Followers

Google
 

Menakar Bisnis Tikar Lipat Wajak

Friday, May 27, 2011

Merencanakan dan menjalankan bisnis bagi sebagian banyak orang, menganggapnya terlalu ribet dan banyak pertimbangan penuh risiko. Namun lain hal dengan Djumakah salah satu perajin tikar lipat asal Wajak, Malang Jawa Timur, baginya menjalankan usaha sebagai perajin tikar ia anggap mengalir begitu saja seperti air.

Djumakah yang memulai usaha pembuatan tikar lipat sejak 1990 ini mengaku tak muluk-muluk dalam menjalankan bisnis. Baginya asalkan ada kelebihan (margin) dan bisa mempekerjakan banyak orang, itu sudah cukup.

Tak mengherankan gaya berbisnisnya begitu bersehaja dengan manajemen sederhana dengan bermodalkan keuletan dan kejujuran. Namun dengan itu lah yang membuat, usaha tikar lipat Djumakah bisa bertahan hingga 20 tahun lebih dengan merek 'Eagles'

Inilah potret kecil karakter dari sekian ribuan industri kecil di Tanah Air. Umumnya memulai atau terjun ke bisnis dari keadaan atau dari kondisi yang tak ada pilihan lain, justru orang-orang seperti Djumakah lah yang terbentuk secara alami sebagai wirausahawan (entrepreneur) yang tangguh tahan banting.

"Alasan saya dulu terjun menjadi pembuat tikar, dari pada nganggur, ya saya mencoba tikar," katanya kepada detikFinance pekan lalu.

Kisah awal Djumakah masuk ke bisnis ini semua serba kebetulan, ia memulai dengan pembuatan tikar mendong dari rerumputan. Namun di 2005 ia melakukan diversifikasi produk dengan memberikan sentuhan baru dari produknya yaitu tikar karpet dari bahan benang dan tali rapia.

Apa yang dilakukan Djumakah, sebagai bentuk inovasi bagi seorang pengusaha untuk bertahan dibisnisnya. Meski proses inovasi itu baru terjadi 15 tahun kemudian semenjak ia memulai usaha.

Kini ia telah memproduksi dua jenis tikar yaitu tikar karpet dan tikar mendong. Meski tak sebesar industri kelas kakap, dengan produksi 60 tikar per harinya atau 1800 tikar per bulan, baginya itu sudah mampu memutar roda ekonomi di kampungnya.

"Sekarang produksi tikar saya kurang lebih 60 lembar (per hari), dengan karyawan (sub kontrak) ada 22 orang," jelasnya.

Soal pemasaran, ia nampaknya belum berpikir untuk muluk-muluk. Produk-produknya kini masih sebatas ia pasarkan di Jawa Timur dan sebagian di Bali khusus untuk jenis tikar mendong. Di Jawa Timur permintaan tikarnya paling banyak berada di sekitar Malang, Tulungagung, Blitar dan wilayah lainnya.

"Kalau tikar mendong lebih banyak dikirim ke Bali, untuk para turis tidur di pantai," katanya.

Untuk urusan harga, Djumakah hanya membandrol Rp 46.000 per lembar tikar karpetnya, sementara tikar mendong ia hanya jual Rp 13.000 per lembar. Harga ini memang relatif sangat murah jika melihat modal yang harus ia keluarkan.

Ia mengilustrasikan untuk memproduksi satu lembar tikar karpet membutuhkan kurang lebih 1 kg benang dan 1,7 kg tali rapia. Sementara harga benang per kilogramnya Rp 13.000-15.000, harga tali rapia Rp 8.500 per kg dan biaya produksi seperti ongkos kerja Rp 6.000, ongkos jahit Rp 1.000 dan ongkos gulung Rp 6.000.

"Memang kalau bicara untung, tipis sekali, yang penting dapat, biar sedikit asal tetap mutar," katanya.

Pola yang dikembangkan oleh Djumakah cukup mendorong ekonomi masyarakat disekitarnya. Dengan pola sub kontrak kepada para tetangganya ia menjadi penggerak ekonomi di lingkungannya.

"Di sisi ada proses pengulungan, lalu setengah jadi dibawa ke rumah-rumah," katanya.

