Followers

Google
 

Nasrudin, Bapak Lele Sangkuriang

Monday, December 21, 2009

Kecebong, anak kodok, muncul di kolam, membuat Nasrudin gembira karena dia mengira kecebong itu anak ikan lele. Kegembiraannya itu sirna dan dia tersipu malu ketika diberi tahu bahwa yang dikira anak ikan lele itu adalah kecebong. Kodok betina yang masuk ke kolam tanpa diketahui, bertelur dan menetas bersama dua indukan ikan lele betina dan seekor jantan.



Itu pengalaman pertama Nasrudin (61) sejak delapan tahun lalu saat belajar beternak ikan lele.

”Kecebong disangka anak lele. Ngerakeun pisan (sangat memalukan),” kata Nasrudin, menuturkan awal usahanya menjadi peternak ikan lele delapan tahun lalu, di Saung Pertemuan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Jaya Sentosa, awal November lalu. Saung itu berdiri di tepi puluhan kolam ikan lele yang terbuat dari terpal dan tembok di lahan seluas 12.000 meter persegi di Kampung Sukabirus, Desa Gadog, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Kini, dia tak lagi dipermalukan atas ketidaktahuannya. Nasrudin sudah tersohor berkat lele sangkuriang yang mulai dikembangbiakkan pada 2001. Dia mengawali usaha beternak lele dengan benih sekitar 100.000 lele sangkuriang yang diperoleh dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Nama sangkuriang yang diberikan itu memang diambil dari legenda Tanah Pasundan untuk menandakan lokasi asal pembiakan lele jenis tersebut.

Lele sangkuriang ini merupakan perbaikan genetik melalui silang balik antara induk betina lele dumbo generasi kedua (F2) dan jantan lele dumbo generasi keenam (F6). Induk betina (F2) berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi ke Indonesia pada 1985.

Petugas penyuluh pertanian dan perikanan setempat memberikan bimbingan beternak ikan secara benar. Berkat ketekunannya, Nasrudin berhasil mengembangkan ikan lele sangkuriang.

Dia kini sudah menjadi ”pendekar lele”, bukan saja mahir dalam membesarkan lele dengan jurus-jurus yang jitu, tetapi juga mampu mengobati lele yang diserang penyakit, seperti radang kulit, dengan obat herbal ramuannya sendiri. Obat ini diberikan cuma-cuma kepada yang memerlukan.

”Letkol”

Sejak 2005, dia menjadi pelatih bagi kelompok dari sejumlah daerah, termasuk sejumlah karyawan perusahaan swasta dan pemerintah menjelang pensiun yang ingin beternak lele. Namanya pun sohor menjadi ”Nasrudin Lele” dari Desa Gadog. Bahkan, kalangan pembudidaya lele dan warga setempat menjuluki Nasrudin dengan sebutan Bapak Letkol—akronim dari Lele Kolam yang dipelesetkan menjadi Letkol—sehingga dia kemudian disebut ”Letkol” Nasrudin.

Petani lele sangkuriang dari Desa Gadog ini kini lebih jauh berangan-angan membantu pemerintah mengurangi angka pengangguran dengan memelihara lele. ”Budidaya lele tidak terlalu sulit, teknologinya juga mudah dan tiga bulan sudah bisa dipanen. Masyarakat kecil bisa membudidayakan lele di halaman rumahnya. Cukup dengan lahan minim, hanya dengan luas 1 meter x 1 meter, serta modal Rp 75.000 untuk bibit dan pakan, sudah bisa beternak lele skala kecil,” kata Nasrudin.

Dia tak segan-segan membagi pengetahuan memelihara lele secara benar kepada mereka yang ingin membudidayakan lele. Dia juga siap membantu mereka yang datang menimba ilmu di P4S Gadog tanpa dipungut biaya.

Sejumlah petugas penyuluh pertanian dan perikanan serta pakar perikanan pun mendukung kegiatan Nasrudin membudidayakan lele sangkuriang dan melakukan pelatihan. Dukungan ini membuat Nasrudin bersemangat dan bertambah yakin akan angan-angannya untuk menjadikan Desa Gadog sebagai sentra budidaya lele sangkuriang.

Bahkan, 7 September lalu, Nasrudin diangkat menjadi Ketua Gabungan Kelompok (Gapok) Budidaya Ikan Lele Sangkuriang ”Cahaya Kita” untuk wilayah tengah Provinsi Jabar dengan pusat aktivitas di wilayah Kabupaten/Kota Bogor.

1,5 juta benih

Nasrudin yang puluhan tahun sebagai petani padi dan kemudian beralih menjadi pembudidaya lele ini, bersama kelompok pembenih lele sangkuriang yang tergabung dalam Gapok Cahaya Kita, ingin memproduksi sekitar 1,5 juta benih lele sangkuriang setiap bulan untuk memasok anggota kelompok budidaya lele sangkuriang yang saat ini berjumlah sekitar 50 orang.

Dengan produksi benih sebanyak itu, kelompok budidaya/pembesar ikan lele sangkuriang diharapkan mampu memenuhi sebagian kebutuhan lele di wilayah Jakarta. Adapun kebutuhan lele di wilayah Jabotabek diperkirakan sekitar 75 ton sehari. Pemasoknya bukan saja berasal dari petani lele Jabar, tetapi juga dari Jawa Tengah.

”Saat ini boro-boro memasok ke Jakarta, untuk memenuhi kebutuhan konsumen di wilayah Kota/Kabupaten Bogor saja kekurangan. Kami peternak lele sangkuriang di daerah Gadog dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, baru mampu memproduksi sekitar 3 ton per hari dari kebutuhan sekitar 10 ton,” kata ”Letkol” Nasarudin. Dari kolamnya sendiri, Nasrudin baru mampu memasok sekitar 2 ton per minggu kepada pelanggannya. Lele sangkuriang dijual Rp 10.500-Rp 11.000 per kilogram.

Masa depan budidaya lele cukup cerah. Apalagi, menurut Muhamad Abduh Nur Hidayat, anggota staf Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, ikan lele akan dijadikan komoditas ketahanan pangan. Konsepnya kini sedang disiapkan. Ikan lele saat ini sudah digemari oleh kalangan bawah sampai atas. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sempat mempromosikannya dengan menikmati ikan lele di kampung lele Boyolali, Jateng, tahun 2007.

Andil pedagang tenda pecel lele di Jabotabek dan daerah lainnya cukup besar dalam meningkatkan produksi ikan lele. ”Sekarang lele juga dijual di restoran, bahkan sampai ke daerah Kalimantan Barat yang dulu tak suka ikan lele,” kata Muhamad Abduh Nur Hidayat, penasihat Gapok Cahaya Kita.

Lele sangkuriang yang dirilis sebagai varietas unggul oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri pada 2004 ini lebih cepat dipanen dibandingkan jenis ikan lainnya dan tahan penyakit. Ukurannya lebih besar dibandingkan lele jenis lain. Dua bulan sudah bisa dipanen. Rasa dagingnya juga lebih gurih dibandingkan lele jenis lain. ”Karena itu, tak heran kalau lele sangkuriang disukai konsumen,” kata ”Letkol” Nasrudin.

Editor: Edj
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Mencicipi Laba Garing Rengginang Singkong

Sunday, December 20, 2009

Mencicipi rengginang dari beras ketan sudah biasa. Banyak orang Indonesia yang pernah merasakan gurihnya cemilan mirip kerupuk ini. Tapi, belum banyak orang yang pernah mencicip rengginang dari singkong.

Adalah Kristianingsih, pengusaha cemilan asal Bojonegoro, yang memopulerkan rengginang berbahan baku singkong ini. Walaupun begitu, bentuk dan rasa rengginang buatan wanita yang akrab disapa Kristin ini tidak berbeda dengan rengginang dari beras ketan.

Kristin menuturkan, ide membuat rengginang dari singkong timbul setelah melihat produksi singkong yang melimpah di Bojonegoro. Saking melimpahnya, banyak singkong yang lantas terbuang begitu saja. Petani pun kerap mengobral singkong mereka saat panen. Kala itu, harga satu kg singkong cuma Rp 200.

Kristin lantas mencoba memanfaatkan singkong tersebut. “Saya coba bikin jadi rengginang, sebab rengginang makanan khas di daerah kami,” kisahnya.

Namun, ternyata membuat rengginang dari singkong tidak mudah. Setelah tiga bulan, Kristin baru berhasil menemukan racikan dan cara mengolah yang tepat. Setelah itu, sejak lima tahun lalu, Kristin mulai berbisnis rengginang singkong di bawah bendera UD Gading.

Ternyata, bisnis Kristin berkembang pesat. Saat ini, dibantu 16 pekerjanya, Kristin bisa mengolah tiga kuintal singkong menjadi sekitar satu kuintal rengginang. Dalam sebulan, biasanya ia bisa membuat sekitar 25 kuintal rengginang.

Kristin melego rengginang bikinannya seharga Rp 10.000 per kilogram untuk rengginang mentah, dan Rp 25.000 per kilogram untuk rengginang goreng. Padahal, Kristin memperoleh singkong dengan harga murah.

Kristin membeli bahan baku singkong dari sekitar Bojonegoro seharga Rp 600–Rp 700 per kilogram. Tapi, saat di daerahnya sedang tidak panen singkong, dia harus menambah pasokan dari Tuban. Untuk itu, ia harus merogoh kocek hingga Rp 1.000–Rp 1.300 per kg. Dari bisnis ini, Kristin mengaku bisa mendapatkan margin laba cukup besar, yakni sekitar 30 persen-35 persen.

Tambah lagi, rengginang singkong Kristin terhitung laris manis. Padahal, menurutnya, tidak ada yang istimewa dengan cara pengolahannya. Kristin mengaku hanya memakai garam dan bawang untuk memunculkan aroma dan rasa. Ia juga membuat rengginang dengan rasa terasi dan rasa manis. Agar muncul rasa manis, ia menambahkan gula merah dalam adonan.

Renggiang singkong terutama laris menjelang hari raya dan libur panjang. Selain menjual sendiri renggiang singkong, Kristin juga memasarkan produknya di Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Malang, dan Semarang.

Kristin juga rajin memperluas pasar, misalnya dengan mengikuti pameran. Hasilnya, permintaan dari daerah berdatangan. Misalnya dari Jakarta, Kalimantan, dan Ambon.
(Dupla Kartini/Kontan)


Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Zamzami, Sukses Bisnis Gaplek Zebra

Saturday, December 19, 2009

Ahmad Zamzami (23) adalah anak petani Desa Bangunrejo, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Usaha bisnis gaplek zebra miliknya mampu menyerap 200 tenaga kerja lokal yang rata-rata adalah penganggur dan buruh tani.

Gaplek zebra Zamzami telah menembus pasar Singapura melalui sebuah perusahaan di Surabaya. Gaplek yang terbuat dari ketela pohon (Manihot utilissima) kering itu juga telah menjadi langganan dua koperasi pakan ternak di Rembang.

”Saya memasarkan gaplek pada sebuah perusahaan pengekspor di Surabaya sebanyak 50 kilogram per bulan dan dua koperasi pakan ternak di Rembang masing-masing 100 kg per bulan,” tutur Zamzami.

Setiap bulan, Zamzami mampu menghasilkan 200 ton ketela pohon, bahan baku gaplek. Ketela pohon sebanyak itu dapat menjadi gaplek sekitar 150 ton per bulan karena ada bagian-bagian tertentu dari ketela pohon yang dibuang.

Kegundahan hati


Saat ini, harga gaplek Rp 900 per kilogram. Omzet dari pemuda yang masih di semester III di Fakultas Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YPPI Rembang itu mencapai Rp 135 juta per bulan.

Capaian Zamzami itu tidak terlepas dari filosofi hidupnya, menyat sekang turu atau bangkit dari tidur. Manusia harus berusaha segiat mungkin tidak sekadar bermimpi dan jeli mencari celah-celah usaha.

Filosofi itu pun dia ungkapkan dalam sebuah proposal ajakan kerja sama yang ditujukan kepada Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kebunharjo Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Lebih kurang, Zamzami menuliskan begini, ”Memijakkan kaki di lahan yang tidur untuk menggugah pola pikir masyarakat yang tidur.”

Zamzami memulai bisnisnya dari tiga kegundahan hatinya. Pertama, dia khawatir setelah lulus kuliah menganggur. Kedua, di desanya terlalu banyak lahan kosong yang belum dimanfaatkan. Ketiga, di desanya banyak penganggur dan buruh tani yang membutuhkan penghasilan lain saat tidak menggarap lahan.

Bersamaan dengan itu, gerakan penanaman ketela pohon sebagai bahan baku bioetanol sedang gencar di Kabupaten Pati dan Rembang. Bahkan, ada rencana membangun pabrik mini pengolahan bioetanol.

