Followers

Google
 

Nasrudin, Bapak Lele Sangkuriang

Monday, December 21, 2009

Kecebong, anak kodok, muncul di kolam, membuat Nasrudin gembira karena dia mengira kecebong itu anak ikan lele. Kegembiraannya itu sirna dan dia tersipu malu ketika diberi tahu bahwa yang dikira anak ikan lele itu adalah kecebong. Kodok betina yang masuk ke kolam tanpa diketahui, bertelur dan menetas bersama dua indukan ikan lele betina dan seekor jantan.



Itu pengalaman pertama Nasrudin (61) sejak delapan tahun lalu saat belajar beternak ikan lele.

”Kecebong disangka anak lele. Ngerakeun pisan (sangat memalukan),” kata Nasrudin, menuturkan awal usahanya menjadi peternak ikan lele delapan tahun lalu, di Saung Pertemuan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Jaya Sentosa, awal November lalu. Saung itu berdiri di tepi puluhan kolam ikan lele yang terbuat dari terpal dan tembok di lahan seluas 12.000 meter persegi di Kampung Sukabirus, Desa Gadog, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Kini, dia tak lagi dipermalukan atas ketidaktahuannya. Nasrudin sudah tersohor berkat lele sangkuriang yang mulai dikembangbiakkan pada 2001. Dia mengawali usaha beternak lele dengan benih sekitar 100.000 lele sangkuriang yang diperoleh dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Nama sangkuriang yang diberikan itu memang diambil dari legenda Tanah Pasundan untuk menandakan lokasi asal pembiakan lele jenis tersebut.

Lele sangkuriang ini merupakan perbaikan genetik melalui silang balik antara induk betina lele dumbo generasi kedua (F2) dan jantan lele dumbo generasi keenam (F6). Induk betina (F2) berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi ke Indonesia pada 1985.

Petugas penyuluh pertanian dan perikanan setempat memberikan bimbingan beternak ikan secara benar. Berkat ketekunannya, Nasrudin berhasil mengembangkan ikan lele sangkuriang.

Dia kini sudah menjadi ”pendekar lele”, bukan saja mahir dalam membesarkan lele dengan jurus-jurus yang jitu, tetapi juga mampu mengobati lele yang diserang penyakit, seperti radang kulit, dengan obat herbal ramuannya sendiri. Obat ini diberikan cuma-cuma kepada yang memerlukan.

”Letkol”

Sejak 2005, dia menjadi pelatih bagi kelompok dari sejumlah daerah, termasuk sejumlah karyawan perusahaan swasta dan pemerintah menjelang pensiun yang ingin beternak lele. Namanya pun sohor menjadi ”Nasrudin Lele” dari Desa Gadog. Bahkan, kalangan pembudidaya lele dan warga setempat menjuluki Nasrudin dengan sebutan Bapak Letkol—akronim dari Lele Kolam yang dipelesetkan menjadi Letkol—sehingga dia kemudian disebut ”Letkol” Nasrudin.

Petani lele sangkuriang dari Desa Gadog ini kini lebih jauh berangan-angan membantu pemerintah mengurangi angka pengangguran dengan memelihara lele. ”Budidaya lele tidak terlalu sulit, teknologinya juga mudah dan tiga bulan sudah bisa dipanen. Masyarakat kecil bisa membudidayakan lele di halaman rumahnya. Cukup dengan lahan minim, hanya dengan luas 1 meter x 1 meter, serta modal Rp 75.000 untuk bibit dan pakan, sudah bisa beternak lele skala kecil,” kata Nasrudin.

Dia tak segan-segan membagi pengetahuan memelihara lele secara benar kepada mereka yang ingin membudidayakan lele. Dia juga siap membantu mereka yang datang menimba ilmu di P4S Gadog tanpa dipungut biaya.

Sejumlah petugas penyuluh pertanian dan perikanan serta pakar perikanan pun mendukung kegiatan Nasrudin membudidayakan lele sangkuriang dan melakukan pelatihan. Dukungan ini membuat Nasrudin bersemangat dan bertambah yakin akan angan-angannya untuk menjadikan Desa Gadog sebagai sentra budidaya lele sangkuriang.

Bahkan, 7 September lalu, Nasrudin diangkat menjadi Ketua Gabungan Kelompok (Gapok) Budidaya Ikan Lele Sangkuriang ”Cahaya Kita” untuk wilayah tengah Provinsi Jabar dengan pusat aktivitas di wilayah Kabupaten/Kota Bogor.

