakek dari dua cucu ini. Suhardjo berprinsip, karena ini bisnis makhluk hidup, ia tidak mau menerima uang muka lebih dulu. Uang baru ia terima bila ayam benar-benar sudah menetas.

"Pernah saya terima uang muka dan sisanya diberikan kalau ayam sudah menetas. Ternyata, ayam itu tidak menetas, jadi saya kembalikan lagi uangnya," kata pria kelahiran Yogyakarta ini.

Hampir setiap minggu, ayam ketawa yang dimilikinya bertelur dan menetas. Dalam kurun waktu itu, ia bisa memperoleh hasil minimal Rp 6,5 juta.

Selengkapnya...

Batik Kontemporer Raup Puluhan Juta

Tuesday, April 26, 2011

Berusaha beda dengan usaha batik yang lain, itulah jurus yang dijalankan Herlambang Rianto, si pengusaha Aura Batik Kontemporer.

Ia memulai usaha ini sejak tahun 2001 , dan selang lima tahun kemudian, ia pun memasarkan produk batiknya melalui pameran. "Dari (tahun) 2000 itu belum pameran. Awal 2006 mulai pameran," tuturnya kepada Kompas.com, di Jakarta, Sabtu ( 23/4/2011 ).

Kenapa memilih berbeda? Ia melihat batik-batik di pasar itu sama semua, dan akan kalah saing jika melihat. "Kalau saya mengikuti batik yang sudah pakem, saya pasti akan kalah sama yang lain," jelasnya.

Dalam menjalani usaha batik yang salah satu motif kontemporernya berupa lingkaran, ia terbantu dengan latar belakang pendidikannya sebagai lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa, jurusan tekstil.

Tidak hanya motifnya yang unik, tetapi metode pembuatannya pun lumayan menarik melalui gabungan tiga cara kerja, yaitu tulis, cap, dan lukis. "Capnya sedikit, yang penting tulis sama lukis," ucapnya, yang mengaku lupa berapa jumlah modal awalnya, dan menaksir omzet usahanya bisa mencapai puluhan juta rupiah per bulannya.

Sekalipun berbeda, batik kontemporer ini terus diminati. Pemasarannya pun telah merambah negara tetangga Malaysia.

Padahal untuk pemasaran, ia hanya mengandalkan satu rumah galeri di daerah Margahayu, Bandung. Herlambang mempunyai sejumlah pelanggan tetap di Jakarta. Produknya juga telah mencapai Bali untuk pasar lokal. "Fokusnya baru Jakarta, Bandung aja. Pelan-pelan sih," tuturnya.

Dengan 6 pekerja tetap dan 10 pekerja lepas, ia dapat menghasilkan 15-20 helai sarung dengan selendangnya. "Bisa sampai 3 lusin," sebutnya. Jika menjelang Lebaran, harga satu helai sarung dengan selendang poduk Aura Batik Kontemporer bisa mencapai Rp 1,7 juta.

Pria yang pernah menekuni dunia fotografi ini , berharap bias menembus pasar Jepang, khususnya untuk produk tirai pintu. "Pinginnya sih Jepang, buat tirai-tirai (pintu) saya. Tapi nggak tahu ini masih belum," ungkapnya.

Untuk tirai ini produksi Herlambang dapat mencapai 50 tirai per bulannya, dengan tempat produksi di Pekalongan. Di Pekalongan lebih murah bahan-bahannya, (seperti) cat sama kain. Nanti akan dipindahin," ungkapnya.

Herlambang mengangamkan untuk memindahkan, tempat produksi tirai tersebut ke Bandung sekaligus memperbesar galerinya. Namun hal itu, ia mengaku masih terkendala dana. Ia pun berkeinginan untuk pingin pinjam bank demi memperluas ekspansi produknya, yang akan merambah interior rumah tangga dari bahan kain.

Selengkapnya...

