Followers

Google
 

Jelajah Konsumen dengan Mobil Kreatif

Friday, May 29, 2009

Tak mau hanya menunggu datangnya pembeli, Crayon's Craft pimpinan Syumeiraty Rashando menjalankan Mobil Kreatif untuk mengjangkau petanggan. Strategi jemput bola ini diharapkan mampu mendongkrak penjualan mereka.

Untuk meningkatkan penjualan, pemilik toko hares menerapkan strategi yang tepat. Salah satunya adalah strategi jemput bola. Itu juga yang dilakukan oleh Syumeiraty Rashando, pemilik Crayon's Craft & Co., perusahaan yang bergerak di bisnis pembuatan miniatur aneka benda.

Lantaran hanya memiliki satu gerai di JI Aceh, Bandung, ibu dua anak yang kerap disapa Yoyong ini akhirnya meluncurkan Mobil Kreatif untuk menjangkau seluruh konsumennya.

Yoyong menerapkan strategi tersebut, lantaran banyak masyarakat yang enggan mendatangi tokonya. Terhitung sejak tiga bulan yang lalu, pemasaran Crayon's Craft mulai menggunakan Mobil Kreatif.

Yoyong harus merogoh koceknya sebesar Rp 53 juta untuk investasi Mobil Kreatif. "Rp 48 juta untuk beli mobil seken, dan Rp 5 juta untuk mempermak dan mengisi Mobil Kreatif tersebut," rinci Yoyong.

Dengan waktu operasi dari hari Senin hingga Sabtu, dari pukul 9 pagi sampai jam 5 sore, bisa dibilang Mobil Kreatif bagaikan toko berjalan Crayon's Craft. DI mobil tersebut tersedia aneka alat prakarya sekolah, aneka kertas, kain, serta benang - benang untuk menyulam atau merajut.

Sasaran utama Mobil Kreatif adalah sekolah-sekolah di mana mobil tersebut diijinkan untuk parkir di kawasan Bandung. Untuk harga jual, Yoyong menerapkan harga sama dengan harga jual di toko. "Meski marjinnya lebih kecil, karena saya harus mengeluarkan ongkos bensin," tuturnya tanpa merinci lebih lanjut.

Saat ini, omzet toko Crayon's Craft berkisar Rp 60 juta sampai Rp 100 juta per bulan. Dengan adanya Mobil Kreatif, Yoyong menargetkan tambahan penjualan Rp 400.000 - Rp 500.000 per hari. "Akan tetapi, saat libur sekolah target akan sulit tercapai," timpalnya.

Handy Irawan, pakar marketing dari Frontier Marketing and Research Consultant, berpendapat penggunaan mobil keliling sebagai media promosi cukup bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang adanya suatu produk. Namun perusahaan skala UMKM yang menggunakan mobil keliling juga harus lebih fokus ke sasaran pemasaran yang spesifik. "Sebaiknya datang ke lokasi yang memang dibidik," ajar Handy.

Handy menambahkan, bagaimanapun pengusaha tetap harus menggunakan media lokal lain yang lebih luas. ""Tak perlu skala nasional, cukup dengan pasang ikan di media lokal sesuai kebutuhannya," tandasnya.

(Aprillia Ika,Nadia Citra Surya/Kontan)
Selengkapnya...

Eva, Kerupuk Kelempang Beromzet Puluhan Juta

Thursday, May 28, 2009

Modal sering menjadi momok menakutkan bagi seseorang yang hendak memulai usaha. Niat membuka usaha kerap luntur duluan karena modal cupet.

Tapi, itu tak berlaku bagi Eva Yunus di Palembang.

Bermodal Rp 200.000, Eva mampu mengembangkan usaha kerupuk kelempang, sering juga disebut kempelang, bermerek Eva Yunus.

Usaha keras dan semangat membara membuat usahanya mekar. Kini bisnis kerupuk kelempangnya mampu membawa omzet Rp 35 juta per bulan. Berarti, dalam setahun dia bisa mencatat omzet Rp 420 juta. Gurih kan?

Ketertarikan Eva untuk mulai berbisnis sebenarnya datang dari tekanan ekonomi yang mengimpit kehidupannya. Sebagai guru, gaji suami Eva tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Dari situ saya menguatkan tekad menambah penghasilan,” ujar Eva yang mulai usaha sejak 1998.

Pilihannya jatuh pada usaha kerupuk. Selain modalnya tak besar, dalam hitungan Eva, keuntungannya lumayan. “Bisa sekitar 20 persen dari omzet,” ujar Eva. Ilmu perkerupukan dia pelajari dari orangtuanya yang pernah berbisnis pembuatan kerupuk kelempang.

Tanpa pikir panjang, Eva membeli semua peralatan pembuatan kerupuk milik orangtuanya yang sudah menganggur itu. Setelah itu, Eva membeli bahan-bahan pembuat kerupuk seperti tepung, ikan, dan bumbu. Namun, dengan modal yang minim, duit Eva tak cukup.

Upaya meminjam dari kerabat mustahil sulit lantaran mereka juga kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tangga masing-masing. Makanya, Eva meminta suaminya meminjam uang dari koperasi. Untuk melunasinya, gaji bulanan sang suami harus kena potong. “Tak mengapa, yang penting bisa usaha,” ujar Eva mengenang.

Namun memasarkan kerupuk kelempang hasil bikinannya ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Maklum, banyak pemain kerupuk kelempang di Palembang. Tapi Eva tak menyerah. Dia tahu persis kerupuk kelempang adalah kudapan paling dicari oleh warga Palembang maupun pelancong. “Mencocol kerupuk ke sambal sambil nonton TV,” ujar dia.

Makanya, sasaran utama Eva adalah para tetangga dan sanak famili. Untuk itu, Eva menggelar dagangannya di emperan rumahnya sebagai etalase.

Agar berbeda dengan kerupuk kelempang lain, Eva mendongkrak kualitas rasa kerupuk bikinannya. Komposisi bahan ikan gabus dan tenggiri dia bikin lebih dominan ketimbang tepung. Perbandingannya, 1 kg ikan hanya menghasilkan 4 kg kerupuk mentah. “Dengan begitu, rasa ikan akan lebih terasa,” ujar Eva. Soal campuran bumbu, Eva enggan berbagi lantaran resep ini rahasia keluarga.

Tak puas hanya menjual kerupuk ke tetangga dan saudara-saudara, Eva berharap bisa menjual produknya lebih luas. Celakanya, dia tak punya modal lebih besar untuk mengembangkan usahanya.

Terpikir olehnya untuk berpromosi secara besar-besaran. Namun, kendalanya, dia tak punya modal. Padahal, dari promosi Eva yakin bisa mengembangkan usaha.

Eva pun menawarkan kerupuk kelempangnya ke acara-acara arisan, sunatan, hingga perkawinan. Tentu tak lupa dia menawarkan dagangannya ke toko-toko. “Dari situ, pesanan kepada saya mulai mengalir hingga sekarang,” ujar Eva.

Kini Eva hanya menjajakan kerupuk bikinannya di rumah, persisnya di Jalan KH A Azhari Lr Anten-Anten No 557 RT 165, Ulu Laut, Palembang. Rumahnya yang persis berada di pinggir jalan besar menjadi toko sekaligus pabrik kerupuk.

