Followers

Google
 

Mencicipi Bisnis Rumahan Kue Tradisional

Monday, June 13, 2011

Inspirasi bisnis bisa didapat dari mana saja asalkan ada kemauan. Aspek tradisi daerah bisa dijadikan modal untuk memulai bisnis sekaligus mempertahankan budaya lokal.

Misalnya kue khas Gorontalo yang coba dipertahankan oleh seorang pengusaha kue rumahan asal Gorontalo yang sudah lama menetap di Jakarta, yang bernama Mona Melani Djamal.

Salah satu makanan khas Gorontalo yang paling digemari adalah kue perahu, kue yang berbahan utama gula merah, santan, irisan kelapa, dan diberi wadah dauh pandan berbentuk seperti perahu.

"Buat kue khas Gorontalo sengaja biar kue Gorontalo nggak hilang," kata Mona kepada detikFinance Senin (13/6/2011).

Menurutnya bahan baku untuk membuat kue ini terbilang mudah didapat karena dari gula merah sampai santan dapat dijumpai hampir di setiap pasar, baik pasar modern maupun pasar tradisional. Namun Mona mengaku tidak mudah untuk membuat satu kue perahu agar adonannya tidak rusak. Ia selalu mencoba untuk membuat sebuah kue perahu dengan sempurna.

"Butuh perjuangan kalau pengen bikin, harus ditungguin nggak boleh ditinggal. Terus bikin wadahnya tidak bisa nyuruh orang, nggak menjiwai nggak bisa rapih," ungkapnya.

Menurut Mona, kue perahu ini dikenalkan lewat teman-teman dekatnya ketika arisan. Saat ini, dia sudah memasarkan kue-kue perahu karyanya ke ke luar kota, bahkan juga ke kota asalnya di Gorontalo. Pengalaman Mona ini, bisa menjadi inspirasi bagaimana memesarkan produk kue rumahan dari pasar lingkungan sekitar hingga ke yang lebih luas.

"Dulu suka dibagi-bagi kalau ada arisan. Terus dari mulut ke mulut tahu yang bikin kue perahu cuma aku. Sekarang yang mesen sudah ke mana-mana karena mungkin jarang. Sudah nyampe ke mana-mana deh, aku pernah kirim pesenan ke Gorontalo kirim pakai pesawat," paparnya.

Mona menjelaskan modal untuk membuat kue perahu ini terbilang murah. Untuk membuat sebanyak 50 kue perahu, Mona hanya menghabiskan kurang dari Rp 50.000. Hargsa satu potong kue perahu hanya dibandrol Rp 2.500. Mona mengaku sering mendapat komentar miring dari para pelanggannya, tapi Mona jarang ambil pusing karena memang harga yang harus dibayar untuk menikmati sebuah kesabaran dalam membuat kue perahu.

"Kadang-kadang orang bilang mahal, tapi terserah deh orang bilang apa. Ini mahal jasanya," ujarnya.

Mona menambahkan, jenis kue seperti ini masih jarang dijual karena itu ia mengambil kesempatan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

"Kadang-kadang orang bilang mahal, tapi terserah deh orang bilang apa. Ini mahal jasanya," tuturnya.

Dengan menjual kue perahu, ia mampu menghasilkan lebih dari Rp 3 juta dalam sebulan, itu pun tergantung dari pesanan yang datang karena Mona hanya menjual kue perahu tersebut apabila ada pesanan dari pelanggannya.

"Nggak tentu karena tergangtung pesanan, biasanya bisa di atas Rp 3 juta per bulan. bikin kalau ada pesenan saja ini bukan jualan sebenernya" tandasnya.

Selain kue perahu Mona juga menjual beberapa kue khas Gorontalo yang lain, seperti Sirikaya Bakar, Cara Isi, Wapili. Selain kue perahu, Mona juga melayani
pesanan kue lain seperti kue sus dan puding.

Mona Melani Djamal
Jl. Dokter Saharjo, Sawo III No. 8 Rt 10/09
Jakarta Selatan 12860
Selengkapnya...

Modal Rp 100.000, Kini Beromzet Rp 60 Juta

Sunday, June 12, 2011

Omzet besar dari Toko Mungil menggambarkan sosok Agung Budi Priyambodo (31). Ia menjual bunga lewat internet dengan modal Rp 100.000 saja. Setelah lima tahun berdiri, toko bunga online miliknya kini memiliki omzet hingga Rp 60 juta per bulan. Apa rahasianya?

”Awalnya saya hanya bermodal Rp 100.000. Saya beli domain Rp 70.000, hosting Rp 30.000. Saya bangun website saya, bekerja sama dengan beberapa toko bunga offline, saya minta fotonya, lalu saya pajang di website. Sederhana sekali. Saat itu saya masih jual bunga dari berbagai toko sesuai pesanan. Setelah mulai berkembang, saya mulai memesan bunga pada supplier dan merangkainya sendiri. Sekarang foto-foto yang dipajang di katalog web sudah foto-foto kami sendiri,” kenang Agung saat ditemui Kompas.com seusai seminar ”Best Practise of E-Commerce in SME” dalam rangkaian ICC 2011 yang diadakan Komunitas Tangan di Atas (TDA) di JCC, Jakarta, Sabtu (11/6/2011).

Elyana, istri Agung, yang mulai bergabung bersama usaha yang dirintis suaminya juga ikut berbagi cerita. ”Suami saya resign dari kantornya tahun 2008, dua tahun setelah ia mulai membangun bungahati.com dan saat itu saya masih tidak yakin apakah usaha yang dibangun suami saya akan bertahan. Saya termasuk orang yang tidak percaya dengan bisnis online. Namun, setelah saya coba masuk, coba ikut menangani penjualan, akhirnya saya tertarik dan tahun 2009 saya juga resmi resign dari kantor saya untuk bisa fokus mengurusi bungahati.com,” ungkap Elyana.

Hingga kini Elyana tetap terjun langsung mengurusi pemesanan hingga distribusi ke konsumen. Ia mengaku belum bisa memercayakan manajemen kepada orang lain. ”Saya yang memilih sendiri supplier bunga, sampai merangkai bunganya, mengawasi pekerjaan kurir untuk memastikan bunga sampai dengan baik ke tangan pembeli,” ujar Elyana.

Untuk menjamin kualitas bunga yang sampai ke tangan pembeli, Elyana selalu menyelipkan surat pernyataan yang harus diisi oleh konsumen saat kurir mengantarkan bunga. ”Ada pilihan check list untuk melaporkan keadaan bunga yang sampai, apakah sesuai, tidak sesuai, layu, itu bisa diisi oleh pembeli. Nanti kurir akan menyampaikannya kepada saya,” ucapnya. Apabila terjadi ketidakpuasan pembeli, Elyana akan bertanggung jawab untuk menggantinya sesuai ketentuan yang berlaku.

Elyana menjamin bunga-bunga yang dikirimkannya selalu segar dan sesuai dengan gambar yang dipajang di web dengan melakukan pengecekan setiap hari, melakukan pemotongan batang yang rusak, dan ketika pengiriman, pengemasan dilakukan dengan boks dan di dalamnya diberi es untuk menjamin kesegaran. ”Saya selalu stok bunga di kantor, untuk pembelian mendadak. Jadi kendalanya adalah ketika tidak ada pembelian, bunga akan layu dalam beberapa hari,” ujarnya. Adapun untuk pemesanan dua-tiga hari sebelumnya, Elyana akan memesan langsung kepada supplier bunga.

Untuk pembelian mendadak, waktu yang dibutuhkan semenjak pemesanan hingga sampai ke tangan pembeli biasanya berkisar 2 hingga 3 jam, apabila pembeli berada di kawasan Jakarta. ”Karena satu jam untuk merangkai, satu jam untuk pengantaran,” ungkapnya. Apabila pembeli berada di luar Jakarta, waktu pengiriman akan lebih lama tergantung jarak rumah pembeli dengan kantor pusat bungahati.com di Jakarta.

Selain kawasan Indonesia, bungahati.com juga melayani pemesanan untuk mancanegara. ”Kami sudah melayani pengiriman hingga ke China, Beijing, Hongkong, dan Singapura. Namun, karena ini bisnis bunga segar, supplier bunganya bukan dari Indonesia, tapi kami pesan dari supplier di negara si pembeli,” ujar Agung.

Menurut Agung, usaha bunga online-nya ini adalah usaha yang berkembang dari bisnis online ke bisnis offline. ”Kalau dulu, orang sukses offline dulu, baru bikin website. Usaha saya ini online-nya berkembang dulu baru offline-nya menyusul secara bertahap. Awalnya saya hanya bermodalkan Rp 100.000 untuk membangun web, lalu mulai menjual produk dari toko bunga orang, akhirnya saya punya supplier sendiri, saya produksi sendiri bunganya, rangkai sendiri, sampai beli kulkas khusus untuk menyimpan bunga, menggaji kurir, dan lainnya,” tutur Agung.

Harga bunga-bunga di website ini dijual mulai dari harga Rp 300.000 hingga jutaan rupiah, tergantung jenis bunga dan kesulitan merangkai bunganya. Selain pembeli individu, Agung kini juga telah memiliki langganan perusahaan-perusahaan besar yang melakukan order pada ajang-ajang tertentu.