Mengulik Prospek Jaket dari Bahan Kertas Anti Air

Sunday, April 24, 2011

Bagi anda yang ingin mengoleksi barang-barang unik, bisa datang ke pameran Sepatu, Kulit, dan Fashion di JCC, Senayan, Jakarta. Di pameran yang berlangsung 28 April-1 Mei 2011 menampilkan produk jaket cantik berbahan kertas anti air.

Jaket yang terbuat dari bahan kertas tyvek itu dibuat oleh sekumpulan oleh mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), produk jaket itu diberi nama Svectra.

"Ini buat tugas kuliah, satu kelompok sekelas," kata CEO equafole Boy Rekato di pameran Sepatu, Kulit, dan Fashion di JCC Kamis (28/4/2011).

Mahasiswa yang berjumlah 33 orang ini mengaku mengikuti pameran untuk menyelesaikan tugas kuliah. Para mahasiswa ini belum memikirkan produk buatannya menjadi komoditas ekspor. Alasan mereka membuat jaket berbahan kertas tyvek untuk mendukung program go green atau ramah lingkungan.

Untuk pembuatan satu jaket svectra ini, butuh modal sekitar Rp 200.000. Sayangnya bahan ramah lingkungan ini harus diimpor jauh wilayah Du Pont Perancis. Bahan seharga Rp 200.000 itu, belum termasuk ongkos jahit dan cetak warna sekitar Rp 50.000-60.000.

"Bahannya impor semua, tapi ngerjainnya di Bandung," katanya.

Jaket ini mereka jual dengan harga Rp 350.000. Khusus untuk pameran ini harga jaket Svectra hanya dibandrol Rp 300.000

Menurut Boy, tidak ada target dari pameran ini, ia dan teman-temannya hanya menjual sebisanya. Keuntungan yang didapat dari penjualan ini akan disumbangkan ke desa-desa yang membutuhkan pendidikan, seperti desa-desa di sekitar Ciwidey Bandung Selatan. Selain dipasarkan di pameran ini, mereka juga menjualnya di Equafole Bandung.

"Ini kan kita ambil dari masyarakat, jadi nantinya akan kita kembalikan ke masyarakat juga," tuturnya.

Kisah pembuatan jaket Svectra dimulai sejak pengumpulan data semenjak Agustus 2010 sampai dengan Desember 2010 karena tugas kuliah. Para mahasiswa ini mulai memproduksi jaket unik ini Januari 2010, permintaan pun mulai silih berganti untuk memesan dari mulut ke mulut.

Dikatakan Boy, untuk memesan kertas diperlukan waktu 2 minggu. Kertas tyvek impor dari Du Pont harus dalam borongan, minimal memesen 1 km untuk mendapatkan harga yang lebih murah

"Pesan yang banyaklah biar murah, sekali pesan 1 km kertasnya," tuturnya.

Mereka juga menjual barang-barang karya mereka seperti jaket kertas, tas dan sepeda lewat online, mulut ke mulut, teman-teman dekat. Sampai saat ini sudah terjual dari sabang sampai Manado dan orang-orang yang berkunjung ke toko di Bandung.

Boy menambahkan tak menutup kemungkinan untuk melanjutkan usaha ini. Sejauh ini, sudah ada sekitar 3-5 mahasiswa yang berkomitmen untuk melanjutkan usaha tersebut.

"Ada sih yang mau ngelanjutin, tapi tidak banyak, ya bebas-bebas aja. Ini kan barang sama-sama," ujarnya.

Boy membuka kesempatan bagi investor yang ingin masuk untuk meneruskan usaha mereka. Termasuk tidak keberatan menggunakan brand dari investor yang berminat.

CEO equafole Boy Rekato
Jalan Ganeca 3 Bandung, Jawa Barat 40132
Email: equafole@gmail.com dan Boy_kamtibz@yahoo.com
Selengkapnya...

Batu Kalimaya Lebak Menembus Dunia

Wednesday, April 20, 2011

Perajin batu fosil dan kalimaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, mampu menembus pasar ASEAN karena permintaan cukup tinggi di wilayah negara-negara tersebut.

