Followers

Google
 

Sepatu Cibaduyut Bisa Hasilkan Rp 10 M

Thursday, March 31, 2011

Perajin sepatu Cibaduyut tidak hanya menyayangkan sikap pemerintah yang kurang memberikan perhatian kepada mereka. Namun, sedikitnya generasi muda yang mau belajar dan melanjutkan usaha juga menjadi faktor penting dalam keberlanjutan usaha kerajinan sepatu kulit ini.

"Saya sedih saat tahu ada pengrajin yang bisa menyekolahkan tinggi anaknya, tapi saat lulus tidak kembali ke Cibaduyut, malah kerja di perusahaan orang. Seharusnya mereka itu kembali ke Cibaduyut dan melanjutkan usaha sepatu," kata Jaya Sunarya (47) di pabrik sepatu rumahan miliknya, Cibaduyut Jaya, Kelurahan Cibaduyut, Kecamatan Bojongloa, Bandung, Jawa Barat, Rabu (30/3/2011).

Selain itu, tambah Jaya, banyak perajin sepatu mengarahkan anak-anaknya untuk tidak menjadi perajin sepatu. Padahal, sangat penting untuk menciptakan generasi muda yang mau, bisa, dan mampu mengelola usaha sepatu.

"Saya melihat para pengrajin sudah merasakan pahitnya menjadi pengusaha sepatu sehingga mereka tidak ingin anak-anak mereka merasakannya pahitnya juga. Padahal, anggapan ini salah. Justru di luar sana kehidupan lebih pahit. Orangtua harus menyiapkan anaknya untuk kembali, mengelola sumber daya yang ada, ya usaha sepatu Cibaduyut ini," kata Jaya.

Jaya mengisahkan bahwa dia belajar membuat sepatu dari orang lain. Setelah dia mampu membuat sepatu, dia mengumpulkan modal untuk bisa membuka usaha sepatu sendiri.

Ia memulai usaha dari tahun 1986, awalnya dalam sepekan dia hanya mampu membuat 40 pasang. Usahanya berkembang pesat hingga sekarang mampu membuat 2.000 pasang sepatu tiap bulannya. "Saya tidak lulus SD, hanya sampai kelas IV. Tapi saya mau belajar dan saya jadi seperti ini sekarang. Dan sebenarnya generasi muda Cibaduyut harus melihat pontensi ini, bukan malah jauh-jauh mencari makan di tempat lain," kata Jaya.

Potensi usaha sepatu Cibaduyut masih amat besar. Bahan baku untuk membuat sepatu pun tidak kurang. Jika sedang ramai pesanan, Jaya bisa mendapatkan Rp 8 miliar hingga Rp 10 miliar. "Saya merasa, penting sekali jika ada sekolah untuk pendidikan sepatu. Kemudian rekrut orang-orang yang putus sekolah untuk kemudian dipekerjakan di Cibaduyut," kata pria beranak tiga ini.

Harus ada keberanian dari generasi muda untuk kembali ke Cibaduyut dan meneruskan usaha ini. Ditakutkan, dengan semakin sedikitnya generasi penerus, ke depannya usaha sepatu Cibaduyut kian tenggelam.

Selengkapnya...

Easy Clean, Pelopor "Laundry" Kiloan

Thursday, March 24, 2011

Padatnya penduduk dan permukiman di kota-kota besar telah melahirkan usaha penatu atau laundry di segala tempat. Bagaimana para penatu ini dapat bertahan di tengah persaingan yang begitu ketat tersebut?

Bagi Anda yang tinggal di Jakarta atau kota-kota besar lain, tidak sulit menemukan jasa penatu di sekitar tempat tinggal. Di satu kompleks perumahan, misalnya, penyedia jasa pencucian pakaian seperti ini bisa puluhan jumlahnya. Maka terjadilah ”perang” antartetangga dalam menjaring pelanggan.

Aditya Trituranta menyikapi hal ini dengan strategi pemasaran berbeda. Ia lebih suka membidik kalangan muda sebagai target usaha penatunya.

Berawal dari tahun 2002, pria yang kini masih aktif bekerja di maskapai penerbangan milik negara itu membuka rumah penatu di Yogyakarta. Ia sengaja menamai usahanya itu dengan unsur lokal.

”Namanya House of Laundry Benresik, itu usaha pertama saya di Yogyakarta,” kata Aditya saat ditemui Kompas.com di rumah penatunya, Jalan Rawa Buntu Utara, Serpong, Tangerang Selatan, Kamis (24/3/2011). Benresik dalam bahasa Jawa ditulis ben resik berarti supaya bersih.

Usaha tersebut diliriknya karena melihat pangsa pasarnya yang kebanyakan mahasiswa. Kebetulan lokasi penatu Benresik itu tak jauh dari kampus Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta. Pelanggannya, ya, para mahasiswa UPN itu. ”Saya 'kan juga pernah jadi mahasiswa. Tahulah, gimana kondisi mahasiswa yang malas mencuci dan biasanya cenderung mencuci di laundry,” tutur Aditya.

Setelah setahun membuka usaha di Yogyakarta, Aditya mulai menjajaki kota lain untuk melebarkan sayap bisnis. Ia pun membuka rumah penatu di kawasan BSD City sektor 1.2, Kota Tangerang Selatan.