Dalam menjalankan usahanya, Eva mengaku tak banyak menarik untung. Baginya, kerupuk Eva Yunus jadi terkenal saja sudah cukup membuatnya senang. “Jika banyak pembeli datang, usaha saya terus berputar kan?” ujar Eva kalem.

Eva yakin, jika banyak konsumen mengenal dan mencicipi produknya, pasti sebagian di antaranya akan kembali datang. “Kualitas produk nomor satu untuk menarik pelanggan datang kembali,” ujar dia yakin.

Rajin berinovasi

Eva sadar betul, banyak pemain kerupuk kelempang sekarang ini. Namun, itu tak membuat dirinya patah arang menggeluti usaha ini. Selain tetap menjaga kualitas, Eva juga melakukan inovasi. Salah satunya dengan membuat kerupuk dalam bentuk kotak dan lonjong. Dengan varian bentuk seperti itu, Eva mengaku tak berani menambah harga jual. “Harga tetap sama meski bentuk beda,” ujar Eva berpromosi.

Yang membedakan harga hanya cara membuatnya. Kerupuk kelempang bakar lebih mahal lantaran saat pemanggangan kerupuk menjadi susut. “Kerupuk yang semula sekilo menjadi 8 ons,” ujar dia.

Eva juga menambah varian kerupuknya dengan menyediakan kerupuk tanjung. “Ini kerupuk langka dan hanya ada di saat pesta,” ujar Eva. Dia berani mengklaim bahwa hanya dirinya yang menjual kerupuk tanjung ini di Palembang.

Lalu lalang kendaraan yang berhenti di rumah Eva rupanya menarik minat PT Pupuk Sriwidjaya untuk menjadikannya sebagai mitra binaan. Gayung bersambut lantaran Eva juga berniat mengembangkan usahanya.

Pada 2003 Eva pun mengajukan proposal pinjaman ke Pusri. “Tak banyak, hanya Rp 9 juta,” tutur dia. Pinjaman berbunga 6 persen dengan masa pinjaman tiga tahun itu dia ambil untuk menambah jumlah pegawai.

Belum sampai pinjaman itu jatuh tempo, Eva sudah melunasinya. Lantaran itu pula, Pusri, sebutan populer BUMN penghasil pupuk itu, kembali memberikan persetujuan atas proposal pinjaman yang kedua. Kali itu Eva berani mengajukan kredit senilai Rp 20 juta untuk mengembangkan pabrik.

Seiring hubungan baik dengan Pusri, Eva kerap diajak mengikuti berbagai kegiatan pameran. Lewat pameran ini pula pesanan tak henti-hentinya mengalir kepadanya. Makanya, Eva kembali meminta tambahan modal ke Pusri. Nilainya sudah jauh meningkat, menjadi Rp 40 juta.

Tapi, Pusri pasang syarat: Eva harus membina para nelayan sebagai plasma. Nelayan yang dimaksud adalah para pemasok ikan tengiri dan gabus. Eva tak menganggap persyaratan itu sebagai persoalan. Dengan cara ini, dia justru merasa beruntung karena tak perlu lagi bersusah payah mencari bahan baku utama produksi kerupuknya.

Cuma, Eva juga tak asal main borong dagangan para plasmanya. Dia mematok persyaratan ketat bagi para nelayan binaannya. Hanya ikan-ikan segar yang dia terima sebagai bahan kerupuk kelempangnya. “Saya tak segan menolak jika ikan dari nelayan ternyata berkualitas jelek,” tandas Eva. Dengan cara ini, Eva tetap bisa menjaga kualitas dagangannya.

(Epung Saepudin,M. Fasabeni/Kontan)
Selengkapnya...

Tarjo, dari "Cleaning Service" Jadi Juragan Ikan Bakar

Thursday, May 21, 2009

Bagi Sutarjo, pengusaha kedai Ikan Bakar Tarjo, pepatah tak kan lari gunung dikejar lebih cocok diplesetkan menjadi tak kan lari rezeki dikejar. Meski menjajal beragam pekerjaan, akhirnya dia berlabuh di bisnis warung ikan bakar.
Sebuah sisi kehidupan yang pernah akrab dengannya di masa silam, sewaktu tinggal di Pacitan, Jawa Timur.

Orang yang biasa melintasi Jalan Arteri Permata Hijau, Jakarta Selatan, kemungkinan besar pernah melihat sebuah kedai ikan bakar penuh asap yang ramai oleh pembeli. Itulah kedai ikan bakar milik Sutarjo. Setiap hari, ratusan orang menyantap aneka ikan bakar yang lokasinya tak jauh dari rel kereta api jurusan Serpong dan Rangkas Bitung itu.

Tak ada kesan mewah pada warung ikan bakar Tarjo ini. Tak heran, pembeli yang bertandang di sana cukup beragam, mulai kalangan bermobil sampai pejalan kaki. Saking larisnya, setiap hari Sutarjo mesti menyiapkan 2 sampai 4 kuintal ikan beragam jenis yang ia kulak di Muara Angke.

Bahkan, saat hari libur, Sutarjo harus menyediakan 5 kuintal ikan. Bisa dibayangkan berapa besar omzet yang dia terima mengingat harga seafood di Jakarta terbilang lumayan.

Kesuksesan yang kini menempel pada sosok Sutarjo tidak runtuh dari langit. Butuh waktu bertahun-tahun baginya sebelum bisa menikmati keberhasilan ini. Sejak kecil, Sutarjo sudah akrab dengan kerja keras. Keindahan kampung nelayan kelahirannya di Tulakan yang asri dengan bukit-bukit kapur mengitari pantai jernih tak memberikan banyak rezeki buat Sutarjo dan keluarganya.

Tempat tinggal yang dekat lautan itu memaksa Sutarjo akrab dengan dunia ikan. Lelaki berusia 41 tahun yang hanya berijazah SMP ini sangat akrab dengan beragam jenis ikan. “Selama di Pacitan, saya juga sering melaut,” kenang dia.

Sutarjo juga memanfaatkan secuil ladang milik orangtuanya untuk berkebun. “Saya juga menanam pohon kelapa. Kini hasilnya sudah bisa dinikmati orang tua di kampung,” tutur pria berkulit sawo matang ini.

Namun, ketenangan hidup di desa tak memuaskan dahaga Sutarjo remaja akan berbagai pengalaman. Alhasil, pada 1986, anak kelima dari tujuh bersaudara ini nekat merantau ke Jakarta. Bermodalkan Rp 15.000, Sutarjo tiba di Jakarta tanpa tahu mau bekerja apa. Hingga suatu ketika, seseorang menawarinya bekerja sebagai cleaning service. Namun, Sutarjo muda tak betah bekerja di bidang itu. Baru empat bulan, dia sudah mengundurkan diri.

Kemudian, Sutarjo mencoba pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Sunter, Jakarta Utara. Namun, setelah lima bulan bertahan dan bosan, ia balik lagi menjadi cleaning service di sebuah perusahaan hingga akhirnya berhenti lagi.