"Kami saat ini merasa kewalahan untuk melayani permintaan kerajinan batu permata ke negara tetangga itu," kata Ardineswati, seorang perajin di Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Rabu (20/4/2011).

Ia mengatakan, selama ini permintaan pasar ASEAN cukup tinggi karena batu fosil dan kalimaya merupakan kekayaan alam yang ada di Kabupaten Lebak. Bebatuan yang bernilai ratusan juta rupiah tersebut terdapat di sejumlah Kecamatan Sajira, Maja, Cipanas, Cimarga dan Muncang.

Saat ini, kata dia, perajin batu fosil maupun kalimaya jumlahnya mencapai puluhan. "Saya sendiri sebagai perajin batu permata cukup berkembang hingga melayani transaksi melalui situs internet dengan laman ’Sandikala’," katanya.

Menurut dia, pihaknya menjual kerajinan batu kalimaya dan fosil ke beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Thailand dan Filipina. Adapun harga satuan batu fosil maupun permata kalimaya mulai dari harga Rp 500.000 sampai Rp 100 juta. "Saya kira para konsumen mereka tertarik karena batu permata itu memiliki nilai seni tinggi," ujarnya.

Seorang perajin batu permata di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Nong mengaku saat ini batu kalimaya asal daerah itu terbaik di dunia karena memiliki aneka warna jenis dibandingkan dengan Australia, Amerika Latin dan Somalia.

Permintaan batu kalimaya, selain pasar domestik juga mancanegara cukup banyak. Dia menyebutkan, batu kalimaya asal Kabupaten Lebak memiliki keunggulan dibandingkan dari negara lain di dunia. Selain warna tidak menghilang juga sangat mempesona karena punya aneka warna, seperti hitam, coklat, kuning ungu, biru dengan warna pelangi.

Batu kalimaya memiliki jenis warna, di antaranya Kalimaya Putih, Kristal Hijau, Kristal Pelangi, Kristal Hijau, Teh dan Kopi, Pelangi, Kristal susu dan lain-lain. "Semua jenis warna kalimaya memiliki daya tarik tersendiri juga pancaran warna pelangi dapat berubah-ubah. Itulah kelebihan permata asal Lebak," katanya.

Untuk mendapat batu permata itu, kata dia, dilakukan eksploitasi secara tradisional, yakni menggali lubang ke bawah tanah hingga puluhan meter. "Jika terdapat batu kalimaya di bawah tanah maka terlihat pancaran sinar," katanya.

Sementara itu, Kepala Bidang Industri Dinas Perindutrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak, Herisnen mengatakan, pemerintah daerah terus membina perajin batu kalimaya dan fosil karena dapat meningkatkan ekonomi masyarakat juga penyerapan tenaga kerja. "Saya kira usaha kerajinan batu permata ini di Banten hanya ada di Kabupaten Lebak," katanya.

Selengkapnya...

Meraih Untung dengan Mengolah Kaleng Bekas

Monday, April 18, 2011

Dengan kreativitas, kaleng minuman bekas pun bisa diolah menjadi benda bernilai jual tinggi. Kaleng-kaleng bekas softdrink diubah menjadi miniatur sepeda motor atau binatang untuk pajangan.

Seorang perajinnya bisa meraup omzet lebih dari Rp 10 juta per bulan.

Kaleng jelas bukan termasuk sampah yang mudah terurai oleh alam. Padahal, saban hari ada begitu banyak kaleng bekas, khususnya yang berasal dari minuman softdrink menyesaki tempat-tempat pembuangan sampah. Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada bumi kalau pembuangan kaleng bekas ini terus berlangsung.

Gifson Harianja pun menemukan cara unik memanfaatkan limbah kaleng-kaleng. Pria yang bermukim di Jatiwaringin, Bekasi, ini berhasil "menyulap" kaleng-kaleng bekas menjadi benda yang bernilai jual tinggi.