Usahanya bernama House of Laundry Easy Clean. Segmen pasarnya dibuat lain dari segmen pasar Benresik yang kini dikelola oleh adik Aditya. ”Kalau yang di Yogyakarta segmennya mahasiswa. Nah, yang di BSD City ini segmennya para keluarga dan eksekutif muda,” ujarnya.

Aditya mengakui, awalnya ia ragu dalam menetapkan pasar kalangan muda usia. Lagipula lokasi Easy Clean di BSD City berada di sekitar permukiman kelas menengah ke atas di mana keluarga di situ umumnya memiliki pembantu atau mesin cuci. Keraguan itu terbantahkan setelah ia menjalani semua rintangan dalam berbisnis penatu. Kini setidaknya ada 1.000 pelanggan yang menggunakan jasa Easy Clean. ”Saya selalu perhatikan tiga hal dalam usaha saya, yaitu kualitas SDM (sumber daya manusia), SOP (standard operating procedure), dan instrumen," katanya.

Di antara ketiga faktor itu, faktor sumber daya manusia merupakan faktor terpenting. ”Percuma juga kalau instrumen bagus, tapi SDM-nya kurang berkualitas, hasilnya pun kurang,” katanya menceritakan kunci keberhasilan rumah penatu Easy Clean. Karena faktor inilah, Aditya tidak takut bersaing dengan bisnis penatu lain di kawasannya.

Selain menyasar segmen kalangan muda, Aditya juga membuat perbedaan pada penatu Easy Clean ini. Waktu itu, bisnis penatu umumnya memasang harga layanan berdasarkan jumlah dan jenis pakaian yang dicuci. Aditya menabrak pakem ini dengan menawarkan jasa harga per kilogram pakaian. Konsep baru ini diklaimnya sebagai pelopor dalam bisnis bersih-bersih pakaian. ”Saya bilang pionir karena konsep kami laundry kiloan, kalau biasanya kan laundry per potong. Itulah keunikan kami,” tuturnya.

Hingga sekarang, omzet rumah penatu Easy Clean telah mencapai Rp 30 juta per bulan. Aditya mempekerjakan 17 orang untuk dua gerai Easy Clean di BSD City dan Villa Melati Mas, dua-duanya di kawasan Serpong.

Jasa pencucian baju per 5 kilogram pakaian dikenakan biaya Rp 16.000 atau rata-rata Rp 3.000/kg. Untuk mencuci pakaian hingga kering, dikenakan tarif Rp 29.000. Jika menginginkan pakaian rapi terseterika, dikenakan tarif Rp 40.000. Bagi para eksekutif muda yang selalu ingin tampil rapi dan formal, bisa ditambahkan gantungan pakaian seharga Rp 3.000 per biji. ”Rata-rata dua hingga 5 hari pengerjaan hingga selesai, tergantung kapasitas dan pesanan juga. Karena kalau kita overload, pastinya dibutuhkan waktu yang lebih lama,”ujar Aditya.

Aditya juga menawarkan konsep usaha waralaba (franchise) untuk penatu kiloannya tersebut. Saat ini sudah ada tiga tempat waralaba yang menggunakan nama Easy Clean, yakni dua Cibubur, Jawa Barat, dan satu di Kota Malang, Jawa Timur.

”Kalau yang tiga franchise itu, saya memberikan training untuk karyawan dan menjadi konsultan mereka. Jadi kepemilikannya tetap mereka pribadi,” ucapnya. Memberikan pelatihan dan konsultasi penatu kepada waralaba ini penting bagi Aditya demi menjaga citra Easy Clean dan layanan yang diberikan. Gerai Easy Clean buka tiap hari mulai pukul 06.00 hingga pukul 22.00.

Selengkapnya...

Jadi Pengusaha Bukan Mimpi

Monday, March 21, 2011

Apakah Anda punya niat atau mimpi jadi pengusaha sukses? Jangan terlalu lama mengimpikannya, segeralah mewujudkannya dengan tekad dan keuletan berusaha.

Itulah nasihat dari Pipie Soeyoto, seorang sarjana bidang pertanian yang "banting setir" menekuni pembuatan tas dan delivery service. Siapa sangka usahanya ini akhirnya berkembang pesat dan menghidupi ribuan karyawan.

Begitulah awal mula berdirinya PT Huda Rachma Grupindo (HRG). Huda dan Rachma adalah nama putra dan putri Pipie, yang kemudian dijadikannya nama usaha pembuatan tas skala rumahan pada 1992.

Pada mulanya, Pipie sama sekali tak pernah memikirkan untuk menjadi pengusaha seperti itu. Selepas kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Jawa Tengah, Pipie memilih mencari pekerjaan dengan melamar berbagai perusahaan. Enam bulan lamanya Pipie menanti pekerjaan, tapi semuanya nihil.

Karena bosan menunggu panggilan kerja yang tak kunjung tiba, ia nekat membuka usaha. Untunglah niatnya itu didukung penuh oleh orang-orang terdekat termasuk keluarganya. Dari garasi rumahnya, Pipie kemudian mulai melayani pembuatan tas. Modalnya hanya dua unit mesin jahit, karyawannya pun baru tiga orang.

"Untuk pengembangan usaha rumahan, saya dulu sempat jual mobil (Daihatsu) Espass sekitar pertengahan dekade 90-an. Harganya sekitar 30 juta," kenang Pipie saat ditemui Kompas.com, Senin (21/3/2011) di kantornya, Jalan Permata Pamulang, Buaran, Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten.