”Saya menganggap itu sebagai peluang mengembangkan usaha. Waktu itu, saya ingin memanfaatkan lahan kosong Perhutani untuk ditanami ketela pohon,” ujar Zamzami.

Zamzami menceritakan kegundahan, keinginan, dan impian itu kepada orangtuanya, Yahya (45) dan Fasiah (40). Orangtua Zamzami pun mendukung. Mereka bahkan memberikan modal dengan menjual tanah keluarga senilai Rp 100 juta.

”Ayah saya juga memberikan nasihat hidup yang selalu terngiang. Yen kerjo, aja nganti kowe ngawula wong. Luwih becik usaha dhewe bathi sithik ning dhuweke dhewe (kalau kerja jangan sampai ikut orang. Lebih baik usaha sendiri meski untungnya sedikit itu hasil jerih payah sendiri),” kata Zamzami.

Dengan mengajak sejumlah rekan lain agar ikut menambah modal, Zamzami membuka tempat usaha, Wana Jati Utama Sejahtera. Dengan modal yang terkumpul Rp 225 juta, usaha pun bergulir.

Manfaatkan modal


Zamzami memanfaatkan modal untuk menyewa lahan tidur Perhutani seluas 70 hektar selama dua kali musim tanam. Per hektar lahan, Zamzami harus membayar Rp 200.000.

Setelah membersihkan dan mengolah tanah lahan tidur itu, Zamzami menanam ribuan stek ketela pohon. Dalam delapan bulan, Zamzami mampu memanen sekitar 18 ton ketela pohon per hektar lahan. Dia memperkirakan, dengan lahan 70 hektar, ketela pohon yang dipanen mencapai 1.260 ton.

Melalui usaha itu, Zamzami mampu merangkul sekitar 200 tenaga kerja lokal. Mereka itu para pemuda desa yang menganggur, para istri buruh tani, dan buruh tani yang ingin mencari tambahan penghasilan. Perempuan mendapat upah Rp 17.500 per hari, sedangkan lelaki Rp 20.000-Rp 25.000 per hari.

”Mereka bekerja secara bergantian, mulai dari babat hutan, menanam, merawat tanaman, memanen, merajang ketela, mengeringkan, hingga mengepak gaplek,” kata Zamzami.

Namun, saat mendekati masa panen ketela pohon, kabar mengenai pembangunan pabrik bioetanol semakin kabur. Zamzami bahkan mendengar langsung, pabrik itu tidak jadi didirikan. Akibatnya, sejumlah petani penanam ketela pohon kelimpungan menjual panenan.

Harga ketela pohon pun jatuh drastis, dari Rp 900 per kg menjadi Rp 300 per kg. Lantaran tidak mau merugi, Zamzami berupaya mencari pasar lain penampung hasil panen ketela pohon.

”Akhirnya, saya memilih menjadikan panen ketela pohon itu sebagai gaplek karena tren pasarnya sedang naik. Harganya pun relatif bagus. Harga gaplek Rp 900 per kg,” ujar Zamzami.

Zamzami pun sukses dengan berbisnis gaplek. Produknya bahkan diekspor ke luar negeri.

Editor: msh
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Peluang Bisnis Monster Fish

Saturday, December 12, 2009

Ikan jenis monster fish merupakan ikan langka yang unik dan belum populer di pasaran. Hampir seluruh monster fish yang ada di Indonesia diimpor dari negara lain terutama negara-negara Afrika atau Amerika Selatan. Hal itulah yang menjadi kendala dalam mengembangkan bisnis monster fish. Demikian yang dituturkan hobiis monster fish yang juga pebisnis monster fish, Hanung dan Kamil saat pameran ikan hias, reptil, dan tanaman, Indonesian Pets Plants Aquatic Expo 2009 yang di gelar di WTC Mangga Dua Jakarta, Sabtu (12/12/2009).

"Masih awam banget ya, banyak yang belum tau, kayak tadi, sering orang bilang ikan kita (monster fish) ikan lele, padahal kan bukan," ujar Hanung.

"Ya nggak banyak ya pedangang yang main ikan monster fish kayak gini. Resikonya gede, biaya impor, ongkos masuk," kata Kamil menambahkan.

Menurut Hanung, tantangan terbesar dalam berbisnis monster fish adalah bagaimana menyosialisasikan kepada masyarakat tentang keberadaannya sebagai ikan yang patut diminati.

"Tantangan terbesar membuat masyarakat tahu terhadap ikan ini, kenapa bisa mahal, kenapa bisa langka," ujarnya.

Tantangan lainnya, menurut Hanung adalah mengembangbiakkan monster fish yang cukup sulit dilakukan mengingat sebagian besar ikan ini habitat aslinya bukan di Indonesia. Untuk menyiasatinya, Hanung biasanya melakukan riset keadaan air di habitat asli monster fish seperti suhu asli dan kadar keasaman air terlebih dahulu, untuk kemudian membuat habitat tiruan yang hampir mirip habitat asli.

"Kan masih impor, butuh adaptasi dengan lingkungan lokalnya. Tantangannya bagaimana mengembangkan satu jenis. Biasanya kita riset bagaimana rata-rata suhu di Amazon, keasamannya, kita tiru. Nggak mungkin sama persis sih," ujar Hanung.

Ikan golongan monster fish juga bisa terkena penyakit yang tidak umum, berbeda dengan ikan ternakan. "Karena ikan tangkepan alam, banyak penyakit yang nggak umum kayak ikan ternak biasa. Misalnya penyakit pencernaan. Awalnya gak kelihatan, oh ikan ini sehat. Mungkin gara-gara di tempat penampungan sebelum impor tidak dikasih makan, atau makanannya gak cocok," kata Hanung.

Meskipun banyak tantangannya, bisnis monster fish termasuk bisnis yang menjanjikan. Namun membutuhkan waktu relatif lama untuk sukses, tidak bisa hanya dalam setahun sampai dua tahun. "Bisa dibilang menjanjikan tapi nggak bisa dalam setahun, dua tahun. Harus banyak sosialisasi," imbuh Hanung. Monster fish adalah salah satu golongan ikan hias yang dipamerkan di pameran ikan hias,reptil, dan tanaman, Indonesian Pets Plants Aquatic Expo yang berlangsung 5-13 Desember di WTC Mangga Dua Jakarta.
Editor: wsn
Selengkapnya...

Budidaya Ikan Neon Tetra Masih Menjanjikan

Friday, December 11, 2009

Para pembudidaya (breeder) ikan hias Neon Tetra mengaku kewalahan menghadapi permintaan ekspor. Aditya Satya, salah satu breeder di Sawangan, Depok, Jawa Barat, mengatakan permintaan dari eksportir akan ikan Neon Tetra itu dua juta ekor per bulan. "Namun, koperasi kami hanya mampu memproduksi satu juta ekor per bulan," kata Aditya kepada KONTAN.

Pasar ekspor ikan bernama latin Paracheirodon innesi ini terbuka di Singapura, Amerika Serikat, dan Eropa. Selain sebagai ikan hias, di Eropa, ikan Neon Tetra ini diambil zat warnanya untuk bahan kosmetika. Peluang bisnis semakin manis lantaran baru Indonesia dan China yang berhasil membenihkan neon tetra.

Aditya mengatakan anakan ikan berukuran 0,8 cm yang berusia 40 hari dihargai Rp 150 per ekor. Sedang harga neon tetra berukuran 3 cm mencapai Rp 600 per ekor. Kapasitas breeding neon tetra milik Aditya berkisar 120.000-200.000 ekor sebulan.

Aditya mengaku sudah 10 tahun membudidayakan neon tetra. Dia tertarik ikan ini karena permintaannya tak pernah surut. Sejak awal budidaya sampai sekarang, harga ikan ini juga stabil. "Kalau harga ikan kardinal tetra itu bisa naik turun berkali-kali lipat," ujarnya.
(Dupla Kartini/Kontan)


Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Bisnis Ikan Hias, Jalan Panjang Menjemput Impian

Pertengahan Oktober 2009. Keheningan di gedung raiser ikan hias di Cibinong, Jawa Barat. Gedung yang terletak di Jalan Raya Bogor Kilometer 47 itu memiliki tiga gedung raiser ikan. Di beberapa kolam berukuran besar dan akuarium terlihat sekawanan ikan bergerak lincah. Sebagian kolam lainnya dibiarkan kosong dan kering.

Lima tahun telah berlalu sejak kawasan pusat pengembangan dan pemasaran (raiser) ikan hias itu diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 14 Maret 2004. Kini gedung di antaranya sedang ditutup.

”Pekan ini, tidak banyak ikan yang masuk. Sebagian ikan dipasok dari Jabodetabek dan Jawa,” ujar Ari, petugas raiser.

Saat itu, ada 35 jenis ikan hias yang ditampung dalam kolam. Harga ikan koi (Cyrpinus carpio) berusia enam bulan, misalnya dijual Rp 20.000 per ekor. Ikan koi berumur 1,5 tahun dijual Rp 150.000 per ekor.

Raiser Ikan Hias Cibinong merupakan proyek percontohan yang didirikan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Raiser seluas 17,6 hektar itu menghabiskan Rp 30 miliar.

Kawasan itu dilengkapi karantina dan laboratorium untuk ekspor serta gedung pameran. Namun, bagai tak berpenghuni, kawasan itu nyaris sepi aktivitas. Setiap tahun pameran ikan hias rata-rata hanya digelar dua kali, selebihnya kosong.

Penanggung Jawab Raiser Saut Hutagalung menuturkan, cita-cita pendirian raiser ikan hias adalah mengintegrasikan pelayanan administrasi ekspor ikan hias, seperti di Singapura, sekaligus sarana promosi, pameran, dan kontes.

Sayangnya, harapan itu hingga kini belum terwujud. Fasilitas laboratorium untuk pembiakan dan riset belum optimal. Jumlah petugas yang mengelola kawasan raiser juga hanya tiga orang.

”Sekarang ini, raiser belum sampai ke situ (tujuan). Kami masih dalam tahap mempertemukan dan menyamakan persepsi dari kalangan pengusaha,” ujar Saut.

Hambatan pemasaran ikan hias juga dipicu oleh ketiadaan regulasi ekspor ikan hias untuk mengatur standar komoditas layak ekspor, yakni mencakup ukuran, kualitas, dan warna ikan hias. Di samping itu, regulasi perlu untuk mendorong pemasaran ikan hias hasil budidaya serta menekan penjualan ikan hias hasil tangkapan di alam.

Tahun ini, pemerintah menjajaki pembentukan komisi ikan hias, terdiri dari peneliti, pembudidaya, dan eksportir. Komisi itu untuk menopang kebijakan ikan hias, termasuk pengelolaan raiser. Menjelang akhir tahun 2009, komisi belum terbentuk kendati dana untuk komisi telah dianggarkan Rp 175 juta.

Pelaksana Harian Raiser Cibinong Azmir Nida mengungkapkan sulitnya koordinasi antara pemerintah, asosiasi, dan pelaku usaha. Padahal, diperlukan kelembagaan yang tegas untuk mengelola raiser dan menyusun regulasi mengontrol ekspor ikan hias. ”Tanpa kelembagaan, raiser nyaris tidak bisa bergerak,” tutur Azmir.

Sebelah mata

Tersendatnya pengelolaan ikan hias patut disayangkan di negeri yang punya kekayaan ragam ikan hias. Dengan panjang pantai 95.181 kilometer, Indonesia layak disebut sebagai ”surga” keragaman ikan hias.

Perairan Indonesia menyimpan 4.500 jenis ikan hias air tawar dan laut. Yang efektif diperdagangkan sekitar 100 jenis.

Beberapa komoditas ikan hias air tawar asli Indonesia menjadi primadona internasional, seperti arwana (Scleropages formosus sp), khususnya super red arwana; ikan botia (Chromobotia macracanthus Bleeker); serta ikan cupang jenis serip (crown tail). Belum lagi, ikan hias air laut, seperti ikan badut atau clown fish (amphiprion ocellaris).

Meski demikian, kontribusi perdagangan ikan hias Indonesia di kancah global hanya 7,5 persen. Adapun Singapura 22,8 persen dari total perdagangan ikan hias global. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2006 merilis, sekitar 90 persen dari kebutuhan ikan hias di Singapura itu dipasok oleh Indonesia.

Herman Oei, eksportir ikan hias PT Asher Primatama Lestari, mengungkapkan, ikan hias asal Indonesia yang ditampung Singapura umumnya direkondisi. ”Singapura bisa berkembang pesat dalam bisnis ikan hias karena memiliki standardisasi warna, ukuran, dan kualitas. Ikan yang diekspor memiliki mutu yang baik,” ujar Herman beberapa waktu lalu.