Pekerjaan sebagai kuli bangunan juga pernah ia lakoni meski tak punya bekal kemampuan soal bangunan. “Per hari saya digaji Rp 2.500. Santapan sebatang singkong dan segelas bajigur saya bagi dua dengan kakak,” tutur Sutarjo.

Lagi-lagi karena tak betah, Sutarjo banting setir menjadi pedagang sayur keliling. “Jadi, pagi saya dagang sayur, dan siang hari jualan minuman ringan. Kalau malam buka warung makan dan menjual rokok,” ujar suami Triati ini.

Di sinilah titik balik nasib Sutarjo bermula. Pada 1997, Sutarjo, istri, dan seorang anaknya merintis usaha warung makan. Menu utamanya ikan bakar. Alasannya, kebanyakan orang hanya menjual ikan goreng. “Saya punya bumbu ikan bakar khas yang saya dapat di Pacitan,” kata Sutarjo.

Bermodalkan uang Rp 20.000 dan alat bakar dari kaleng bekas kue kering, Sutarjo memulai bisnis warung ikan bakar. Hasilnya, ikan bakar racikan Sutarjo cocok di lidah pengunjung warung. Ia pun makin serius berjualan sehingga keuntungan kian menebal. Dengan tabungan hasil berjualan, Sutarjo membeli tanah seharga Rp 250 juta. Di atas tanah itu, dia mengembangkan usaha lebih lanjut. Buah ketekunan dan keuletan lelaki berkumis tebal ini semakin lebat.

Tengok saja. Ikan bakar dengan bumbu ndeso-nya mampu menyihir penikmat ikan bakar. “Sampai sekarang, pelanggan terus bertambah,” ujar Sutarjo. Alhasil, dalam sebulan, Sutarjo mampu mengantongi omzet Rp 250 juta lewat kedai yang berukuran tak lebih dari 36 meter persegi itu.

Maklum, selain melayani pembeli yang datang langsung, Sutarjo juga melayani pesanan ikan bakar. Hampir setiap hari ratusan ekor ikan bakar ia kirim ke kantor Badan Pemeriksa Keuangan, DPR, Gramedia, Bank Permata, dan lain-lain.

Penghasilan Sutarjo kian bertambah lantaran sejak pertengahan 2008 ia juga beternak tokek dan membantu saudaranya memasarkan rumput laut. “Bisnis tokek sangat menjanjikan. Peminat tokek kebanyakan orang Korea,” kata Sutarjo.

Dari enam ekor tokek berbobot 3 ons sampai 5 ons, Sutarjo biasa mengantongi jutaan rupiah. Padahal, di rumahnya, Sutarjo memiara sekitar 600 tokek berbagai ukuran.

Enggan memusingkan pembukuan

Kedai ikan bakar Tarjo memang kesohor. Pejabat hingga artis sering menyambangi warung ini. Wajar jika banyak orang yang berminat bekerja sama dengan Sutarjo, sang empunya warung.

Beberapa orang memang sempat bekerja sama dengan Sutarjo membuka kedai ikan bakar Tarjo. Namun, karena suatu hal, Sutarjo menyetop kerja sama tersebut. Sekarang, selain di Jakarta, kedai ikan bakar Tarjo yang masih bertahan hanya yang berlokasi di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, milik seorang pejabat pemerintah di sana.

Namun, Sutarjo tidak kapok bekerja sama dengan orang lain yang ingin membuka kedai ikan bakar Tarjo. “Tapi sekarang ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,” kata Sutarjo.

Salah satunya adalah calon partner harus memiliki niat sungguh-sungguh untuk mengembangkan usaha. “Harus pemilik modal yang tak sekadar mencari keuntungan,” tandas dia.

Menurut Sutarjo, keuntungan pasti datang jika si pemilik kedai menjalankan usaha dengan sungguh-sungguh. “Pembeli banyak dan pendapatan tinggi, baru mikir untung. Jangan langsung mikir untung,” ujar dia.

Tak aneh bila selama ini Sutarjo tak memusingkan pembukuan keuangan, dan membiarkan mengalir begitu saja. “Kalau terlalu diperhitungkan jadi seperti pelit,” tutur Sutarjo. (Fransiska Firlana/Kontan)
Selengkapnya...

Laba Pisang Goreng Masih Renyah

Tuesday, May 19, 2009

Salah satu penganan yang terbilang terus banyak peminatnya adalah pisang goreng. Memang, bisnis pisang goreng tidak se-booming saat munculnya pisang pontianak beberapa tahun lalu. Namun, masih ada celah di bisnis ini.

Salah seorang yang merasakan nikmatnya bisnis pisang goreng ini ialah Antonius Dendron yang mengusung merek Planet-Kripsy Kreme atau disingkat Pisang Goreng Planet.

Antonius menjajakan pisang goreng nan renyah sejak Desember 2006 di depan kampus Sanatha Darma dan Atmajaya, Yogyakarta. Hingga kini, omzetnya stabil, yakni sekitar Rp 300.000 per hari. Setelah dikurangi berbagai biaya, seperti biaya bahan baku, gaji dua pegawai, dan sewa tempat, dia menikmati laba bersih 25 persen dari omzet.

Antonius membuka usaha ini setelah melihat fenomena booming pisang pontianak tiga tahun lalu. Lantaran biaya menjadi terwaralaba atau mitra pisang goreng pontianak dengan merek terkenal sangat mahal, Antonius pun membuat merek sendiri.

Tak hanya itu, dia pun mengklaim punya keunggulan sendiri. "Pisang goreng buatan saya meski berbalut tepung tebal, tapi tidak mengandung banyak minyak," katanya. Selain itu, dia juga menyajikan 10 rasa selai yang membalut pisang gorengnya.

Berkat keunggulan itu, pisang goreng Planet berhasil memikat banyak penggemar. "Maka, awal 2008 saya buka kemitraan," ujar Antonius.

Cukup Rp 6 juta saja

Sambutan pasar lumayan bagus. Setahun setelah melempar konsep kemitraan, Antonius berhasil menancapkan 32 booth alias gerobak Pisang Goreng Planet di 13 kota di Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, Batam, dan Riau.

Untuk merjadi mitra Pisang Goreng Planet, Anda harus menyediakan modal Rp 6 juta. Dari jumlah itu, Rp 3 juta untuk biaya kemitraan selama tiga tahun. Sisanya untuk pembelian beragam fasilitas, semisal booth, kompor, tabung gas, dan wajan kapasitas 10 pisang sekali goreng. Si mitra juga berhak atas peralatan promosi dan pelatihan dua karyawan.

Si mitra juga harus menyediakan tempat usaha dengan luas minimal 2 x 2 m untuk tipe booth. Tipe lain, yakni kios, minimal 3 x 4 m. Booth Pisang Goreng Planet menjual tiga menu, yakni pisang goreng berbalut tepung krispi biasa, pisang goreng berbalut saos karamel berbentuk dadu, dan pisang berbalut kulit risol. Harganya Rp 2.000-Rp 6.000 per buah.