Awalnya dia melihat banyak kaleng bekas yang terbuang. "Saya berpikir kenapa tidak mencoba untuk merakit sebuah karya seni dari kaleng bekas itu," cerita Harianja.

Ia pun membawa kaleng-kaleng bekas ke tokonya. Sembari menunggui barang dagangan di tokonya, Harianja mengutak-atik kaleng yang dikumpulkan menjadi miniatur seorang pemulung. Tak disangka, tiba-tiba ada seorang yang melewati tokonya dan menawar hasil karyanya itu dengan harga Rp 25.000.

Sekarang, Harianja pun berkonsentrasi pada pembuatan miniatur dari kaleng bekas. Ia membuat miniatur vespa, patung tugu pancoran, motor Harley Davidson dan pesawat. Harga jualnya berkisar Rp 50.000 hingga Rp 150.000 per unit.

Selain miniatur single, Harianja juga merancang miniatur kehidupan, seperti seorang pemulung atau orang tua yang sedang berjualan. Meski terlihat lebih rumit, harga jual miniatur kehidupan ini cukup murah, yakni Rp 80.000 per unit.

Proses pengerjaan produk miniatur kaleng bekas pun cukup sederhana. Harianja hanya menggunakan tang dan gunting pada proses produksi. Dia sendiri yang berperan mendesain model berbagai karyanya.

Ia pun membatasi bahan bakunya hanya kaleng bekas minuman. "Karena kaleng lain, semisal bekas susu, terlalu tajam dan susah dibentuk," ujarnya.

Harianja mengaku tak kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku kaleng bekas. Pasalnya, ia mempunyai banyak teman yang membuka usaha kafe. Alhasil, suplai kaleng bekas pun diperolehnya dari teman-temannya itu.

Sebagai tambahan, sering pula Harianja membeli kaleng bekas dari para pemulung. Ia pun sering menjual potongan kaleng yang benar-benar tak terpakai kepada mereka.

Ia pun memilih tak mewarnai sebagian hasil karyanya, karena, menurut Harianja, proses pewarnaan justru akan menghilangkan kesan daur ulang. "Nanti orang justru menebak miniatur ini dari kayu," ujarnya.

Dalam sebulan, Harianja mampu menjual 40 miniatur. Omzetnya pun mencapai Rp 2 juta. "Orang yang suka bisa langsung membeli empat sampai lima buah," ujar Harianja.

Lantaran hasil karyanya yang cukup unik ini, ada beberapa sekolah yang memintanya menjadi guru kesenian. Namun, Harianja terpaksa menolak karena tak ingin kiosnya terbengkalai.

Omzet yang lebih besar bahkan diperoleh Kusnodin, perajin miniatur kain bekas lainnya yang berlokasi di Yogyakarta. Dalam sebulan, ia bisa meraup omzet lebih dari Rp 10 juta.

Berbeda dengan Harianja, Kusnodin memilih membentuk miniatur binatang, seperti belalang, merak, burung elang, dan lainnya. Di bawah bendera Karya Baru, Kusnodin memulai usaha ini sejak tahun 1987.

Miniatur buatan Kusnodin ini bahkan sudah menembus pasar ekspor. Maklum, ia mempunyai distributor seorang warga negara Australia. Dari tangan distributor inilah, produk miniatur kaleng bekas ini dikirim ke Australia, Jepang, dan Belanda. "Saya hanya memproduksi saja," ujarnya.

Selain menyediakan miniatur dalam warna kaleng, Kusnodin juga menyediakan miniatur yang telah dicat. Maklum, Kusnodin punya kegemaran melukis. "Ini untuk memenuhi selera konsumen yang belum tentu suka warna kaleng," ujarnya.

Tak heran, rentang harga miniatur produksi Karya Baru ini cukup lebar. Banderol harganya Rp 125.000 hingga Rp 10 juta per unit. "Selain dari ukuran, patokan harga juga tergantung tingkat kerumitan saat pembuatan," jelasnya.