1,5 juta benih

Nasrudin yang puluhan tahun sebagai petani padi dan kemudian beralih menjadi pembudidaya lele ini, bersama kelompok pembenih lele sangkuriang yang tergabung dalam Gapok Cahaya Kita, ingin memproduksi sekitar 1,5 juta benih lele sangkuriang setiap bulan untuk memasok anggota kelompok budidaya lele sangkuriang yang saat ini berjumlah sekitar 50 orang.

Dengan produksi benih sebanyak itu, kelompok budidaya/pembesar ikan lele sangkuriang diharapkan mampu memenuhi sebagian kebutuhan lele di wilayah Jakarta. Adapun kebutuhan lele di wilayah Jabotabek diperkirakan sekitar 75 ton sehari. Pemasoknya bukan saja berasal dari petani lele Jabar, tetapi juga dari Jawa Tengah.

”Saat ini boro-boro memasok ke Jakarta, untuk memenuhi kebutuhan konsumen di wilayah Kota/Kabupaten Bogor saja kekurangan. Kami peternak lele sangkuriang di daerah Gadog dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, baru mampu memproduksi sekitar 3 ton per hari dari kebutuhan sekitar 10 ton,” kata ”Letkol” Nasarudin. Dari kolamnya sendiri, Nasrudin baru mampu memasok sekitar 2 ton per minggu kepada pelanggannya. Lele sangkuriang dijual Rp 10.500-Rp 11.000 per kilogram.

Masa depan budidaya lele cukup cerah. Apalagi, menurut Muhamad Abduh Nur Hidayat, anggota staf Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, ikan lele akan dijadikan komoditas ketahanan pangan. Konsepnya kini sedang disiapkan. Ikan lele saat ini sudah digemari oleh kalangan bawah sampai atas. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sempat mempromosikannya dengan menikmati ikan lele di kampung lele Boyolali, Jateng, tahun 2007.

Andil pedagang tenda pecel lele di Jabotabek dan daerah lainnya cukup besar dalam meningkatkan produksi ikan lele. ”Sekarang lele juga dijual di restoran, bahkan sampai ke daerah Kalimantan Barat yang dulu tak suka ikan lele,” kata Muhamad Abduh Nur Hidayat, penasihat Gapok Cahaya Kita.

Lele sangkuriang yang dirilis sebagai varietas unggul oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri pada 2004 ini lebih cepat dipanen dibandingkan jenis ikan lainnya dan tahan penyakit. Ukurannya lebih besar dibandingkan lele jenis lain. Dua bulan sudah bisa dipanen. Rasa dagingnya juga lebih gurih dibandingkan lele jenis lain. ”Karena itu, tak heran kalau lele sangkuriang disukai konsumen,” kata ”Letkol” Nasrudin.

Editor: Edj
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Mencicipi Laba Garing Rengginang Singkong

Sunday, December 20, 2009

Mencicipi rengginang dari beras ketan sudah biasa. Banyak orang Indonesia yang pernah merasakan gurihnya cemilan mirip kerupuk ini. Tapi, belum banyak orang yang pernah mencicip rengginang dari singkong.

Adalah Kristianingsih, pengusaha cemilan asal Bojonegoro, yang memopulerkan rengginang berbahan baku singkong ini. Walaupun begitu, bentuk dan rasa rengginang buatan wanita yang akrab disapa Kristin ini tidak berbeda dengan rengginang dari beras ketan.

Kristin menuturkan, ide membuat rengginang dari singkong timbul setelah melihat produksi singkong yang melimpah di Bojonegoro. Saking melimpahnya, banyak singkong yang lantas terbuang begitu saja. Petani pun kerap mengobral singkong mereka saat panen. Kala itu, harga satu kg singkong cuma Rp 200.

Kristin lantas mencoba memanfaatkan singkong tersebut. “Saya coba bikin jadi rengginang, sebab rengginang makanan khas di daerah kami,” kisahnya.

Namun, ternyata membuat rengginang dari singkong tidak mudah. Setelah tiga bulan, Kristin baru berhasil menemukan racikan dan cara mengolah yang tepat. Setelah itu, sejak lima tahun lalu, Kristin mulai berbisnis rengginang singkong di bawah bendera UD Gading.

Ternyata, bisnis Kristin berkembang pesat. Saat ini, dibantu 16 pekerjanya, Kristin bisa mengolah tiga kuintal singkong menjadi sekitar satu kuintal rengginang. Dalam sebulan, biasanya ia bisa membuat sekitar 25 kuintal rengginang.

Kristin melego rengginang bikinannya seharga Rp 10.000 per kilogram untuk rengginang mentah, dan Rp 25.000 per kilogram untuk rengginang goreng. Padahal, Kristin memperoleh singkong dengan harga murah.