Suami-istri ini punya pengalaman tak terlupakan selama berbisnis bunga online. ”Ada yang memesan bunga untuk melamar. Saat itu dia memesan satu gedung bioskop untuk dipakai private nonton berdua dengan calon istrinya. Di tengah-tengah film, dia melamar calon istrinya sambil memberikan bunga. Itu bunga penuh satu bioskop. Itu gambaran kami bisa melayani pemesanan hingga seperti itu,” kenang Elyana.

Elyana menambahkan, meski usahanya mulai berkembang dan jumlah omzetnya meningkat, ia dan suaminya hanya mempekerjakan 6 orang pegawai. ”Dua orang kurir, satu dengan motor, satu dengan mobil. Lalu satu orang operator untuk mem-follow up pemesanan, satu orang penulis kata-kata ucapan di rangkaian bunga, dan satu orang pembantu umum,” tutupnya.

Tertarik mengikuti jejak Agung dan istrinya?

Selengkapnya...

Mengolah Kresek Bekas Raup Rp 10 Juta

Wednesday, June 8, 2011

Siapa sangka, tas plastik alias kresek bekas bisa menjadi baju pengantin. Di tangan Erni S Nandang, limbah yang sulit terurai ini tak hanya bisa jadi bahan baju pengantin seharga jutaan rupiah, tetapi juga berbagai perlengkapan dan suvenir pernikahan.

Dia pun dapat mengantongi omzet minimal Rp 10 juta per bulan dari bisnisnya tersebut.

Mungkin tidak ada dalam benak Anda, kantong plastik atawa kresek bekas bisa menjelma menjadi gaun pengantin. Tas kresek bekas juga dapat diolah menjadi aneka suvenir, kartu undangan, dan tempat hantaran prosesi pernikahan.

Beragam produk pernikahan berbahan baku kresek bekas itu lahir dari tangan Erni Suhaina Ilham Fadzry, atau populer dengan Erni S Nandang. Dia adalah pemilik Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Bu Nandang di Cilacap, Jawa Tengah. Erni membuat pernak-pernik pernikahan berbahan baku kresek bekas pertama kali pada awal 2010.

Saat itu, ada salah satu anak didiknya di LPK Bu Nandang yang akan menikah. Kebetulan, orang itu peserta terbaik LPK. Karena itu, "Saya putuskan untuk memberi hadiah berupa kartu undangan, suvenir, dekorasi, dan gaun pengantin dari kresek bekas," kata Erni. Ya, LPK Bu Nandang selama ini memang lebih banyak bergerak dalam pelatihan kerajinan dari bahan baku limbah.

Di luar dugaan, banyak pengunjung pesta pernikahan anak didiknya itu yang tertarik dengan karya-karya Erni dari kresek bekas. Sejak saat itu, permintaan produk-produk perlengkapan pernikahan dari kresek bekas terus berdatangan. Erni lalu menjadikan usaha kerajinan ini sebagai bisnis intinya.

Tren dan kesadaran masyarakat terhadap produk ramah lingkungan, menurut Erni, membuat orang menyerbu barang-barang berbau go green. "Inilah yang membuat usaha kerajinan dari kresek bekas saya maju pesat," ujar dia.

Walaupun terbuat dari kresek bekas, baju pengantin bikinan Erni dijamin tidak gampang sobek atau menimbulkan alergi di kulit. Bahkan, dia juga membuat model baju pengantin yang lagi tren saat ini.

Untuk membuat baju pengantin tersebut, Erni mengumpulkan kresek bekas dari warga sekitar. Untuk itu, dia menyediakan tempat sampah khusus untuk menampung kresek bekas di lingkungan tempat tinggalnya di daerah Cilacap.

Erni juga mendapat pasokan dari para peserta didik LPK Bu Nandang yang juga sering membawa kresek bekas dari rumah mereka masing-masing.

Walaupun lebih mudah mendapatkannya, Erni menolak menggunakan kresek baru sebagai bahan baku baju pengantin atau produk pernikahan lainnya. "Kalau memakai kresek yang baru, nilai penyelamatan lingkungannya tidak ada sama sekali," tuturnya.

Walaupun prosesnya lumayan panjang, Erni tak mengalami kesulitan dalam pembuatan gaun pengantin atau produk pernikahan lainnya dari plastik kresek bekas.

Setelah terkumpul, kresek bekas kemudian dibersihkan dan dipilah-pilah. Erni memilih plastik yang kuat sebab ada juga kresek yang terlalu rapuh untuk menjadi bahan baku utama. Dalam proses pembuatannya, Erni juga memanfaatkan alat khusus untuk mengubah kresek menjadi lembaran sehingga lebih rapih.

Kresek yang sudah berbentuk lembaran lalu digulung sampai kecil dan diikat dengan gelang karet. Setelah itu, ikatan plastik tersebut digabungkan hingga berbentuk segitiga.

Proses selanjutnya adalah menempelkan kresek yang telah berbentuk segitiga pada pola dengan cara dijahit. Pola-pola dasar itu kemudian disatukan hingga menjadi gaun pengantin.

Erni menambahkan glitter dan pernak-pernik lain, seperti mutiara yang terbuat dari kabel bekas untuk membuat baju pengantin lebih manis. "Saya banyak dibantu murid LPK Bu Nandang," katanya.

Untuk membikin satu set baju pengantin pria dan wanita, Erni membutuhkan kurang lebih 1.000 kresek bekas. Agar lebih alami, ia sengaja tidak menggunakan pewarna sama sekali.

Karena kebutuhan kresek bekas yang besar dan demi menjaga kelancaran produksi, Erni membangun tiga gudang penyimpanan kantong plastik bekas. Namun, ia mengungkapkan, keberadaan ketiga gudang itu pernah menyulut protes sang suami. "Akan tetapi, saya jawab nanti itu akan jadi uang," kata Erni tertawa.

Betul saja, kresek bekas kini memang jadi tambang uang. Pasalnya, harga jual satu set pakaian pengantin mencapai jutaan rupiah. Sayangnya, dia tidak mau blak-blakan mengungkap berapa harga pastinya. Alasannya, harga baju pengantin buatannya bergantung model yang diminta. "Memang mahal, karena ini langka. Kalau diibaratkan musik, ini termasuk jazz," kata Erni.

Namun, Erni menuturkan, masih banyak masyarakat yang ragu memakai baju pengantin dari kresek bekas. Makanya, pesanannya tak sebanyak produk pernikahan buatannya yang juga terbuat dari kresek bekas, seperti kartu undangan dan suvenir.

Dengan bahan bekas itu, Erni juga membuat tempat hantaran pernikahan dengan bentuk Candi Borobudur. Harga jualnya cuma Rp 35.000 per unit. Adapun harga produk suvenir mulai Rp 500 per unit. Dalam setiap pemesanan, dia minimal mendapat order pembuatan 10 hantaran dan 1.000 suvenir.

Jika ditambah pesanan pakaian pengantin, ia mendapat omzet paling sedikit Rp 10 juta setiap bulan. Pendapatannya akan lebih besar lagi kalau Erni memperoleh pesanan baju lebih banyak lagi. Maklum, "Marginnya besar sebab modalnya, kan, hanya keterampilan," katanya.

Berbagai pelatihan, baik tentang pembuatan produk dari limbah maupun mengenai kesadaran lingkungan, menjadi ajang promosi produk-produk Erni. (Dharmesta/Kontan)

Selengkapnya...

Meraup Berkah Bisnis Tanaman Hias Pasca Bencana

Tuesday, June 7, 2011

Peristiwa bencana alam selain menyisakan kesedihan dan kerugian materi bagi yang mengalaminya, juga bisa memberikan berkah tersendiri terhadap masyarakat.

Misalnya saja banyaknya proyek renovasi rumah dan perkantoran pasca gempa 7,9 SR yang melanda Sumatera Barat (Sumbar) 29 September 2010 lalu menjadi berkah bagi pelaku bisnis taman dan tanaman hias di kota Padang, Sumatera Barat. Peningkatan omset penggiat bisnis flora itu hingga pertengahan 2011 ini mencapai tiga kali lipat.

"Rasanya, inilah saat paling menguntungkan bagi bisnis taman dan tanaman hias setelah booming tanaman hias aglaonema dan anthurium beberapa tahun lalu," ujar Firman (28) pedagang tanaman hias di kawasan Lubuk Minturun, Padang, kepada detikFinance, Selasa (7/6/2011).

Dikatakan Firman, selain renovasi taman lama, permintaan pembuatan taman di rumah tinggal baru dan perkantoran juga meningkat signifikan. Hal itu didukung semakin banyaknya pengembang di kota Padang yang membangun komplek perumahan baru, terutama di daerah ketinggian kota Padang seperti kawasan Lubuk Minturun, Sei. Lareh, Balai Baru, dan sejumlah kawasan di sepanjang jalan By Pass Padang.

"Rata-rata peningkatan permintaan tanaman hias dan pembuatan taman mencapai tiga kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berbeda dengan 2-3 tahun belakangan yang menempatkan tanaman indoor seperti Aglaonema dan anthurium sebagai tanaman pavorit, permintaan terbesar saat ini justru pada tanaman ruang terbuka seperti bonsai serut, beringin, putri salju, melati mini, pucuk merah, cemara, dan tanaman buah dalam pot," kata Firman.

Hal senada juga diungkapkan oleh pedagang tanaman hias lainnya, Zaitul Ikhlas (35). Menurutnya, tingginya permintaan pembuatan taman akhir-akhir ini membuat sejumlah tanaman pendukung, seperti rumput hias juga ikut laku keras.