Kondisi itu berbanding terbalik dengan Indonesia yang sampai saat ini belum memiliki barometer kualitas ikan hias. Terlebih, peralatan dan tenaga pakar minim. Ikan hias yang dihasilkan umumnya langsung dijual tanpa seleksi tertentu.

Demikian pula, hampir tidak ada ajang pameran ikan hias berskala internasional. Padahal, kontes dan pameran merupakan sarana ampuh, baik untuk memperkenalkan dan memasarkan produk maupun bertukar pikiran dan informasi di kalangan penghobi ikan hias.

HM Zen, pembudidaya ikan hias discuss (Symphysodon discus), mengungkapkan, ketertinggalan sarana promosi di Tanah Air membuat para eksportir terpaksa mengandalkan pameran ikan hias di negeri tetangga untuk menjual produk.

Dengan segenap potensi yang ada, rasanya tak berlebihan jika bermimpi negeri bahari ini mencapai kedigdayaan di sektor ikan hias. Guna menjemput impian itu, dibutuhkan kemauan dan kerja keras. Siapkah kita? (BM Lukita Grahadyarini)
Editor: jimbon
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Dengan Gedebok Pisang Punya 100 Karyawan

Monday, December 7, 2009

Berkah pohon pisang tidak hanya buah atau daunnya. Tukimin (49) membuktikan bahwa dengan sentuhan kreativitas, gedebok pisang juga bisa menghasilkan sejumlah pemasukan dalam rupiah dengan menjadikannya kerajinan tangan yang digandrungi masyarakat internasional.


Tinggal di lingkungan pedesaan membuat Tukimin akrab dengan alam sejak kanak-kanak. Ia yakin, alam menyediakan segala macam kebutuhan manusia untuk menyambung hidup.

Ia pun berang dengan manusia yang menyia-nyiakan berkah alam. ”Di sekitar rumah saya banyak orang membuang gedebok (batang) pisang setelah memanen buahnya. Menurut saya, limbah batang itu pasti bisa dimanfaatkan,” katanya, Senin, 5 Oktober 2009.

Kendati sudah menekuni profesi sebagai penganyam serat alam sejak tahun 1996, Tukimin yang menetap di Dusun Tanggulangin, Tanjungharjo, Nanggulan, Kulon Progo, itu belum dapat mewujudkan pikirannya. Pemilik CV Indo Seagrass itu sibuk menangani pesanan kerajinan anyaman serat pandan dan agel (gebang) yang sedang booming pascakrisis ekonomi.

Tukimin menjadi lebih sibuk setelah terpilih sebagai Kepala Desa Tanjungharjo sejak 2003. Akhirnya baru pada tahun 2008 pria lulusan SMA itu baru bisa mengolah limbah gedebok pisang karena sebagian program kerjanya sebagai lurah sudah terlaksana. ”Saya beralih ke bahan gedebok pisang agar beda dari perajin lain. Kalau saya tetap menganyam agel dan pandan, usaha saya tak akan berjalan karena banyak saingan,” ungkap Tukimin.

Selain itu, serat batang pisang juga memiliki tekstur yang berbeda dibanding serat alam lain. Serat gedebok lebih kuat, tetapi tetap halus dan empuk. Semakin muda usia batang pisang yang digunakan, semakin halus tekstur anyaman. Mengolah gedebok pisang sesungguhnya tak sulit. Bilah-bilah batang tersebut hanya perlu dikeringkan dengan cara dijemur 10 hari. Dalam proses pengeringan, Tukimin tidak menggunakan oven karena akan merapuhkan serat, yang membuat mudah patah saat dipilin.

Hasil pilinan serat gedebok pisang kemudian dianyam atau dijalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan produk kerajinan, seperti tas, keranjang, dan furnitur rumah tangga. Agar kuat, anyaman serat dilem dan diikat dengan benang kasur. ”Tampilan serat gedebok pisang umumnya kusam sehingga untuk mencerahkannya saya menggunakan cat pernis berbahan dasar air dan sudah memenuhi standar keamanan internasional,” katanya.

Melalui distributor yang kerap memasok kerajinan anyaman di Nanggulan, Tukimin mempromosikan produknya. Tidak disangka, animo pembeli, khususnya luar negeri, begitu besar. Kerajinan buatan Tukimin laku keras di Spanyol, Hongkong, dan Jepang. Jumlah pesanan pun terus naik. Jika tahun-tahun sebelumnya Tukimin hanya membuat 10.000 hingga 20.000 produk anyaman setiap bulan, kini ia sanggup menghasilkan 100.000 produk, khusus dari bahan serat batang pisang.

Jumlah pegawai yang awalnya hanya 20 orang dirasa tidak lagi mencukupi. Kini, Tukimin mempekerjakan 50 pegawai. Itu belum termasuk jumlah pekerja tidak tetap sehingga totalnya bisa mencapai 100-an orang. Selain mempekerjakan pemuda-pemuda lokal, Tukimin juga menampung tenaga kerja dari kabupaten lain, seperti Bantul dan Gunung Kidul. Tukimin mengatakan, gaji pegawainya hampir setara dengan upah minimum regional DIY, yakni Rp 500.000 per bulan.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, Tukimin tidak bisa lagi mengandalkan suplai gedebok pisang lokal, tetapi didatangkan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jumlahnya mencapai lima ton. Satu kilogram gedebok pisang kering dibelinya dengan harga Rp 6.000 hingga Rp 12.000. Harga kerajinan beragam, mulai ribuan hingga jutaan rupiah, bergantung pada desain dan ukuran produk. Ia sengaja memasang harga dalam rupiah karena lebih tahan terhadap dampak krisis ekonomi. Terbukti pada krisis keuangan global pada akhir tahun lalu usaha kerajinan Tukimin tetap langgeng.

Untuk mempermudah transaksi dan komunikasi dengan pembeli, kini Tukimin juga sudah memanfaatkan sarana internet dengan berkirim surat elektronik (e-mail). Ia merasa belum siap untuk membuat situs internet sendiri karena masih gagap teknologi.

Rata-rata omzet CV Indo Seagrass di atas Rp 100 juta per bulan dengan batas keuntungan 20 persen. Tukimin tidak menikmati keuntungan itu sendiri, melainkan ia membagi kepada para perajin lain dalam wujud pelatihan usaha. ”Saya tidak mau pelit berbagi ilmu. Penjiplakan desain atau peniruan ide adalah hal biasa dalam usaha. Hal itu justru terus memicu saya agar tetap kreatif dan tampil beda,” ujarnya.

Kepala Tukimin memang dipenuhi banyak cita-cita mulia. Selain mengurangi jumlah limbah alam, ia juga ingin membangkitkan usaha kecil Kulon Progo yang saat ini seolah jalan di tempat. Banyak pengusaha kecil tidak memiliki tekad dan kemauan sebesar Tukimin sehingga mereka setengah hati menjalankan usaha.

Tukimin optimistis, kerajinan serat gedebok pisang memiliki prospek cerah hingga beberapa tahun ke depan. Terlebih tren penggunaan produk-produk yang ramah lingkungan terus menggema dari waktu ke waktu. Selain untuk ekspor, Tukimin juga mulai membidik pasar lokal. Menurut dia, konsumen dalam negeri sudah semakin jeli membedakan produk bagus dan berkualitas, serta tidak mempersoalkan merek.

Editor: Edj
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Omzet Ratusan Juta dari Manisan Jambu Bangkok

Thursday, December 3, 2009

Kalau kebetulan sedang berkunjung ke Medan, Anda bakal menemukan banyak penjual manisan jambu bangkok. Makanan ini merupakan salah satu oleh-oleh favorit khas kota Medan. Maklum, warna hijau cerah manisan ini menggoda. Rasanya pun yahud, apalagi jika dicocol ke bumbu rujak.

Lantaran banyaknya penggemar manisan jambu bangkok, para pengusaha pun berlomba mengejar peruntungan dari bisnis pembuatan dan penjualan manisan ini. Tak hanya di Medan, bisnis manisan jambu biji ini juga cukup marak di daerah lain.

Salah satu pemain di luar Medan yang sukses adalah Daniel Andijaya. Daniel adalah pemilik Trinity, perusahaan pengolah manisan jambu bangkok di Jakarta, yang dia dirikan 2003 silam. Ide Daniel berbisnis manisan jambu bangkok muncul saat ia kangen mencicipi makanan khas Medan itu. “Saya dulu sempat kuliah di Medan,” terangnya. Tapi, dia tidak bisa menemukan makanan itu di Jakarta.

Ia pun lantas nekad mulai berbisnis manisan jambu bangkok. Untuk memodali usahanya itu, Daniel mengorek isi tabungannya. Modal itu ia belikan jambu bangkok dari Cilebut, yang kemudian diolahnya menjadimanisan.

Lalu dia menitipkan penjualan manisan buatannya itu di toko buah milik temannya. Tak disangka, manisan jambu bangkok olahan Daniel laris manis. Maklum, saat itu belum ada pesaing. Bisnis manisan jambu bangkok Daniel berkembang pesat. Bahkan, dia mendapat tawaran memasok produknya di dua jaringan ritel modern besar.

Seiring meningkatnya permintaan, petani jambu bangkok di Cilebut kewalahan memenuhi permintaan Daniel. Itu sebabnya Daniel kemudian memasok jambu biji dari Medan. “Di Medan pasokan stabil, karena kebunnya luas,” papar Daniel.

Kapasitas produksi Trinity memang meningkat pesat. Jika di awal berdiri, Daniel hanya mengolah ratusan kilogram jambu per bulan, kini dia bisa mengolah 30 ton jambu per bulan. Untuk produksi sebanyak ini, Daniel kini mempekerjakan 15 karyawan. Untuk menghasilkan manisan yang sedap, Daniel hanya menggunakan jambu yang tingkat kematangannya 70 persen. Dia menambahkan, jambu yang matang tidak enak dijadikan manisan.

Sebelum dijadikan manisan, jambu dikupas dan dibuang bijinya terlebih dulu. Setelah itu, jambu bangkok dipotong-potong dan direndam dalam air daun suji agar warna hijaunya semakin menyala. Daniel mengemas manisan jambu bangkok menjadi kemasan seberat 7 ons-8 ons. Tak lupa, dia menambahkan bumbu rujak. Daniel menjual manisan tersebut dengan harga Rp 9.000 - Rp 10.000 per emasan ke toko. “Harga jual ke konsumen tergantung toko,” jelasnya.

Daniel mengaku meraup omzet Rp 200 juta setiap bulan dari usaha manisan ini. Pria berusia 39 tahun ini mengaku hanya mengambil margin sebesar 5 persen dari harga jualnya. Cuma, sejak masuk tahun 2009, bisnis penjualan manisan jambu bangkok Daniel tidak terlalu bagus. Penjualan manisan jambu menurun. Dia terpaksa mengurangi pasokan manisan di beberapa gerai ritel modern. “Itu sengaja saya lakukan, kalau tidak saya bisa rugi Rp 6 juta per bulan,” tuturnya.

Pasalnya, selain karena permintaan berkurang, manisan jambu juga termasuk makanan yang tidak tahan lama. Kalau lama tak terjual atau mesin pendingin di toko tidak bagus, manisan jambu akan rusak. Kalau sudah begitu, manisan jambu terpaksa dibuang sebelum terjual. (Aprillia Ika/Kontan)

Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Limbah Kayu Jadi Puzzle Penghasil Laba

Monday, November 30, 2009

Tak semua mainan anak bersifat mendidik. Orang tua memang harus selektif memilih mainan yang tepat bagi si buah hati. Berbekal hal ini, Jumadi menciptakan puzzle sebagai mainan perangsang otak si kecil. Tak disangka, mainan ini laris sampai luar negeri.

Bisnis yang berkaitan dengan kebutuhan anak, termasuk mainan anak, jelas merupakan bisnis menjanjikan. Selama manusia masih berkembang biak di muka bumi ini, maka bisnis yang menyasar anak-anak sebagai konsumen tak akan pernah kehilangan pembeli. Sudah begitu, setiap anak pasti membutuhkan mainan.

Biasanya para orang tua tak keberatan keluar duit untuk membelikan mainan untuk sang buah hati. Bahkan, ayah bunda rela keluar duit banyak jika mainan tersebut bisa merangsang kecerdasan si kecil. Masalahnya, bukan perkara mudah mencari mainan anak yang mendidik. Beberapa jenis mainan malah membuat anak semakin konsumtif.

Bagi Jumadi, seorang pengusaha asal Bantul, Yogyakarta, kondisi tersebut adalah sebuah peluang bisnis. Dia pun membuat mainan puzzle sebagai salah satu mainan alternatif bagi anak. Tak disangka, puzzle berbahan kayu jati buatannya laris manis. Jumadi pun bisa meraup omzet ratusan juta rupiah saban bulannya.