Kusnodin pun memberi contoh, ia pun pernah mematok harga hingga jutaan rupiah saat menjual miniatur elang. Ia mengklaim, miniatur itu sangat mirip aslinya.

Untuk mengerjakan berbagai pesanan yang mampir ke bengkelnya, Kusnodin bisa memperkerjakan hingga 60 karyawan. Tetapi jumlah karyawan berubah-ubah, tergantung order. Ia pun mengandalkan para pekerja yang berasal dari tetangga kanan kiri di lokasi bengkelnya, di Magelang.

Selain mendapatkan keuntungan, baik Harianja maupun Kusnodin mengaku senang karena dapat berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan. Karena tidak semua pabrik dapat mengolah kembali kaleng-kaleng bekas, di sinilah perajin berperan memanfaatkan kaleng bekas.

Harianja pun optimistis akan masa depan usahanya. Pasalnya, walaupun di Indonesia banyak yang menjual miniatur, biasanya bahan yang digunakan adalah kayu atau plastik. Sementara, perajin yang menggunakan kaleng bekas sebagai bahan baku masih sedikit. (Dharmesta/Kontan)

Selengkapnya...

Dengan Barang Bekas Menembus Eropa

Monday, April 11, 2011

Usaha craftnya yang kolaps, tidak lantas membuat Roni Dwi Hartoyo, si pengusaha mebel recycle dari Pasuruan, Jawa Timur, putus asa.

"Dulunya sih saya (usaha) craft, akhirnya berkembang ke barang-barang yang seperti sekarang ini, yang bahan bakunya dari recycle," tutur Rony, pemilik usaha mebel dengan nama Sono Indah Perkasa, kepada Kompas.com, di Jakarta, Minggu ( 10/4/2011 ).

Usaha craftnya, yang membuat kerajinan-kerajinan kecil, seperti mobil-mobilan, hingga alat makan, kolaps karena peristiwa bom Bali. Mengingat usahanya waktu itu dipasarkan ke pulau yang bersebelahan dengan Jawa Timur ini.

Dalam waktu sekitar setengah tahun, ia beralih ke usaha mebel yang memanfaatkan barang-barang bekas, seperti bekas bantalan kereta api, kapal kayu, bongkaran rumah, hingga roda pedati yang tidak lagi terpakai.

"Keuntungannya, satu, kita memanfaatkan limbah, barang-barang bekas. Yang kedua, kalau ekspor itu kita lebih mudah, karena masuk negara-negara maju itu sangat ketat menerapkan ijin masuk kayu-kayu baru, karena ada kaitannya dengan illegal logging," tuturnya, sebagai jawaban mengapa menggunakan barang atau kayu bekas.

Dengan penggunaan barang bekas, selain ramah lingkungan, Roni menuturkan, ekspor pun lebih mudah masuk. Mulai tahun 2005 hingga saat ini, usaha mebel recycle Roni telah memasuki sejumlah negara Eropa, seperti Belgia dan Bulgaria, hingga Timur Tengah. Namun, seiring dengan gejolak ekonomi di Eropa hingga gejolak politik di Timur Tengah, maka ekspor pun mulai berkurang. "Sekarang ini ekspor mulai kita kurangi. Ternyata pasar lokal lebih bagus. Karena ekspor (ke) Eropa nggak seberapa. Ekonomi di sana lagi nggak sehat," sebutnya.

Selain negara-negara jauh tersebut, Roni juga memasarkan produknya ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Brunei. Meskipun tidak banyak, karena permintaan pasar yang menginginkan produk bagusa tapi murah. Namun demikian, ia tetap menomersatukan pasar domestik. "Pasar lokal kalau kita garap benar. Itu bagus," jelasnya, sembari menyebutkan, pasar luar Jawa, seperti Kalimantan, yang cukup potensial dengan hadirnya orang-orang kaya baru yang merupakan pengusaha sawit dan batu bara.