Sebagai pengusaha yang sudah menggeluti bisnis tikar puluhan tahun, Djumakah mengaku sudah biasa dengan fluktuasi permintaan tikar. Misalnya pada awal tahun ini permintaan produk tikarnya, cukup turun drastis karena pola permintaan pasar yang umumnya adalah para petani dan musim liburan.

"Sekarang permintaan sedang turun sekitar dua bulan sampai 50%," katanya.

Ia menambahkan naik turun dalam bisnis suatu hal yang lazim yang penting adalah semangat. Sehingga tak mengherankan sampai saat ini ia bisa bertahan menggeluti usaha tikar. Kini perekonomian keluarganya jauh lebih baik dibandingkan ketika ia sebelumnya menjadi petani, rumah yang cukup mapan dan kendaraan angkut roda empat kini sudah dimilikinya.

Dikatakannya apa yang ia lakukan saat ini bermodal kemandirian tanpa bantuan dari pemerintah. Soal persaingan antara sesama perajin di Wajak, ia tetap optimis bahwa hal itu bukan lah masalah, yang terpenting meningkatkan kualitas produk.

"Sampai sekarang dari pemerintah nggak ada bantuan, dulu pernah ada bantuan Jasa Tirta (BUMN), uang Rp 3 juta angsuran 2 tahun tanpa bunga," katanya.

Kerajinan Tikar Lipat Eagles
Djumakah dan Kastin
Jl. Raung 2B 15 Wajak, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Jawa Timur
(hen/dnl)
Selengkapnya...

Batik Bayat, Tak Sekadar Terima Order

Thursday, May 26, 2011

Alkisah, Ki Ageng Pandanaran berangkat ke Bayat mengikuti perintah Sunan Kalijaga untuk melakukan tapa dan menjalankan kehidupan religius. Di sana, putra Ki Ageng Pandan Arang itu justru menetap dan menyebarluaskan Islam.

Begitu sohornya contoh hidup Pandanaran hingga ia pun lebih sering dikenal sebagai Sunan Bayat.

Konon, sembari menyebarkan Islam, ia juga mengajari rakyat di Bayat, khususnya di Desa Paseban, keterampilan membatik. Tujuannya adalah untuk pemenuhan kebutuhan pakaian Sunan berikut sanak familinya. Dari sinilah usaha batik di Bayat, yang kini merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, bercikal bakal.

Cerita ini mengemuka dalam sebuah diskusi mengenai batik Bayat pada Rabu (25/5/2011) di Museum Tekstil Jakarta. Simpulannya kemudian, batik Bayat atau yang juga sering disebut dalam khazanah kearifan lokal sebagai batik Tembayat masih memerlukan sentuhan-sentuhan profesional agar lebih mengemuka. Artinya pula, batik Bayat harus lebih mempunyai daya saing dengan batik-batik lokal di Tanah Air.

Adalah Sipon, salah seorang produsen batik Bayat, dalam kesempatan itu menuturkan pengalamannya kepada kompas.com. "saya memulai usaha sendiri sejak dua tahun lalu," kata pemilik usaha Batik Tulis Tradisional Warna Alam Retno Mulyo itu.

Menariknya, bahkan sampai sekarang, Sipon tetap menjadi pembatik untuk perusahaan batik Danar Hadi di Solo. Sejak 1973, Sipon menjadi pagawai Danar Hadi. "Saya sekarang mengerjakan batik Danar Hadi di rumah saya di Bayat," ujarnya.

Sama seperti perajin batik tradisional di kawasan itu, Sipon masih membatik baik dengan cara tulis maupun cap kain panjang atau jarit. Ukuran panjangnya 2,5 meter.

Order

Menurut Sipon, sampai sekarang, perajin batik di Bayat lebih banyak menerima pesanan alias order dari sentra batik di Solo dan Yogyakarta. Makanya, kemudian, Sipon setuju kalau batik khas Bayat memang belum kelihatan menonjol ciri khasnya. Meski, menurutnya, motif seperti gajah birowo, pintu retno, parang liris, babon angrem, dan mukti wirasat adalah ciri khas batik Bayat. "Semuanya warna soga atau kecoklatan," kata ibu tiga anak tersebut.