Awalnya, Jumadi merupakan pengusaha mainan anak-anak dan barang rumah tangga dari tempurung kelapa. Waktu itu masih tahun 1991 dan umur Jumadi baru menginjak 36 tahun. Sayang, bisnis kerajinan tempurung kelapa Jumadi kurang berkembang.

Ia pun mencari peluang bisnis lain. Tapi lagi-lagi dia tertambat pada bisnis mainan anak. Muasalnya, tahun 1994 ia bertemu dengan Puji Santoso, yang ternyata gemar menciptakan puzzle kayu berbentuk bola. Darah bisnis Jumadi langsung berdenyut kencang melihat ide bisnis tersebut. Ia pun mengajak rekannya bergabung dalam perusahannya yang dinamakan Jatisae Handicraft.

Seiring berjalannya waktu, Jumadi ikut menciptakan kreasi berbagai puzzle. “Modalnya adalah ketekunan dan pantang menyerah untuk terus mencoba menciptakan model puzzle baru,” ujarnya.

Puzzle buatan Jumadi memang unik. Ada yang berbentuk bola, kubus, silinder, dan sebagainya. Semuanya terbuat dari bahan baku kayu limbah pabrik mebel di Semarang. “Setiap bulan saya butuh lima truk limbah kayu. Harga per truknya Rp 5 juta,” ujarnya.

Merambah alat musik

Di bengkel kerjanya, Jumadi dibantu 30 karyawan mengolah limbah kayu menjadi puzzle. “Ada sebelas tahapan membuatnya,” ujar Jumadi. Ada tahap pemotongan, pencetakan, pengamplasan, sampai tahap memperhalus serat kayu.

Saat ini Jumadi bisa membuat 156 jenis puzzle dengan kapasitas produksi 33.000 unit per bulan. Seluruh produksinya itu habis terjual. Harga puzzle-nya beragam mulai dari Rp 3.000 hingga Rp 150.000 per unit, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan membuatnya. “Omzet saya per bulan sekitar Rp 100 juta,” katanya. Dari omzet segitu, Jumadi mengaku menikmati margin sekitar 30 persen-35 persen.

Usaha puzzle milik Jumadi perlahan tapi pasti terus berkembang. Salah satu kiatnya, ia rajin mengikuti pameran dan festival di Jakarta maupun di kampung halamannya, Yogyakarta. Dengan cara ini, ia kerap mendapatkan pembeli dari luar kota dan luar negeri. Antara lain dari Bali, Surabaya, serta Singapura, Prancis, dan Malaysia. “Kebanyakan, pembeli dari Bali-lah yang menyalurkan puzzle saya ke negara-negara tersebut,” ujarnya kalem.

Sejak 2001, Jumadi berinovasi dengan membuat alat musik, seperti jimbe, gendang, dan alat musik suku aborigin, didgeridoo. “Bahan bakunya dari kayu mahoni di Blitar,” ujarnya. Dalam sebulan, alat musik bikinannya menyumbang omzet Rp 75 juta. “Purwacaraka juga kerap membeli alat musik dari saya,” pungkasnya ceria. (Rizki Caturini /Kontan)

Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Bisnis Jamur Yang Menggiurkan

Sunday, November 22, 2009

Ratidjo memutuskan berhenti sebagai karyawan PT Tuwuh Agung Yogyakarta yang bergerak di bidang ekspor jamur merang ke Amerika tahun 1997. Ia ingin sepenuhnya dekat dengan petani sebagai penyedia bibit. Ratidjo paham benar, jika keadaan petani tidak membaik, terutama dari sisi pemasaran hasil produksi jamur, maka usaha pembibitan yang ia rintis tidak akan berjalan baik.

Sejak itulah lelaki asli Dusun Niron, Pendowoharjo, Sleman, Yogyakarta, ini berniat membuka rumah makan yang khusus menyediakan menu olahan jamur. ”Saya hanya ingin menyerap produksi jamur petani yang waktu itu sudah mencapai hitungan ton setiap hari,” tutur Ratidjo pada awal November 2009 di sela-sela padatnya pengunjung Warung Jejamuran miliknya.

Ide itulah yang menuntun Ratidjo membentuk plasma petani jamur di sekitar wilayah Sleman, terutama sekitar lereng selatan Gunung Merapi. Untuk menyediakan kecukupan bibit, di rumahnya Ratidjo membangun laboratorium untuk pengembangan dan pembibitan jamur.

Kini rumah makan dan laboratorium di atas tanah seluas 2.000 meter persegi itu telah mempekerjakan 110 karyawan. Bahkan, hasil bibit jamur Ratidjo sudah didistribusikan ke seluruh Indonesia. Pencapaian terpenting lelaki yang terjun dalam dunia perjamuran sejak tahun 1968 ini adalah membentuk 50 plasma petani jamur.

”Sekarang seperti manufaktur, saya sediakan bibit, lalu petani membudidayakan, dan saya beli lagi untuk konsumsi lokal di warung. Jadi, kalau budidaya jamur terus bergairah, usaha pembibitan saya akan tetap jalan,” tutur Ratidjo.

Setelah adanya Warung Jejamuran, harga jamur di tingkat petani meningkat. Jika sebelumnya harga jamur tiram Rp 7.000 per kilogram, sekarang Ratidjo membelinya dari petani Rp 9.000 per kilogram. Dulu harga jamur merang Rp 12.000 per kilogram, kini dibeli seharga Rp 17.000 per kilogram. Jika toh terjadi kelebihan produksi, Ratidjo tetap menyerapnya untuk dijadikan olahan jamur kering atau disalurkan kepada pasar swalayan.

Warung Jejamuran yang berlokasi 800 meter ke arah utara dari pertigaan Beran Lor Km 10,5 Jalan Raya Yogyakarta-Magelang itu kini menjelma menjadi ujung tombak pemasaran produksi jamur petani. Setidaknya, dengan sistem kerja sama plasma, petani jamur tak perlu lagi merasa didikte oleh pasar. Ratidjo sejak awal memang bertekad membawa petani keluar dari lingkaran kemiskinan dengan cara membagi ilmu budidaya jamur. Sebuah upaya kecil, tetapi pasti akan sangat berarti di tengah gelimang kesulitan yang terus-menerus menerpa petani kita. (CAN)
Editor: jimbon
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Limbah Kayu Yogyakarta Mejeng di Eropa

Thursday, November 19, 2009

Kecanggihan teknologi komunikasi kini menjadi sarana penting dalam dunia usaha. Transaksi bisnis berlangsung di depan layar kaca. Cara itu yang dijalani Gatot Mujiyana (44), pemilik usaha Amarta Furniture di Jalan Wates Km 3,5 Ngepreh RT 01 /30 No 69, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Ayah tiga anak ini nekat memilih keluar dari perusahaan furnitur tempatnya bekerja pada tahun 1994 dan berniat membuka usaha sendiri. Bekal pengalaman kerjanya itu yang membuatnya menjalani bisnis furnitur dan kerajinan tangan.

Alumnus Pascasarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu lalu memanfaatkan jaringan internet untuk menjual produknya ke luar negeri. Itu dilakukan bukan karena pasar lokal tidak menjanjikan. Menurutnya, banyak negara di Eropa menyenangi hiasan atau furnitur yang terbuat dari kayu jati.

Yang menarik dari bisnis Ketua Umum Komunikasi Ketoprak Kabupaten Bantul (FKKKB) itu adalah pemanfaatan limbah kayu jati. "Saya memanfaatkan limbah kayu jati, seperti akar kayu jati yang dijadikan kursi, tiang lampu hias. tempat buah, bola, dan sebagainya," kata Gatot saat ditemui di kediamannya di Bantul, Yogyakarta, pekan lalu.

Modal awal Gatot hanya sekitar Rp 8 juta, yang digunakan untuk biaya merakit mesin pemotong. Harga barang buatannya yang dijualnya tergolong murah di pasaran luar negeri, namun kualitas tetap terjaga.

Dari bisnis itu, Gatot membawahi sekitar 300 tenaga pengrajin. Tetapi, enam tahun kemudian, bisnisnya ambruk. Pemicunya adalah bom Bali pada 2002. Kondisi itu tak membuat pria bertubuh tambun itu menghentikan produksinya. Hal itu yang, membuat usahanya perlahan bangkit hingga sekarang. Dalam sebulan, Gatot mengekspor tiga kontainer produk furniture dan kerajinan tangan yang senilai Rp 300 juta. "Profit yang saya peroleh minimal 25 persen," kata pria berjenggot itu.

Hampir semua produknya terpajang di Belgia, Jerman, Perancis, Inggris, dan Singapura, mulai dari rumah penduduk, perkantoran, sampai hotel berbintang.

Bisnis perkayuan juga dilakoni oleh Jumadi, pemilik Jatisae Handicraft Industries di Jalan Parangtritis Km 5, Bangunharjo, Bantul, Yogyakarta. Pria yang hanya lulusan STM jurusan pembangunan di Yogyakarta ini sukses memasarkan produk puzzle dari limbah kayu ke negara-negara di Eropa.

"Ada sekitar 156 model yang saya buat sejak tahun 1996 usaha ini dirintis. Sebagian besar model dari keinginan klien," kata Jumadi. Hanya saja, dia menjual produknya separuh ke luar negeri dan separuh lagi ke pasar lokal. Omsetnya saat ini sebesar Rp 75 juta per bulan.

Komitmen Delia, Gatot Mujiana, dan Jumadi dalam berbisnis hanya satu, yakni terus bersemangat dalam menjalani usaha. Sebab, dari semangat itu lah banyak jalan keluar diperoleh dalam perjalanan bisnisnya. (Tri Broto)
Editor: Glo
Selengkapnya...

Omzet Rp 100 Juta dari Jus Mengkudu

Bentuk buah mengkudu atau pace yang bopeng-bopeng memang tak menarik. Baunya pun sungguh tak sedap. Namun, sudah lama orang mengenal mengkudu sebagai buah berkhasiat mengobati berbagai penyakit, mulai penyakit ringan sampai penyakit berat macam kanker. Mengkudu juga dipercaya bisa membantu menurunkan berat badan.

Lantaran memiliki banyak khasiat itulah orang mengolah mengkudu menjadi berbagai produk, salah satunya adalah jus mengkudu. Usaha jus mengkudu terus bertumbuh seiring semakin banyaknya orang yang menyadari khasiat jus mengkudu.

Salah satu yang merasakan nikmatnya berbisnis jus mengkudu adalah Philipus P. Soekirno. Pengusaha yang berdiam di Jakarta ini menjual jus mengkudu merek Morinda.

Philipus terjun ke bisnis bisnis jus mengkudu setelah merasakan sendiri manfaat jus buah ini.

Pengusaha berusia 61 tahun ini pernah menderita gagal ginjal, lever bengkak, jantung koroner dan asam urat tinggi. Saat itu, harapan hidup Philipus sudah tipis. Atas saran keluarga, dia pun rajin mengonsumsi jus mengkudu. Hasilnya, penyakit Philipus berangsur sembuh. “Sekarang, saya hidup normal tanpa pantang makan apapun,” ujarnya.

Setelah sembuh, Philipus mempelajari cara mengolah mengkudu jadi minuman yang enak dikonsumsi. Buah mengkudu termasuk sulit diolah. Sebab, di atas buahnya terdapat lapisan lilin yang berbahaya. Apalagi buah ini memiliki banyak biji. “Untuk mengolah mengkudu butuh suhu ruangan kira-kira 10 derajat celcius agar tak banyak jamur dan bakteri yang berkembang,” ujarnya.

Setelah menguasai teknik pengolahan jus mengkudu, mulai 2007 Philipus memulai usahanya. Bermodal Rp 250 juta dari Kredit Usaha Rakyat (KUR), Philipus membeli peralatan mengolah mengkudu dan membuka outlet di Jakarta Pusat. Awalnya, dia hanya bisa mengolah 200 kg-500 kg mengkudu seminggu. Saat itu, omzetnya Rp 20 juta tiap bulannya.

Nyatanya bisnis Philipus berkembang pesat. Kini Philipus mampu mengolah 1 ton sampai 2 ton mengkudu per minggu. Dari situ, Philipus bisa mendapat omzet sekitar Rp 100 juta per bulan. “Penjualannya sangat bagus,” kata Philipus sumringah. Philipus mengaku bisa memperoleh margin 60 persen dari penjualan jus mengkudu.
(Aprillia Ika/Kontan)


Editor: Edj
Selengkapnya...