Antonius mengharuskan mitranya membeli beberapa bahan, yakni adonan pisang yang harganya Rp 250-Rp 500 per buah, tergantung jenis produk. Kemudian, tepung renyah Rp 250-Rp 500 per buah, tergantung jenis produk. Adapun untuk selai buah, mitra boleh atur sendiri. Namun, jika membeli ke Antonius, harganya Rp 300 per pisang.

Antonius menjanjikan mitra bisa balik modal dalam 4 bulan sampai 6 bulan. Itu jika mitra bisa meraih omzet Rp 150.000-Rp 250.000 per hari. (Dessy Rosalina/Kontan)
Selengkapnya...

Kemeripik Laba Bebek Kremes

Thursday, May 14, 2009

Pernahkah mengudap bebek kremes? Rasanya... yummy. Bagi pebisnisnya, laba dari bebek kremes juga tak kalah nikmatnya. Buktinya adalah Samsianata.

Bermula dari iseng, tahun 2006, Samsianata membuka rumah makan dengan menu andalan bebek goreng. Agar tak sama dengan kedai menu bebek lainnya, Sam, panggilan akrab Samsianata, menyajikan menu bebek yang berbeda. "Sagu membalut daging bebek pakai tepung sehingga jadi kremes," katanya.

Selain itu, Sam juga menggunakan rempah-rempah asli Indonesia. "Sehingga dagingnya empuk dan tidak bau amis," klaim Sam yang menamakan usahanya: Bebek Kremes Wong Jojga.

Saat ini di gerai Bebek Kremes Wong Jogja tersedia 19 menu makanan dan tujuh menu minuman. Andalannya, tentu saja menu bebek. Selain bebek, ada juga tahu, tempe, ayam, baknmi, dan sebagainya. Tapi, kebanyakan menu tadi disajikan dengan balutan kremes alias tepung yang menjadi ciri khas Sam. Menu minuman andalannya adalah wedang wayang, yakni campuran berbagai rempah dengan krim.

Sam mengaku, produk makanan buatannya laris manis diserbu pembeli. Karena itu, pada April 2008 Sam menawarkan kemitraan Bebek Kremes Wong Jogja. Tawaran kemitraan itu cukup laku. Buktinya, baru setahun sejak ditawarkan dia sudah berhasil menjaring 18 mitra yang tersebar di Jakarta, Bekasi, Depok, Bandung, Yogyakarta, dan Medan.

Cukup Rp 50 juta

Sam menetapkan beberapa persyaratan bagi yang berminat menjadi mitranya. Pertama, investasi awal Rp 50 juta untuk kerja sama 10 tahun.

Kedua, talon mitra harus menyediakan tempat usaha dengan luas minimal 100 meter persegi dan lahan parkir yang mampu menampung minimal lima mobil. Khusus yang mengambil lokasi di mal, si mitra bisa menempati ruangan dengan luas 20 meter persegi. Oh ya, tempat usaha tersebut juga harus memiliki kamar mandi.

Dengan menyetor investasi awal tadi, si mitra akan mendapat perlengkapan promosi berupa brosur dan spanduk. "Ada juga promosi lokal dan nasional selama seminggu pertama pembukaan," jelas Sam.

Tidak ketinggalan, Sam juga memberi pelatihan bagi 15 karyawan mitra. Terakhir, Sam akan memberi paket perdana senilai Rp 2 juta sebagai alat promosi saat pembukaan perdana, berupa paket makanan dan minuman lengkap.

Agak berbeda dari kebanyakan tawaran kemitraan, Sam tidak mengharuskan mitra membeli bahan baku kepadanya. Si mitra bisa membeli sendiri semua kebutuhan usaha. "Karena saya membuka semua rahasia dapur termasuk bumbunya," ajar Sam.

Sam juga tak mematok uang royalti. Hanya, ketika mitra berniat meneruskan kerja sama, Sam memungut Rp 25 juta sebagai biaya perpanjangan. Sam menjanjikan mitra balik modal dalam 24 bulan. Itu dengan asumsi pendapatan kotor Rp 1,5 juta per hari.

Yenny, mitra Bebek Kremes Wong Jogja di Bekasi sejak tahun 2006, mengaku bisa mencapai target itu karena setiap hari bisa meraup pendapatan Rp 4 juta hingga Rp 6 juta. "Laba bersihnya sekitar 30 persen," beber Yenni.

Yenni memperoleh laba sebesar itu setelah dia mengurangi omzetnya dengan berbagai biaya, yakni biaya bahan baku sebesar 30 persen, sewa tempat sebesar Rp 70 juta, biaya gaji pegawai, dan berbagai biaya lainnya.

(Dessy Rosalina/Kontan)
Selengkapnya...

Fulus dari Usaha Mendandani Bayi dan Anak

Friday, May 8, 2009

Kali ini spa bukan monopoli orang dewasa. Di Dharmawangsa Square ada Spa Baby yang melayani anak dari bayi usia tiga bulan. Bisa jadi karena jumlah jenis salon ini masih terbatas, Spa Baby yang dirintis Dini Sembiring ini selalu dipadati ibu-ibu beserta buah hati mereka.

Jumlah salon khusus untuk anak-anak dan bayi memang masih sedikit. Sudah begitu, umumnya salon tersebut hanya menawarkan layanan potong rambut saja. Padahal kebutuhan perawatan tubuh anak dan bayi secara menyeluruh terus meningkat, khususnya untuk anak-anak yang orang tuanya sibuk bekerja di luar rumah.

Bagi Dini Sembiring, serta kakak beradik Mitzy dan Cindy Christina, hal ini adalah sebuah peluang bisnis. Ketiga ibu yang memiliki anak bawah lima tahun (balita) ini merasakan sendiri betapa susahnya mereka mencari salon anak yang menyediakan perawatan menyeluruh.

Melihat besarnya kebutuhan tersebut, enam bulan lalu dengan modal sekitar Rp 1 miliar, ketiga ibu muda ini -pun membuka Spa Baby. Salon ini menawarkan layanan menyeluruh untuk anak -anak termasuk bayi di atas umur tiga bulan.

Meski baru berusia setengah tahun, Spa Baby yang berlokasi di Dharmawangsa Square, Jakarta ini langsung menyedot banyak peminat. Di akhir pekan, salon bisa.biasanya dipenuhi 36 bayi dan anak. Tak heran Dini Cs bisa meraup omzet rata-rata Rp 1,5 juta dalam satu hari.

"Boleh dibilang Spa Baby adalah salon bayi paling komplit saat ini," ajar Dini menyebut kelebihan salonnya. Selain menawarkan layanan komplit, salon ini juga menjanjikan keamanan dan kenyamanan bagi si kecil. Mereka menggunakan alat-alat yang diimpor dari Amerika Serikat.

Tarif layanan di salon'ini cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari salon dewasa. Maklum, selain alat-alatnya impor, perawatan para bocah juga harus dilakukan ekstra teliti dan hati-hati.

Untuk layanan potong rambut, tarifnya Rp 100.000 - Rp 150.000. Harga paket manicure, pedicure serta masker Rp 150.000. Layanan aqua swim baby dan pijat bayi Rp 200.000. Creambath Rp 150.000 per anak. Terakhir layanan Kid Massage Rp 225.000 per anak.