Namun begitu, Sipon merasa tidak puas hanya bertindak sebagai produsen yang cuma mengandalkan order. "Duitnya memang lebih gampang didapat kalau cuma menerima pesanan," akunya.

Dalam hitung-hitungan Sipon, untuk sepotong batik jarit tadi, ia menerima uang di kisaran Rp 50.000 sampai dengan Rp 150.000. "Tapi, tentunya saya ndak puas. Saya ingin batik buatan saya sendiri yang juga ikut terjual. Kalau sudah laku, lega rasanya," kata Sipon yang memulai usaha batiknya dengan modal awal Rp 70 juta.

Jadilah, Sipon pun berjuang untuk memasarkan produksinya itu. Rupanya, perempuan kelahiran 1 Januari 1965 itu menggunakan cara-cara lazim konvensional. Selain menitipkan produksinya di toko-toko batik di Semarang, Yogyakarta, dan Solo, ia pun masih menyambangi satu per satu relasinya, menawarkan batik buatannya. Kadang, Sipon berjualan batik kala pameran yang diselenggarakan dinas perindustrian dan perdagangan setempat. "Saya ingin juga bisa menembus pasar Jakarta," tuturnya berharap.

Di sisi lain, tentu ada sedikit perbedaan jumlah produksi antara mengerjakan pesanan dengan membuat sendiri. Seturut pengalaman Sipon, dalam satu bulan, ia mampu memproduksi 200 potong batik pesanan. Sementara, produksi batik buatannya dalam kurun waktu sebulan cuma separuh dari batik pesanan. Banderol per potongnya pun relatif lebih mahal yakni di kisaran Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta.

Terkait dengan hal tersebut, Gina Sutono, salah satu pegiat batik Bayat, dalam diskusi tersebut mengatakan para perajin batik Bayat bisa lebih mengembangkan teknik jarit untuk bahan pakaian. Sementara, untuk lebih memperkenalkan batik Bayat kepada khalayak banyak, kebiasaan pelukis membubuhkan nama diri dan judul lukisan di kanvas juga bisa ditiru. "Perajin mulai sekarang bisa menambahkan kata 'batik Tembayat' atau 'Bayat' pada karya- karyanya," demikian Gina Sutono.

Sekarang, batik Bayat dapat dijumpai, khususnya di Desa Paseban dan Beluk. Menurut Titus Goenarto, salah seorang pelaku usaha batik Bayat, ada sekitar 50 perajin yang ikut ambil bagian dalam bisnis batik Bayat.

Selengkapnya...

Miniatur Rumah Adat Mamasa Tembus Pasar Amerika

Wednesday, May 25, 2011

Bonggamalona, warga Desa Rantekatoan, Kecamatan Mamasa, Sulawesi Barat, sehari-hari menekuni kerajinan pembuatan miniatur rumah adat banua sura atau rumah ukir khas Mamasa.

Berawal dari keprihatinan makin tergerusnya perhatian masyarakat terhadap rumah adat Mamasa, pria paruh baya ini sejak 10 tahun terakhir menggeluti profesi sebagai pembuat miniatur banua sura dari limbah kayu bekas yang sudah dibuang.

Dengan tekun ia menyusun rangkaian kayu hingga berbentuk miniatur rumah adat khas Mamasa. Selain memanfaatkan limbah kayu bekas, Bonggamalona juga menggunakan bahan-bahan alami agar rumah adat miniatur buatannya benar-benar menyerupai aslinya.

Seperti pada proses pengecatan, ia menggunakan tanah liat berwarna yang mudah ditemukan di wilayah Mamasa. Karena hanya dilakoninya sendiri, satu buah miniatur dirampungkan Bonggamalona lebih kurang satu bulan. Untuk satu buah rumah adat, Bonggamalona mematok harga Rp 5 juta hingga Rp 10 juta tergantung ukurannya.

Dengan hanya mengandalkan peralatan konvensional, hasil buah tangannya sudah menembus pasar lokal dan juga internasional. Tak sedikit wisatawan mancanegara tertarik dengan miniatur rumah adat Mamasa. Miniatur rumah adat karya Bonggamalona juga sudah "terbang" ke Amerika Serikat serta negara-negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, dan Perancis. Untuk pasar nasional, hasil kerajinannya banyak dijual di Bali dan Jakarta.