"Misalnya, permintaan terhadap rumput gajah mini yang sangat tinggi sehingga sering kehabisan stok sampai di tingkat petani pembudidaya. Boleh dikatakan, untuk saat ini berapa pun petani mampu memproduksi rumput itu akan habis diserap pasar," tukasnya.
(hen/ang)
Selengkapnya...

Meraup Untung dari Permak Ulang Mebel Usang

Friday, June 3, 2011

Mebel usang jangan dibuang. Serahkan saja pada tukang reparasi mebel. Di tangan mereka, furnitur lawas bisa terlihat baru lagi. Seorang pelaku usaha di Ciputat bisa menuai 15 permintaan reparasi mebel saban bulan dengan ongkos berkisar Rp 350.000 per unit.

Biasanya, jasa reparasi mebel ini merupakan bagian dari usaha pembuatan mebel. Nah, salah satu pembuatan mebel yang menyediakan jasa ini adalah Sumber Jaya Furniture.

Usaha yang terletak di Kampung Sawah, Ciputat Raya, Jakarta Selatan ini telah berdiri sejak 16 tahun lalu. Okky Nanda Imawan, pemilik Sumber Jaya Furniture, bisa menerima 15 perbaikan mebel dalam sebulan. “Kebanyakan yang memakai jasa saya adalah pelanggan, sisanya orang-orang yang tahu usaha saya dari internet,” kata Okky, 42 tahun.

Reparasi mebel akan bertambah ramai menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Jumlah perbaikan bisa naik dua kali lipat dibanding hari-hari biasa.

Sumber Jaya Furniture melayani permintaan reparasi rupa-rupa mebel, seperti lemari, tempat tidur, meja makan dan kitchen set. Ia fasih memperbaiki mebel yang terbuat dari jati, mahoni dan block stick. “Biasanya yang diminta pelanggan finishing ulang,” kata Okky.

Finishing ulang artinya melapisi kembali mebel itu dengan warna. Okky biasanya mengecat ulang menggunakan cat duco. Cat duco dipilih Okky karena cat ini keras dan tahan gesek.

Jasa pengecatan sebuah lemari berkisar Rp 350.000 hingga Rp 400.000. Adapun, reparasi kitchen set bisa menelan biaya Rp 400.000 per meter. Reparasi kitchen set biasanya dilakukan pada tubuh dapur yang noda minyaknya sulit hilang. Atau pada dapur yang catnya sudah terkelupas di sana-sini.

Usaha reparasi mebel juga digeluti Yuliana, pemilik Nirito Madya Arch di Duren Sawit, Jakarta Timur. Selain finishing ulang, Yuliana juga melayani penggantian kulit sofa.

Ongkos reparasi sofa ini tergantung jenis kulit. Paling murah, pakai kulit imitasi dengan harga Rp 100.000 per meter. Itu sudah termasuk jasa reparasi. “Selain bahan, ongkos reparasi juga tergantung tingkat kerusakan dan kerumitan reparasi,” katanya.

Tapi tidak semua mebel rusak dapat diperbaiki. “Kadang ada pelanggan yang mau mebelnya sama persis saat pertama kali beli. Padahal saya tidak ada kain atau kayunya. Kalau sudah begitu saya nyerah,” tutur Yuliana.

Ia mengerjakan sebagian besar reparasi mebel ini di bengkelnya. "Namun, kalau kalau ukuran mebel itu besar, kami kerjakan di rumah pelanggan,” kata Yuliana.

Serupa Okky dan Yuliana, Khairul juga menjajal usaha reparasi mebel. Bersama dua kawannya, Khairul membuka bengkel di Duren Sawit, Jakarta Selatan. Dalam sepekan, ia bisa melayani tiga perbaikan mebel yang datang dari perumahan di seantero Jakarta, dari Kelapa Gading hingga Cinere.

Biasanya, Khairul mengerjakan perbaikan di rumah konsumen. Tapi bila mebel rusak parah, ia minta pemesan bawa ke bengkelnya. Selama ini, Khairul banyak mengecat ulang tempat tidur. “Biayanya berkisar Rp 400.000 sampai Rp 500.000 per unit," kata Khairul, 37 tahun.

Selain itu, permintaan reparasi kayu jati juga banyak yang datang padanya. Reparasi ini bisa berupa pergantian warna, dari gelap ke terang. Biayanya paling murah Rp 700.000 per lemari. Khairul mendapatkan kayu blok dan lembaran sebagai bahan reparasi dari Klender, Jakarta Timur. (Gloria Natalia/Kontan)

Selengkapnya...

Modal Rp 2 Juta, Kini Punya 25 Pekerja

Wednesday, June 1, 2011

Belajar dari pembeli dan melihat tren di pasar, kini Wawan si perajin gelang kayu dari Situbondo, mampu memasarkan produknya hingga ke India. "Saya tahun 2002 mulai usaha ini, tapi dimulai dengan gantungan kunci," ujar Wawan kepada Kompas.com, di Jakarta, Minggu (30/5/2011).

Selang empat tahun setelahnya, ia pun mencoba untuk membuat gelang dari kayu. Pemilik Mentari Handycraft ini membuat produk ini karena melihat pasarnya di daerah Yogyakarta dan Bali cukup besar.

"Dari (gelang) polos, kita kreatif, ada ukir, ada gelang dengan menggunakan tambahan (penghias) pasir. Jadi gelang kayu dilapisi pasir laut," ungkapnya, yang memulai usaha dengan modal Rp 2 juta, untuk pembelian kayu.

Ia terus berinovasi dalam membuat gelang ini. Berbagai macam warna, hingga pemakaian gliter dicobanya. Bukan hanya gelang yang dihasilkannya, jika ada permintaan barang seperti tas, kalung, hingga cincin dari kayu akan diladeninya. "Kalau ada pesanan apapun, akan saya kerjain. Asal dari kayu," tuturnya.

Usaha yang dikerjakan bersama dengan adiknya ini, memiliki 25 orang pekerja. Di mana pekerja ini, ia rekrut dari masyarakat setempat. Bahkan mereka yang sedang pengangguran pun ia ajak.

Kayu yang ia pakai untuk kerajinan ini, disebut kayu mimbo. Namun, kalau di Situbondo sedang kosong untuk kayu tersebut, maka ia mendapatkannya dari Asembagus, hingga Banyuputih. Untuk ketersediaan kayu tersebut, ia memiliki 25 orang yang menjadi supliernya.

Mengenai persaingan di usaha sejenis, ia menyebutkan masing-masing daerah punya motif yang berbeda. Bahkan ada puluhan perajin yang berada di jenis usaha yang sama di kota asalnya, Situbondo. "Ya puluhan. Dan juga kebanyakan yang bikin itu dia jual mentahan juga. Kalau saya jual yang sudah jadi," tuturnya.

Sebagaimana usaha rakyat lainnya, modal menjadi kendala Wawan untuk mengembangkan usahanya. Karena setiap pesanan, ia butuh uang muka sekitar 50 persen dari jumlah pesanan untuk modal pembuatan. Nah, kesulitannya, ia menuturkan kalau pembeli mau bayar jika pesanan sudah selesai.

Ia mengungkapkan pernah masuk sebagai mitra binaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tidak bertahan lama karena jaminannya harus besar. Sedangkan pendapatan yang ia punya masih terbilang kecil.

Dari segi omzet, meski tidak menyebutkan angka pastinya, Wawan mengaku bisa memanen uang jika musim libur tiba. Saat liburan, menurutnya omzet bisa mencapai 200 persen dari normal karena permintaan dari Bali dan Jogja biasanya naik.

Mengenai produksi, ia menyebutkan bisa memproduksi 6.000 gelang per harinya dengan rentang harga jual dari Rp 5.000 hingga Rp 30.000. Angka tersebut merupakan produksi rata-rata mengingat produksinya biasanya berdasarkan pesanan. Dan, wilayah yang jadi pemasarannya di Indonesia, yaitu Jogjakarta, Surabaya, dan Bali. "Cuma dari Bali ya itu ada yang dikirim ke Malaysia (dan) India," sebutnya, yang dikirim melalui distributor.

Ia menuturkan, gelang banyak disukai turis asing karena bahannya yang alami. Selain pengiriman ke daerah tersebut, ia juga menitipkan barangnya di sejumlah rumah makan dan toko.

Pria yang pernah mencicipi dunia media selama 15 tahun ini pun mengungkapkan akan mencoba bahan tambahan lain seperti pelepah pisang dan kulit telur bagi karyanya. "Yang penting alam," serunya.

Ia juga akan coba membuat kalung berbahan kayu dan batok kelapa. Sementara bahan, ia akan tetap memakai kayu, sebagai bahan utama. "Karena ada (bahan) alam di tempat saya paling banyak itu kayu. Jadi kita manfaatin apa yang ada di alam kita, di Situbondo," sebutnya.

Selengkapnya...

Menakar Bisnis Tikar Lipat Wajak

Friday, May 27, 2011

Merencanakan dan menjalankan bisnis bagi sebagian banyak orang, menganggapnya terlalu ribet dan banyak pertimbangan penuh risiko. Namun lain hal dengan Djumakah salah satu perajin tikar lipat asal Wajak, Malang Jawa Timur, baginya menjalankan usaha sebagai perajin tikar ia anggap mengalir begitu saja seperti air.

Djumakah yang memulai usaha pembuatan tikar lipat sejak 1990 ini mengaku tak muluk-muluk dalam menjalankan bisnis. Baginya asalkan ada kelebihan (margin) dan bisa mempekerjakan banyak orang, itu sudah cukup.