Kelebihan lain dari produknya, yaitu penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan untuk proses finishing. "Kita nggak pakai bahan-bahan seperti melamin. Itu nggak sehat, beracun,"sebutnya. Ia lebih memilih menggunakan wax yang waterbase.

Mengenai omzet, Roni menyebutkan pendapatan kotor dapat mencapai Rp 300-500 juta sebulannya. Namun, sebenarnya ini bukan yang membanggakan. "Yang membanggakan, kita menyerap banyak tenaga kerja, yang nyari-nyari atau hunting (barang bekas)," tuturnya. yang dapat mencapai 50 orang, untuk mencari barang bekas hingga ke Pulau Madura. Sedangkan karyawan tetapnya hanya berjumlah 35 orang.

Terkait dengan kendala dalam usahanya, ia pun menyebutkan, kalau berusaha modal seberapapun tidak menjadi masalah. "Modal apa adanya, kemampuan kita bisa eksis merupakan kebanggaan tersendiri," jelasnya, yang menyebutkan di situlah seninya menjadi pengusaha.

Sebagai cara untuk menarik konsumen, Roni pun berkreasi dalam setiap pameran yang diikutinya dengan produk barang yang selalu berbeda 40 persen dari pameran sebelumnya.

Selengkapnya...

Berkat Limbah Kayu Raup Puluhan Juta

Sunday, April 10, 2011

Bagi sebagian orang, kayu sisa bangunan hanya dianggap sampah tidak bermanfaat. Namun, tidak demikian bagi Yoga Suratmoko. Di tangannya, kayu bekas bangunan yang sudah tidak terpakai dapat berubah menjadi suatu hasil karya yang unik dan menarik serta memiliki nilai jual tinggi.

Berbekal dengan menggunakan sebuah alat yang bernama pisau penyot dan kayu putih sebagai bahan utama, Yoga Suratmoko dibantu temannya, yakni Yuni Tri Purwanto, berhasil menciptakan sebuah kerajinan tangan yang menarik dan membuat decak kagum bagi masyarakat yang melihatnya.

Awal mula Yoga menekuni kerajinan dari bahan baku kayu putih adalah pada saat dirinya bekerja di pabrik kayu lapis. Setiap hari ia melihat kayu lapis hasil olahan dibuang begitu saja. Dari situ, Yoga mulai berpikiran bagaimana caranya supaya kayu bekas tersebut tidak terbuang sia-sia. "Waktu bekerja di pabrik kayu itu, saya iseng membuat sesuatu dari kayu sisa. Setiap hari saat istirahat kerja, saya gunakan untuk membuat gantungan kunci. Tidak disangka teman saya tertarik dengan hasil itu," ceritanya.

Selang tidak lama, pabrik tempat ia bekerja mengalami kebangkrutan. Terpaksa suami dari Kuntiati ini harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Berbekal darah seni yang telah mengalir dalam dirinya, ia berinisiatif mengembangkan hasil karyanya yang terbuat dari kayu sisa bekas bangunan tersebut.

Setelah berhasil membuat olahan kayu menjadi gantungan kunci, ia terus berupaya lebih mengasah kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang lebih unik. Dirinya dibantu dengan beberapa teman yang tergabung dalam KUB Ampel Handycraft yang beralamat di Jalan Sunan Ampel 5 RT 03 RW 2, Kota Magelang, ini mencoba menciptakan kerajinan tangan yang berbentuk serangga. Ide tersebut ia peroleh dari lingkungan sekitar.

Pria asli Magelang ini akhirnya berhasil membuat miniature serangga dari kayu putih sisa bangunan yang sudah tidak terpakai. Waktu itu, kerajinan yang benar-benar hanya menggunakan tangan tersebut tidak langsung dijual di pasaran. "Jika ada teman yang tertarik membeli, ya kami langsung berikan," katanya yang diamini oleh temannya.