Salah satu layanan favorit pelanggan di salon ini adalah aqua swim baby. Konon layanan untuk bayi usia 3-12 bulan ini satu-satunya di Indonesia saat ini. Dalam layanan ini, bayi akan berenang mengenakan pelampung khusus yang diikatkan di leher. Pelampung tersebut dirancang khusus sehingga tidak mencekik leher bayi sekaligus membuat bayi bergerak bebas.

Kolam renang bayi sendiri berupa bath tub mini berukuran 1 x1 m yang dipakai bergantian antara satu bayi dengan bayi lain. Tentu setiap berganti bayi, airnya juga diganti. Satu sesi renang, waktunya hanya 15 menit sampai 20 menit bagi bayi yang sudah terbiasa. "Swim baby ini bisa memperkuat gerakan otot bayi," ajar Dini.

Ibu berusia 31 tahun ini mengaku mendapatkan ide serta ilmu renang bayi ini dari Singapura. Di bagian renang bayi ini pengelola menempatkan petugas yang merupakan mantan baby sitter yang sudah biasa mengurusi bayi.

Dalam sehari, Dini hanya bisa menangani sampai delapan bayi yang ingin berenang. Padahal antrian bayi yang ingin berenang bisa membeludak sampai puluhan pada akhir pekan. Maka, Dini membuat paket khusus renang bayi. Misalnya paket tiga kali datang seharga Rp 500.000. Pembeli paket ini tidak perlu antri untuk mendapatkan giliran berenang.

Selain layanan renang bayi, layanan lain yang diminati adalah layanan potong rambut. Agar tak rewel, bayi yang usianya masih tiga bulan atau lebih dan anak-anak ditempatkan di kursi khusus yang unik. "Mereka bisa memilih kursi binatang mana yag disukai, serta memilih siaran televisi portabel mana yang diminati," ujar Dini.

(Aprilia Ika/Kontan)
Selengkapnya...

Berkah dari Usaha Kaus Dakwah

Thursday, May 7, 2009

Anda mungkin tergelitik dengan banyolan khas yang tertulis pada kaus buatan Joger, Dagadu Yogya, atau gambar dan tulisan ala C59. Nah kali ini, dari Kota Kembang muncul lagi pendatang terbaru di bisnis kaus. Bedanya, tulisan dan gambar pada produk mereka menggunakan slogan dakwah.

"Dengan memproduksi kaus, kami ingin mewarnai dan memberi aura positif," ujar Lucky Rahmat, Manajer PT Diplus Indonesia, sang produsen kaus religi.

Bisnis kaus dakwah ini bermula dari pertemuan rutin Ihaqi, kelompok pelatihan manajemen berbasis religi dengan anggota sekitar 6.000 orang. Dari pertemuan itulah tercetus ide membuat merchandise. Erick, pemilik PT Diplus, memutuskan mencetak kaus bernada dakwah. Modal awalnya Rp 10 juta.

Awalnya, Ihaqi hanya memproduksi 100 kaus. Proses pembuatannya pun masih menumpang pada pabrik kaus kenalan Erick. Karena menuai respons bagus, Erick memproduksi lebih banyak lagi. Dari hanya kaus, ia mulai membuat pin, topi, serta tas kecil tempat mukena dan Al Quran.

Masing-masing produk selalu bergambar dan bertuliskan pesan-pesan religi, misalnya bertutiskan 'Senyum Itu lbadah" dan "Muslim Ritual Pray".

Saat ini, kata Lucky, perusahaannya memproduksi 6.000 kaus setiap dua bulan. Adapun produksi pin sekitar 5.000 buah per bulan, topi dengan tiga model sekitar 900 buah per bulan, dan tas sekitar 200 buah setiap bulan. Semua merchandise tersebut dipajang di gerai Ihaqi yang terletak di Jalan Trunojoyo, Bandung.

Untuk kaus anak-anak, Ihaqi membanderol produknya dengan harga Rp 50.000 per helai. Kaus lengan panjang untuk perempuan harganya Rp 90.000 per kaus, dan kaus lengan pendek untuk laki-laki Rp 80.000.

Lucky mengatakan, dalam sebulan bisa melego 2.500 lembar kaus, sedangkan penjualan aksesori lain, seperti pin sebanyak 2.000 unit per bulan, topi 100 buah, dan tas 100 buah per bulan. Dari penjualan itu, Lucky meraup omzet Rp 150 juta sebulan. Sekitar 20 persennya masuk kantongnya sebagai keuntungan.

Andalkan agen

Bagi Lucky, prospek bisnis ini cukup bagus. Lucky menyebut peluangnya besar karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim.

Dari mutu produk, kata Lucky, Ihaqi membidik segmen kelas menengah. "Kami tak bisa main terlalu ke bawah karena bahan baku yang kami gunakan juga bukan sembarangan," katanya, berpromosi. Sementara kelas atas, belum tentu suka dengan produk ini karena biasanya mereka lebih memilih kaus branded.

Kata Lucky, pada hajatan Ina Craft di Jakarta April lalu, produk Ihaqi ternyata banyak diminati. Bahkan, langsung mendapat tiga agen yang siap membeli produk Ihaqi dalam jumlah besar, yakni dari Bogor, Cirebon, dan Balikpapan. Mereka ini umumnya meminati kaus dan pin. Hingga berakhirnya Ina Craft, Ihaqi mampu menjual hingga 1.200 lembar kaus.

Saat ini Lucky sedang membentuk komunitas agen Ihaqi. Dia berniat merekrut agen dari tingkatan SMP, SMU, perguruan tinggi, hingga ibu-ibu pengajian. Sebab, Lucky menilai, pemasaran lewat agenlah yang paling cepat.

Jika agen sudah mencapai 50 orang, Ihaqi memberikan pelatihan entrepreneurship gratis. (Dupla Kartini PS/Kontan)
Selengkapnya...

Adi, Pedagang Kaki Lima yang Jadi Juragan Tas

Sudah banyak cerita pedagang kaki lima yang kemudian menjadi pengusaha sukses. Salah satunya adalah Muhammad Adi, pemilik CV Intascus Sport, produsen tas yang cukup besar.

Bisa dibilang, Adi merintis usahanya ini benar-benar dari bawah. Pria tamatan sebuah SMA di Surabaya ini sudah kenyang makan asam garam sebagai pekerja rendahan.

Mulanya, selulus SMA pada 1981, Adi mencoba mengadu nasib merantau ke Sulawesi dengan menjadi buruh di sebuah toko agen barang pecah belah. Adi terpaksa merantau karena harus membantu membiayai sekolah adik-adiknya.

Namun, ia tidak lama bekerja di toko itu. Adi pun kemudian meloncat ke Kalimantan untuk bekerja sebagai buruh kasar di PT Newmont. Namun, lagi-lagi, Adi tak betah dan memutuskan pulang ke Surabaya.

Ternyata pulang ke rumah malah membuatnya gelisah, apalagi kalau melihat adik-adiknya yang membutuhkan bantuannya. Karena itu, pada 1982, Adi nekat ke Jakarta. Di ibu kota negara ini, Adi tinggal di kawasan Senayan berkat kebaikan sesama perantau asal Jawa Timur dan Jawa Tengah. “Mereka bekerja sebagai pelayan dan buruh,” ujar pria kelahiran Surabaya, 12 April 1962 ini.