Kristin membeli bahan baku singkong dari sekitar Bojonegoro seharga Rp 600–Rp 700 per kilogram. Tapi, saat di daerahnya sedang tidak panen singkong, dia harus menambah pasokan dari Tuban. Untuk itu, ia harus merogoh kocek hingga Rp 1.000–Rp 1.300 per kg. Dari bisnis ini, Kristin mengaku bisa mendapatkan margin laba cukup besar, yakni sekitar 30 persen-35 persen.

Tambah lagi, rengginang singkong Kristin terhitung laris manis. Padahal, menurutnya, tidak ada yang istimewa dengan cara pengolahannya. Kristin mengaku hanya memakai garam dan bawang untuk memunculkan aroma dan rasa. Ia juga membuat rengginang dengan rasa terasi dan rasa manis. Agar muncul rasa manis, ia menambahkan gula merah dalam adonan.

Renggiang singkong terutama laris menjelang hari raya dan libur panjang. Selain menjual sendiri renggiang singkong, Kristin juga memasarkan produknya di Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Malang, dan Semarang.

Kristin juga rajin memperluas pasar, misalnya dengan mengikuti pameran. Hasilnya, permintaan dari daerah berdatangan. Misalnya dari Jakarta, Kalimantan, dan Ambon.
(Dupla Kartini/Kontan)


Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Zamzami, Sukses Bisnis Gaplek Zebra

Saturday, December 19, 2009

Ahmad Zamzami (23) adalah anak petani Desa Bangunrejo, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Usaha bisnis gaplek zebra miliknya mampu menyerap 200 tenaga kerja lokal yang rata-rata adalah penganggur dan buruh tani.

Gaplek zebra Zamzami telah menembus pasar Singapura melalui sebuah perusahaan di Surabaya. Gaplek yang terbuat dari ketela pohon (Manihot utilissima) kering itu juga telah menjadi langganan dua koperasi pakan ternak di Rembang.

”Saya memasarkan gaplek pada sebuah perusahaan pengekspor di Surabaya sebanyak 50 kilogram per bulan dan dua koperasi pakan ternak di Rembang masing-masing 100 kg per bulan,” tutur Zamzami.

Setiap bulan, Zamzami mampu menghasilkan 200 ton ketela pohon, bahan baku gaplek. Ketela pohon sebanyak itu dapat menjadi gaplek sekitar 150 ton per bulan karena ada bagian-bagian tertentu dari ketela pohon yang dibuang.

Kegundahan hati


Saat ini, harga gaplek Rp 900 per kilogram. Omzet dari pemuda yang masih di semester III di Fakultas Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YPPI Rembang itu mencapai Rp 135 juta per bulan.

Capaian Zamzami itu tidak terlepas dari filosofi hidupnya, menyat sekang turu atau bangkit dari tidur. Manusia harus berusaha segiat mungkin tidak sekadar bermimpi dan jeli mencari celah-celah usaha.

Filosofi itu pun dia ungkapkan dalam sebuah proposal ajakan kerja sama yang ditujukan kepada Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kebunharjo Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Lebih kurang, Zamzami menuliskan begini, ”Memijakkan kaki di lahan yang tidur untuk menggugah pola pikir masyarakat yang tidur.”

Zamzami memulai bisnisnya dari tiga kegundahan hatinya. Pertama, dia khawatir setelah lulus kuliah menganggur. Kedua, di desanya terlalu banyak lahan kosong yang belum dimanfaatkan. Ketiga, di desanya banyak penganggur dan buruh tani yang membutuhkan penghasilan lain saat tidak menggarap lahan.

Bersamaan dengan itu, gerakan penanaman ketela pohon sebagai bahan baku bioetanol sedang gencar di Kabupaten Pati dan Rembang. Bahkan, ada rencana membangun pabrik mini pengolahan bioetanol.

”Saya menganggap itu sebagai peluang mengembangkan usaha. Waktu itu, saya ingin memanfaatkan lahan kosong Perhutani untuk ditanami ketela pohon,” ujar Zamzami.

Zamzami menceritakan kegundahan, keinginan, dan impian itu kepada orangtuanya, Yahya (45) dan Fasiah (40). Orangtua Zamzami pun mendukung. Mereka bahkan memberikan modal dengan menjual tanah keluarga senilai Rp 100 juta.

”Ayah saya juga memberikan nasihat hidup yang selalu terngiang. Yen kerjo, aja nganti kowe ngawula wong. Luwih becik usaha dhewe bathi sithik ning dhuweke dhewe (kalau kerja jangan sampai ikut orang. Lebih baik usaha sendiri meski untungnya sedikit itu hasil jerih payah sendiri),” kata Zamzami.

Dengan mengajak sejumlah rekan lain agar ikut menambah modal, Zamzami membuka tempat usaha, Wana Jati Utama Sejahtera. Dengan modal yang terkumpul Rp 225 juta, usaha pun bergulir.