"Saya bangga karena karya saya tidak hanya diminati masyarakat lokal Indonesia, tetapi juga para turis. Warga Amerika pernah memesan miniatur rumah adat untuk dibawa pulang," ujar Bonggamalona.

Meski hasil kerajinan Bonggamalona sedikit lebih mahal dari perajin miniatur rumah adat lainnya di Kabupaten Mamasa, sejumlah konsumen tetap memilih memesan di tempatnya. Hal itu karena miniatur rumah adat buatan Bonggamalona dinilai lebih orisinil dan filosofi bentuk rumahnya tetap terjaga seperti aslinya.

"Saya suka karena mirip bentuk aslinya. Filosofi bentuk dan ornamen rumahnya juga masih tetap terjaga seperti aslinya," ujar Federick Depparaba, seorang konsumen yang sedang mengecek pesanannya.

Namun, meski pesanan melimpah, usaha Bonggamaloba justru jalan di tempat lantaran ia tak punya modal untuk mengembangkan kerajinan khas Mamasa ini. Bonggamalona hanya bisa memproduksi paling banyak dua buah miniatur rumah Mamasa dalam sebulan.

Kekurangan modal membuat usaha yang sudah puluhan tahun ini semakin tersisih dan terancam gulung tikar. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk mendukung usahanya juga menjadi kendala lain Bonggamalona memenuhi permintaan pelanggan.

Sepatutnya usaha yang berpotensi mengangkat roda perekonomian daerah mendapat perhatian Pemerintah Kabupaten Mamasa.

Selengkapnya...

Sukses Berbisnis Oleh-oleh Beromzet Miliaran

Friday, May 20, 2011

Membawa oleh-oleh bagi sebagian besar orang Indonesia seperti menjadi kewajiban saat baru pulang bepergian dari luar kota maupun luar negeri. Setiap wilayah, konsep oleh-oleh berbeda-beda dengan karakteristik yang khas, misalnya berupa makanan maupun minuman.

Menurut Syamsul Huda, pengusaha oleh-oleh makanan olahan apel asal Malang, berbisnis oleh-oleh sangat menjanjikan asalkan mengerti strateginya. Syamsul mengganggap, segmen pasar oleh-oleh harus dibedakan dengan segmen produk secara umum.

"Kalau produk oleh-oleh kualitasnya harus tinggi, maka harga jualnya juga tinggi, desain harus menarik. Tapi kalau produk lain harganya murah dengan kualitas di bawah (standar)," kata Syamsul kepada detikFinance beberapa hari lalu di Malang.

Menurutnya, kelebihan dari bisnis oleh-oleh, produknya pasti dicari banyak orang sehingga pemasarannya relatif mudah. Meskipun biasanya segmen pasar ini hanya terbatas pada wilayah tertentu saja.

"Kami mengincar pasar oleh-oleh, pasar oleh-oleh bagaimana mengangkat Kota Batu Malang sebagai kota wisata," katanya.

Dari sisi variasi produk, segmen pasar oleh-oleh memang mau tidak mau harus memiliki keterbatasan jenis. Produk yang dijual haruslah khas wilayah setempat, karena jika tidak, konsumen akan bingung menentukan produk apa yang pas untuk oleh-oleh.

Namun kondisi semacam seperti ini bukan berarti harus membatasi kreasi seorang pebisnis. Berdasarkan pengalaman Syamsul, untuk mengembangkan usaha, seorang pengusaha produk oleh-oleh harus juga memiliki produk non oleh-oleh untuk segmen pasar umum, dengan konsekuensinya harus bermain di harga yang lebih miring.

"Di samping ada kripik apel, kita juga ada pia apel khusus untuk semua segmen pasar. Ke depannya selain pia, kita juga mau mengembangkan biskuit apel, permen apel dan lain-lain," katanya.

Menurutnya saat ini oleh-oleh khas Batu Malang masih berkutat pada produk makanan olahan seperti kripik apel dan sari buah apel. Dengan masuk segmen produk di luar oleh-oleh, Syamsul mengaku harus menyiapkan perangkat modal yang lebih besar dan perizinan yang lebih kompleks.