Untuk menyambung hidup, Adi bekerja serabutan. Pagi hingga siang hari ia menjadi penjual tas keliling dari kantor ke kantor. Malam harinya Adi menjadi juru parkir di Senayan.

Meski penghasilannya kecil, dengan sekuat tenaga Adi berusaha menyisihkan penghasilannya untuk modal berbisnis. “Modal pertama saya hanya Rp 50.000,” kenang Adi.

Dengan uang segitu, Adi kulakan tas di Pasar Pagi untuk dijual kembali. Beruntung, dagangannya selalu habis terjual. “Hasil jualan saya putar lagi,” kata bapak tiga anak ini.

Sayang, jiwa muda Adi yang masih bergelora membuatnya tergoda untuk berfoya-foya. Namun, setelah menikah pada 1985, Adi mulai berpikir serius menjadi pengusaha tas sendiri. Ketika itu, modalnya pun pas-pasan. “Saya terpaksa menjual perhiasan istri untuk modal awal,” kata Adi. Lagi-lagi dengan uang Rp 50.000 Adi memulai usahanya.

Lantaran tak punya mesin jahit, Adi terpaksa meminjam milik temannya. Sedikit keahlian menjahit ia manfaatkan sebaik-baiknya.

Setelah enam bulan berjalan, usahanya mulai menampakkan hasil. Adi pun memberanikan diri menggaji seorang karyawan untuk meningkatkan produksi. Dengan satu karyawan itu, Adi mampu menghasilkan 150 tas per tahun seharga Rp 20.000 per tas. Dari harga segitu, Adi mengambil laba Rp 12.000 per tas. Maklum, modal membuat satu tas hanya Rp 8.000.

Sejak saat itu, setiap enam bulan sekali Adi menambah seorang karyawan. Untuk pemasaran, Adi memanfaatkan jaringan yang telah ia rintis saat masih berdagang tas keliling.

Pada 1987, Adi mulai menjalin kerja sama dengan panitia penyelenggara rapat atau pelatihan di hotel-hotel. “Pada 1987 saya sudah memiliki tenaga pemasaran 18 orang,” tutur Adi.

Omzetnya pun telah melonjak hingga Rp 3 juta per hari, jumlah rupiah yang sangat besar kala itu. Sementara itu, total produksi mencapai 600 unit per hari. Laiknya roda kehidupan, posisi Adi tak selalu di atas. “Saya pernah kekurangan modal untuk menyelesaikan pesanan sampai harus menjual kendaraan operasional,” tutur Adi.

Masa yang paling suram bagi Adi adalah saat pecah kerusuhan pada Mei 1998. Saat itu, para karyawannya ketakutan dan memilih pulang kampung. Sialnya, barang dagangan juga ikut mereka bawa hingga tak ada yang tersisa. “Saya rugi ratusan juta,” kenang dia.

Toh, semangat Adi tidak pernah surut. Berbekal pinjaman bank, Adi mencoba bangkit. Beruntung, pada 1999 bisnis tas kantor kembali naik daun. Adi pun kembali menggenjot produksi dan mampu mencetak omzet Rp 50 juta per bulan.

Sekarang, dalam sebulan paling sedikit Adi memproduksi lebih dari 1.000 tas. “Omzetnya sekitar Rp 100 juta, dengan margin laba 20 persen sampai 40 persen,” ungkap Adi. Kini, ia punya klien tetap dari instansi pemerintah, seperti Departemen Perhubungan dan Kepolisian Republik Indonesia.

Selain tas kantor, Adi juga memproduksi jenis tas lain, seperti tas perempuan. “Ini hasil belajar otodidak,” ujar dia.

Bagi rezeki

Sudah menjadi kodrat, setiap orang membutuhkan orang lain. Begitu juga dalam bisnis. Karena itu, untuk memenuhi banyaknya pesanan tas, Muhammad Adi tak segan-segan membagi order ke konveksi lain. Adi mengatakan, kadang-kadang jumlah pesanan tas memang tak bisa ia tangani sendiri. Alhasil, daripada order lepas, ia membagi lagi (subkontrak) pesanan kepada konveksi lain. “Hitung-hitung berbagi rezeki dengan orang lainlah,” ujar Adi.

Untuk pola kerja sama ini, Adi memilih menggunakan sistem bagi hasil yang ia nilai lebih adil. Artinya, keuntungan yang ia peroleh dari penjualan tas akan ia bagi ke pengusaha lain sesuai dengan porsi yang mereka kerjakan.

Soal pesanan, Adi tak terlalu khawatir. Pasalnya, ia sudah memiliki pelanggan tetap, yaitu Kepolisian Republik Indonesia dan Departemen Perhubungan.

Misalnya, Polri biasanya memesan tas kantor dua kali dalam setahun. Satu kali pesanan sebanyak 8.000 unit dengan tenggat waktu pengerjaan selama empat bulan. “Pesanan rutin ini baru empat tahun belakangan ini,” imbuh Adi.

Di luar pesanan Polri, Adi biasanya menerima pesanan tas belanja dari biro perjalanan. “Jumlahnya memang tidak sebanyak pesanan Polri. Rata-rata 500 unit,” kata Adi. (Widyasari/Kontan)
Selengkapnya...

Mengintip Basahnya Bisnis Lidah Buaya

Wednesday, May 6, 2009

Budi daya lidah buaya atau Aloevera sangat menjanjikan. Karena lidah buaya bukan semata tanaman hias, tapi bisa menjadi bahan dasar minuman yang menyehatkan. Bahkan, bisa dijadikan tepung untuk bahan dasar kosmetika.

”Lidah buaya yang dapat menambah nilai ekonomis dan jenis unggulan adalah barbadencise dan sinencise. Karena pelepahnya besar dan tebal,” kata Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Tani Aloevera Syamsuri di Kampus UI Depok beberapa waktu lalu.

Selama ini, KSU Tani Aloevera bekerja sama dengan Pusat Sinergi Riset dan Bisnis Fakultas MIPA UI yang dipimpin Erlin Nurtiyani. Menurut Erlin, pihaknya sudah memiliki lima paten produk lidah buaya dalam bentuk minuman, kapsul, tepung, dan effervescent.

Dengan mendirikan PT Kavera Biotech, Erlin memproduksi semua itu dengan bahan baku yang dipasok dari KSU Tani Aloevera. Namun, kata Erlin, produknya hanya menggunakan lidah buaya organik. ”Dari uji coba laboratorium, aloevera yang menggunakan pupuk kimia hasilnya tidak bagus,” katanya yang meneliti pengolahan lidah buaya sejak 1998 dan baru mematenkannya tahun 2001.

Menurut Erlin, sambutan pasar sangat bagus atas minuman lidah buaya. Petinggi di Mabes Polri menjadi salah satu pelanggannya. Bahkan, pernah dikirim ke Abu Dhabi. ”Namun kami belum siap memenuhi permintaan pasar karena kekurangan bahan baku,” kata Erlin yang berharap minuman lidah buaya bisa menjadi Coca-Cola versi Indonesia. ”Bulan depan sudah ada investor yang sanggup menyediakan mesin untuk pabrik pembuatan minuman dalam kemasan di Sawangan, Depok,” kata Erlin.