Tak mengherankan gaya berbisnisnya begitu bersehaja dengan manajemen sederhana dengan bermodalkan keuletan dan kejujuran. Namun dengan itu lah yang membuat, usaha tikar lipat Djumakah bisa bertahan hingga 20 tahun lebih dengan merek 'Eagles'

Inilah potret kecil karakter dari sekian ribuan industri kecil di Tanah Air. Umumnya memulai atau terjun ke bisnis dari keadaan atau dari kondisi yang tak ada pilihan lain, justru orang-orang seperti Djumakah lah yang terbentuk secara alami sebagai wirausahawan (entrepreneur) yang tangguh tahan banting.

"Alasan saya dulu terjun menjadi pembuat tikar, dari pada nganggur, ya saya mencoba tikar," katanya kepada detikFinance pekan lalu.

Kisah awal Djumakah masuk ke bisnis ini semua serba kebetulan, ia memulai dengan pembuatan tikar mendong dari rerumputan. Namun di 2005 ia melakukan diversifikasi produk dengan memberikan sentuhan baru dari produknya yaitu tikar karpet dari bahan benang dan tali rapia.

Apa yang dilakukan Djumakah, sebagai bentuk inovasi bagi seorang pengusaha untuk bertahan dibisnisnya. Meski proses inovasi itu baru terjadi 15 tahun kemudian semenjak ia memulai usaha.

Kini ia telah memproduksi dua jenis tikar yaitu tikar karpet dan tikar mendong. Meski tak sebesar industri kelas kakap, dengan produksi 60 tikar per harinya atau 1800 tikar per bulan, baginya itu sudah mampu memutar roda ekonomi di kampungnya.

"Sekarang produksi tikar saya kurang lebih 60 lembar (per hari), dengan karyawan (sub kontrak) ada 22 orang," jelasnya.

Soal pemasaran, ia nampaknya belum berpikir untuk muluk-muluk. Produk-produknya kini masih sebatas ia pasarkan di Jawa Timur dan sebagian di Bali khusus untuk jenis tikar mendong. Di Jawa Timur permintaan tikarnya paling banyak berada di sekitar Malang, Tulungagung, Blitar dan wilayah lainnya.

"Kalau tikar mendong lebih banyak dikirim ke Bali, untuk para turis tidur di pantai," katanya.

Untuk urusan harga, Djumakah hanya membandrol Rp 46.000 per lembar tikar karpetnya, sementara tikar mendong ia hanya jual Rp 13.000 per lembar. Harga ini memang relatif sangat murah jika melihat modal yang harus ia keluarkan.

Ia mengilustrasikan untuk memproduksi satu lembar tikar karpet membutuhkan kurang lebih 1 kg benang dan 1,7 kg tali rapia. Sementara harga benang per kilogramnya Rp 13.000-15.000, harga tali rapia Rp 8.500 per kg dan biaya produksi seperti ongkos kerja Rp 6.000, ongkos jahit Rp 1.000 dan ongkos gulung Rp 6.000.

"Memang kalau bicara untung, tipis sekali, yang penting dapat, biar sedikit asal tetap mutar," katanya.

Pola yang dikembangkan oleh Djumakah cukup mendorong ekonomi masyarakat disekitarnya. Dengan pola sub kontrak kepada para tetangganya ia menjadi penggerak ekonomi di lingkungannya.

"Di sisi ada proses pengulungan, lalu setengah jadi dibawa ke rumah-rumah," katanya.

Sebagai pengusaha yang sudah menggeluti bisnis tikar puluhan tahun, Djumakah mengaku sudah biasa dengan fluktuasi permintaan tikar. Misalnya pada awal tahun ini permintaan produk tikarnya, cukup turun drastis karena pola permintaan pasar yang umumnya adalah para petani dan musim liburan.

"Sekarang permintaan sedang turun sekitar dua bulan sampai 50%," katanya.

Ia menambahkan naik turun dalam bisnis suatu hal yang lazim yang penting adalah semangat. Sehingga tak mengherankan sampai saat ini ia bisa bertahan menggeluti usaha tikar. Kini perekonomian keluarganya jauh lebih baik dibandingkan ketika ia sebelumnya menjadi petani, rumah yang cukup mapan dan kendaraan angkut roda empat kini sudah dimilikinya.

Dikatakannya apa yang ia lakukan saat ini bermodal kemandirian tanpa bantuan dari pemerintah. Soal persaingan antara sesama perajin di Wajak, ia tetap optimis bahwa hal itu bukan lah masalah, yang terpenting meningkatkan kualitas produk.

"Sampai sekarang dari pemerintah nggak ada bantuan, dulu pernah ada bantuan Jasa Tirta (BUMN), uang Rp 3 juta angsuran 2 tahun tanpa bunga," katanya.

Kerajinan Tikar Lipat Eagles
Djumakah dan Kastin
Jl. Raung 2B 15 Wajak, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Jawa Timur
(hen/dnl)
Selengkapnya...

Batik Bayat, Tak Sekadar Terima Order

Thursday, May 26, 2011

Alkisah, Ki Ageng Pandanaran berangkat ke Bayat mengikuti perintah Sunan Kalijaga untuk melakukan tapa dan menjalankan kehidupan religius. Di sana, putra Ki Ageng Pandan Arang itu justru menetap dan menyebarluaskan Islam.

Begitu sohornya contoh hidup Pandanaran hingga ia pun lebih sering dikenal sebagai Sunan Bayat.

Konon, sembari menyebarkan Islam, ia juga mengajari rakyat di Bayat, khususnya di Desa Paseban, keterampilan membatik. Tujuannya adalah untuk pemenuhan kebutuhan pakaian Sunan berikut sanak familinya. Dari sinilah usaha batik di Bayat, yang kini merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, bercikal bakal.

Cerita ini mengemuka dalam sebuah diskusi mengenai batik Bayat pada Rabu (25/5/2011) di Museum Tekstil Jakarta. Simpulannya kemudian, batik Bayat atau yang juga sering disebut dalam khazanah kearifan lokal sebagai batik Tembayat masih memerlukan sentuhan-sentuhan profesional agar lebih mengemuka. Artinya pula, batik Bayat harus lebih mempunyai daya saing dengan batik-batik lokal di Tanah Air.

Adalah Sipon, salah seorang produsen batik Bayat, dalam kesempatan itu menuturkan pengalamannya kepada kompas.com. "saya memulai usaha sendiri sejak dua tahun lalu," kata pemilik usaha Batik Tulis Tradisional Warna Alam Retno Mulyo itu.

Menariknya, bahkan sampai sekarang, Sipon tetap menjadi pembatik untuk perusahaan batik Danar Hadi di Solo. Sejak 1973, Sipon menjadi pagawai Danar Hadi. "Saya sekarang mengerjakan batik Danar Hadi di rumah saya di Bayat," ujarnya.

Sama seperti perajin batik tradisional di kawasan itu, Sipon masih membatik baik dengan cara tulis maupun cap kain panjang atau jarit. Ukuran panjangnya 2,5 meter.

Order

Menurut Sipon, sampai sekarang, perajin batik di Bayat lebih banyak menerima pesanan alias order dari sentra batik di Solo dan Yogyakarta. Makanya, kemudian, Sipon setuju kalau batik khas Bayat memang belum kelihatan menonjol ciri khasnya. Meski, menurutnya, motif seperti gajah birowo, pintu retno, parang liris, babon angrem, dan mukti wirasat adalah ciri khas batik Bayat. "Semuanya warna soga atau kecoklatan," kata ibu tiga anak tersebut.

Namun begitu, Sipon merasa tidak puas hanya bertindak sebagai produsen yang cuma mengandalkan order. "Duitnya memang lebih gampang didapat kalau cuma menerima pesanan," akunya.

Dalam hitung-hitungan Sipon, untuk sepotong batik jarit tadi, ia menerima uang di kisaran Rp 50.000 sampai dengan Rp 150.000. "Tapi, tentunya saya ndak puas. Saya ingin batik buatan saya sendiri yang juga ikut terjual. Kalau sudah laku, lega rasanya," kata Sipon yang memulai usaha batiknya dengan modal awal Rp 70 juta.

Jadilah, Sipon pun berjuang untuk memasarkan produksinya itu. Rupanya, perempuan kelahiran 1 Januari 1965 itu menggunakan cara-cara lazim konvensional. Selain menitipkan produksinya di toko-toko batik di Semarang, Yogyakarta, dan Solo, ia pun masih menyambangi satu per satu relasinya, menawarkan batik buatannya. Kadang, Sipon berjualan batik kala pameran yang diselenggarakan dinas perindustrian dan perdagangan setempat. "Saya ingin juga bisa menembus pasar Jakarta," tuturnya berharap.

Di sisi lain, tentu ada sedikit perbedaan jumlah produksi antara mengerjakan pesanan dengan membuat sendiri. Seturut pengalaman Sipon, dalam satu bulan, ia mampu memproduksi 200 potong batik pesanan. Sementara, produksi batik buatannya dalam kurun waktu sebulan cuma separuh dari batik pesanan. Banderol per potongnya pun relatif lebih mahal yakni di kisaran Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta.

Terkait dengan hal tersebut, Gina Sutono, salah satu pegiat batik Bayat, dalam diskusi tersebut mengatakan para perajin batik Bayat bisa lebih mengembangkan teknik jarit untuk bahan pakaian. Sementara, untuk lebih memperkenalkan batik Bayat kepada khalayak banyak, kebiasaan pelukis membubuhkan nama diri dan judul lukisan di kanvas juga bisa ditiru. "Perajin mulai sekarang bisa menambahkan kata 'batik Tembayat' atau 'Bayat' pada karya- karyanya," demikian Gina Sutono.