Karena usahanya mulai besar, Pipie mencoba mulai menjajal jenis usaha lain. Ia juga melayani pemasokan tas untuk delivery service. Pipie juga menyanggupi penyediaan tenaga dan motor untuk pengantaran. Tenaga outsource dari perusahaan Pipie itu telah dimanfaatkan oleh sejumlah restoran siap saji di beberapa kota, seperti McDonalds, Solaria, dan Burger King.

"Kami yang pegang mulai dari tas untuk delivery-nya, motornya, dan tenaganya untuk fastfood delivery tersebut," jelas Pipie, yang kini tinggal di kompleks The Green, salah satu kawasan elite di BSD City, Serpong.

Usaha Pipie itu kini tak hanya melayani area Jakarta. Ia sudah merambah ke Surabaya dan Malang di Jawa Timur, Solo di Jawa Tengah, hingga Daerah Istimewa Yogyakarta. Omzet per bulan dari usahanya pun tidak main-main, bisa mencapai miliaran rupiah!

"Di setiap cabang kami di kota lain, kami sudah punya kantor sendiri. Next project kami di Bali, Bandung, sama daerah lain," tambah ibu dari tiga anak tersebut. "Sampai sekarang, kami sudah punya seribu tenaga kerja dan berbagai cabang di wilayah lain."

Pipie juga sempat mencoba bisnis lain. Suatu ketika, ia menjajal peruntungan dengan membangun kafe di rest area tol Jakarta-Cikampek. "Dulu saya sempat buka kafe di rest area tol Cikampek, yang sekarang ada Starbucks itu. Tapi ya gitu, karena itu bukan dunia saya, ya akhirnya berakhir," kisahnya.

Merasa peruntungannya ada pada pembuatan tas dan delivery service, Pipie enggan melirik bisnis lain. Kini sehari-hari ia sibuk di kantornya yang juga berfungsi sebagai pabrik. Kantor ini baru didirikannya pada 2002 atau sepuluh tahun sejak ia merintis usaha. "Di pabrik ini, semua proses tetap saya awasi, mulai dari pemilihan bahan, pemilihan warna, sampai rekrutmen pegawai, saya urusi," kata Pipie.

Pada jam kerja, Pipie selalu berada di kantor pada jam kerja. Pipie ikut mengawasi dan mengurusi sendiri semua urusan kantor. "Kecuali kalau lagi ada meeting, pasti saya ada di luar," jelas wanita ayu kelahiran Solo.

Pipie sudah merasakan bagaimana harapan dan mimpinya menjadi pengusaha telah tercapai. Kepada orang lain yang ingin terjun di dunia usaha, Pipie menyarankan agar jangan takut mencoba. "Yang penting jangan takut bermimpi untuk menjadi orang sukses. Dan, yang penting kita harus tetap taat sama Tuhan, agar kita bisa memberikan yang terbaik bagi sesama kita," pungkasnya.

Selengkapnya...

Langkah Batik Bogor Menembus Dunia

Sunday, March 20, 2011

Saat ini, Batik tidak hanya menjadi kebanggaan Jogja, Solo, dan sekitarnya. Kota hujan Bogor pun yang terkenal dengan pusat kuliner, seperti roti unyil dan asinan Bogor, kini pun bisa memproduksi batik.

Batik Bogor Tradisiku, begitulah merek dari usaha batik yang didirikan oleh pelopor Batik Bogor Siswaya, pada 13 Januari 2008.

Usahanya sendiri telah dimulai akhir 2007. Saat ini, telah memiliki 30 orang karyawan, termasuk yang tidak tetap. "Bapak yang mendirikan usaha ini, padahal Bapak dan keluarga nggak ada yang sebagai pembatik," tutur putri Siswaya, Lisha Luthfiana Fajri kepada Kompas.com, di Jakarta, Minggu (20/3/2011).

Meski diakui ayahnya memang kelahiran Jogja, tapi sudah 28 tahun tinggal di Bogor. "Kenapa diambil nama itu? Itu suatu doa juga, agar Batik Bogor menjadi tradisi. Selain itu, Bapak ingin memberikan sesuatu untuk melestarikan batik sebagai budaya Indonesia," jelasnya.

"Bogor kan awalnya nggak ada batik, jadi dengan ada usaha ini membuka lowongan pekerjaan. Nah, karena mereka nol pengetahuan membatiknya, kita adakan pelatihan, juga didatangkan tenaga-tenaga ahli," jelas Lisha.

Tenaga ahli ini didatangkan dari Jogja, yaitu para korban bencana gempa, ke Jakarta, sejumlah 4 orang. Empat orang ini yang mengajarkan sejumlah karyawan, yang merupakan penduduk Bogor untuk membatik.

Motif "Hujan-Gerimis" dan "Kujang-Kijang" sebagai Motif Andalan. "Karena Bogor kota hujan, kita mengusung motif dari situ, yaitu motif hujan-gerimis, dan kujang-kijang. Kujang itu kan senjata khas Jawa Barat, sedangkan Kijang sebagai perlambang ketentraman dan keamanan Kota Bogor. Selain itu ada motif bunga Bangkai," sebutnya, sambil memperlihatkan sejumlah kain berwarna ungu yang bermotif tersebut.