Minuman lidah buaya Kavera dikemas dalam botol kaca ukuran 300 ml dijual Rp 7.500 dan untuk ukuran gelas Rp 3.000. Minuman Kavera bisa bertahan sampai satu tahun meskipun tanpa bahan pengawet. ”Namun Kavera tidak dipasarkan ke pasar modern,” kata Erlin.

Rp 1.000 per kg

Sementara itu, Syamsuri mengatakan, KSU Tani Aloevera sudah membina petani-petani di Depok untuk bercocok tanam lidah buaya yang hasilnya mencapai 5 ton sekali panen. Panen lidah buaya rutin dilakukan setiap bulan dengan memetik dua pelepah dari setiap pohon. ”Padahal, kebutuhan lidah buaya dalam satu hari minimal 1 ton,” katanya.

Karena itu, KSU Tani Aloevera mengajak masyarakat menjadi petani lidah buaya dan hasil panennya nanti akan dibeli koperasi dengan harga Rp 1.000/kg. ”Semua lidah buaya hasil dari petani yang kami bina, pasti dibeli oleh koperasi,” ujar Syamsuri.

Syarat untuk mendapat jaminan hasil lidah buaya dibeli koperasi, antara lain wajib menjadi kelompok tani binaan KSU Tani Aloevera, membeli bibit dari koperasi, serta kualitas tanaman standar koperasi, seperti pelepah tidak luka dan cara pemetikan dilakukan dengan benar.

Harga bibit lidah buaya Rp 2.000 per batang umur dua bulan. Sementara, untuk pupuk organik dan pupuk kandang kambing dipasok koperasi. ”Karena pupuk organik dan pupuk kotoran kambing sangat baik untuk pertumbuhan lidah buaya. Jika menggunakan pupuk kotoran ayam hasilnya tidak bagus. Kalau menggunakan kotoran sapi harus direbus dulu,” kata Syamsuri sambil menambahkan petani bisa menjual bibit anakan lidah buaya ke koperasi Rp 1.000 per batang. (Mirmo Saptono/Warta Kota)
Selengkapnya...

Martini, Dengan Rp 250.000 Raup Euro dan Dollar AS

Monday, May 4, 2009

PENGUSAHA kerajinan jarang tergusur oleh industri modern. Soalnya, pekerjaan tangan tidak bisa digantikan mesin, bahkan mesin yang canggih sekali pun.

Berkah itulah yang sekarang dinikmati Martini. Ibu seorang putri ini sudah sembilan tahun berbisnis kerajinan. Ia membuat beragam barang anyaman dan mengekspor produknya ke Eropa dan Amerika.

Kini, perusahaan bernama Martini Natural, yang ia dirikan dengan modal Rp 250.000, telah berkembang menjadi besar.

Setidaknya, Martini mempekerjakan 70 karyawan di rumahnya sendiri. Selain itu, ia merekrut 600 pekerja di Bantul dan Kulonprogo. Dari merekalah Martini mendapatkan pasokan anyaman. “Tenaga kerjanya tersebar di DIY, Klaten, dan Solo, Kutoarjo, Purworejo, dan Magelang,” kata Hari Santosa, Direktur PT Sarana Yogya Ventura (SYV), anak perusahaan PT Bahana Artha Ventura, pemberi kredit untuk Martini.

Kebanyakan pekerja yang terlibat dalam usaha Martini adalah perempuan. Di antaranya banyak pula yang berusia lanjut (lansia). Menurut Martini, ada beberapa jenis produk yang memang bisa dikerjakan oleh lansia. “Daripada mereka enggak ada pekerjaan, saya beri nenek-nenek itu kegiatan seperti ini,” ujar wanita 36 tahun ini.

Kisah bisnis Martini cukup unik. Dunia anyam-menganyam sebenarnya bukan hal baru bagi anak ketiga dari empat bersaudara ini. Sejak masih SD, Martini sudah kerap menganyam, untuk tugas sekolah. Namun, begitu berangkat dewasa, Martini mengaku tidak pernah terpikir untuk memakai keahlian tersebut. Bahkan, ia bekerja sebagai pembantu rumahtangga. Menuruti mata pencahariannya itu, Martini sempat berkelana ke Padang dan Lampung.

Sehabis menikah, Martini memutuskan untuk pulang kampung. “Setelah menikah, saya bekerja pada orang lain untuk membuat anyaman,” ujar istri Nurhadi ini. Tak lama kemudian, perusahaan tempatnya bekerja tersebut tutup. Maka, Martini memberanikan diri untuk menjajal bisnis kerajinan miliknya sendiri.

Mulai 1 Maret 1999, di Kulon-progo, Yogyakarta, Martini membuat anyaman dari eceng gondok. Perempuan yang juga pernah berdagang sayur di pasar tradisional ini menguras tabungan untuk modal.

Tanpa ragu, Martini menyerahkan produk anyaman, seperti tas dan karpet bikinannya, kepada pedagang kerajinan. Ia menggenjot sepeda tua peninggalan orangtuanya, sejauh sekitar 40 kilometer, demi mengantarkan dagangan. “Pesanan itu diantar minimal dua hari sekali,” sambung Martini.

Ternyata, kerajinan bikinan Martini disukai. Permintaan dari pedagang makin banyak. “Modal Rp 250.000 itu terus berputar,” kenang Martini. Lama-lama, ia kewalahan memenuhi permintaan. Ia mulai merekrut saudara dan tetangga sekitar untuk menganyam. Adapun ia sendiri mengerjakan desain dan sampel produknya.

Berkat kegigihannya memenuhi tenggat waktu, order buat Martini pun meningkat. Nilainya mencapai ratusan juta rupiah. Padahal, Martini tidak punya sumber tambahan untuk modal. Alhasil, kalau terlalu banyak order, ia melemparnya ke pengusaha lain.

Bisnis Martini berkembang pesat tahun 2003, setelah ia ikut pameran. Ia mendirikan agen di Jakarta dan memasok beberapa toko di Bali. Masa kejayaan bisnis Martini sudah berasa sejak tahun 2005.

Malang tak dapat ditolak. Tahun 2006, Yogyakarta diguncang gempa, demikian pula dengan Martini Natural. Rumah produksinya di Bantul luluh lantak, sehingga tidak dapat beroperasi. Ia terpaksa membatalkan beberapa pesanan akibat beragam masalah. Pembayaran dari para pembeli pun seret. “Ada pelanggan yang berutang sampai Rp 400 juta,” kata dia. Bisa diduga, aliran kas bisnis Martini terganggu.

Kendati demikian, Martini tidak menyerah. Kali ini ia mencoba mendapatkan pinjaman dari bank. Bermodal tanah 3.000 meter, dia mengajukan kredit. “Tapi, saya hanya mendapat pinjaman Rp 70 juta, sementara modal yang saya perlukan Rp 600 juta,” ujar dia.