Sekarang, batik Bayat dapat dijumpai, khususnya di Desa Paseban dan Beluk. Menurut Titus Goenarto, salah seorang pelaku usaha batik Bayat, ada sekitar 50 perajin yang ikut ambil bagian dalam bisnis batik Bayat.

Selengkapnya...

Miniatur Rumah Adat Mamasa Tembus Pasar Amerika

Wednesday, May 25, 2011

Bonggamalona, warga Desa Rantekatoan, Kecamatan Mamasa, Sulawesi Barat, sehari-hari menekuni kerajinan pembuatan miniatur rumah adat banua sura atau rumah ukir khas Mamasa.

Berawal dari keprihatinan makin tergerusnya perhatian masyarakat terhadap rumah adat Mamasa, pria paruh baya ini sejak 10 tahun terakhir menggeluti profesi sebagai pembuat miniatur banua sura dari limbah kayu bekas yang sudah dibuang.

Dengan tekun ia menyusun rangkaian kayu hingga berbentuk miniatur rumah adat khas Mamasa. Selain memanfaatkan limbah kayu bekas, Bonggamalona juga menggunakan bahan-bahan alami agar rumah adat miniatur buatannya benar-benar menyerupai aslinya.

Seperti pada proses pengecatan, ia menggunakan tanah liat berwarna yang mudah ditemukan di wilayah Mamasa. Karena hanya dilakoninya sendiri, satu buah miniatur dirampungkan Bonggamalona lebih kurang satu bulan. Untuk satu buah rumah adat, Bonggamalona mematok harga Rp 5 juta hingga Rp 10 juta tergantung ukurannya.

Dengan hanya mengandalkan peralatan konvensional, hasil buah tangannya sudah menembus pasar lokal dan juga internasional. Tak sedikit wisatawan mancanegara tertarik dengan miniatur rumah adat Mamasa. Miniatur rumah adat karya Bonggamalona juga sudah "terbang" ke Amerika Serikat serta negara-negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, dan Perancis. Untuk pasar nasional, hasil kerajinannya banyak dijual di Bali dan Jakarta.

"Saya bangga karena karya saya tidak hanya diminati masyarakat lokal Indonesia, tetapi juga para turis. Warga Amerika pernah memesan miniatur rumah adat untuk dibawa pulang," ujar Bonggamalona.

Meski hasil kerajinan Bonggamalona sedikit lebih mahal dari perajin miniatur rumah adat lainnya di Kabupaten Mamasa, sejumlah konsumen tetap memilih memesan di tempatnya. Hal itu karena miniatur rumah adat buatan Bonggamalona dinilai lebih orisinil dan filosofi bentuk rumahnya tetap terjaga seperti aslinya.

"Saya suka karena mirip bentuk aslinya. Filosofi bentuk dan ornamen rumahnya juga masih tetap terjaga seperti aslinya," ujar Federick Depparaba, seorang konsumen yang sedang mengecek pesanannya.

Namun, meski pesanan melimpah, usaha Bonggamaloba justru jalan di tempat lantaran ia tak punya modal untuk mengembangkan kerajinan khas Mamasa ini. Bonggamalona hanya bisa memproduksi paling banyak dua buah miniatur rumah Mamasa dalam sebulan.

Kekurangan modal membuat usaha yang sudah puluhan tahun ini semakin tersisih dan terancam gulung tikar. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk mendukung usahanya juga menjadi kendala lain Bonggamalona memenuhi permintaan pelanggan.

Sepatutnya usaha yang berpotensi mengangkat roda perekonomian daerah mendapat perhatian Pemerintah Kabupaten Mamasa.

Selengkapnya...

Sukses Berbisnis Oleh-oleh Beromzet Miliaran

Friday, May 20, 2011

Membawa oleh-oleh bagi sebagian besar orang Indonesia seperti menjadi kewajiban saat baru pulang bepergian dari luar kota maupun luar negeri. Setiap wilayah, konsep oleh-oleh berbeda-beda dengan karakteristik yang khas, misalnya berupa makanan maupun minuman.

Menurut Syamsul Huda, pengusaha oleh-oleh makanan olahan apel asal Malang, berbisnis oleh-oleh sangat menjanjikan asalkan mengerti strateginya. Syamsul mengganggap, segmen pasar oleh-oleh harus dibedakan dengan segmen produk secara umum.

"Kalau produk oleh-oleh kualitasnya harus tinggi, maka harga jualnya juga tinggi, desain harus menarik. Tapi kalau produk lain harganya murah dengan kualitas di bawah (standar)," kata Syamsul kepada detikFinance beberapa hari lalu di Malang.

Menurutnya, kelebihan dari bisnis oleh-oleh, produknya pasti dicari banyak orang sehingga pemasarannya relatif mudah. Meskipun biasanya segmen pasar ini hanya terbatas pada wilayah tertentu saja.

"Kami mengincar pasar oleh-oleh, pasar oleh-oleh bagaimana mengangkat Kota Batu Malang sebagai kota wisata," katanya.

Dari sisi variasi produk, segmen pasar oleh-oleh memang mau tidak mau harus memiliki keterbatasan jenis. Produk yang dijual haruslah khas wilayah setempat, karena jika tidak, konsumen akan bingung menentukan produk apa yang pas untuk oleh-oleh.

Namun kondisi semacam seperti ini bukan berarti harus membatasi kreasi seorang pebisnis. Berdasarkan pengalaman Syamsul, untuk mengembangkan usaha, seorang pengusaha produk oleh-oleh harus juga memiliki produk non oleh-oleh untuk segmen pasar umum, dengan konsekuensinya harus bermain di harga yang lebih miring.

"Di samping ada kripik apel, kita juga ada pia apel khusus untuk semua segmen pasar. Ke depannya selain pia, kita juga mau mengembangkan biskuit apel, permen apel dan lain-lain," katanya.

Menurutnya saat ini oleh-oleh khas Batu Malang masih berkutat pada produk makanan olahan seperti kripik apel dan sari buah apel. Dengan masuk segmen produk di luar oleh-oleh, Syamsul mengaku harus menyiapkan perangkat modal yang lebih besar dan perizinan yang lebih kompleks.

"Sementara ini produk-produk saya masih di Jawa Timur, belum berani ke luar karena belum ada modal," katanya.

Keberhasilan Syamsul menggeluti produk makanan olahan apel bukan lah isapan jempol belaka. Bisnis produk olahannya terus berkembang, selain kripik apel, sari apel, jenang (dodol) apel, ia juga membuat kripik nangka, kripik nanas, kripik salak, kripik mangga, kripik rambutan, dodol nanas, dodol sirsak, dodol nangka, dodol strawberry dan lain-lain.

"Kebetulan setiap tahun naik, 5% sampai 15%. Dengan omset per bulan Rp 110 juta," katanya.

Syamsul yang memulai bisnis makanan olahan apel sejak 2001 ini, tertarik dengan bisnis oleh-oleh karena dihadapkan oleh kondisi suramnya sektor pertanian apel Batu Malang sepuluh tahun lalu.

"Yang menjadi latar belakang kondisi budidaya apel tahun 2001, terjadi penurunan, sudah jenuh tanah. Produktivitas turun dan kualitas juga. Ini merugikan petani. Perlu ada sentuhan teknologi pengolahan pangan," ucap pria lulusan Unisma Fakultas Pertanian ini.

Ia mengaku, produk olahan apel pertamanya adalah jenang atau dodol apel, pada waktu itu ia hanya bermodal Rp 4 juta. Selama dua tahun pertama bisnis jenang apelnya masih kembang kempis alias baru sampai tahap balik modal.

"Tahun berikutnya saya buat ekspansi pasar dan modal dengan minjam uang dari bank. Saya memulai beranikan diri pinjam dana Bank Mandiri dan Bank Jatim. Ternyata sebuah keberhasilan harus berani dulu dan mengambil risiko," kenang Syamsul.

Setelah dapat suntikan dana segar dari bank, bisnis Syamsul kian melaju pesat sejalan berkembangnya aneka produk yang ia buat. Mulai dari situ ia banyak mengembangkan berbagai aneka produk kripik termasuk kripik dan jus apel.

"Sekarang total variasi produk sudah ada 15 macam. Cara menembus pasar, saya melakukan kegiatan promosi di daerah Malang Raya. Saya ikut promosi kegiatan pameran di dinas," katanya.

Syamsul kini sudah memiliki 72 karyawan padahal awalnya hanya 2 orang karyawan. Produk-produk yang ia jual relatif terjangkau untuk segmen oleh-oleh yaitu dimulai dari Rp 2.000 sampai Rp 22.000 per bungkus.

Keberhasilan Syamsul bukan hanya dinikmati oleh dirinya dan karyawannya, namun para petani yang menyuplai bahan baku apel pun ikut kecipratan moncernya bisnis olahan apelnya. Misalnya dalam hal harga jual apel, Syamsul memberikan harga relatif lebih bagus dari pada harga pembelian dari tengkulak yaitu berkisar Rp 5000-7000 per Kg.

"Kita ada mitra kerja binaan kelompok tani apel yang menjadi mita kerja. Kalau dibeli tengkulak harganya murah. Ada tergabung 41 petani, kita juga ada paket wisata selain melihat produksi olahan apel, pengunjung juga bisa melihat perkebunan apel," jelasnya.