Mengenai produksi yang dihasilkan, ia menjelaskan, untuk kain tulis dengan tingkat kesulitan standar, sebulan bisa menghasilkan 50 kain. "Kalau batik cap bisa 150-200 kain, dan untuk printing sehari bisa 200 meter, tapi itu dengan syarat kondisi matahari cukup," ungkapnya. Cuaca Bogor yang dikenal dengan tingkat curah hujan yang tinggi, memberikan kendala untuk produksi.

Hambatan lainnya, menurut Lisha, harga produknya yang sempat dianggap mahal. "Batik ini dianggap mahal, lebih mahal dari dibandingkan daerah-daerah Jawa, seperti Pekalongan," jelasnya.

Sebenarnya mahal, karena batik ini pakai kain katun primisima yang kualitas baik. "Dan, dijamin tidak luntur," tutur Lisha. Ia mematok produknya, seperti untuk batik tulis mulai Rp 400.000- Rp 1,5 juta, batik cap Rp 160.000 - Rp 300.000, serta printing Rp 35.000 - Rp 40.000.

Dari Bogor hingga Thailand

Toko pusatnya ada di Jalan Jalak No.2, dekat Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan, proses pembuatannya ada di Neglasari, dekat asrama Brimob Kedung Halang. "Di Jalan Jalak, kami mengusung konsep tempat wisata, di situ ada cara pembuatannya, ada produk jadi, ada pelatihan, ada tempat kulinernya juga, dengan nama tempat yang sama, Batik Bogor Tradisiku," jelasnya.

Tempat pemasarannya pun tidak hanya di dua tempat tersebut, tapi meliputi mal, seperi Mal Botani Square-Bogor, Pasaraya Grande Jakarta, dan Sarinah Jakarta. "Juga ada kerjasama dengan galeri di kota lain, seperti di Madiun dan Thailand. Itu kerjasama dengan rekan saya, yang kebetulan kerja di Galeri Pattaya," tuturnya.

Seiring dengan kerjasama dengan Pemda Kota Bogor, produksi pun meningkat. Kerjasama tersebut menghasilkan permintaan batik untuk seragam pegawai. "Jadi, banyak "hujan-gerimis" di Kota Bogor, khususnya hari Kamis, kan hari pakai Batik kalau di Bogor," jelasnya.

Tidak hanya dipakai pegawai Pemda, sejumlah sekolah di Bogor bahkan Jakarta pun sudah menggunakan Batik Bogor Tradisiku ini sebagai seragam untuk para guru dan murid.

Dalam memenuhi permintaan batik untuk dipakai sebagai seragam, Batik Bogor ini juga menerima pesanan motif, seperti ikan untuk dinas perikanan.

Pelatihan Batik

Batik Bogor Tradisiku ini juga memberikan pelatihan membatik bagi para siswa hingga ibu-ibu rumah tangga. PGN pun Tertarik Untuk Dijadikan Mitra Binaan "Karena kami sudah memiliki kualitas yang baik, kinerjanya juga baik. Nah dari situ Perusahaan Gas Negara (PGN) melihat," jelasnya.

Dengan menjadi mitra binaan PGN sejak 2010, Batik Bogor Tradisiku telah diajak ke sejumlah pameran, yang tentu meningkatkan promosi dan penjualan. "Nah, dari pameran, produk kami bisa dibeli orang luar, waktu itu ada ekspat dari Thailand. Beli produk untuk koleganya disana," jelasnya.

Selengkapnya...

Mencicip Laba Kuliner Bermodal Uang Jajan

Monday, March 14, 2011

Jangan pernah meremehkan uang jajan, sekecil apa pun nilainya. Uang saku semacam ini bisa berlipat ganda jika dikelola dengan benar.

Begitulah prinsip yang selalu dipegang teguh oleh Ary Gunawan. Dengan memanfaatkan kemajuan digital, pria kelahira Gresik, Jawa Timur, itu menjalankan bisnis kuliner dengan menu ayam bakar secara cermat.

"Saya memilih ayam bakar karena tidak rumit, baik dalam persiapan, memasak, maupun menyimpannya," kata Ary membuka percakapannya dengan Kompas.com, Sabtu (12/3/2011). Alasan lain, makanan dengan bahan dasar ayam disukai banyak orang, bahannya pun murah dan gampang dicari.

Usaha ayam bakar milik Ary ini diberinya nama Ayam Bakar Ciamik (ABC). Ia merintis usaha tersebut dari nol bersama istrinya, Ami. Sejak awal, ia sudah membuat konsep berdagang secara murah: tanpa warung, tanpa pegawai, dan dengan modal tetap sekecil mungkin.

"Saya sengaja tak memakai warung karena terkendala peraturan lingkungan yang tak membolehkan warganya membuka warung atau kios di rumah. Untuk sewa kios di luar kluster, modalnya minimal Rp 4 juta-Rp 5 juta per tahun," jelas Ary, yang sebelumnya pernah bekerja sebagai analis pemasaran di sebuah Badan Usaha Milik Negara.

Ary tak menyerah oleh keadaan. Kendala itu disiasatinya dengan cara melayani pelanggan dengan pesanan via telepon, SMS, dan jejaring sosial Facebook. Pada Mei 2010, ia mulai menerima pesanan dari tetangga-tetangganya di kompleks Serpong Garden, Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten. Pada bulan pertama, ia menggunakan ayam broiler sebagai bahan dasar, sebelum digantinya dengan ayam pejantan yang memiliki tekstur lebih baik dan sedikit kolesterol.