Manfaatkan modal


Zamzami memanfaatkan modal untuk menyewa lahan tidur Perhutani seluas 70 hektar selama dua kali musim tanam. Per hektar lahan, Zamzami harus membayar Rp 200.000.

Setelah membersihkan dan mengolah tanah lahan tidur itu, Zamzami menanam ribuan stek ketela pohon. Dalam delapan bulan, Zamzami mampu memanen sekitar 18 ton ketela pohon per hektar lahan. Dia memperkirakan, dengan lahan 70 hektar, ketela pohon yang dipanen mencapai 1.260 ton.

Melalui usaha itu, Zamzami mampu merangkul sekitar 200 tenaga kerja lokal. Mereka itu para pemuda desa yang menganggur, para istri buruh tani, dan buruh tani yang ingin mencari tambahan penghasilan. Perempuan mendapat upah Rp 17.500 per hari, sedangkan lelaki Rp 20.000-Rp 25.000 per hari.

”Mereka bekerja secara bergantian, mulai dari babat hutan, menanam, merawat tanaman, memanen, merajang ketela, mengeringkan, hingga mengepak gaplek,” kata Zamzami.

Namun, saat mendekati masa panen ketela pohon, kabar mengenai pembangunan pabrik bioetanol semakin kabur. Zamzami bahkan mendengar langsung, pabrik itu tidak jadi didirikan. Akibatnya, sejumlah petani penanam ketela pohon kelimpungan menjual panenan.

Harga ketela pohon pun jatuh drastis, dari Rp 900 per kg menjadi Rp 300 per kg. Lantaran tidak mau merugi, Zamzami berupaya mencari pasar lain penampung hasil panen ketela pohon.

”Akhirnya, saya memilih menjadikan panen ketela pohon itu sebagai gaplek karena tren pasarnya sedang naik. Harganya pun relatif bagus. Harga gaplek Rp 900 per kg,” ujar Zamzami.

Zamzami pun sukses dengan berbisnis gaplek. Produknya bahkan diekspor ke luar negeri.

Editor: msh
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Peluang Bisnis Monster Fish

Saturday, December 12, 2009

Ikan jenis monster fish merupakan ikan langka yang unik dan belum populer di pasaran. Hampir seluruh monster fish yang ada di Indonesia diimpor dari negara lain terutama negara-negara Afrika atau Amerika Selatan. Hal itulah yang menjadi kendala dalam mengembangkan bisnis monster fish. Demikian yang dituturkan hobiis monster fish yang juga pebisnis monster fish, Hanung dan Kamil saat pameran ikan hias, reptil, dan tanaman, Indonesian Pets Plants Aquatic Expo 2009 yang di gelar di WTC Mangga Dua Jakarta, Sabtu (12/12/2009).

"Masih awam banget ya, banyak yang belum tau, kayak tadi, sering orang bilang ikan kita (monster fish) ikan lele, padahal kan bukan," ujar Hanung.

"Ya nggak banyak ya pedangang yang main ikan monster fish kayak gini. Resikonya gede, biaya impor, ongkos masuk," kata Kamil menambahkan.

Menurut Hanung, tantangan terbesar dalam berbisnis monster fish adalah bagaimana menyosialisasikan kepada masyarakat tentang keberadaannya sebagai ikan yang patut diminati.

"Tantangan terbesar membuat masyarakat tahu terhadap ikan ini, kenapa bisa mahal, kenapa bisa langka," ujarnya.

Tantangan lainnya, menurut Hanung adalah mengembangbiakkan monster fish yang cukup sulit dilakukan mengingat sebagian besar ikan ini habitat aslinya bukan di Indonesia. Untuk menyiasatinya, Hanung biasanya melakukan riset keadaan air di habitat asli monster fish seperti suhu asli dan kadar keasaman air terlebih dahulu, untuk kemudian membuat habitat tiruan yang hampir mirip habitat asli.

"Kan masih impor, butuh adaptasi dengan lingkungan lokalnya. Tantangannya bagaimana mengembangkan satu jenis. Biasanya kita riset bagaimana rata-rata suhu di Amazon, keasamannya, kita tiru. Nggak mungkin sama persis sih," ujar Hanung.

Ikan golongan monster fish juga bisa terkena penyakit yang tidak umum, berbeda dengan ikan ternakan. "Karena ikan tangkepan alam, banyak penyakit yang nggak umum kayak ikan ternak biasa. Misalnya penyakit pencernaan. Awalnya gak kelihatan, oh ikan ini sehat. Mungkin gara-gara di tempat penampungan sebelum impor tidak dikasih makan, atau makanannya gak cocok," kata Hanung.