Selama ini Syamsul mampu menghabiskan 500 kg apel untuk dijadikan kripik dan sari buah. Menurutnya suplai apel tak menjadi masalah meski produksi turun hingga 25%.

"Justru yang jadi masalah adalah suplai nangka, salak, rambutan karena bukan musim, padahal permintaaan banyak," kata pria yang mengaku mengolah apel secara otodidak ini.

Menurutnya permintaan produk olahan apel dan buah lainnya terus naik, bahkan pada musim liburan bisa naik hingga 30%. Dengan margin hingga sampai 20-30%, Syamsul mengaku begitu menikmati masa keemasan bisnisnya saat ini.

Syamsul Huda
CV. Bagus Arista Mandiri
Jl. Kopral Kasdi 2 Bumiaji Kota Batu, Malang.
Email: huda_bagus@yahoo.co.id
Selengkapnya...

Kemilau Prospek Toko Perhiasan Perak

Boleh jadi, lantaran harga emas semakin mahal, banyak orang yang melirik perhiasan berbahan perak sebagai alternatif. Lagi pula, kendati turut menanjak, laju harga perak lebih stabil ketimbang emas. "Bisnis perak juga tidak mengenal musim sehingga harganya cenderung stabil," kata Asep Mustafa, pemilik Amani Silver, Bandung.

Menurut dia, saat ini perak telah menjadi tren dalam dunia fashion. Karena itu, jika penjual bisa mengelola bisnis ini, keuntungan mencapai 100 persen bisa diperoleh. Selain sebagai perhiasan, perak juga bisa menjadi alternatif investasi berisiko relatif kecil dan modal terjangkau.

Perak asal Hongkong dan China

Potensi bisnis perak yang bisa tumbuh pesat itu menjadi alasan Asep menawarkan konsep kemitraan toko perhiasan perak, Amani Silver, pada Februari 2011. Saat ini Amani Silver menjual beraneka model perhiasan perak.

Berbeda dengan toko perak di Kota Gede, Yogyakarta, yang membuat kerajinan perak sendiri, Amani Silver hanya reseller. Toko ini menjual aneka kerajinan perak impor dari Hongkong dan China.

Nah, agar bisa menjadi mitra Amani Silver, Asep menawarkan tiga paket kemitraan. Pertama, paket A dengan investasi Rp 75 juta. Kedua, paket B dengan investasi Rp 100 juta. Ketiga, paket C dengan investasi Rp 125 juta. Nilai investasi tersebut belum termasuk sewa tempat, pajak, dan izin usaha.

Pada paket A, mitra akan memperoleh perhiasan perak sebesar 1,5 kg. Di paket B, mitra mendapat perhiasan perak seberat 2 kg. Mitra usaha Asep akan mendapat perak seberat 3 kg jika mengambil paket C. Selain perhiasan perak, mitra juga akan mendapat perangkat etalase, brankas, timbangan digital, seperangkat alat tulis kantor (ATK), hingga alat promosi.

Asep berjanji melatih mitranya yang tak mengerti soal perhiasan perak. Dia akan mengajarkan kepada mitra cara membedakan perak yang bagus serta cara menyepuh dan membersihkan perhiasan berbahan perak.

Asep menghitung, omzet per hari mitra bisa mencapai Rp 1,5 juta. "Asumsinya setiap hari bisa menjual lebih dari 50 gram," katanya. Sebagai catatan, saat ini harga jual perak berkisar antara Rp 25.000 dan Rp 30.000 per gram.

Dengan asumsi tersebut, Asep mengatakan, keuntungan mitra setiap bulan akan sekitar Rp 19 juta. Walhasil, masa balik modal akan tercapai dalam tiga bulan–empat bulan untuk paket A.

Asep memang tidak memungut franchise fee. Namun, ia mewajibkan mitra untuk membeli perhiasan perak dari Asep. "Harga pembelian perak sebesar Rp 22,5 juta untuk 1 kg perhiasan," katanya.

Amir Karamoy, Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), mengakui, perhiasan perak memang sedang menjadi tren. Hanya, "Pasarnya masih segmented dan dimiliki komunitas tertentu," ujar Amir.

Oleh karena itu, bagi masyarakat yang tertarik dengan tawaran ini disarankan mengambil lokasi di mal besar. Selain itu, karena masih baru, investor harus lebih aktif memasarkan perak. (Mona Tobing/Kontan)

Selengkapnya...

Jenuh Diperintah Orang, Raup Ratusan Juta di Rumah

Friday, May 13, 2011

Bisnis catering masih menjanjikan. Pasar yang luas, plus keuntungan yang menggoda. Meski demikian, bukan berarti bisa digarap asal-asalan. Cita rasa dan harga tetap menjadi modal utama agar bisnis ini bertahan.

Keahlian meracik kuliner yang didapat Edy Purwanto di sejumlah kapal pesiar dan hotel berbintang menjadi modal awal pengusaha yang mengusung bendera Pandan Leaf Catering ini.

Semua bermula dari kejenuhannya bekerja di bawah perintah orang lain. Edy mengaku lebih dari 18 tahun menggeluti dunia kuliner dan merasa jenuh keliling dari satu kapal pesiar ke kapal pesiar lain, dari satu hotel ke hotel lain.

"Setelah punya jaringan, tahun 1997 saya beranikan diri membuka usaha pribadi dengan ikut tender Rumah Sakit Pelabuhan Surabaya atau Port Health Center. Saya menang tender, dari situlah semua berawal," kenang Edy saat ditemui di kediamannya di kawasan Wonosari Kidul, Surabaya.

Sampai saat ini order terus mengalir, tidak hanya dari instansi, tetapi juga dari paket pernikahan. Dalam sebulan, ia bisa meraup omzet rata-rata tak kurang dari Rp 200 juta. Harga untuk catering reguler mulai Rp 7.000 hingga Rp 15.000. Sedangkan paket wedding ditawarkan mulai Rp 25.000 per orang.

"Paling besar kontribusinya dari wedding service. Kalau yang reguler, saya melayani acara-acara instansi pemerintah dan perusahaan swasta serta buka kantin di Unesa (Universitas Negeri Surabaya)," ujar alumnus Akademi Perhotelan Satya Widya Surabaya, Jurusan Tata Boga, ini.

Edy menjalankan usaha catering ini dibantu 18 karyawannya. Menu yang ia racik mulai masakan Indonesia, Chinese food, Thailand food, hingga European food. "Saya menerima segala menu masakan. Soal pemasaran dan sumber permodalan, saya serahkan ke istri. Istri dulu kerja di tenaga pemasaran Bank Danamon, jadi saya punya akses untuk permodalan sampai sekarang," jelas pria kelahiran 13 Maret 1973 ini.

Suami Swary (40) ini melihat potensi bisnis catering yang masih terbuka lebar dengan perkembangan bisnis yang relatif mudah. Orang selalu butuh makan di setiap kesempatan. Tinggal bagaimana mengemas makanan itu dan membidik segmen yang pas, maka keuntungan akan terus mengalir.

"Tingginya permintaan catering untuk wedding membuat saya tertarik mengembangkan bisnis ke arah one stop wedding service. Jadi tidak hanya melayani catering, tapi juga meng-organize, mulai dekorasi, penyediaan electone dan penyanyinya," lanjut bapak satu putra ini.

Modal awal yang ia butuhkan pada 1997 cukup besar, sekitar Rp 200 juta. Sebagian hasil tabungan dan sisanya pinjam ke bank. Selain Bank Danamon, ia juga mengajukan pinjaman ke Bank Mandiri. "Kalau catering ditangani setengah-setengah, hasilnya tidak maksimal. Saya memang mau total menanganinya," imbuh Edy.

Setiap hari, ia melayani catering buat 450 karyawan di sebuah perusahaan swasta dan kantin di Universitas Negeri Surabaya. Untuk order wedding rata-rata 2-4 klien ditanganinya setiap minggu.

"Bahan baku semuanya lokal. Kalau harga bahan baku sedang mahal, harus pandai-pandai menyiasati. Seperti cabe rawit yang kemarin sampai Rp 100.000 per kg, kami siasati pakai cabe kering dan cabe merah besar," katanya.

Untuk urusan karyawan, Edy mengaku tak terlalu sulit mencari karyawan. "Karyawan sudah saya anggap keluarga. Makan dan tidur juga di rumah, karena bekerjanya kan mulai dini hari. Mereka juga tahu dapuran resep masakan saya gimana. Alhamdulillah mereka loyal. Persaingan karyawan catering saat ini juga ketat, jadi kita harus bisa beri perlakuan lebih agar mereka juga memberikan yang terbaik," ucapnya. (DWI PRAMESTI YS)

Selengkapnya...

Laba dari Semangkuk Bakso Berbentuk Hati

Wednesday, May 4, 2011

Siapa yang tidak kenal bakso? Makanan yang terbuat dari campuran daging giling dan tepung tapioka ini memang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Hampir di setiap tempat dapat kita jumpai jenis panganan yang satu ini, mulai dari gerobak pedagang kaki lima hingga restoran.

Karena peluang pasar yang besar tersebut, banyak orang yang kemudian mewaralabakan usaha baksonya. Salah satunya Ihsan Jamaludin, yang membuka usaha bakso dengan nama Bakso Cinta Kartasura pada awal 2010.

Ihsan mengatakan, nama ini terinspirasi dari sebuah judul film lokal. Setelah membuka usaha selama setahun, banyak pihak tertarik menjadi mitra usaha baksonya.