Komunitas Djadoel, dari Hobi ke Bisnis

Sunday, November 15, 2009

Dalam suatu mimpi, Yanuar Christianto (39) datang ke sebuah toko mainan. Secara fisik, bangunanya sama sekali tidak menarik. Berdebu dan kotor. Hal serupa juga tampak dari mainan yang dijual, layaknya dagangan yang tak kunjung laku.

Ketika mentari telah bersinar, tanpa menghiraukan mimpinya, ia berkeliling Jakarta dengan sepeda motornya. Arah mana yang ia tuju hasil dari bisikan hatinya. Berjalan dan terus berjalan, melewati Jalan Gajah Mada lalu ke Jalan Hayam Wuruk, dan terus menuju ke Utara. Sampai di suatu tempat, yang ia sendiri tidak tahu di mana, Yanuar kaget tak terkira. Saat ia memberhentikan motornya untuk istirahat, dan menoleh ke kiri, tampak olehnya toko mainan yang ada dalam mimpinya.

Masih dengan rasa tidak percaya, Yanuar mengayunkan langkah menuju toko tersebut. Belum sempat ia bersuara, matanya telah menangkap kardus lusuh berisi mainan-mainan. “Saya borong semuanya. Ini terjadi pada akhir tahun kemarin,” kata Yanuar, kolektor mainan, kepada Kompas.com dalam kesempatan Atraksi Kota Tua di Taman Fatahillah Jakarta, Minggu (15/11).

Yanuar adalah salah satu anggota Komunitas Djadoel, komunitas pencinta barang antik, yang berdiri pada Mei 2009. Ia mengaku laki-laki yang kesehariannya bekerja sebagai waitress di Kapal Pesiar berbendera Italia ini dari umur 5 tahun gemar mengumpulkan barang. Didukung pekerjaannya, koleksinya berasal dari banyak negara seperti Italia, Malta, Spanyol, Perancis, Inggris dan Jerman. “Kalau di jalan saya menemukan skrup atau baut, saya bawa pulang dan ditaruh dalam kotak korek api. Sampai banyak,” papar Yanuar.

Anggota komunitas lainnya, Muchlis Amir (57) juga mengumpulkan barang antik bermula dari hobi. Dari sekian banyak barang, ia memilih kalender untuk dikoleksi. Dalam perjalana waktu, kalender koleksinya yang mulai tahun 1940-1980 banyak dicari orang. "Mereka ingin tahu hari lahirnya kapan. Juga apakah bertepatan dengan hari besar (agama maupun nasional). Di kalender juga ada hari pasaranya,” ujar pensiunan pekerja swasta ini.

Lebih lanjut, anggota komunitas ini tidak sekadar mengumpulkan barang. Tetapi juga menjualnya, karena pasar untuk barang-barang antik cukup menjanjikan. Menurut Daniel Supriyono, Ketua Komunitas Djadoel, meski barang jadul, namun pemeblinya tidak hanya orang-orang berumur, tepai anak baru gede dan juga anak-anak kecil pun menjadi pasar. “Anak kecil suka pada mainan. ABG yang ingin bergaya jadul beli kaca mata berlensa gede. Sedangkan Kakek nenek (selain) nostalgia juga diberikan untuk cucunya untuk memperkenalkan barang pada zamannya” tutur Daniel yang juga wartawan Nova, kelompok Gramedia Majalah.

Baik Yanuar, Muchlis maupun Daniel sama-sama memahani jika sebagaian orang keberatan kalau barang antik mahal. Padahal hanya barang “bekas.” Menurut Daniel, mencari untung wajib hukumnya saat menjual barang koleksinya. Tapi perhitungan untung tersebut bukan sekadar nilai ekonomi tetapi perjuangan mendapatkannya dan nilai kesejarahannya. “Untung harus berlebih karena barangnya tidak selalu didapat. Mahal itu sebagai penghibur saat kami menyerahkan barang yang sulit didapat dan kami miliki,” tuturnya.

Orang-orang yang tergabung dalam komunitas Djadoel ini sebenarnya bisa dikatakan sudah mapan. Ada yang bekerja di perusahaan media, bengkel mobil, designer grafis dan ada juga di departemen keuangan. Selain itu tidak semua barang koleksi mereka dijual. "Laku syukur, gak ya gak apa-apa," ucap Daniel.

Masing-masing kolektor memilih barang tertentu untuk dikoleksi, seperti buku, iklan film, jam weker, (bungkus) rokok, kalender, mainan, fashion, perabotan rumah tangga, kacamat, kaset sampai ke aksesoris sepeda ontel. Kategori antik jika barang yang bersangkutan paling muda tahun 1980. Untuk harga, misalnya komik lokal Rp 20.000, gelas PRJ 1979 dihargai Rp 35.000, kacamata Rp 100.000 dan iklan film Rp 50.000. Adapun untuk mainan, sebagaimana dijual Yanuar mulai dari Rp 50.000 – Rp 200.000. “Yang saya koleksi sendiri, tahun 2007 saya beli mainan robot Jepang Rp 200.000. Setelah saya cek di internet ternyata sekarang harganya 1.000 dollar AS,” aku Yanuar.

Para kolektor ini tidak pernah menyangka hobinya mengumpulkan barang yang sebagian besar orang menganggapnya sampah ternyata memiliki nilai ekonomi. Lebih dari itu, ketekunan mereka membuat rantai sejarah bangsa terus turun dari generasi ke generasi. Setidaknya, mulai dari keluarga merekalah rantai itu diteruskan untuk memupuk rasa cinta dan bangga pada tanah air karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. “Anak saya, sering saya ajak ke museum dan galeri. Juga saya ajak untuk gemar membaca,” pungkas Yanuar.
ONE
Editor: Edj
Selengkapnya...

Peluang Bisnis Alpukat Hawaii Jumbo

Sunday, November 8, 2009

Dahulu, jenis alpukat paling populer dibudidayakan masyarakat Indonesia adalah alpukat mentega yang rasanya manis. Tapi, saat ini tren ini bergeser. Kini varietas alpukat Hawaii yang meroket.

Salah satu pionir pembudidaya alpukat Hawaii ini adalah Prakoso Heryono. Pemilik Satya Pelita Nursery di Demak itu sudah mengembangkan alpukat Hawaii sejak sembilan tahun lalu. Kini, ia memiliki sekitar lima pohon.

Menurut Prakoso, selain lebih manis, ukuran alpukat Hawai jumbo juga jauh lebih besar dibanding jenis lain. Berat satu buah bisa mencapai 2 kilogram (kg), tiga kali lipat lebih alpukat biasa. Tekstur daging buah ini juga lebih padat, tapi tetap lunak ketika digigit.

Dengan berbagai keunggulan itu, alpukat jenis ini dijual Prakoso seharga Rp 25.000-Rp 30.000 per butir. Ini harga premium. Sekadar perbandingan, harga jual alpukat biasa saat ini hanya Rp 10.000 per kg isi sekitar 3 butir.

“Permintaan dari Jakarta dan Surabaya ke tempat saya mencapai empat kuintal per bulan. Tapi saya baru bisa memenuhi dua kuintal setiap kali panen,” ujar bapak 52 tahun ini.

Prakoso bukannya tak mau meningkatkan produksinya. Saat ini, Prakoso memilih lebih fokus menjual bibit alpukat Hawaii. Sebab, permintaannya sangat tinggi. “Saya juga ingin varietas ini dapat dibudidayakan secara massal,” ujarnya.

Untuk satu bibit setinggi 50 cm dengan usia 7 bulan, Prakoso mematok harga Rp 150.000. Ini hampir 10 kali lipat harga bibit alpukat mentega. Dalam setahun, Prakoso bisa menjual 500 bibit alpukat Hawaii jumbo senilai Rp 75 juta. Ia meraup margin laba di atas 50 persen. Selain berbisnis bibit alpukat, ia juga menjual bibit tanaman eksotis lain. Prakoso juga mempunyai beberapa perkebunan.

Oh, iya, buat yang belum tahu, Alpukat merupakan tanaman yang tumbuh di ketinggian medium, antara 200-1.200 di atas permukaan laut. Soalnya, tanaman ini tidak butuh banyak air.

Pohon akan mulai berbuah setelah 3,5 tahun. Empat tahun pertama, buahnya masih sedikit, kira-kira 20 butir saja. Setelah itu, dalam setiap tahun, jumlah buahnya akan meningkat 20 persen sampai 30 persen.

Pertumbuhan jumlah buah akan berhenti di usia pohon 7 tahun. Sampai usia itu, panen per pohon bisa mencapai 2 kuintal. “Panen alpukat bisa dua kali setahun,” kata Prakoso.
(Aprillia Ika/Kontan)


Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id

Selengkapnya...

Arang Batok Kelapa Beromzet Miliaran

Monday, November 2, 2009

Batok atau tempurung kelapa kerap kali dibuang begitu saja di pasar-pasar tradisional. Padahal, batok kelapa bisa sebagai bahan baku mentah untuk diolah menjadi arang. Produk arang batok kelapa sebagai bahan baku setengah jadi itu pun dapat diolah lagi menjadi produk arang yang inovatif.

Produk batu arang tempurung kelapa (coconut shell briquette charcoal) dapat diproduksi sesuai kebutuhan pasar dan menjadi produk ekspor unggulan. Pengolahan tempurung kelapa menjadi arang dilakukan dengan cara pembakaran. Setumpuk tempurung kelapa dimasukkan ke dalam drum. Kemudian, tempurung kelapa dibakar. Setelah itu, tempurung kelapa yang belum dibakar dimasukkan lagi setahap demi setahap ke dalam drum.

Hal itu terus-menerus dilakukan sampai drum penuh dengan tempurung kelapa. Setelah penuh, drum ditutup dan seluruh batok kelapa di dalam drum mengalami proses pembakaran. Lambat laun, tempurung kelapa akan menjadi arang. Setelah dipisahkan dengan sampah- sampah hasil pembakaran itu, arang tempurung kelapa akan menjadi bahan baku produk arang inovatif yang akan diekspor ke pasar dunia.

Pembakaran tempurung kelapa itu dilakukan pekerja di PT General Carbon Industry (PT GCI) di Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Sayangnya, jumlah tempurung kelapa—sebagai bahan baku dasar—untuk dibakar menjadi arang itu masih sangat terbatas.

Akibatnya, PT GCI harus mendapat pasokan arang tempurung kelapa sebagai bahan baku dari pemasok yang berasal dari berbagai daerah, seperti Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. PT GCI membutuhkan 300-400 ton arang tempurung per bulan sebagai bahan baku untuk produksi arang tempurung yang inovatif. ” Empat kilogram tempurung atau batok kelapa hanya dapat menghasilkan 1 kilogram arang tempurung,” kata General Manajer PT GCI Tonny. Jika kebutuhan bahan baku arang tempurung 300-400 ton per bulan, berarti dibutuhkan 1.200 ton batok kelapa per bulan.

Dari arang tempurung, PT GCI mengolah atau memprosesnya lebih lanjut menjadi produk arang yang berorientasi ekspor. Arang tempurung dibentuk dan dicetak dengan mesin pencetak sesuai kebutuhan pasar. Setelah dicetak, produk arang itu pun masih harus dipanaskan dalam mesin pemanas. Volume produksi arang tempurung PT GCI saat ini mencapai 300 ton per bulan.

Untuk produk tertentu, menurut Tonny, produk arang itu juga diberi bahan kimia. Fungsi bahan kimia itu hanya untuk dapat menyalakan api pada arang tersebut tanpa harus menggunakan bahan bakar, seperti minyak tanah.

Untuk mengontrol kualitas arang tempurung, PT GCI juga memiliki beberapa alat kontrol. Sebelum produk dikirim, arang tempurung yang diproduksi juga diuji coba untuk melihat kualitas, seperti lama pembakaran pada arang.

Saat ini, arang tempurung kelapa yang diproduksi PT GCI sudah menembus pasar dunia. Di Eropa, arang tempurung PT GCI menembus Perancis, Belgia, Belanda, Inggris, Austria, Italia, Jerman, Swedia, dan Denmark.

Di Asia, produk arang PT GCI menembus pasar Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Bahkan, PT GCI juga menggarap pasar Timur Tengah (Timteng), seperti Lebanon dan Suriah.

Dari ekspansi ke pasar dunia itu, menurut Tonny, nilai ekspor per tahun rata-rata 1 juta-1,2 juta dollar AS (sekitar Rp 9,5 miliar-Rp 10,8 miliar). ”Nilai ekspor per tahun mencapai belasan miliar rupiah,” katanya.

Potensi pasar

Potensi pasar ekspor produk arang tempurung masih besar. Di Eropa, arang tempurung dibutuhkan untuk memanggang daging (barbecue).

Di Timteng, arang tempurung lebih banyak digunakan untuk ”merokok” atau shisha. Sementara itu, di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan, arang tempurung digunakan untuk keperluan memasak di restoran.