Martini pun jalan terus. Sampai suatu kali ia ikut pendidikan kerajinan di Jawa Timur. Rekan-rekan sesama pendidikan tersebut menganjurkan agar Martini menghubungi Bahana Artha Ventura. Alhasil, setelah kembali ke Jogja, ia pun menghubungi Sarana Yogya Ventura.

Pucuk dicita ulam tiba. Sarana Yogya mengambil alih kredit Martini di bank. Mereka juga memberikan suntikan kredit Rp 50 juta. Martini menggunakan seluruh modal tersebut untuk mengerjakan order yang ada. “Order selesai, kemudian usaha saya stabil lagi secara bertahap,” tutur dia.

Dari Sarana Yogya, Martini tidak hanya mendapatkan bantuan dana. Ia juga memperoleh konsultasi usaha gratis, di antaranya bimbingan untuk bertransaksi dengan pihak ketiga dan keterampilan menggunakan internet. “Kebutuhan usaha saya selalu direspons,” kata Martini yang pernah mendapatkan penghargaan UKM Terbaik III dari Dji Sam Soe Award ini.

Belakangan, batas geografis wilayah Yogyakarta ternyata tidak bisa membendung anyaman Martini. Hasil kerajinannya dibawa agen untuk diekspor. “Sejumlah 95 persen pasar Martini Natural adalah untuk ekspor, misalnya ke Prancis dan Italia,” ujar Hari. Untuk pasar lokal, Martini mendirikan gerai di Magelang dan Jakarta.

Merangkak dari PRT dan pedagang sayur

BISA DIDUGA, Martini tidak pernah menduga akan menjadi wanita pengusaha yang sukses seperti sekarang. Maklum saja, orangtua Martini dulu bercita-cita agar anaknya ini menjadi guru. Maka, mereka memasukkan Martini ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Sayang, karena tidak mampu, sekolah Martini terpaksa putus di jalan. “Maklum, waktu itu keluarga kami ada keterbatasan ekonomi,” ujar dia.

Keterbatasan ekonomi keluarga selanjutnya justru menempa Martini menjadi pribadi yang sekarang. Pelan-pelan, Martini menjadi sosok yang memiliki keteguhan dan kesabaran dalam hidup. Ia pun rela menjalani hidup prihatin sebagai pembantu rumahtangga dan pedagang sayur, kendati sempat mengenyam bangku sekolah yang lumayan tinggi.

Kini, bisa dibilang hidup Martini sudah berkecukupan. Nurhadi, suaminya yang dulu sering bekerja di proyek pembangunan, belakangan ikut terlibat mengelola Martini Natural. “Suami saya itu bekerja apa saja bisa,” kata Martini merendah.

Jelas, tidak seperti keluarganya dulu, Martini tidak merasa kesulitan menyekolahkan putri semata wayangnya. Sekarang, putrinya itu kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. (Asnil Bambani Amri/Kontan)
Selengkapnya...

Eropa Juga Percaya Klenik, Permintaan Batu Obsidian Tinggi

Friday, May 1, 2009

Pengrajin batu mulia lokal belum banyak yang melirik kerajinan batu obsidian. Pasalnya, batu hasil percepatan pendinginan lahar gunung berapi ini sering disetarakan dengan kaca biasa.

Padahal, peluang ekspornya tinggi, terutama ke Eropa. Menurut Agung Yudyasmara, pemilik workshop kerajinan batu obsidian di Lombok, sebagian orang Eropa yang masih percaya klenik, meminati batu obsidian. "Di Prancis, Italia, dan Belanda batu ini dipercaya jadi salah satu jimat pengusir roh jahat yang harus ada di tiap rumah," ujarnya.

Tak heran, pasar terbesar kerajinan batu obsidian ialah kawasan Eropa. Bahkan, bisnis ekspor batu obsidian ke kawasan tersebut tak terpengaruh krisis. "Walau permintaan Eropa untuk kerajinan lain turun, tapi minat mereka terhadap batu obsidian tetap tinggi," ajar Agung.

Hingga kini, perajin batu obsidian masih fokus menggarap pasar Eropa. Mereka belum mampu menembus pasar Amerika Serikat (AS). Pasalnya, AS belum menerima 16 jenis warna obsidian Indonesia. Pasar AS, saat ini cuma mau menerima obsidian warna hitam saja. "Karena sering dikira kaca biasa, mereka tak mau beli," keluh Agung.

Agung terjun ke dunia kerajinan batu obsidian sejak 2003 di bawah bendera CV Buana Lima. Dia menawarkan aneka produk batu obsidian. Misal bentuk mini aneka hewan, asbak, perhiasan, sampai batu obsidian yang hanya dipoles karena bentuknya sudah unik.

Agung menjual produknya dengan harga Rp 50.000 sampai Rp 300.000 per unit. Padahal harga batu mentahnya, yakni batu obsidian bongkahan dari pengepul di Jawa hanya Rp 5.000 per kilogram. "Harga batu obsidian itu naik 900 persen setelah dibentuk," ujar pemuda 32 tahun ini.

Lantaran warna batu obsidian tak pernah sama, Agung selalu menyediakan stok bahan baku. Sekali pesan, Agung bisa membeli sampai satu ton. "Kalau ada warna yang unik, saya langsung main borong biar perajin lain nggak ada yang punya," katanya.

Agung memanfaatkan internet untuk menjual produknya. Tak disangka, sambutan pasar Eropa meriah. Tiap bulan, dia bisa mengirim dua boks aneka macam produk ke Belanda, Italia, dan Prancis. "Nilainya Rp 10 juta sampai Rp 16 juta sekali kirim," ujarnya. Saat ini, meski krisis, penjualannya ke Eropa relatif stabil.

Agung juga pernah mengirim dua ton batu obsidian poles natural ke Jepang senilai Rp 60 juta. Tak hanya Agung, perusahaan penjual kerajinan PT Habbamas belakangan juga menggeluti bisnis ini. Sejak lima bulan lalu, perusahaan yang sudah berusia tiga tahun ini membuka unit usaha kerajinan batu obsidian.

Habbamas masuk ke bisnis batu obsidian ini lantaran peminat dari Jepang dan Eropa begitu banyak. "Orang sana sudah bisa membedakan mana yang kaca dan mana yang obsidian. Karena dari massa beratnya saja sudah kelihatan beranya," ujar Sekretaris Perusahaan PT Habbamas Bersama Ricka Noviyant.

Untuk urusan bahan baku, Habbamas menggandeng pemasok tetap di Jambi. Perusahaan ini membeli sekitar lima ton bahan baku batu obsidian per bulan.

Produk buatan Habbamas antara lain replika hewan mini, tugu monas, sampai patung abstrak dan obdisian poles natural. Harganya Rp 28.000 sampan Rp 500.000 per unit.

Sayang, Ricka enggan menyebut omzet perusahaannya. "Yang bisa kami bilang, pasar produk ini sangat bagus ke depan," ucapnya. Dia mencontohkan, saat pameran Inacraft pekan lalu di Jakarta, beberapa ratus produk batu obsidian mereka ludes terjual.

(Aprillia Ika/Kontan)
Selengkapnya...