"Sementara ini produk-produk saya masih di Jawa Timur, belum berani ke luar karena belum ada modal," katanya.

Keberhasilan Syamsul menggeluti produk makanan olahan apel bukan lah isapan jempol belaka. Bisnis produk olahannya terus berkembang, selain kripik apel, sari apel, jenang (dodol) apel, ia juga membuat kripik nangka, kripik nanas, kripik salak, kripik mangga, kripik rambutan, dodol nanas, dodol sirsak, dodol nangka, dodol strawberry dan lain-lain.

"Kebetulan setiap tahun naik, 5% sampai 15%. Dengan omset per bulan Rp 110 juta," katanya.

Syamsul yang memulai bisnis makanan olahan apel sejak 2001 ini, tertarik dengan bisnis oleh-oleh karena dihadapkan oleh kondisi suramnya sektor pertanian apel Batu Malang sepuluh tahun lalu.

"Yang menjadi latar belakang kondisi budidaya apel tahun 2001, terjadi penurunan, sudah jenuh tanah. Produktivitas turun dan kualitas juga. Ini merugikan petani. Perlu ada sentuhan teknologi pengolahan pangan," ucap pria lulusan Unisma Fakultas Pertanian ini.

Ia mengaku, produk olahan apel pertamanya adalah jenang atau dodol apel, pada waktu itu ia hanya bermodal Rp 4 juta. Selama dua tahun pertama bisnis jenang apelnya masih kembang kempis alias baru sampai tahap balik modal.

"Tahun berikutnya saya buat ekspansi pasar dan modal dengan minjam uang dari bank. Saya memulai beranikan diri pinjam dana Bank Mandiri dan Bank Jatim. Ternyata sebuah keberhasilan harus berani dulu dan mengambil risiko," kenang Syamsul.

Setelah dapat suntikan dana segar dari bank, bisnis Syamsul kian melaju pesat sejalan berkembangnya aneka produk yang ia buat. Mulai dari situ ia banyak mengembangkan berbagai aneka produk kripik termasuk kripik dan jus apel.

"Sekarang total variasi produk sudah ada 15 macam. Cara menembus pasar, saya melakukan kegiatan promosi di daerah Malang Raya. Saya ikut promosi kegiatan pameran di dinas," katanya.

Syamsul kini sudah memiliki 72 karyawan padahal awalnya hanya 2 orang karyawan. Produk-produk yang ia jual relatif terjangkau untuk segmen oleh-oleh yaitu dimulai dari Rp 2.000 sampai Rp 22.000 per bungkus.

Keberhasilan Syamsul bukan hanya dinikmati oleh dirinya dan karyawannya, namun para petani yang menyuplai bahan baku apel pun ikut kecipratan moncernya bisnis olahan apelnya. Misalnya dalam hal harga jual apel, Syamsul memberikan harga relatif lebih bagus dari pada harga pembelian dari tengkulak yaitu berkisar Rp 5000-7000 per Kg.

"Kita ada mitra kerja binaan kelompok tani apel yang menjadi mita kerja. Kalau dibeli tengkulak harganya murah. Ada tergabung 41 petani, kita juga ada paket wisata selain melihat produksi olahan apel, pengunjung juga bisa melihat perkebunan apel," jelasnya.

Selama ini Syamsul mampu menghabiskan 500 kg apel untuk dijadikan kripik dan sari buah. Menurutnya suplai apel tak menjadi masalah meski produksi turun hingga 25%.

"Justru yang jadi masalah adalah suplai nangka, salak, rambutan karena bukan musim, padahal permintaaan banyak," kata pria yang mengaku mengolah apel secara otodidak ini.

Menurutnya permintaan produk olahan apel dan buah lainnya terus naik, bahkan pada musim liburan bisa naik hingga 30%. Dengan margin hingga sampai 20-30%, Syamsul mengaku begitu menikmati masa keemasan bisnisnya saat ini.

Syamsul Huda
CV. Bagus Arista Mandiri
Jl. Kopral Kasdi 2 Bumiaji Kota Batu, Malang.
Email: huda_bagus@yahoo.co.id
Selengkapnya...