Arang tempurung dinilai memang lebih mudah masuk ke pasar dunia, khususnya Eropa. Produk itu lebih mudah digunakan. Kualitas dinilai lebih baik daripada arang berbahan baku tanaman bakau. ”Daya tahan pembakaran arang tempurung lebih lama,” kata Tonny.

Produk arang tempurung juga dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak merusak tanaman, seperti tanaman bakau. Apalagi, isu pemanasan global yang sangat sensitif di Eropa.

Direktur Utama Avava Group, yang membawahi PT GCI, Tarman mengungkapkan, arang tempurung yang diproduksi PT GCI biasanya diubah nama produk oleh pemesan. Namun, pihak PT tetap mensyaratkan pada kemasan tetap dicantumkan ”buatan Indonesia”.

Jika tidak mencantumkan ”buatan Indonesia”, pihak PT GCI membatalkan pemesanan. ”Label buatan Indonesia memang harus dicantumkan. Itu kebanggaan. Produk arang bisa memasuki Eropa dan negara- negara lain,” kata Tarman. Saat ini, pihak PT GCI berencana memperluas produksi mengingat pesanan kian banyak.

Tarman menjelaskan, industri pembuatan arang tempurung yang dilakukan PT GCI saat ini pada mulanya merupakan industri milik investor dari Korea Selatan tahun 2004. Namun, industri itu merugi.

Tahun 2007, lanjut Tarman, pihaknya mengambil alih dan meneruskan bisnis arang tempurung kelapa. Pemasaran pun terus dilakukan. Dengan peluang pasar ekspor yang besar, itu berarti kebutuhan bahan baku batok kelapa pun akan semakin besar. Peluang itu pun seharusnya dapat ditangkap oleh pelaku usaha kecil dan menengah untuk memanfaatkan batok kelapa.

Batok kelapa dapat dimanfaatkan untuk pembuatan arang. Arang dari batok kelapa pun dapat menjadi bahan baku bagi industri menengah untuk diolah lebih lanjut menjadi produk arang berorientasi ekspor.

Editor: Edj
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Adi Kharisma, Pencipta Olahan Ubi Ungu

Sunday, November 1, 2009

Kesehatan itu mahal harganya. Slogan inilah yang membuat Adi Kharisma mengubah jalan hidupnya dari seorang pengusaha ritel sukses beromzet miliaran rupiah menjadi seorang penjual aneka makanan dan minuman dari ubi ungu. Dalam dunia pangan lokal, nama Adi Kharisma sudah cukup terkenal.

Pria asli Bali ini sukses memperkenalkan nasi dan es krim dari ubi jalar sebagai salah satu kekuatan makanan lokal sekaligus sebagai produk makanan yang sehat.

Gara-gara inovasi produk dari ubi jalarnya ini, Adi Kharisma memperoleh penghargaan dari Dewan Pangan Italia. Tak hanya itu, sebagai duta pangan lokal, Adi juga sudah menyambangi Jepang dan Fiji untuk mempresentasikan produk jus dan sirup ubi ungunya.

Adi sendiri tak menyangka prestasinya bakal sebesar itu. Sebab, inovasi produk pangannya ini lahir dari ketakutannya terhadap kanker. Sampai tahun 1995, ada tujuh kerabat Adi termasuk ibu, paman, mertua serta kakaknya yang terkena penyakit kanker.

Karena dekat dengan orang-orang tersebut, Adi pun turut menyaksikan melihat pola makan mereka. “Ternyata pola makan yang salah merupakan penyebab terbesar terjadinya kanker,” ujar pria 50 tahun ini.

Adi pun kemudian banyak membaca buku-buku kesehatan. Ia tak ingin istri dan anaknya ikut menjadi korban. Maka, lima tahun berselang, Adi masih berkutat mempelajari aneka macam bahan makanan yang bisa memerangi kanker.

Tahun 2000, Adi menemukan resep diet dengan menjalankan pola makan sehat. Ia mulai menjauhi aneka sea food, daging merah serta memperbanyak sayur dan buah. “Daging yang saya makan hanya daging ayam dan ikan,” ujarnya. Pengaruh bagi kesehatan Adi sangat signifikan. “Sampai sekarang, pilek pun saya tak pernah,” ujar pria berperawakan tinggi besar ini.

Karena yakin dengan hasil dietnya ini, Adi pun kemudian mencoba merambah bisnis virgin coconut oil (VCO) sejak tahun 2004. Sayang, bisnis minyak kelapa itu kandas di tengah jalan. Padahal, Adi sudah menggelontorkan uang Rp 100 juta-an untuk mempelajari aneka hal tentang budidaya kelapa dan pengolahannya. “Para petani hanya mau menjual kelapa. Tidak mau dibina untuk memanfaatkan sabut, batok, air serta daging kelapanya,” keluh anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini.

Namun, pada tahun tersebut, usaha Adi yang lain sangat sukses. Bisnis distribusi makanan dan minumannya menyumbang duit Rp 1,5 miliar per bulan ke kantongnya. Belum lagi pemasukan dari 10 convenient mart, empat gerai warung soto, serta satu gerai waralaba Subway Sandwich di Australia.

Gagal menjalani bisnis kelapa, Adi pun banting setir melirik ubi jalar ungu. Pasalnya, makanan yang berwarna ungu, hitam atau kemerahan mengandung zat antosianin yang ampuh memerangi kanker. Karena itu, sejak tahun 2006, Adi fokus menggeluti usaha pengolahan makanan dari ubi jalar ungu.

Saat ini Adi mengelola dua gerai penjualan produk makanan dari ubi jalar di Bali dan di Jakarta dengan omzet sekitar Rp 50 juta sebulan. Satu per satu bisnisnya yang lain pun ia lepas. “Untuk distribusi barang, saat ini dipegang istri saya,” ujarnya. Sementara convenient mart, warung soto, serta gerai waralaba Subway Sandwich-nya sudah sudah ia lepas.

Beralih ke bisnis kuliner ubi jalar

Gagal mengembangkan bisnis kelapa, Adi Kharisma beralih ke bisnis kuliner ubi jalar. Di bisnis barunya ini, Adi sukses mengembangkan aneka makanan dari ubi, terutama ubi ungu. Namun, ia harus bersaing ketat dengan para pesaingnya.

Kegagalan bisnis kelapa yang pernah dijalaninya membuat Adi Kharisma memetik pelajaran berharga. Salah satunya, ia merasa harus berubah dan berani keluar dari zona nyamannya. Apalagi, menurut Adi, dari seluruh jumlah manusia di bumi ini, hanya 20 persen yang ingin dan berani melakukan perubahan itu.

Tak mau tenggelam dalam kegagalannya, pria kelahiran Bali 50 tahun silam ini kemudian mengalihkan bisnisnya ke pengolahan aneka umbi-umbian. Untuk memulai usaha ini, masalah yang pertama-tama ia hadapi adalah pasokan bahan baku. Untuk mengatasinya, Adi berencana bekerja sama dengan para petani di Yogyakarta.

Ada alasan mengapa ia membidik petani-petani di Kota Gudeg itu. Menurut Adi, selama ini produksi umbi-umbian dari Yogyakarta cukup besar. Misalnya saja umbi yang lazim dikenal dengan nama gembili.

“Namun sayang, penanaman umbinya lama, bisa sampai delapan bulan,” kata Adi. Karena itu, akhirnya ia memilih mengolah ubi jalar. Sebab, selain sudah banyak ditanam, ubi ini juga mudah dibudidayakan.

Ada alasan penting lain mengapa ia akhirnya memilih ubi jalar, yaitu karena ubi jalar mengandung banyak zat antosianin yang bisa mencegah kanker. “Antosianin itu berguna untuk mengencerkan darah yang kental serta menyerap racun dan polusi di darah,” ujarnya.

Namun, hingga sekarang ini Adi masih mengandalkan pasokan ubi jalar dari beberapa petani lokal di Bali. Selain itu, ia juga memiliki kebun sendiri seluas 1,5 hektare “Saat ini dalam sebulan saya butuh lebih dari tiga ton ubi jalar,” ujarnya.

Sebelum memulai bisnisnya, Adi mengaku melakukan eksperimen sendiri selama enam bulan. “Selama itu, saya makan semua hasil eksperimen saya,” kenangnya sembari tertawa. Produk pertamanya yang keluar adalah nasi ubi ungu, lalu disusul dengan es krim ubi ungu dan brownies ubi ungu.

Ada pula pebisnis lain yang membuat olahan ubi ungu ini dan menjadi pesaing Adi. Pebisnis tersebut, antara lain, ada di Malang. Di kota tersebut sudah ada dua toko yang menjual aneka olahan ubi ungu. Itu sebabnya, setelah Pulau Bali, ia lebih memilih merambah Jakarta daripada merambah pasar di dekat Bali.

Selain itu, untuk menyiasati persaingan, Adi kemudian membuat produk ubi jalar dari empat warna ubi jalar yang ada, yaitu ungu, putih, kuning, dan oranye. “Dengan begitu saya jadi produsen makanan dari ubi yang pertama mengolah ubi empat warna,” ujarnya senang.

Ketika meritis pasar di Bali, Adi memakai toko warisan keluarga yang ada di Jalan Teuku Umar, Denpasar, untuk menjajakan aneka produk makanannya. Namanya Warung Sela Boga.

Namun, tempat yang dulunya merupakan pusat jajanan itu ternyata tidak cukup ramai. Adi hanya mengantongi omzet Rp 30 juta-Rp 50 juta setiap bulannya. Maka dari itu, tahun 2008 silam, Adi merambah Jakarta dan mendirikan warung di daerah Bintaro Sektor 1, Jakarta Selatan. Ia menyewa warung kecil dengan tarif Rp 1,5 juta per bulan.

Bersaing ketat dengan Burger Blenger

Menembus pasar Jakarta ternyata tak mudah. Adi Kharisma harus bersaing ketat dengan gerai makanan lain, salah satunya Burger Blenger yang juga membuka gerai di D’Hoek Bintaro. Ia pun berusaha mencari cara membesarkan usahanya, salah satunya dengan waralaba.

Ketika pertama kali merambah Jakarta pada awal 2008, Adi membayangkan ia bakal sukses dengan gampang. Soalnya di mana-mana orang pasti perlu makanan. Tetapi menembus pasar Jakarta ternyata tak semudah perkiraannya. Dia harus berjuang keras agar mampu bersaing dengan pengusaha lain. “Di Jakarta, saya bagaikan terjun ke hutan belantara,” ujar lelaki berusia 50 tahun ini.

Selama delapan bulan pertama, Adi sempat kepayahan mencari tempat berjualan. Sampai akhirnya dia mendapatkan sebuah gerai di D’Hoek Bintaro sektor 1. Untuk menempati tempat tersebut, Adi harus membayar uang sewa Rp 1,5 juta per bulan. “Tempat itu saya namakan Sweet Purple, artinya warna ungu yang cantik,” ujarnya.

Seperti gerainya di Bali, di gerai barunya yang berada di Jakarta, Adi juga menjual olahan ubi ungu. Namun, belakangan dia memperbanyak jenis produk olahan ubi. Misalnya saja, ia membuat burger es krim ubi ungu dengan roti burger. Adi menjual burger es krim tersebut dengan harga Rp 12.000 per buah. “Roti burgernya juga dibuat dari ubi, lo,” ujar Adi berpromosi.

Ia juga membuat jus ubi ungu yang ia jual dengan harga Rp 11.000 hingga Rp 17.000 per gelas. Kreasi lainnya adalah brownies ubi ungu yang ia jual dengan harga Rp 35.000 per 250 gram, dan pia ubi ungu seharga Rp 17.000 per kotak isi enam buah.

Untuk pesanan khusus, Adi juga membuat nasi ubi ungu. Harganya Rp 17.000 per kotak, sudah termasuk empat tusuk sate ayam lilit. “Dari harga jual ini, secara eceran saya mendapat margin sekitar 30 persen,” ujar Adi.

Tentu Adi punya alasan memperbanyak produk di gerainya di Jakarta. “Kalau menu tidak banyak, pembeli bakal cepat bosan,” kata Adi. Apalagi, persaingan antara sesama pedagang makanan di D’Hoek Bintaro sangat ketat. Salah satu rival terberatnya adalah Burger Blenger. Akibat persaingan yang sengit itu, omzet Sweet Purple hanya sekitar Rp 20 juta sebulan.

Untuk meningkatkan omzetnya, Adi pun rajin mengikuti pameran. “Lumayan, dalam sebulan ada satu atau dua pameran,” ujarnya. Dari setiap pameran, dia bisa mencetak laba bersih Rp 1 juta.