Meskipun banyak tantangannya, bisnis monster fish termasuk bisnis yang menjanjikan. Namun membutuhkan waktu relatif lama untuk sukses, tidak bisa hanya dalam setahun sampai dua tahun. "Bisa dibilang menjanjikan tapi nggak bisa dalam setahun, dua tahun. Harus banyak sosialisasi," imbuh Hanung. Monster fish adalah salah satu golongan ikan hias yang dipamerkan di pameran ikan hias,reptil, dan tanaman, Indonesian Pets Plants Aquatic Expo yang berlangsung 5-13 Desember di WTC Mangga Dua Jakarta.
Editor: wsn
Selengkapnya...

Budidaya Ikan Neon Tetra Masih Menjanjikan

Friday, December 11, 2009

Para pembudidaya (breeder) ikan hias Neon Tetra mengaku kewalahan menghadapi permintaan ekspor. Aditya Satya, salah satu breeder di Sawangan, Depok, Jawa Barat, mengatakan permintaan dari eksportir akan ikan Neon Tetra itu dua juta ekor per bulan. "Namun, koperasi kami hanya mampu memproduksi satu juta ekor per bulan," kata Aditya kepada KONTAN.

Pasar ekspor ikan bernama latin Paracheirodon innesi ini terbuka di Singapura, Amerika Serikat, dan Eropa. Selain sebagai ikan hias, di Eropa, ikan Neon Tetra ini diambil zat warnanya untuk bahan kosmetika. Peluang bisnis semakin manis lantaran baru Indonesia dan China yang berhasil membenihkan neon tetra.

Aditya mengatakan anakan ikan berukuran 0,8 cm yang berusia 40 hari dihargai Rp 150 per ekor. Sedang harga neon tetra berukuran 3 cm mencapai Rp 600 per ekor. Kapasitas breeding neon tetra milik Aditya berkisar 120.000-200.000 ekor sebulan.

Aditya mengaku sudah 10 tahun membudidayakan neon tetra. Dia tertarik ikan ini karena permintaannya tak pernah surut. Sejak awal budidaya sampai sekarang, harga ikan ini juga stabil. "Kalau harga ikan kardinal tetra itu bisa naik turun berkali-kali lipat," ujarnya.
(Dupla Kartini/Kontan)


Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Bisnis Ikan Hias, Jalan Panjang Menjemput Impian

Pertengahan Oktober 2009. Keheningan di gedung raiser ikan hias di Cibinong, Jawa Barat. Gedung yang terletak di Jalan Raya Bogor Kilometer 47 itu memiliki tiga gedung raiser ikan. Di beberapa kolam berukuran besar dan akuarium terlihat sekawanan ikan bergerak lincah. Sebagian kolam lainnya dibiarkan kosong dan kering.

Lima tahun telah berlalu sejak kawasan pusat pengembangan dan pemasaran (raiser) ikan hias itu diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 14 Maret 2004. Kini gedung di antaranya sedang ditutup.

”Pekan ini, tidak banyak ikan yang masuk. Sebagian ikan dipasok dari Jabodetabek dan Jawa,” ujar Ari, petugas raiser.

Saat itu, ada 35 jenis ikan hias yang ditampung dalam kolam. Harga ikan koi (Cyrpinus carpio) berusia enam bulan, misalnya dijual Rp 20.000 per ekor. Ikan koi berumur 1,5 tahun dijual Rp 150.000 per ekor.

Raiser Ikan Hias Cibinong merupakan proyek percontohan yang didirikan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Raiser seluas 17,6 hektar itu menghabiskan Rp 30 miliar.

Kawasan itu dilengkapi karantina dan laboratorium untuk ekspor serta gedung pameran. Namun, bagai tak berpenghuni, kawasan itu nyaris sepi aktivitas. Setiap tahun pameran ikan hias rata-rata hanya digelar dua kali, selebihnya kosong.

Penanggung Jawab Raiser Saut Hutagalung menuturkan, cita-cita pendirian raiser ikan hias adalah mengintegrasikan pelayanan administrasi ekspor ikan hias, seperti di Singapura, sekaligus sarana promosi, pameran, dan kontes.

Sayangnya, harapan itu hingga kini belum terwujud. Fasilitas laboratorium untuk pembiakan dan riset belum optimal. Jumlah petugas yang mengelola kawasan raiser juga hanya tiga orang.

”Sekarang ini, raiser belum sampai ke situ (tujuan). Kami masih dalam tahap mempertemukan dan menyamakan persepsi dari kalangan pengusaha,” ujar Saut.