Kemilau Prospek Toko Perhiasan Perak

Boleh jadi, lantaran harga emas semakin mahal, banyak orang yang melirik perhiasan berbahan perak sebagai alternatif. Lagi pula, kendati turut menanjak, laju harga perak lebih stabil ketimbang emas. "Bisnis perak juga tidak mengenal musim sehingga harganya cenderung stabil," kata Asep Mustafa, pemilik Amani Silver, Bandung.

Menurut dia, saat ini perak telah menjadi tren dalam dunia fashion. Karena itu, jika penjual bisa mengelola bisnis ini, keuntungan mencapai 100 persen bisa diperoleh. Selain sebagai perhiasan, perak juga bisa menjadi alternatif investasi berisiko relatif kecil dan modal terjangkau.

Perak asal Hongkong dan China

Potensi bisnis perak yang bisa tumbuh pesat itu menjadi alasan Asep menawarkan konsep kemitraan toko perhiasan perak, Amani Silver, pada Februari 2011. Saat ini Amani Silver menjual beraneka model perhiasan perak.

Berbeda dengan toko perak di Kota Gede, Yogyakarta, yang membuat kerajinan perak sendiri, Amani Silver hanya reseller. Toko ini menjual aneka kerajinan perak impor dari Hongkong dan China.

Nah, agar bisa menjadi mitra Amani Silver, Asep menawarkan tiga paket kemitraan. Pertama, paket A dengan investasi Rp 75 juta. Kedua, paket B dengan investasi Rp 100 juta. Ketiga, paket C dengan investasi Rp 125 juta. Nilai investasi tersebut belum termasuk sewa tempat, pajak, dan izin usaha.

Pada paket A, mitra akan memperoleh perhiasan perak sebesar 1,5 kg. Di paket B, mitra mendapat perhiasan perak seberat 2 kg. Mitra usaha Asep akan mendapat perak seberat 3 kg jika mengambil paket C. Selain perhiasan perak, mitra juga akan mendapat perangkat etalase, brankas, timbangan digital, seperangkat alat tulis kantor (ATK), hingga alat promosi.

Asep berjanji melatih mitranya yang tak mengerti soal perhiasan perak. Dia akan mengajarkan kepada mitra cara membedakan perak yang bagus serta cara menyepuh dan membersihkan perhiasan berbahan perak.

Asep menghitung, omzet per hari mitra bisa mencapai Rp 1,5 juta. "Asumsinya setiap hari bisa menjual lebih dari 50 gram," katanya. Sebagai catatan, saat ini harga jual perak berkisar antara Rp 25.000 dan Rp 30.000 per gram.

Dengan asumsi tersebut, Asep mengatakan, keuntungan mitra setiap bulan akan sekitar Rp 19 juta. Walhasil, masa balik modal akan tercapai dalam tiga bulan–empat bulan untuk paket A.

Asep memang tidak memungut franchise fee. Namun, ia mewajibkan mitra untuk membeli perhiasan perak dari Asep. "Harga pembelian perak sebesar Rp 22,5 juta untuk 1 kg perhiasan," katanya.

Amir Karamoy, Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), mengakui, perhiasan perak memang sedang menjadi tren. Hanya, "Pasarnya masih segmented dan dimiliki komunitas tertentu," ujar Amir.

Oleh karena itu, bagi masyarakat yang tertarik dengan tawaran ini disarankan mengambil lokasi di mal besar. Selain itu, karena masih baru, investor harus lebih aktif memasarkan perak. (Mona Tobing/Kontan)

Selengkapnya...

Jenuh Diperintah Orang, Raup Ratusan Juta di Rumah

Friday, May 13, 2011

Bisnis catering masih menjanjikan. Pasar yang luas, plus keuntungan yang menggoda. Meski demikian, bukan berarti bisa digarap asal-asalan. Cita rasa dan harga tetap menjadi modal utama agar bisnis ini bertahan.

Keahlian meracik kuliner yang didapat Edy Purwanto di sejumlah kapal pesiar dan hotel berbintang menjadi modal awal pengusaha yang mengusung bendera Pandan Leaf Catering ini.

Semua bermula dari kejenuhannya bekerja di bawah perintah orang lain. Edy mengaku lebih dari 18 tahun menggeluti dunia kuliner dan merasa jenuh keliling dari satu kapal pesiar ke kapal pesiar lain, dari satu hotel ke hotel lain.