Kini, sudah ada tiga terwaralaba yang bergabung dengan Bakso Cinta Kartasura di Solo. "Masih ada satu calon terwaralaba di Bangka Belitung. Namun, karena kesulitan bahan baku dan mahalnya biaya kirim, rencana itu ditunda dulu," tutur Ihsan.

Keunggulan utama dari bakso ini terletak pada tampilan dan rasanya. Sesuai dengan namanya, Bakso Cinta Kartasura berbentuk hati. Ihsan menjelaskan, bakso buatannya juga memiliki rasa yang khas dengan kaldu sapi asli.

Ihsan menyediakan tiga menu di gerai Bakso Cinta Kartasura. Ketiga menu itu adalah bakso cinta anak, bakso cinta remaja, dan bakso cinta keluarga. Bedanya ada di porsi dan harganya. Harga bakso cinta anak Rp 3.000 per porsi, bakso cinta remaja Rp 5.000 semangkuk, dan bakso cinta keluarga Rp 6.500 per porsi.

Selain itu, banyak juga menu tambahan sebagai pelengkap. Misalnya, tahu bakso cinta, tempe goreng, dan telur puyuh. Ihsan menyebut menu tambahan ini lophe-lophe.

Ihsan hanya menawarkan satu paket waralaba dengan nilai investasi sebesar Rp 30 juta. Rinciannya, biaya waralaba Rp 15 juta, lalu bermacam perlengkapan usaha, seperti rombong makanan dan minuman, dandang bakso dan mi, kompor, blender, desain interior, serta berbagai bentuk promosi, dengan total nilai sebesar Rp 15 juta.

Tak lupa, Ihsan akan memberikan pelatihan cara meracik bumbu serta bahan baku sesuai dengan standard operating procedure (SOP) pada awal bergabungnya mitra. Ia tidak mengharuskan mitra membeli bahan baku dan bumbu dari pusat. Ihsan pun tidak mengutip biaya royalti setiap bulan.

Lahan yang ideal digunakan sebagai tempat usaha, Ihsan menyatakan, paling tidak seluas 6 x 6 meter. Setidaknya gerai tersebut bisa menampung pengunjung 30 orang. Namun, "Kenyamanan pengunjung juga harus diperhatikan," imbuhnya.

Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, kata Ihsan, mitra bisa meraih omzet penjualan sekitar Rp 800.000 per hari pada hari biasa. Tetapi, omzet akan naik dua kali lipat pada akhir pekan. Dengan hitungan penjualan sebesar itu, ia memperkirakan mitra bisa balik modal dalam lima bulan.

Ali Syahroni, salah satu mitra Bakso Cinta Kartasura di Solo yang baru bergabung satu bulan terakhir, mengungkapkan, alasannya bergabung lantaran makanan ini merupakan favorit di Solo. Selain itu, bentuk yang unik dan rasanya yang lezat menjadi pertimbangan utamanya.

Sebagai pemain baru, Ali yang membuka gerai bakso di sebuah perumahan bisa meraih omzet yang lumayan saban harinya. "Ya, walaupun masih belum maksimal, omzet dalam sehari yang bisa saya raih sekitar Rp 500.000," kata Ali.

Menurut konsultan bisnis Peni R. Pramono, inovasi yang dilakukan Bakso Cinta Kartasura perlu mendapat apresiasi. Dengan menyasar segmen anak dan remaja, terobosan mereka telah sesuai.

Namun, Peni mengingatkan, bagaimanapun bentuknya, bisnis makanan tetap harus mengutamakan keunggulan rasa. "Kalau untuk pangsa pasar keluarga, masalah bentuk tidak menjadi alasan utama, tetapi rasa yang paling ditekankan," tutur Peni.

Untuk memperkuat makna cinta di dalam penggunaan nama bakso, Peni menambahkan, sebaiknya ada filosofi atas pemakaian nama itu sehingga masyarakat paham makna pemberian nama tersebut. Jadi, "Tidak menjadi asal nama saja," ungkapnya. (Handoyo/Kontan)

Selengkapnya...

Kaligrafi Bambu Mustamil Rambah Eropa

Saturday, April 30, 2011

Berawal dari ketidaksengajaan, Mustamil telah menemukan jalannya untuk meraup puluhan juta, dengan kaligrafi bambung runcing Al-Mustamil.

"Tadinya juga enggak sengaja juga sih, ya coba-coba aja," ujar Mustamil kepada Kompas.com di Jakarta, Sabtu (23/4/2011).

Awalnya, Mustamil memulai eksperimennya dengan pelepah pepaya. "Tadinya kan mengambil batang pepaya untuk (buat) mainan. Saya coba potong menyerong tahu-tahu bisa membentuk kalimat Allah," ujar pria yang pernah menjalankan usaha rumah makan ini.

Dari situ, ketika sedang jalan-jalan ke pegunungan, dia pun melihat bambu dan mencobanya. Dengan rasa senang dan percaya diri, dia coba mengembangkannya. Namun Mustamil mengungkapkan kesulitannya dalam berproduksi jika tidak menemukan bambu kering. "Saya kurang perhatian tentang bahan baku," ujarnya.

Mustamil mengatakan, cukup irit dalam menggunakan bambu. Satu gelondong bisa jadi tiga-empat karya. Untuk menghasilkan ukiran kaligrafi yang bagus, dia membutuhkan bambu yang dan bagian bawahnya, karena kebutuhan akan ketebalan batangnya.

"Sebenarnya di mana-mana bisa, cuma bambu yang bagus ditanam di tanah merah," katanya.

Bambu yang ditanam di tanah merah memiliki tekstur khusus. Banyak pori-pori di potongan batangnya, dan pencarian bambu pun tidak jauh dari pusat pembuatannya di Yogyakarta.

Untuk modal awal, Mustamil mengaku tidak banyak mengeluarkan dana. Hanya Rp 150.000-Rp200.000. Sampai kini, dana tidak menjadi masalah bagi usaha kaligrafi tulisan arabnya itu.

Mengenai pemasaran, Mustamil mengaku masih menggunakan cara personal, yaitu dari mulut ke mulut, lewat pameran, dan lewat konsinyasi. Hingga kini dia belum menggunakan agen karena pembuatannya belum bisa massal. Belum lagi jika diproduksi secara massal,dikhawatirkan orang akan berpikir kaligrafi bambu mudah cara pembuatannya.

Bahkan untuk pekerja, Mustamil hanya menggunakan tenaga kerja sebanyak dua orang saja, termasuk dirinya.

Sekalipun produksi belum banyak, permintaan pun telah merambah daratan Eropa, khususnya Perancis. "Dari akademi apa itu tadi," ungkapnya mengenai si pembeli dari Perancis tersebut, yang bertemu di pameran Inacraft, di Jakarta Convention Center (JCC), beberapa waktu lalu.

Terkait omzet, usaha yang telah dimulainya sejak 2007 ini bisa mencapai Rp 35 juta per bulannya, dengan 10-20 karya yang dihasilkan. Harganya pun bervariasi antara Rp 1 juta dan Rp 5 juta.

"Misalnya sulit tapi bisa berhasil, saya senang, nah itu bisa mahal," ungkapnya, mengenai harga yang bervariasi berdasarkan tingkat kesulitan pengerjaannya.

Ke depannya, dia berkeinginan membuka toko di Jawa Barat, di sebuah pesantren. Sembari membuka toko, dia pun diminta mengajari para santri di pesantren tersebut.

Selengkapnya...

Banjir Rupiah karena Ayam Ketawa

Wednesday, April 27, 2011

Sekilas tidak ada yang istimewa dengan ayam ini. Bentuk, warna, dan ukuran sama dengan ayam kampung pada umumnya. Namun, siapa sangka ayam ini bisa bersuara unik mirip orang tertawa.

Itulah sebabnya disebut ayam ketawa. Ayam ketawa merupakan ayam yang berasal dari daerah Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, sekitar 184 kilometer dari Makassar.

Dari daerah asalnya, ayam ini dinamakan ayam manugaga. Manu artinya ayam dan gaga artinya gagap atau ayam yang tergagap-gagap.

Selain bisa tertawa, ayam ini juga bisa mengeluarkan suara seperti lagu dangdut, slow rock, bahkan rock. Menurut kepercayaan masyarakat Bugis, ayam ini juga bisa membawa keberuntungan.

Maka tidak heran, bila harga jual ayam ketawa ini sangat mahal hingga puluhan juta rupiah. Saat ini banyak yang memburu ayam ketawa untuk dipelihara sendiri atau dijual lagi.

Pada beberapa kesempatan, ayam ini juga dilombakan. Salah satu pelaku usaha ayam ketawa adalah Suhardjo (54), warga Dusun Bayanan, Banjarnegoro, Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Usaha yang ditekuni merupakan usaha sampingan karena sehari-hari ia bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Kesbangpolinmas Kota Magelang. Bisa dibilang Suhardjo orang pertama di Kota Magelang yang memiliki usaha ini.

Suhardjo menceritakan, awal mula menekuni usaha ini secara tidak sengaja. Suatu sore ketika ia sedang beristirahat di halaman belakang sambil memandangi bekas kandang burung cucak rowo.

"Waktu itu saya berpikir, mau diapakan kandang yang sekarang sudah kosong ini. Tiba-tiba istri saya memanggil dan bilang di televisi sedang disiarkan soal ayam ketawa," katanya. Ia pun segera menyimak acara di televisi.