Adi juga sempat membuka cabang-cabang baru. Di antaranya di Police Academy, Ancol, dan di Pasar Pagi. Tapi gerai-gerai baru itu hanya ramai di akhir pekan. “Penjualan kurang bagus dan saya tutup,” ujarnya.

Sejak dua pekan lalu, dia pun memindahkan gerainya ke Summarecon Serpong dan ke Lippo Karawaci. Sebelumnya, Adi sudah lebih dulu memindahkan gerainya di D’Hoek ke belakang McDonald’s Bintaro sektor 9. Di pusat jajanan tersebut, aroma persaingan tidak begitu kental. Maklum, kendati di situ ada sekitar 90 gerai makanan, tetapi jenis makanan yang mereka jajakan berbeda-beda dan memiliki kekhasan sendiri.

Adi mengaku mendapat tawaran membuka gerai di Ranch Market, Kelapa Gading, dan di Dufan. Tapi ia masih pikir-pikir dulu. Kini ia ingin mewaralabakan usahanya. Namun, belum ada mitra yang berminat. (Aprillia Ika/Kontan)

Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Memelihara Luwak untuk Hasilkan Kopi Enak

Friday, October 30, 2009

Pawang Luwak mungkin sebuah pekerjaan yang tak terbayangkan oleh kebanyakan dari kita. Namun pekerjaan ini muncul karena adanya pasar kopi yang prima. Pawang Luwak ini yang bertugas menangkap sekaligus memelihara Luwak, hewan yang memakan buah kopi terbaik.

Luwak kerap disandingkan dengan kopi. Ya, binatang ini memang dikenal karena kesukaannya mengonsumsi buah kopi. Kegemaran ini menyebabkan Luwak berperan sebagai pengolah biji kopi alamiah di dunia.

Buah kopi yang ditelan Luwak akan mengalami proses fermentasi selama berada di perut hewan tersebut. Setelah dicerna sang Luwak, buah kopi itu berubah menjadi biji yang dikeluarkan bersama kotoran sang hewan.

Jangan cemas kalau biji kopi itu tercemar kotoran Luwak. Biji kopi yang dikeluarkan Luwak ini masih berbentuk utuh. Tentu saja, sebelum diproses menjadi bubuk, bpi kopi akan dibersihkan dulu.

Dalam proses pencernaan Luwak inilah, akan diperoleh biji kopi dengan rasa spesial. Adanya proses inilah yang mengakibatkan harga biji kopi Luwak sangat tinggi.

Minum susu

Selama ini, bpi kopi Luwak hanya diperoleh secara tradisional. Pasalnya, Luwak pemakan kopi merupakan binatang liar yang hidup di alam bebas. Alhasil, pemungut kopi Luwak hanya mengumpulkan kotoran Luwak yang berserakan di perkebunan kopi.

Namun, sejak tahun 2006, PTPN XII berupaya memelihara Luwak demi menghasilkan biji kopi Luwak. Nah, untuk menangkarkan luwak-luwak liar ini, PTPN mengerahkan tenaga Pawang Luwak.

Tak mudah menangkap dan merawat Luwak yang pada dasarnya merupakan binatang liar. Itu sebabnya, menjadi Pawang Luwak bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.

Apalagi, selama ini tak ada buku-buku referensi tentang perhwatan Luwak. Tak heran, Pawang Luwak banyak belajar dari pengalamannya sendiri. Salah satu modal utama yang harus dimiliki Pawang Luwak adalah menguasai seluk beluk tentang Luwak. "Luwak itu rentan mati," kata Wuryanto, seorang Pawang Luwak dari PTPN XII.

Asal tahu saja, setelah ditangkap dari alam bebas untuk dikandangkan, Luwak seringkali stres. Itulah sebabnya, pada awal penangkaran PTPN XII, banyak Luwak yang telah ditangkap mati.

Menjaga agar sang Luwak tetap hidup di dalam kurungan merupakan tantangan terberat seorang Pawang Luwak. Wuryanto menuturkan, setelah penangkapan, Luwak memiliki masa kritis beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.

Masa kritis itu biasanya berlangsung selama satu hingga dua minggu. "Jika tak bisa lolos dari masa itu, Luwak bisa mati," ujarnya.

Dalam masa kritis itulah, Luwak butuh perhatian khusus. Untuk menghindarkan Luwak dari stres, biasanya Pawang teratur memberi makanan kegemaran Luwak. Dari hasil pengamatan Wuryanto, selain kopi, Luwak ternyata gemar makan pepaya dan pisang.

Bila Luwak yang ditangkap masih kecil, Pawang harus memperlakukannya seperti merawat bayi. "Luwak kecil harus teratur minum susu," ujar Wuryanto.

Setiap musim kopi, Luwak hanya diberi buah kopi sebagai menu utama di malam hari. Alhasil, Pawang atau pemelihara Luwak setiap sore harus menempatkan buah kopi di kandang Luwak.

Baru pada pagi harinya, para Pawang itu mengambil kotoran Luwak. Dalam satu malam, Luwak mampu melahap sekitar 3 kilogram buah kopi.

Perhatian pada Luwak tak sebatas pada masa setelah penangkapan atau soal makanannya. Dalam pemeliharaannya, Pawang harus menjaga kebersihan kandang setiap hari. Maklum, Luwak termasuk binatang yang suka tinggal di tempat yang bersih. Bahkan, ketika membuang kotoran pun, Luwak akan memilih tempat yang bersih. Seperti di tanah kering, di atas bebatuan atau di atas dahan yang tumbang. (Fathoni Arief/Kontan)
Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Raup Jutaan Rupiah dari Keripik Jamur Tiram

Tuesday, October 27, 2009

Tahun 2006 merupakan tahun perkenalan pasangan Tri Sugiatno dan Wiwik Widiastuti dengan jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Namun, hanya dalam waktu tiga tahun, mereka berhasil membudidayakan jamur dan mengolahnya menjadi keripik sehingga menghasilkan pendapatan jutaan rupiah.

Perkenalan itu dimulai saat Wiwik datang ke acara lomba desa di Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Di sana, hasil budidaya jamur tiram petani menjadi salah satu peserta lomba. Setelah melihat dan mengetahui budidaya jamur itu mudah dan murah, Wiwik pun terdorong membudidayakannya.

”Hanya coba-coba awalnya,” ujar Wiwik. Latar belakang Tri adalah lulusan jurusan mesin Universitas Merdeka, Madiun. Wiwik lulusan jurusan ekonomi Universitas Merdeka, Malang. Namun, ketidaktahuan mereka mengenai budidaya jamur tidaklah menjadi penghalang.

Dibelilah 200 bag log (campuran bibit jamur, serbuk kayu, bekatul kapur kawur, dan pupuk dalam plastik) seharga Rp 300.000. Bag log itu lalu disusun di kumbung (rumah jamur) berdindingkan anyaman bambu seluas 42 meter persegi, di samping rumahnya di RT 29 RW 3 Jatirogo, Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun.

Hanya dengan disiram air bersih setiap hari, jamur berwarna putih bertumbuhan di setiap bag log. Dalam waktu satu bulan, jamur sudah bisa dipanen. Jamur itu terus muncul sampai empat hingga lima bulan berikutnya, sebelum kemudian bag log harus diganti baru.

Jamur putih yang dipanen sekitar lima kilogram setiap hari itu lalu dijual ke tetangganya Rp 8.000 per kilogram. Tanpa dinyana, mereka tertarik membeli guna dipakai membuat sayuran.

Banyaknya peminat itulah yang mendorong Wiwik dan Tri menambah jumlah bag log sampai akhirnya tahun 2007 sebanyak 1.000 bag log dibudidayakan di kumbung. Hasilnya, setiap hari mereka panen sampai 30 kilogram jamur putih.

Namun, banyaknya jamur putih yang dipanen itu justru membingungkan Wiwik dan Tri. Pasalnya, dari 30 kilogram hasil setiap hari, hanya sekitar 5 sampai 10 kilogram yang bisa terjual. Sisanya, menumpuk di gudang, tak ada pembelinya.

Dari situlah Tri lalu berpikir mengolah jamur tiram menjadi keripik, tetapi tidak mudah diwujudkan. Percobaan membuat keripik jamur tiram tidak kunjung berhasil. ”Ada yang keripiknya melempem, ada yang rasanya enggak enak,” kata Tri.

Sampai pada percobaan memasak ke-10, Tri dan Wiwik menemukan takaran yang pas. Jamur tiram yang digoreng dengan dicampur tepung terasa gurih dan enak rasanya.

Dengan pegangan ”resep rahasia” itu, keduanya memasak sekitar lima kilogram jamur untuk dijadikan keripik. Ada dua jenis keripik yang dijual, keripik berkualitas baik dijual Rp 70.000 per kilogram. Keripik yang nomor dua dijual Rp 1.250 per kemasan kecil.

Keripik jamur tiram awalnya dicoba dijual ke tetangga, warung, dan restoran sekitarnya. Awalnya ada penolakan karena sejauh yang mereka tahu jamur bisa membuat keracunan. Namun, setelah keripik dicoba dan aman, mereka pun membelinya dan menjadi pelanggan tetap.

Permintaan mengalir

Penyebaran dari mulut ke mulut membuat keripik kian dikenal. Awal 2009, permintaan bertambah, tetapi produksi jamur tiram terbatas.

”Permintaan datang dari luar Madiun, seperti Banjarmasin, Samarinda, Riau, dan Madura. Ada eksportir dari Lumajang yang menawarkan ekspor produk saya. Banyak juga tenaga kerja Indonesia yang membawa keripik saya untuk dijual di luar negeri,” ujar Tri.

Tri pun mencoba bekerja sama dengan 11 petani jamur di wilayah Dungus dan Kresek, Madiun. Jamur petani dibeli Rp 8.500 per kilogram ditambah jamur budidaya sendiri, Tri dan Wiwik mendapatkan jamur setengah kuintal per hari. Jamur dimasak dengan enam penggorengan untuk menghasilkan setengah kuintal keripik per hari.

Omzet penjualan keripik sekitar Rp 3 juta per hari. Penghasilan bersih sekitar 10-20 persen dari omzet, antara Rp 300.000 sampai Rp 600.000. Padahal, tiga tahun yang lalu, omzet dari menjual jamur tiram putih hanya Rp 40.000 per hari.

Ternyata jumlah produksi itu belum cukup memenuhi permintaan, terutama seperti mendekati Lebaran. ”Permintaan naik 100 persen. Butuh satu kuintal jamur tiram putih per hari untuk memenuhi permintaan. Hanya separuh permintaan yang dipenuhi,” kata Tri.

”Budidayanya mudah, murah, dan potensi pasarnya besar, tetapi sayang tidak banyak warga yang mengetahui hal ini sehingga ragu membudidayakannya,” tambahnya.

Karena itu, setiap kali warga atau mahasiswa datang belajar budidaya jamur tiram, dia memberikan pelajaran gratis. Biar semakin banyak orang mau menanam jamur tiram. Jika pasokan jamur tiram itu terbatas, obsesinya membuat waralaba keripik produksinya pun terganjal.

Dia harus berkutat sendiri dengan usahanya karena perhatian Pemerintah Kabupaten Madiun, terutama Dinas Pertanian pada pengembangan budidaya jamur sangat minim. Padahal, budidaya itu bisa menambah kesejahteraan petani.

”Perhatian pemerintah baru muncul kalau mengadakan acara. Kami diperebutkan oleh dinas-dinas yang mengklaim kami sebagai industri binaan mereka,” kata Tri sambil tersenyum. (A Ponco Anggoro)

Editor: Edj
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Sukarjo, dari Preman Jadi Kades Petani

Tuesday, October 20, 2009

Siapa itu Sukarjo ? Jika pertanyaan tersebut dilontarkan 12 tahun lalu, warga Desa Sukoharjo Ngalik, Sleman bakal menjawab Sukarjo itu preman. Namun jika pertanyaannya dijawab sekarang, Sukarjo adalah petani yang juga kepala desa.

Sukarjo (49) baru 1,5 tahun menjabat. Namun ketika peringatan Hari Pangan Sedunia di DIY dua pekan lalu ia ditunjuk mewakili kepala-kepala desa se-DIY menerima bantuan 500-an bibit sukun sebagai program diverifikasi pangan dan penghijauan desa , tentu ada alasannya.

Salah satu alasannya ialah, Sukarjo dianggap sukses memberdayakan tanah bengkok dan mengajak masyarakat untuk menyelami pertanian dan banyak menanam pohon . Tanah bengkok yang oleh banyak kepala desa hanya disewakan, di tangan Sukarjo, tanah bengkok ditanami aneka macam.

Tanah bengkok seluas sembilan hektar ditanami ketela pohon dan cabai. Ketela pohon juga ditanam di lahan miliknya yang seluas 2.000 meter persegi lebih. Dari hasil bertaninya ini, dalam sebulan Sukarjo bisa mendapat keuntungan Rp 30 juta lebih.