"Setelah punya jaringan, tahun 1997 saya beranikan diri membuka usaha pribadi dengan ikut tender Rumah Sakit Pelabuhan Surabaya atau Port Health Center. Saya menang tender, dari situlah semua berawal," kenang Edy saat ditemui di kediamannya di kawasan Wonosari Kidul, Surabaya.

Sampai saat ini order terus mengalir, tidak hanya dari instansi, tetapi juga dari paket pernikahan. Dalam sebulan, ia bisa meraup omzet rata-rata tak kurang dari Rp 200 juta. Harga untuk catering reguler mulai Rp 7.000 hingga Rp 15.000. Sedangkan paket wedding ditawarkan mulai Rp 25.000 per orang.

"Paling besar kontribusinya dari wedding service. Kalau yang reguler, saya melayani acara-acara instansi pemerintah dan perusahaan swasta serta buka kantin di Unesa (Universitas Negeri Surabaya)," ujar alumnus Akademi Perhotelan Satya Widya Surabaya, Jurusan Tata Boga, ini.

Edy menjalankan usaha catering ini dibantu 18 karyawannya. Menu yang ia racik mulai masakan Indonesia, Chinese food, Thailand food, hingga European food. "Saya menerima segala menu masakan. Soal pemasaran dan sumber permodalan, saya serahkan ke istri. Istri dulu kerja di tenaga pemasaran Bank Danamon, jadi saya punya akses untuk permodalan sampai sekarang," jelas pria kelahiran 13 Maret 1973 ini.

Suami Swary (40) ini melihat potensi bisnis catering yang masih terbuka lebar dengan perkembangan bisnis yang relatif mudah. Orang selalu butuh makan di setiap kesempatan. Tinggal bagaimana mengemas makanan itu dan membidik segmen yang pas, maka keuntungan akan terus mengalir.

"Tingginya permintaan catering untuk wedding membuat saya tertarik mengembangkan bisnis ke arah one stop wedding service. Jadi tidak hanya melayani catering, tapi juga meng-organize, mulai dekorasi, penyediaan electone dan penyanyinya," lanjut bapak satu putra ini.

Modal awal yang ia butuhkan pada 1997 cukup besar, sekitar Rp 200 juta. Sebagian hasil tabungan dan sisanya pinjam ke bank. Selain Bank Danamon, ia juga mengajukan pinjaman ke Bank Mandiri. "Kalau catering ditangani setengah-setengah, hasilnya tidak maksimal. Saya memang mau total menanganinya," imbuh Edy.

Setiap hari, ia melayani catering buat 450 karyawan di sebuah perusahaan swasta dan kantin di Universitas Negeri Surabaya. Untuk order wedding rata-rata 2-4 klien ditanganinya setiap minggu.

"Bahan baku semuanya lokal. Kalau harga bahan baku sedang mahal, harus pandai-pandai menyiasati. Seperti cabe rawit yang kemarin sampai Rp 100.000 per kg, kami siasati pakai cabe kering dan cabe merah besar," katanya.

Untuk urusan karyawan, Edy mengaku tak terlalu sulit mencari karyawan. "Karyawan sudah saya anggap keluarga. Makan dan tidur juga di rumah, karena bekerjanya kan mulai dini hari. Mereka juga tahu dapuran resep masakan saya gimana. Alhamdulillah mereka loyal. Persaingan karyawan catering saat ini juga ketat, jadi kita harus bisa beri perlakuan lebih agar mereka juga memberikan yang terbaik," ucapnya. (DWI PRAMESTI YS)

Selengkapnya...

Laba dari Semangkuk Bakso Berbentuk Hati

Wednesday, May 4, 2011

Siapa yang tidak kenal bakso? Makanan yang terbuat dari campuran daging giling dan tepung tapioka ini memang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Hampir di setiap tempat dapat kita jumpai jenis panganan yang satu ini, mulai dari gerobak pedagang kaki lima hingga restoran.

Karena peluang pasar yang besar tersebut, banyak orang yang kemudian mewaralabakan usaha baksonya. Salah satunya Ihsan Jamaludin, yang membuka usaha bakso dengan nama Bakso Cinta Kartasura pada awal 2010.