Modal uang jajan

Soal modal, Ary menyebut besarannya setara dengan "uang jajan", lebih kurang Rp 200.000. "Ini kan sama dengan menyisihkan uang untuk beli pulsa atau beli baju. Waktu itu saya cuma memakai satu wajan (teflon) untuk memanggang ayam, ayamnya pun hanya 3-5 ekor," katanya.

Modal lainnya adalah ketekunan. Ary mencari buku untuk resep ayam bakar madu dan ayam goreng. Istrinya kemudian mencoba-coba sendiri resep yang cocok di lidah pelanggan. Karena pelanggan puas, mulai Oktober 2010 Ary memberanikan diri untuk memperluas "daya jelajah" ABC hingga ke Bumi Serpong Damai, yang berjarak dua hingga lima kilometer dari rumahnya. Pengantaran pesanan dilakukan dua kali sehari, yakni pukul 10.30 dan 15.30.

Pengembangan usahanya ini berhasil. Pesanan mulai bertambah, kini Ary menghabiskan 8-10 ekor ayam setiap hari. Demi efisiensi waktu dan biaya, pengantaran makanan mulai ia limpahkan kepada tukang ojek di sekitar rumahnya. "Saya menghindari fixed cost dengan tidak merekrut pegawai dan membeli mobil," katanya.

Ary pun mengatur siasat agar pesanan dapat diantar sebanyak mungkin dengan hanya sekali jalan. Ia mulai memasuki komunitas-komunitas warga di Serpong agar pengantaran makanan bisa dilakukan serentak di satu kawasan.

"Saya memanfaatkan BlackBerry Messenger (BBM). Jadi kalau ada pelanggan pesan, saya kirim BBM ke pelanggan lain di sekitarnya, siapa tahu ikut pesan juga," jelas Ary.

"Kuliner ini sasarannya komunitas, jadi ada repeat order. Kenapa kuliner? Karena bisnis ini murah dan gampang mencari bahannya, cash flow-nya cepat, margin keuntungannya optimum," tambahnya.

Selama kurang lebih sembilan bulan, ABC melayani pesanan dari pelanggan di BSD City hingga Alam Sutera, Serpong. Pemesannya tak hanya para pegawai kantoran yang kesulitan mencari makan siang di kawasan tersebut, tapi juga rumah tangga. Ary juga menerima pesanan khusus untuk acara keluarga, seminar, ataupun acara-acara lain.

Pasar pun mulai bergerak lebih luas. Mulai Maret 2011, Ary mulai menyanggupi pesanan di area Gading Serpong maupun pesanan khusus dari Jakarta. Untuk melengkapi usahanya, ia dan rekannya bekerja sama membuka kedai kecil di pekarangan sebuah rumah di dekat Granada Square BSD City, Serpong, Tangerang Selatan. Dengan adanya kedai offline, pelanggan dapat membeli dengan cara take away atau tetap melalui delivery service dengan pengantaran lebih cepat.

Ary mengungkapkan, usahanya kini dapat mendulang omzet Rp 12 juta per bulan dan masih punya potensi lebih besar. Itu belum termasuk pesanan-pesanan khusus untuk acara-acara tertentu. Margin keuntungan yang diraihnya bisa mencapai 40 persen.

Dalam waktu dekat, Ary mulai menjajaki peluang bisnis lunch box untuk pesanan-pesanan jarak jauh. Pria bersahaja yang selalu mengaku "masih belajar berwirausaha" ini juga tetap membuka kelas entrepreneur in action untuk berbagi pengalaman kepada siapa pun yang ingin terjun dalam dunia bisnis. Asalkan ada niat dan tak takut rugi, niscaya siapa pun dapat memiliki usaha mandiri.

Selengkapnya...

Gurihnya Bisnis Keripik Tahu Magelang

Karyadi adalah sosok sederhana. Ia berkacamata minus. Ia lebih sering bercelana pendek, bahkan ketika ada tamu ke rumah kontrakan yang dijadikan gudang untuk produknya.

"Tamu mau pesan keripik tahu," begitu ujar pria bernama lengkap Karyadi (38), warga Kampung Trunan, Kota Magelang, Jawa Tengah, ini.

Menerima tamu yang memesan produknya sekarang menjadi kesibukan sehari-hari bapak dua anak ini. Setiap hari selalu ada konsumen yang memesan. Kini, hampir di seluruh tempat yang menjual oleh-oleh di Pulau Jawa ada keripik tahu buatannya.

Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan ketika awal dia merintis usaha ini. Keripik yang diberi nama dari gabungan nama dirinya dan istrinya, Yuli Siswanti-Karyadi (Yuka) ini mulai dirintisnya sejak Oktober 2004.

Karyadi dan keluarganya tinggal di Kampung Trunan, asal istrinya. Kampung ini terkenal dengan sentra produksi tahunya. Namun, karena pengolahan dan pemasarannya masih dilakukan tradisional, tahu produksi kampung tersebut tidak begitu dikenal di luar daerah.

Tahu buatan mereka hanya dijual di Pasar Gotong Royong, beberapa meter dari kampung tersebut. Daya tahan tahu ini menjadikan salah satu alasan mereka tidak memasarkan produk mereka ke luar daerah.

"Tahu biasanya hanya bertahan selama dua hari, jarak menjadi salah satu pertimbangan untuk pemasarannya," ujarnya.