Hambatan pemasaran ikan hias juga dipicu oleh ketiadaan regulasi ekspor ikan hias untuk mengatur standar komoditas layak ekspor, yakni mencakup ukuran, kualitas, dan warna ikan hias. Di samping itu, regulasi perlu untuk mendorong pemasaran ikan hias hasil budidaya serta menekan penjualan ikan hias hasil tangkapan di alam.

Tahun ini, pemerintah menjajaki pembentukan komisi ikan hias, terdiri dari peneliti, pembudidaya, dan eksportir. Komisi itu untuk menopang kebijakan ikan hias, termasuk pengelolaan raiser. Menjelang akhir tahun 2009, komisi belum terbentuk kendati dana untuk komisi telah dianggarkan Rp 175 juta.

Pelaksana Harian Raiser Cibinong Azmir Nida mengungkapkan sulitnya koordinasi antara pemerintah, asosiasi, dan pelaku usaha. Padahal, diperlukan kelembagaan yang tegas untuk mengelola raiser dan menyusun regulasi mengontrol ekspor ikan hias. ”Tanpa kelembagaan, raiser nyaris tidak bisa bergerak,” tutur Azmir.

Sebelah mata

Tersendatnya pengelolaan ikan hias patut disayangkan di negeri yang punya kekayaan ragam ikan hias. Dengan panjang pantai 95.181 kilometer, Indonesia layak disebut sebagai ”surga” keragaman ikan hias.

Perairan Indonesia menyimpan 4.500 jenis ikan hias air tawar dan laut. Yang efektif diperdagangkan sekitar 100 jenis.

Beberapa komoditas ikan hias air tawar asli Indonesia menjadi primadona internasional, seperti arwana (Scleropages formosus sp), khususnya super red arwana; ikan botia (Chromobotia macracanthus Bleeker); serta ikan cupang jenis serip (crown tail). Belum lagi, ikan hias air laut, seperti ikan badut atau clown fish (amphiprion ocellaris).

Meski demikian, kontribusi perdagangan ikan hias Indonesia di kancah global hanya 7,5 persen. Adapun Singapura 22,8 persen dari total perdagangan ikan hias global. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2006 merilis, sekitar 90 persen dari kebutuhan ikan hias di Singapura itu dipasok oleh Indonesia.

Herman Oei, eksportir ikan hias PT Asher Primatama Lestari, mengungkapkan, ikan hias asal Indonesia yang ditampung Singapura umumnya direkondisi. ”Singapura bisa berkembang pesat dalam bisnis ikan hias karena memiliki standardisasi warna, ukuran, dan kualitas. Ikan yang diekspor memiliki mutu yang baik,” ujar Herman beberapa waktu lalu.

Kondisi itu berbanding terbalik dengan Indonesia yang sampai saat ini belum memiliki barometer kualitas ikan hias. Terlebih, peralatan dan tenaga pakar minim. Ikan hias yang dihasilkan umumnya langsung dijual tanpa seleksi tertentu.

Demikian pula, hampir tidak ada ajang pameran ikan hias berskala internasional. Padahal, kontes dan pameran merupakan sarana ampuh, baik untuk memperkenalkan dan memasarkan produk maupun bertukar pikiran dan informasi di kalangan penghobi ikan hias.

HM Zen, pembudidaya ikan hias discuss (Symphysodon discus), mengungkapkan, ketertinggalan sarana promosi di Tanah Air membuat para eksportir terpaksa mengandalkan pameran ikan hias di negeri tetangga untuk menjual produk.

Dengan segenap potensi yang ada, rasanya tak berlebihan jika bermimpi negeri bahari ini mencapai kedigdayaan di sektor ikan hias. Guna menjemput impian itu, dibutuhkan kemauan dan kerja keras. Siapkah kita? (BM Lukita Grahadyarini)
Editor: jimbon
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Dengan Gedebok Pisang Punya 100 Karyawan

Monday, December 7, 2009

Berkah pohon pisang tidak hanya buah atau daunnya. Tukimin (49) membuktikan bahwa dengan sentuhan kreativitas, gedebok pisang juga bisa menghasilkan sejumlah pemasukan dalam rupiah dengan menjadikannya kerajinan tangan yang digandrungi masyarakat internasional.


Tinggal di lingkungan pedesaan membuat Tukimin akrab dengan alam sejak kanak-kanak. Ia yakin, alam menyediakan segala macam kebutuhan manusia untuk menyambung hidup.

Ia pun berang dengan manusia yang menyia-nyiakan berkah alam. ”Di sekitar rumah saya banyak orang membuang gedebok (batang) pisang setelah memanen buahnya. Menurut saya, limbah batang itu pasti bisa dimanfaatkan,” katanya, Senin, 5 Oktober 2009.