Ihsan mengatakan, nama ini terinspirasi dari sebuah judul film lokal. Setelah membuka usaha selama setahun, banyak pihak tertarik menjadi mitra usaha baksonya.

Kini, sudah ada tiga terwaralaba yang bergabung dengan Bakso Cinta Kartasura di Solo. "Masih ada satu calon terwaralaba di Bangka Belitung. Namun, karena kesulitan bahan baku dan mahalnya biaya kirim, rencana itu ditunda dulu," tutur Ihsan.

Keunggulan utama dari bakso ini terletak pada tampilan dan rasanya. Sesuai dengan namanya, Bakso Cinta Kartasura berbentuk hati. Ihsan menjelaskan, bakso buatannya juga memiliki rasa yang khas dengan kaldu sapi asli.

Ihsan menyediakan tiga menu di gerai Bakso Cinta Kartasura. Ketiga menu itu adalah bakso cinta anak, bakso cinta remaja, dan bakso cinta keluarga. Bedanya ada di porsi dan harganya. Harga bakso cinta anak Rp 3.000 per porsi, bakso cinta remaja Rp 5.000 semangkuk, dan bakso cinta keluarga Rp 6.500 per porsi.

Selain itu, banyak juga menu tambahan sebagai pelengkap. Misalnya, tahu bakso cinta, tempe goreng, dan telur puyuh. Ihsan menyebut menu tambahan ini lophe-lophe.

Ihsan hanya menawarkan satu paket waralaba dengan nilai investasi sebesar Rp 30 juta. Rinciannya, biaya waralaba Rp 15 juta, lalu bermacam perlengkapan usaha, seperti rombong makanan dan minuman, dandang bakso dan mi, kompor, blender, desain interior, serta berbagai bentuk promosi, dengan total nilai sebesar Rp 15 juta.

Tak lupa, Ihsan akan memberikan pelatihan cara meracik bumbu serta bahan baku sesuai dengan standard operating procedure (SOP) pada awal bergabungnya mitra. Ia tidak mengharuskan mitra membeli bahan baku dan bumbu dari pusat. Ihsan pun tidak mengutip biaya royalti setiap bulan.

Lahan yang ideal digunakan sebagai tempat usaha, Ihsan menyatakan, paling tidak seluas 6 x 6 meter. Setidaknya gerai tersebut bisa menampung pengunjung 30 orang. Namun, "Kenyamanan pengunjung juga harus diperhatikan," imbuhnya.

Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, kata Ihsan, mitra bisa meraih omzet penjualan sekitar Rp 800.000 per hari pada hari biasa. Tetapi, omzet akan naik dua kali lipat pada akhir pekan. Dengan hitungan penjualan sebesar itu, ia memperkirakan mitra bisa balik modal dalam lima bulan.

Ali Syahroni, salah satu mitra Bakso Cinta Kartasura di Solo yang baru bergabung satu bulan terakhir, mengungkapkan, alasannya bergabung lantaran makanan ini merupakan favorit di Solo. Selain itu, bentuk yang unik dan rasanya yang lezat menjadi pertimbangan utamanya.

Sebagai pemain baru, Ali yang membuka gerai bakso di sebuah perumahan bisa meraih omzet yang lumayan saban harinya. "Ya, walaupun masih belum maksimal, omzet dalam sehari yang bisa saya raih sekitar Rp 500.000," kata Ali.

Menurut konsultan bisnis Peni R. Pramono, inovasi yang dilakukan Bakso Cinta Kartasura perlu mendapat apresiasi. Dengan menyasar segmen anak dan remaja, terobosan mereka telah sesuai.

Namun, Peni mengingatkan, bagaimanapun bentuknya, bisnis makanan tetap harus mengutamakan keunggulan rasa. "Kalau untuk pangsa pasar keluarga, masalah bentuk tidak menjadi alasan utama, tetapi rasa yang paling ditekankan," tutur Peni.

Untuk memperkuat makna cinta di dalam penggunaan nama bakso, Peni menambahkan, sebaiknya ada filosofi atas pemakaian nama itu sehingga masyarakat paham makna pemberian nama tersebut. Jadi, "Tidak menjadi asal nama saja," ungkapnya. (Handoyo/Kontan)

Selengkapnya...