Setelah memperlajari seluk-beluk tahu, ia mencoba bereksperimen. Ketika itu, ia habiskan gaji dari sebuah persewaan komputer untuk melakukan uji coba. Selama delapan bulan ia survei di pasar tradisional.

"Saya keluar masuk pasar, melakukan survei sendiri," kata Karyadi. Baru pada bulan ke-13, ia menemukan formula yang cocok. Tahu dibentuk bulat, digoreng, kemudian dipotong dan digoreng lagi dengan bumbu hingga menjadi keripik.

Inovasinya ini tidak langsung disambut baik di pasaran. Bahkan tidak jarang yang ia dicemooh pemilik toko yang akan dititipi. "Ada yang bilang anjingnya pun tidak doyan makan makanan seperti ini," kata Karyadi mengingat saat-saat sulit memperkenalkan keripik tahunya.

Istri dan keluarganya pun hampir putus asa mendampingi usahanya tersebut karena tidak kunjung laku dan tidak untung dijual.

"Saya tetap tidak putus asa. Saya terus melakukan eksperimen sampai benar-benar memperoleh keripik tahu yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat," katanya. Pada saat bersamaan, dia terjerat utang ke rentenir. Awalnya, ia pinjam uang Rp 4 juta dari rentenir.

"Itu saat-saat sulit. Saya tidak pernah bisa mengambalikan utang karena bunganya sangat tinggi, 10 persen per bulan. Saya benar-benar kapok," kenangnya.

Hingga tahun kedua, usahanya mulai stabil. Pesanan dari luar kota mulai datang sendiri. Setelah itu, istrinya juga mengikuti jejak suaminya, meninggalkan pekerjaan dan fokus pada wirausaha mereka.

Namun, saingan baru mulai bermunculan, bahkan berani menjual jauh lebih murah. Pria yang pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah kota sebagai penemu keripik itu tetap bertahan.

Ia lebih mengoptimalkan manajerial dalam pengelolaan usahanya, sembari bertahan dengan harga dan lebih memaksimalkan kualitas.

"Akhrinya banyak produsen yang gulung tikar karena biaya produksi tidak sesuai hasil yang diperoleh," ujarnya. Keripiknya berhasil bertahan hingga sekarang, bahkan sempat kewalahan menerima pesanan.

Omzetnya kini mencapai Rp 200 juta per bulan. Harga per bal atau 2,5 kg sebesar Rp 64.000 untuk grosir. Harga konsumen Rp 64.000.

Usahanya sekarang sudah maju. Dia pun berhasil mendirikan toko untuk memajang produknya dan aneka produk oleh-oleh khas Magelang.

Sedangkan untuk berusaha mencukupi pesanan, dia mendirikan pabrik seluas 200 meter. Ia juga mampu beli mesin pembuat tahu seharga Rp 120 juta. "Insya Allah pabrik tersebut sebentar lagi bisa berproduksi," terangnya.

Hasil jerih payahnya tersebut juga mendapat perhatian dari Pemerintah Kota Magelang. Berdasarkan penilaian dan penentuan pemenang penyelenggaraan dan penjaringan kreativitas dan inovasi masyarakat (KREANOVA) tingkat Kota Magelang, pada 25 Agustus 2009, ia mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penemu/pelopor keripik tahu.

Penghargaan itu diberikan langsung Wali Kota Magelang yang saat itu dijabat Fahriyanto. Karyadi pun merasakan gurihnya bisnis keripik tahu.
Selengkapnya...

Domba Garut, Plasma Nutfah Indonesia

Thursday, March 10, 2011

Peningkatan potensi domba garut sebagai plasma nutfah unggulan Indonesia belum dimaksimalkan. Padahal, domba garut bisa menjadi salah satu penyumbang ketersediaan daging secara nasional sekaligus menjadi identitas ciri khas lokal asli Indonesia.

"Potensi ini membutuhkan dukungan banyak pihak bila ingin bertambah menjadi lebih besar. Bila berhasil ditingkatkan, tidak hanya mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat Garut," ujar Bupati Garut Aceng Fikri saat melantik Pengurus Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia (HPDKI) Kabupaten Garut 2011-2016 di Garut, Rabu (9/3/2011).

Aceng mengatakan, dengan segala karakteristiknya, usaha peternakan domba garut diyakini mampu menyumbangkan ketersediaan daging secara lokal dan nasional. Alasannya, dengan perawatan yang relatif mudah, seekor domba garut mampu menghasilkan daging antara 40-80 kilogram.

Selain itu, dengan pengolahan yang benar, kulit domba garut berpotensi menjadi bahan olahan lain seperti jaket atau kerajinan lainnya bernilai ekonomi tinggi.

Akan tetapi, Aceng mengatakan, potensi itu belum dikembangkan sepenuhnya. Salah satu penyebabnya adalah minimnya populasi domba garut. Meskipun tidak ada data pasti mengenai jumlah domba garut, diperkirakan seorang petani hanya memiliki 10 ekor domba garut.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan kapasitas produksinya, Aceng menekankan pada petani dan pembudidaya domba garut agar terus menjaga produktivitas ternak domba dengan meningkatkan proses reproduksi.

Caranya, rajin melakukan proses perkawinan pada domba garut yang siap kawin. Hal itu diyakini akan mampu menjamin ketersediaan ternak domba secara berkelanjutan.