Mendapatkan sambutan positif, memicu pria kelahiran 22 April 1969 itu untuk terus mengasah keahlian yang dimiliki. Lambat laun, naluri seninya mampu terasah dengan baik. Terbuki dengan banyaknya hasil karya yang telah ia ciptakan. "Jika dihitung-hitung, ya sudah ada 200 lebih kerajinan yang sudah saya ciptakan selama lima tahun," katanya yang berharap suatu saat ingin membuka galeri sendiri itu.

Seiring dengan perkembangannya, Yoga dibantu dengan 10 temannya, yang juga merupakan warga Ganten, mulai mendapatkan pesanan setiap hari. "Jika saya lakukan sendiri pastinya tidak sanggup, makanya saya ajak Mas Yuni cs untuk membantu," ujarnya.

Saat ini ia bersama temannya mampu membuat kerajinan berupa burung elang, berbagai macam serangga, dan sosok cerita anak, salah satunya Hulk.

Hingga saat ini ia telah menerima pesanan dari berbagai kalangan. Omzet yang dihasilkan tiap bulan pun dapat berkisar hingga puluhan juta rupiah. Pasalnya, dalam membuat satu macam hasil karya berupa burung elang, dihargai sekitar Rp 3,5 juta. Sementara itu, untuk penyelesaiannya diperkirakan memakan waktu dua minggu. Untuk kerajinan berwujud naga sekitar Rp 4 juta.

Harga tersebut tergantung dari tingkat kesulitan saat membuat dan ukuran juga sangat memengaruhi nilai jualnya. "Ya alhamdulilah hasil penjualan dapat digunakan untuk beli rokok dan makan sehari-hari," candanya yang tidak mau menyebutkan secara pasti berapa pasti omzet yang didapat setiap bulan.

Selengkapnya...

Jeli Memetik Bisnis Sandal dari Limbah Kelapa

Friday, April 8, 2011

Kejelian menangkap bisnis kerap kali membuat orang sukses menjadi wirausahawan. Hal ini lah yang dialami oleh Unardi perajin sandal dari limbah tempurung kelapa asal Purbalingga, Jawa Tengah.

Unardi mengungkapkan, ide membuat sandal tempurung kelapa muncul begitu saja. Inspirasinya berawal saat melihat potongan sisa tempurung yang telah dibuat berbagai macam kerajinan. Daripada potongan tempurung kecil-kecil tidak dipakai, ia lantas dimanfaatkan dengan cara dirangkai secara vertikal dan direkatkan dengan rem.

”Kebanyakan pesanan sandal tempurung untuk souvenir. Selain itu juga sejumlah pedagang dari luar kota seperti dari Bali, Jakarta dan Bandung, memesan sandal tempurung dari kami,” kata Unardi, Jumat (08/04/2011).

Selama ini alas kaki sandal kebanyakan dibuat dari karet atau bahan plastik. Produk milik Unardi ini justru memiliki ciri khas tersendiri, sehingga tak heran sandal Made in Purbalingga ini laris manis di banyak kota di Tanah Air.

Sandal ini ternyata diminati konsumen dari luar kota seperti Jakarta, Bandung dan Bali. Sementara di penjualan lokal, tidak begitu banyak dikenal. Bisa jadi, sandal tempurung buatan Purbalingga ini justru tidak banyak diketahui jika orang berasal dari Purbalingga.

Unardi menuturkan meski berbahan dasar sebagian besar dari tempurung kelapa, namun bagian alas sandal tetap menggunakan bahan karet atau plastik, sesuai selera konsumen. Sementara bagian pengikat kaki, juga sama dengan sandal lainnya. Tempurung hanya digunakan pada pelapis alas sandal.

Harga sepasang sandal ini juga tidak begitu mahal, cukup merogoh Rp 25.000, anda sudah bisa membawa pulang sepasang sandal unik ini. Harga itu berlaku untuk jenis sandal ukuran apa saja.

”Kami juga terus didorong oleh Disperindagkop Kabupaten Purbalingga untuk terus membuat produk-produk yang unik dan belum ada di masyarakat. Seperti sandal tempurung, juga meja tempurung, tempat tisue, kap lampu, asbak, tempat minuman dan sejumlah produk lainnya,” katanya.