Dari daun ketela ketela pohon saja, yang didapat sudah lebih Rp 4 juta per bulan. Konsumennya adalah sejumlah rumah makan padang. Saat ini Sukarjo bisa mempekerjakan 25 orang, yang sebagian adalah warga. Beberapa petani lain warga desa yang sudah melihat cara bertaninya, lantas terinspirasi meniru. Beberapa tenaga kerjanya pun sudah mengundurkan diri karena ingin mandiri sebagai petani. Tapi, sejatinya hal itulah yang diinginkan Sukarjo.

Titik tolak hidup Sukarjo yang akrab dipanggil Gandung ini bermula tahun 1998, saat dia jenuh dengan dunianya: sebagai tenaga kontrak perusahaan kayu, sekaligus preman, tukang onar, dan tukang judi. Namun di sisi lain, kejenuhan itu tampaknya berbarengan dengan keinginannya menanam padi.

"Saya ingin menanam padi, juga menanam apa saja. Mungkin karena orang tua saya adalah petani, yang ditanam dikonsumsi sendiri dan rasanya kok enak. Saya lantas bilang ke orang tua dan saudara bahwa saya mau nggarap sawah, eh mereka ketawa. Sepertinya mereka nggak percaya bahwa saya yang sering gonta-ganti sekolah karena berkelahi ini, mau jadi petani," ujar lelaki tamatan SMP ini.

Namun karena berani ditantang, akhirnya sebagian tanah milik keluarga bisa didapat. Sukarjo lalu minta bantuan beberapa petani asal Magelang untuk bercocok tanam, dan ia sendiri berguru pada mereka. Nada sinis plus ditertawakan sering diterima, sehingga dalam bertani Sukarjo seperti petani yang single fighter , sendirian,

"Orang lebih gampang percaya jika melihat saya membawa kartu untuk judi dan keluyuran buat onar, ketimbang melihat saya mengangkut bibit dan menyentuh tanah. Karena itu, dulu kalau saya ke lahan, seringnya malam-malam karena agak malas ketemu warga dan dicurigai melulu. Kalau saya membawa bambu untuk tonggak tanaman cabai, lha nanti malah dikira mencuri bambu, hahahaha," ujarnya.

Walau Sukarjo sudah menjadi petani sejak tahun 1998 dan warga desa melihat gambaran kerjanya, urusan maju sebagai calon kades tetap tak mudah. Butuh kerja keras menyakinkan warga bahwa ia sekarang punya dunia baru, yaitu bertani, dan dia ingin memajukan desa lewat pertanian. Ia berprinsip jadi petani bisa kaya asal strateginya tepat.

Sekitar 20 tahun menjadi preman dan penjudi, dianggap Sukarjo cukup untuk memberinya karakter tak kenal takut dan tak ragu berspekulasi. "Seperti menanam cabai dan ketela, ya tanam saja. Rugi ya sudah, tapi besok coba menanam lagi. Jika rugi lagi ya menanam lagi. Kalau tetap rugi ya apes. Judi dan bertani sama-sama gambling. Dulu, uang jutaan saja bisa lenyap di meja judi dalam semalam dan saya tidak sedih. Masa sekarang saya takut berspekulasi, padahal istri dan anak saya mendukung," ujarnya. (Lukas Adi Prasetya)
PRA
Editor: Edj
Selengkapnya...

Wow... Budidaya Jambu Jamaica Mulai Diminati

Monday, October 19, 2009

Tanaman jambu jamaica cocok dikembangkan di Kabupaten Lampung Timur sehingga banyak warga yang mulai berminat membudidayakannya.
"Setelah tahu, kalau buah jambu jenis jamaica cocok ditanam di Lampung Timur, makanya saya tertarik untuk membudidayakannya di pekarangan rumah," ujar Saiful (43), warga di Desa Tulusrejo, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur, Senin (19/10).

Dia mengaku sangat berminat dan tertarik membudidayakan tanaman jambu jamaica yang masih terdengar asing di telinga warga. Bahkan, banyak warga yang langsung membeli bibit jambunya di sentra pembibitan Pekalongan.

Dikatakan, banyak warga tertarik saat melihat tanaman buah jambu di Taman Agro Wisata Pekalongan yang tumbuh subur, apalagi buahnya lebih besar dari jambu-jambu biasa.

"Saya belum pernah melihat buah jambu sebesar itu, makanya saya tertarik membudidayakan di kebun," ujar Saiful.

Menurut Koordinator Pengelola Taman Agro Wisata Pekalongan, Zaenal Arifin, komoditas buah jambu jamaica memang masih baru terdengar di Provinsi Lampung, karena buah ini juga baru pertama kali dibudidayakan di Kabupaten Lampung Timur.

"Memang belum untuk dipromosikan secara luas, karena baru dibudidayakan di daerah," katanya.

Taman Agro Wisata Pekalongan, lanjutnya, juga mulai mengembangkan jenis buah jambu lain selain jambu jamaica, karena struktur tanah dan cuaca di daerah Lampung Timur sangat memungkinkan untuk dibudidayakan berbagai jenis jambu dan buah-buahan lain.

Zaenal Arifin berharap, ada investor yang tertarik untuk mengoptimalkan budidaya buah jambu jamaica yang mulai diproduksi di Kabupaten Lampung Timur tersebut.

"Buah jambu jamaica bisa dipanen dalam waktu relatif singkat, selain itu sama sekali tidak bergantung musim, sehingga jika dikembangkan menjadi tanaman industri jelas sangat menguntungkan," katanya.

SOE
Editor: hertanto
Sumber : ANT
Selengkapnya...

Mencicipi Ranumnya Laba Buah Pepino

Thursday, October 15, 2009

Buah pepino (Solanum muricatum Aiton) atau di Indonesia biasa disebut buah melodi, mungkin masih asing bagi banyak orang. Tapi belakangan, permintaan buah yang termasuk keluarga terung ini mulai meningkat.


Maklum, masyarakat mulai mengenal khasiat buah yang berasal dari pegunungan Andes di Amerika Selatan ini. Buah ini kaya berbagai kandungan gizi, misalnya vitamin C, protein, beta karoten, asam, dan serat.

Karena itu, banyak orang mulai membudidayakan buah ini. Salah satunya adalah Bakri, pembudidaya pepino di kawasan Muntilan, Jawa Tengah. “Saya mulai budidaya pepino lima tahun lalu,” ceritanya.

Bakri menilai, prospek budidaya pepino ini cerah. Pria berusia 42 tahun ini mengatakan permintaan pepino cukup banyak. Bakri memasarkan buah hasil panennya ke pasar-pasar tradisional di sekitar Muntilan, Magelang, Ambarawa, dan Salatiga. Selain itu, dengan bantuan rekannya, ia juga memasarkan pepino ke supermarket di Solo, Yogyakarta, Purwokerto, dan Semarang.

Selama sebulan, biasanya Bakri bisa memanen empat ton pepino. Harga jual buah ini sekitar Rp 5.000 per kilogram (kg) kalau dijual lewat pengepul dan Rp 10.000 per kg jika dipasarkan langsung ke konsumen. Bakri mengambil margin laba sekitar 30 persen.

Menurut Bakri, peluang budidaya pepino masih terbuka. Apalagi, budidaya buah ini tidak terlalu sulit. Hanya saja, buah ini bisa tumbuh bagus bila di tanam di lahan yang lokasinya cukup tinggi. Saat ini budidaya pepino kebanyakan dilakukan di Dieng atau dataran tinggi Jawa Tengah.

Ada dua jenis pepino, yaitu yang berwarna ungu dan putih kehijauan. Rasa dan aroma buah ini seperti perpaduan mentimun, blewah, dan melon.

Untuk memulai budidaya, bibit difermentasi lebih dulu selama seminggu. Lalu bibit ditanam dalam lubang yang diberi pupuk kandang dengan jarak 1 meter x 50 cm. Bibit juga harus disiram sekitar 10-12 hari sekali, tergantung kondisi. “Kalau sudah subur tidak perlu ditambah pupuk, kalau agak kurang baru ditambahkan,” imbuh Bakri.

Buah melodi mulai bisa dipanen saat usianya tiga bulan. Pengalaman Bakri, ia bisa memanen satu ton sampai 1,2 ton pepino per hektar tiap minggu. Umumnya, masa produktif pepino hanya setahun. Setelah itu pepino perlu peremajaan dengan bibit baru. (Dupla Kartini/Kontan)

Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Usaha Manisan Mangga Cirebon

Saturday, October 10, 2009

Melimpahnya buah mangga di Cirebon merupakan sumber produk makanan olahan yang kaya rasa. Salah satunya, manisan mangga buatan keluarga Handrawati (45) yang menjadi oleh-oleh khas dari ”Kota Udang” ini.

Tak banyak orang tahu, sebagian manisan mangga yang dibeli wisatawan di toko oleh-oleh di Kota Cirebon itu berasal dari sebuah rumah sederhana di Jalan Garuda, Kota Cirebon.

”Hampir 80 persen manisan mangga yang kami buat dibeli toko oleh-oleh tanpa merek. Mereknya mereka buat sendiri sesuai nama toko masing-masing atau nama dagangnya. Hanya 20 persen yang pakai merek kami sendiri,” ujar Handrawati, yang menggunakan merek Taci Kembar pada produk manisan mangganya.

Saat ini, sudah mulai banyak pelancong yang datang ke Cirebon mengenal manisan mangga Taci Kembar. Mereka terkadang sengaja datang ke rumah Wawa, panggilan akrab Handrawati. Dia sudah merintis bisnis ini selama 30 tahun.

Sukses bisnis Wawa diraih berkat kegigihan. Jatuh bangun dan kegagalan usaha dalam usaha manisan mangga sudah pernah dialaminya.

Semua anggota keluarganya pun ikut terlibat dalam memasarkan manisan mangga ini. ”Kami dari keluarga biasa. Kalau barang tidak terjual, kami tidak bisa sekolah. Jadi, di sekolah, saya juga jualan manisan mangga,” kenang Wawa.

Usaha pembuatan manisan mangga dimulai sebelum tahun 1970 oleh almarhum kakak perempuan dari ayah Handrawati.

Mulai tahun 1980-an, usaha pembuatan manisan mangga diteruskan Handoko, ayah Handrawati. Karena respons pasar bagus, pemasaran mulai diperluas sampai ke Bandung, Cianjur, Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

Asli dan alami

Satu hal yang selalu menjadi komitmen usaha Wawa selama puluhan tahun adalah terus mempertahankan resep asli dan alami manisan buatan keluarganya. Menurut dia, konsumen sekarang sangat kritis sehingga mereka akan memilih yang terbaik untuk mereka konsumsi.

Oleh karena itu, keaslian cita rasa harus dijaga. Salah satunya, menggunakan mangga segar dan tidak menggunakan bahan pengawet.

Semua mangga yang diproses adalah mangga yang baru dibeli dari petani di daerah Ciledug dan Tengah Tani, Kabupaten Cirebon. Jenis mangga yang dibeli terdiri dari cengkir, golek, kidang, dan mangga lalijiwo.

Tidak ada mangga yang distok lebih dari seminggu. Akibatnya, proses produksi hanya berjalan selama delapan bulan, hanya saat panen mangga.

Mangga-mangga itu langsung dikupas, direndam dengan garam selama sehari semalam untuk menghilangkan getah. Kemudian direndam dengan air gula selama dua hari. Selanjutnya, dijemur di bawah terik matahari selama 3-4 hari sampai benar-benar kering.

Tidak memakai bahan kimia pengawet dan pengeras atau mesin pengering. Semua proses pembuatan masih alami dan tradisional sehingga rasa yang ditimbulkan juga alami.

”Rasa tidak bisa bohong, Mas. Biarpun (harganya) lebih mahal, kalau rasanya enak, pasti tetap dicari,” ujar Wawa yang kini menjalankan usahanya bersama adik perempuannya.

Selama 6-8 bulan, sekali produksi, Taci Kembar membutuhkan 100 kilogram mangga, yang bisa menghasilkan 15 kg manisan mangga berbagai jenis. Pembuatan manisan mangga 5-7 hari bergantung pada cuaca. Jika musim hujan, akan lebih lama karena tidak banyak sinar matahari untuk menjemur.

Saat ini, harga manisan mangga Taci Kembar dijual Rp 40.000-Rp 60.000 per kg. Ukuran kemasan yang ditawarkan mulai dari 100 gram, 250 gram, 500 gram, sampai 1 kg. Manisan mangga juga dijual hingga ke Jakarta, Surabaya, dan Pulau Dewata Bali.

Editor: jimbon
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...