Selain itu, Aceng juga mengharapkan setiap peternak yang sudah mahir juga bersedia mengembangkan keahliannya pada masyarakat lainnya. Tujuannya, agar sektor peternakan domba garut ini bisa turut meningkatkan kapasitas perekonomian masyarakat setempat.

"Dipadukan dengan budaya laga domba garut yang kerap diselenggarakan masyarakat, saya yakin bila digarap dengan serius maka akan semakin banyak petani dan sektor usaha lewat keberadaan domba garut," katanya.

Ketua Umum HPDKI Jawa Barat, Yudi Guntara, mengatakan, selain mampu meningkatkan kualitas perekonomian, domba garut juga berpotensi mengangkat Garut dan Indonesia di dunia internasional. Alasannya, domba garut adalah satwa khas atau plasma nutfah asli Indonesia.

"Ke depan kami ingin menjadi berperan sebagai wadah berkumpulnya para peternak harus terus berupaya meningkatkan kampanye kepedulian terhadap upaya peningkatan produktivitas ternak domba," kata Yudi.

Selengkapnya...

Boneka Limbah Pisang Menembus Eropa

Sunday, March 6, 2011

Di tangan Supartini atau lebih dikenal dengan nama Tien Soebandiri, limbah pelepah pisang bisa disulap menjadi produk kerajinan bernilai jual tinggi.

”Pada dasarnya saya suka berkreasi dengan kerajinan dari bahan apa pun. Kalau kelobot atau kulit jagung dan daun kering rasanya sudah sering, saya iseng coba pelepah pisang waktu itu,” kata wanita dengan empat cucu ini.

Idenya sederhana, menjadikan pelepah pisang sebagai produk kerajinan khas lokal yang bisa ditenteng sebagai oleh-oleh bagi wisatawan. ”Suami saya kalau ke luar negeri sering beli kerajinan khas negara tersebut. Kebanyakan berupa boneka. Saya terinspirasi dari situ, menjadikan pelepah pisang sebagai boneka yang mudah ditenteng wisatawan,” kata wanita berusia 66 tahun ini.

Awalnya, ia hanya bermodal satu gedebok pisang yang sudah dikeringkan untuk diuji coba. Bahannya, kawat sebagai kerangka, lem dan benang untuk rambut. Untuk boneka besar yang lebih dari 20 cm, kerangkanya dari botol. Baju boneka bisa di-mix pelepah pisang kering, kelobot, kepompong, dan daun kering. Untuk rambutnya, bisa terbuat dari serabut jambe atau potongan tali karung.

”Saya bikin 2–4 boneka sebagai contoh. Setelah direspons, barulah bikin dalam jumlah banyak. Order terbanyak ekspor ke Jepang dan Eropa, tapi tidak ekspor langsung melainkan lewat buyer dari Jakarta yang mengirimkan ke sana,” ujar Tien saat ditemui di rumahnya di Jalan Ciliwung, Surabaya.

Untuk boneka yang kecil-kecil setinggi 20 cm, harganya berkisar Rp 50.000–Rp70.000, sedangkan yang berukuran besar antara Rp 100.000–Rp 150.000. Harga bisa menyesuaikan sesuai order dan tingkat kerumitan pembuatan baju. ”Saya tidak ready stock, hanya by order. Stok yang ada ini hanya untuk contoh. Tiap bulan tak selalu ada order karena kerajinan saya tak hanya boneka, tapi ada bunga kering dan kerajinan lainnya. Kalau order boneka sepi, omzet di-cover dari kerajinan yang lain,” lanjut mantan Ketua Asosiasi Pengrajin Bunga Kering dan Bunga Buatan (Aspringta) Surabaya ini.

Menurut Tien, order paling ramai jika ada pameran dan musim pernikahan karena banyak pesanan boneka limbah ini untuk dijadikan sebagai suvenir. Untuk kebutuhan gedebok pisang, ia pesan langsung dari Yogyakarta, Mojokerto, dan Sidoarjo.

”Kalau pas musim kemarau, saya beli gedebok banyak untuk stok saat musim hujan karena susah dapat gedebok bagus, rata-rata gampang busuk dan rusak,” ujar wanita kelahiran Yogyakarta, 14 Maret ini.

Sekali mengirim gedebok kering sampai 10 kg dengan harga Rp 175.000–Rp 200.000. Ia sengaja tidak memesan gedebok basah karena proses pengeringannya harus secara manual dan itu memakan waktu lama. ”Tak semua gedebok kering itu bisa dipakai, saya pilih serat yang bagus, yang cacat dibuang. Jadi 10 kg gedebok kering bisa menghasilkan 50 boneka kalau ukurannya besar, tapi untuk boneka ukuran kecil bisa 100 boneka. Itu jatah sebulan,” kata Tien yang melibatkan puluhan ibu-ibu perajin untuk pembuatannya.

Proses pembuatan boneka pelepah pisang tidak terlalu rumit. Gedebok kering direndam 60 menit dengan cairan H2O2 (hidrogen peroksida). Harga cairan ini Rp 350.000 per galon. Jangan terlalu lama direndam karena bisa getas. Angkat, lalu cuci bersih, diangin-angin sebentar, jangan dijemur di bawah terik matahari. Masuk proses pewarnaan dengan sitrun selama 20 menit. Angkat, lalu keringkan secara manual. Setelah itu baru disetrika, lalu digunting sesuai kebutuhan.