Ketua kelompok pengrajin tempurung 'Manunggal Karya' Sutrisno mengatakan kini ia memiliki 42 orang anggota. Setidaknya ada 34 macam hasil kerajinan yang diproduksi dan dijual ke pasaran di sejumlah kota besar.

Hasil kerajinan ini sebagian besar untuk keperluan rumah tangga seperti irus, centong, sendok kayu kelapa, piring kayu, ciri dan penghalus sambal, jam tempurung dan sebagainya. Bahan dasar yang digunakan selain limbah tempurung, juga potongan kayu kelapa (glugu), dan potongan kayu melinjo.

”Kami secara terus menerus mendapat dukungan promosi dari Pemerintah Kababupaten Purbalingga melalui Disperindagkop Kabupaten Purbalingga, dan juga melalui Bank Jateng,” kata Sutrisno.

Unardi
Kelurahan Purbalingga Wetan, Kecamatan Purbalingga,
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
(hen/hen)
Selengkapnya...

Susu Membawa Aceng ke Mekkah

Friday, April 1, 2011

Ketekunan membawa Aceng (60), peternak sapi perah di Kampung Pajaten, Kelurahan Taruma Jaya, Kecamatan Kertasari, Bandung Selatan, naik haji ke Mekkah. Sedikit demi sedikit uang hasil perahan susu dikumpulkan hingga cukup membawa ia dan istrinya, Dedeh (59), ke Tanah Suci.

Pada 30 tahun silam, Aceng masih memiliki dua ekor anakan sapi. Satu sapi dia dapat dari hasil mengurus sapi milik orang lain. Ia dibayar dengan anakan ketika sapi yang dia urus melahirkan. Saat itu, Aceng mengurus sapi sambil bekerja di PT Perkebunan Nusantara VIII.

"Terus saya keluar dari perkebunan. Waktu itu beli anakan lagi pake uang hasil tabungan selama kerja di perkebunan," ucap Aceng ketika berbincang-bincang dengan Kompas.com di rumahnya.

Dua anakan itu lalu dia urus hingga dapat diperah dan beranak pinak. Berbeda dengan mayoritas peternak lain yang langsung menjual anakan, Aceng memilih memelihara anakan hingga dewasa. Kini, ayah empat anak itu memiliki tujuh ekor sapi, lima di antaranya sudah dapat diperah.

Untuk diketahui, mayoritas peternak mengeluhkan sulitnya bertahan hidup hanya dengan memerah sapi. Rata-rata, setiap peternak hanya memiliki dua hingga tiga ekor sapi perah. "Mereka enggak telaten. Ada anakan langsung dijual. Padahal, kalau sudah punya lima sapi cukup buat hidup, bahkan bisa naik haji," terang dia.

Dengan lima ekor sapinya, Aceng mendapat keuntungan bersih sekitar Rp 3,5 juta per bulan. "Dulu saya ingin sekali naik haji. Terus sedikit-sedikit saya kumpul uangnya sampai Rp 76 juta buat naik haji sama istri. Terus saya berangkat tahun 2008," paparnya.

Biogas

Dari ratusan peternak sapi perah di kampung penghasil susu perah itu, hanya Aceng yang masih mempertahankan menggunakan biogas. Setiap hari, Aceng membuang semua kotoran sapinya seberat 100 kg ke lubang penampungan di sekitar rumahnya. Kotoran itu lalu menghasilkan gas yang digunakan untuk bahan bakar memasak.

Awalnya, biogas berukuran 4 x 4 meter hasil bantuan pemerintah tiga tahun lalu itu digunakan untuk 10 keluarga. "Tapi, lama-kelamaan mereka enggak mau masukin kotorannya. Langsung disiram aja terus ke sungai (Citarum). Sekarang cuma saya aja yang pake gas itu. Yang lain beli gas," katanya.

Selengkapnya...