Kendati sudah menekuni profesi sebagai penganyam serat alam sejak tahun 1996, Tukimin yang menetap di Dusun Tanggulangin, Tanjungharjo, Nanggulan, Kulon Progo, itu belum dapat mewujudkan pikirannya. Pemilik CV Indo Seagrass itu sibuk menangani pesanan kerajinan anyaman serat pandan dan agel (gebang) yang sedang booming pascakrisis ekonomi.

Tukimin menjadi lebih sibuk setelah terpilih sebagai Kepala Desa Tanjungharjo sejak 2003. Akhirnya baru pada tahun 2008 pria lulusan SMA itu baru bisa mengolah limbah gedebok pisang karena sebagian program kerjanya sebagai lurah sudah terlaksana. ”Saya beralih ke bahan gedebok pisang agar beda dari perajin lain. Kalau saya tetap menganyam agel dan pandan, usaha saya tak akan berjalan karena banyak saingan,” ungkap Tukimin.

Selain itu, serat batang pisang juga memiliki tekstur yang berbeda dibanding serat alam lain. Serat gedebok lebih kuat, tetapi tetap halus dan empuk. Semakin muda usia batang pisang yang digunakan, semakin halus tekstur anyaman. Mengolah gedebok pisang sesungguhnya tak sulit. Bilah-bilah batang tersebut hanya perlu dikeringkan dengan cara dijemur 10 hari. Dalam proses pengeringan, Tukimin tidak menggunakan oven karena akan merapuhkan serat, yang membuat mudah patah saat dipilin.

Hasil pilinan serat gedebok pisang kemudian dianyam atau dijalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan produk kerajinan, seperti tas, keranjang, dan furnitur rumah tangga. Agar kuat, anyaman serat dilem dan diikat dengan benang kasur. ”Tampilan serat gedebok pisang umumnya kusam sehingga untuk mencerahkannya saya menggunakan cat pernis berbahan dasar air dan sudah memenuhi standar keamanan internasional,” katanya.

Melalui distributor yang kerap memasok kerajinan anyaman di Nanggulan, Tukimin mempromosikan produknya. Tidak disangka, animo pembeli, khususnya luar negeri, begitu besar. Kerajinan buatan Tukimin laku keras di Spanyol, Hongkong, dan Jepang. Jumlah pesanan pun terus naik. Jika tahun-tahun sebelumnya Tukimin hanya membuat 10.000 hingga 20.000 produk anyaman setiap bulan, kini ia sanggup menghasilkan 100.000 produk, khusus dari bahan serat batang pisang.

Jumlah pegawai yang awalnya hanya 20 orang dirasa tidak lagi mencukupi. Kini, Tukimin mempekerjakan 50 pegawai. Itu belum termasuk jumlah pekerja tidak tetap sehingga totalnya bisa mencapai 100-an orang. Selain mempekerjakan pemuda-pemuda lokal, Tukimin juga menampung tenaga kerja dari kabupaten lain, seperti Bantul dan Gunung Kidul. Tukimin mengatakan, gaji pegawainya hampir setara dengan upah minimum regional DIY, yakni Rp 500.000 per bulan.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, Tukimin tidak bisa lagi mengandalkan suplai gedebok pisang lokal, tetapi didatangkan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jumlahnya mencapai lima ton. Satu kilogram gedebok pisang kering dibelinya dengan harga Rp 6.000 hingga Rp 12.000. Harga kerajinan beragam, mulai ribuan hingga jutaan rupiah, bergantung pada desain dan ukuran produk. Ia sengaja memasang harga dalam rupiah karena lebih tahan terhadap dampak krisis ekonomi. Terbukti pada krisis keuangan global pada akhir tahun lalu usaha kerajinan Tukimin tetap langgeng.

Untuk mempermudah transaksi dan komunikasi dengan pembeli, kini Tukimin juga sudah memanfaatkan sarana internet dengan berkirim surat elektronik (e-mail). Ia merasa belum siap untuk membuat situs internet sendiri karena masih gagap teknologi.

Rata-rata omzet CV Indo Seagrass di atas Rp 100 juta per bulan dengan batas keuntungan 20 persen. Tukimin tidak menikmati keuntungan itu sendiri, melainkan ia membagi kepada para perajin lain dalam wujud pelatihan usaha. ”Saya tidak mau pelit berbagi ilmu. Penjiplakan desain atau peniruan ide adalah hal biasa dalam usaha. Hal itu justru terus memicu saya agar tetap kreatif dan tampil beda,” ujarnya.

Kepala Tukimin memang dipenuhi banyak cita-cita mulia. Selain mengurangi jumlah limbah alam, ia juga ingin membangkitkan usaha kecil Kulon Progo yang saat ini seolah jalan di tempat. Banyak pengusaha kecil tidak memiliki tekad dan kemauan sebesar Tukimin sehingga mereka setengah hati menjalankan usaha.