”Dari unsur kepompong kering dan daun kering, seperti daun sirsak, saya buat untuk aksesori boneka berupa bros cantik. Proses pengeringannya hampir sama, cuma harus lebih telaten karena gampang rusak,” kata wanita yang tiap bulannya bisa meraup omzet Rp 5 juta dari usaha ini. (Dwi Pramesti YS)

Selengkapnya...

Laba "Curug Gentong" Tebalkan Kantong

Friday, March 4, 2011

Kreativitas dan keuletan dalam berwirausaha membikin tebal kantong Reri Endriko (49), warga Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat. Riko, panggilan akrabnya, mampu mengubah gerabah dan keramik menjadi barang yang bernilai ekonomi tinggi.

Dia menjadikan gerabah berbentuk gentong menjadi hiasan yang di dalamnya ada air terjun buatan. Sesuai bentuknya, karya Riko itu dikenal dengan nama curug gentong.

"Harga curug gentong ini mulai Rp 200.000 sampai Rp 1,5 juta. Pembelinya merata dari Aceh sampai Papua. Sebagian pembeli berasal dari luar negeri," kata Riko saat ditemui di rumahnya, Jalan Sersan Aning, Kompleks Samudra Indonesia, Blok H 5 No 1, Depok, Jawa Barat, Kamis (3/3/2011).

Kreativitas Riko berawal dari gerabah atau keramik berbentuk gentong. Dia kemudian melubangi sebagian sisi gentong. Dari lubang ini dia membuat beragam lanskap alam dilengkapi air terjun (curug).

Proses kreatif ini dilakukan menggunakan bahan semen, cat, rumput imitasi, selang plastik, dan lampu. Riko mengerjakan curug gentong di bengkel kerja yang juga terletak di rumahnya.

Usaha yang ditekuni sejak 2003 lalu itu terus berkembang. Riko bahkan kini melatih warga yang ingin mengembangkan curug gentong. Adapun pembelian curug gentong dapat dilakukan langsung atau lewat e-mail istrinya.

Konsumen pembeli curug gentong berasal dari kalangan rumah tangga, hotel, apartemen, dan perkantoran. Dia juga menerima pesanan lanskap di dalam curug gentong sesuai permintaan pembeli.

"Pembeli dari Amerika pernah datang meminta pemandangan air terjun di sana. Saya buatkan, dan dia memesan lagi," kata Riko.

Selengkapnya...

Agar Kain Sasirangan Banjar Berkibar

Thursday, March 3, 2011

Perajin kain khas Banjar di Sasirangan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, harus memutar otak agar kain sasirangan tetap berkibar, mengalahkan buatan pabrik yang setahun belakangan marak di pasaran.

Upaya itu diwujudkan dengan memerbanyak motif, mengkolaborasikan dengan batik, hingga membuat dalam bentuk kerajinan lain.

Salah satu perajin yang sudah menerapkan inovasi adalah Sasirangan Kayuh Baimbai di Jalan Pahlawan, Kampung Melayu. Adis, perajin dari Kayuh Baimbai, Rabu (2/3/2011), mengemukakan, pihaknya mengkolaborasikan warna-warna baru di luar warna yang ada. Selama ini sasirangan didominasi satu warna homogin dengan warna lain pada motif.

Begitu pula bentuk motifnya, saat ini dipadu dengan batik Jawa dan daerah lain. Bentuknya juga diperbanyak, tidak hanya sebatas kain, kaos, dan kemeja.

"Sekarang ada sandal, bungkus stoples, dan hiasan lampu yang mengadopsi unsur kain sasirangan. Semua dilakukan agar konsumen memiliki pilihan lain dan tidak perlu repot membuat sendiri," ujarnya.

Selama ini, Kampung Melayu dikenal sebagai sentra Sasirangan di Banjarmasin. Saat ini ada puluhan perajin yang masih bertahan. Dalam membuat kerajinan, mereka merangkul warga sekitar, terutama ibu-ibu untuk proses jerujut (penjahitan). Pembuatan sasirangan hampir sama dengan batik, semua menggunakan tangan.

Prosesnya diawali penyediaan bahan (biasanya kain katun), membuat pola, penjahitan, pencelupan, dan penjemuran. Motif yang dibuat satu perajin berbeda dengan perajin lainnya.

Berbeda dengan produk printing, motif produk sasirangan buatan tangan tidak ada yang sama meski dibuat oleh satu perajin. Ada sekitar 30-an motif sasirangan, antara lain bayam raja, naga balimbur, kulat ka rikit, daun taruju, gigi haruan, dan bintang bahambur.

Karena itulah, perajin setempat bisa mengenali mana sasirangan asli dan yang tiruan. Yaya, perajin sasirangan Azza, yang ditemui terpisah menuturkan produk printing yang akhir-akhir ini masuk ke Banjarmasin diduga berasal dari pabrik tekstil di Jawa, bukan dari China seperti yang berkembang selama ini.

Sejauh ini, menurut Yaya, serbuan produk printing itu belum banyak berpengaruh terhadap perajin sasirangan asli karena pembeli yang paham akan langsung membeli ke lokasi pembuatan.

"Sejauh ini belum ada pengaruh. Tidak tahu nanti karena warga yang mengenakan produk printing saat ini mulai banyak di jalanan," katanya.

Selengkapnya...