Tukimin optimistis, kerajinan serat gedebok pisang memiliki prospek cerah hingga beberapa tahun ke depan. Terlebih tren penggunaan produk-produk yang ramah lingkungan terus menggema dari waktu ke waktu. Selain untuk ekspor, Tukimin juga mulai membidik pasar lokal. Menurut dia, konsumen dalam negeri sudah semakin jeli membedakan produk bagus dan berkualitas, serta tidak mempersoalkan merek.

Editor: Edj
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Omzet Ratusan Juta dari Manisan Jambu Bangkok

Thursday, December 3, 2009

Kalau kebetulan sedang berkunjung ke Medan, Anda bakal menemukan banyak penjual manisan jambu bangkok. Makanan ini merupakan salah satu oleh-oleh favorit khas kota Medan. Maklum, warna hijau cerah manisan ini menggoda. Rasanya pun yahud, apalagi jika dicocol ke bumbu rujak.

Lantaran banyaknya penggemar manisan jambu bangkok, para pengusaha pun berlomba mengejar peruntungan dari bisnis pembuatan dan penjualan manisan ini. Tak hanya di Medan, bisnis manisan jambu biji ini juga cukup marak di daerah lain.

Salah satu pemain di luar Medan yang sukses adalah Daniel Andijaya. Daniel adalah pemilik Trinity, perusahaan pengolah manisan jambu bangkok di Jakarta, yang dia dirikan 2003 silam. Ide Daniel berbisnis manisan jambu bangkok muncul saat ia kangen mencicipi makanan khas Medan itu. “Saya dulu sempat kuliah di Medan,” terangnya. Tapi, dia tidak bisa menemukan makanan itu di Jakarta.

Ia pun lantas nekad mulai berbisnis manisan jambu bangkok. Untuk memodali usahanya itu, Daniel mengorek isi tabungannya. Modal itu ia belikan jambu bangkok dari Cilebut, yang kemudian diolahnya menjadimanisan.

Lalu dia menitipkan penjualan manisan buatannya itu di toko buah milik temannya. Tak disangka, manisan jambu bangkok olahan Daniel laris manis. Maklum, saat itu belum ada pesaing. Bisnis manisan jambu bangkok Daniel berkembang pesat. Bahkan, dia mendapat tawaran memasok produknya di dua jaringan ritel modern besar.

Seiring meningkatnya permintaan, petani jambu bangkok di Cilebut kewalahan memenuhi permintaan Daniel. Itu sebabnya Daniel kemudian memasok jambu biji dari Medan. “Di Medan pasokan stabil, karena kebunnya luas,” papar Daniel.

Kapasitas produksi Trinity memang meningkat pesat. Jika di awal berdiri, Daniel hanya mengolah ratusan kilogram jambu per bulan, kini dia bisa mengolah 30 ton jambu per bulan. Untuk produksi sebanyak ini, Daniel kini mempekerjakan 15 karyawan. Untuk menghasilkan manisan yang sedap, Daniel hanya menggunakan jambu yang tingkat kematangannya 70 persen. Dia menambahkan, jambu yang matang tidak enak dijadikan manisan.

Sebelum dijadikan manisan, jambu dikupas dan dibuang bijinya terlebih dulu. Setelah itu, jambu bangkok dipotong-potong dan direndam dalam air daun suji agar warna hijaunya semakin menyala. Daniel mengemas manisan jambu bangkok menjadi kemasan seberat 7 ons-8 ons. Tak lupa, dia menambahkan bumbu rujak. Daniel menjual manisan tersebut dengan harga Rp 9.000 - Rp 10.000 per emasan ke toko. “Harga jual ke konsumen tergantung toko,” jelasnya.

Daniel mengaku meraup omzet Rp 200 juta setiap bulan dari usaha manisan ini. Pria berusia 39 tahun ini mengaku hanya mengambil margin sebesar 5 persen dari harga jualnya. Cuma, sejak masuk tahun 2009, bisnis penjualan manisan jambu bangkok Daniel tidak terlalu bagus. Penjualan manisan jambu menurun. Dia terpaksa mengurangi pasokan manisan di beberapa gerai ritel modern. “Itu sengaja saya lakukan, kalau tidak saya bisa rugi Rp 6 juta per bulan,” tuturnya.

Pasalnya, selain karena permintaan berkurang, manisan jambu juga termasuk makanan yang tidak tahan lama. Kalau lama tak terjual atau mesin pendingin di toko tidak bagus, manisan jambu akan rusak. Kalau sudah begitu, manisan jambu terpaksa dibuang sebelum terjual. (Aprillia Ika/Kontan)

Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...