"Saat itu juga insting bisnis saya langsung timbul. Wah, boleh juga nih," pikirnya saat itu. Secara kebetulan, kantor tempatnya bekerja di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (sebelum dipindah ke Kesabangpolinmas) memberi tugas kepadanya untuk tugas mencari lahan transmigran di daerah Sulawesi.

Maka, ia pun berangkat menunaikan tugas di sana. Setelah tugas selesai, ia pun meneruskan perjalanan ke Sidrap untuk "berburu" ayam manugaga. Karena waktu itu hanya membawa uang Rp10 juta, ia hanya memdapatkan ayam manugaga 17 ekor bukan indukan.

Maka mulailah ia beternak ayam ketawa. Setelah beberapa lama, ia kembali berpikir, kapan ayam ini bisa bertelur karena masih kecil-kecil. Dua bulan sejak ia membeli, ia kemudian menjual seluruh ayam miliknya.

"Waktu itu, ayam sudah laku Rp 21,5 juta. Jadi dalam tempo dua bulan, saya untung Rp12,5 juta," kata suami dari Dwi Sawitri ini.

Hasil penjualan itu kemudian dibelikan lagi ayam ketawa indukan. Saat ini, ia memilik 11 ayam ketawa betina dan 5 ayam ketawa jantan.

Dari jumlah ayam yang dimiliki saat ini, ia sudah mulai menuai hasil. Karena ayam sudah berkali-kali bertelur dan menetas.

Untuk ayam dengan umur 0 minggu (kuthuk), harganya mencapai Rp 300.000 per ayam. Pesanan terus berdatangan bahkan ia kewalahan melayani pembeli.

"Kalau ada yang mau beli harus inden dulu sampai dua bulan karena harus antre," kata ayah dari dua putra dan kakek dari dua cucu ini. Suhardjo berprinsip, karena ini bisnis makhluk hidup, ia tidak mau menerima uang muka lebih dulu. Uang baru ia terima bila ayam benar-benar sudah menetas.

"Pernah saya terima uang muka dan sisanya diberikan kalau ayam sudah menetas. Ternyata, ayam itu tidak menetas, jadi saya kembalikan lagi uangnya," kata pria kelahiran Yogyakarta ini.

Hampir setiap minggu, ayam ketawa yang dimilikinya bertelur dan menetas. Dalam kurun waktu itu, ia bisa memperoleh hasil minimal Rp 6,5 juta.

Selengkapnya...

Batik Kontemporer Raup Puluhan Juta

Tuesday, April 26, 2011

Berusaha beda dengan usaha batik yang lain, itulah jurus yang dijalankan Herlambang Rianto, si pengusaha Aura Batik Kontemporer.

Ia memulai usaha ini sejak tahun 2001 , dan selang lima tahun kemudian, ia pun memasarkan produk batiknya melalui pameran. "Dari (tahun) 2000 itu belum pameran. Awal 2006 mulai pameran," tuturnya kepada Kompas.com, di Jakarta, Sabtu ( 23/4/2011 ).

Kenapa memilih berbeda? Ia melihat batik-batik di pasar itu sama semua, dan akan kalah saing jika melihat. "Kalau saya mengikuti batik yang sudah pakem, saya pasti akan kalah sama yang lain," jelasnya.

Dalam menjalani usaha batik yang salah satu motif kontemporernya berupa lingkaran, ia terbantu dengan latar belakang pendidikannya sebagai lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa, jurusan tekstil.

Tidak hanya motifnya yang unik, tetapi metode pembuatannya pun lumayan menarik melalui gabungan tiga cara kerja, yaitu tulis, cap, dan lukis. "Capnya sedikit, yang penting tulis sama lukis," ucapnya, yang mengaku lupa berapa jumlah modal awalnya, dan menaksir omzet usahanya bisa mencapai puluhan juta rupiah per bulannya.

Sekalipun berbeda, batik kontemporer ini terus diminati. Pemasarannya pun telah merambah negara tetangga Malaysia.

Padahal untuk pemasaran, ia hanya mengandalkan satu rumah galeri di daerah Margahayu, Bandung. Herlambang mempunyai sejumlah pelanggan tetap di Jakarta. Produknya juga telah mencapai Bali untuk pasar lokal. "Fokusnya baru Jakarta, Bandung aja. Pelan-pelan sih," tuturnya.

Dengan 6 pekerja tetap dan 10 pekerja lepas, ia dapat menghasilkan 15-20 helai sarung dengan selendangnya. "Bisa sampai 3 lusin," sebutnya. Jika menjelang Lebaran, harga satu helai sarung dengan selendang poduk Aura Batik Kontemporer bisa mencapai Rp 1,7 juta.

Pria yang pernah menekuni dunia fotografi ini , berharap bias menembus pasar Jepang, khususnya untuk produk tirai pintu. "Pinginnya sih Jepang, buat tirai-tirai (pintu) saya. Tapi nggak tahu ini masih belum," ungkapnya.

Untuk tirai ini produksi Herlambang dapat mencapai 50 tirai per bulannya, dengan tempat produksi di Pekalongan. Di Pekalongan lebih murah bahan-bahannya, (seperti) cat sama kain. Nanti akan dipindahin," ungkapnya.

Herlambang mengangamkan untuk memindahkan, tempat produksi tirai tersebut ke Bandung sekaligus memperbesar galerinya. Namun hal itu, ia mengaku masih terkendala dana. Ia pun berkeinginan untuk pingin pinjam bank demi memperluas ekspansi produknya, yang akan merambah interior rumah tangga dari bahan kain.

Selengkapnya...

Mengulik Prospek Jaket dari Bahan Kertas Anti Air

Sunday, April 24, 2011

Bagi anda yang ingin mengoleksi barang-barang unik, bisa datang ke pameran Sepatu, Kulit, dan Fashion di JCC, Senayan, Jakarta. Di pameran yang berlangsung 28 April-1 Mei 2011 menampilkan produk jaket cantik berbahan kertas anti air.

Jaket yang terbuat dari bahan kertas tyvek itu dibuat oleh sekumpulan oleh mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), produk jaket itu diberi nama Svectra.

"Ini buat tugas kuliah, satu kelompok sekelas," kata CEO equafole Boy Rekato di pameran Sepatu, Kulit, dan Fashion di JCC Kamis (28/4/2011).

Mahasiswa yang berjumlah 33 orang ini mengaku mengikuti pameran untuk menyelesaikan tugas kuliah. Para mahasiswa ini belum memikirkan produk buatannya menjadi komoditas ekspor. Alasan mereka membuat jaket berbahan kertas tyvek untuk mendukung program go green atau ramah lingkungan.

Untuk pembuatan satu jaket svectra ini, butuh modal sekitar Rp 200.000. Sayangnya bahan ramah lingkungan ini harus diimpor jauh wilayah Du Pont Perancis. Bahan seharga Rp 200.000 itu, belum termasuk ongkos jahit dan cetak warna sekitar Rp 50.000-60.000.

"Bahannya impor semua, tapi ngerjainnya di Bandung," katanya.

Jaket ini mereka jual dengan harga Rp 350.000. Khusus untuk pameran ini harga jaket Svectra hanya dibandrol Rp 300.000

Menurut Boy, tidak ada target dari pameran ini, ia dan teman-temannya hanya menjual sebisanya. Keuntungan yang didapat dari penjualan ini akan disumbangkan ke desa-desa yang membutuhkan pendidikan, seperti desa-desa di sekitar Ciwidey Bandung Selatan. Selain dipasarkan di pameran ini, mereka juga menjualnya di Equafole Bandung.

"Ini kan kita ambil dari masyarakat, jadi nantinya akan kita kembalikan ke masyarakat juga," tuturnya.

Kisah pembuatan jaket Svectra dimulai sejak pengumpulan data semenjak Agustus 2010 sampai dengan Desember 2010 karena tugas kuliah. Para mahasiswa ini mulai memproduksi jaket unik ini Januari 2010, permintaan pun mulai silih berganti untuk memesan dari mulut ke mulut.

Dikatakan Boy, untuk memesan kertas diperlukan waktu 2 minggu. Kertas tyvek impor dari Du Pont harus dalam borongan, minimal memesen 1 km untuk mendapatkan harga yang lebih murah

"Pesan yang banyaklah biar murah, sekali pesan 1 km kertasnya," tuturnya.

Mereka juga menjual barang-barang karya mereka seperti jaket kertas, tas dan sepeda lewat online, mulut ke mulut, teman-teman dekat. Sampai saat ini sudah terjual dari sabang sampai Manado dan orang-orang yang berkunjung ke toko di Bandung.

Boy menambahkan tak menutup kemungkinan untuk melanjutkan usaha ini. Sejauh ini, sudah ada sekitar 3-5 mahasiswa yang berkomitmen untuk melanjutkan usaha tersebut.

"Ada sih yang mau ngelanjutin, tapi tidak banyak, ya bebas-bebas aja. Ini kan barang sama-sama," ujarnya.

Boy membuka kesempatan bagi investor yang ingin masuk untuk meneruskan usaha mereka. Termasuk tidak keberatan menggunakan brand dari investor yang berminat.

CEO equafole Boy Rekato
Jalan Ganeca 3 Bandung, Jawa Barat 40132
Email: equafole@gmail.com dan Boy_kamtibz@yahoo.com
Selengkapnya...

Batu Kalimaya Lebak Menembus Dunia

Wednesday, April 20, 2011

Perajin batu fosil dan kalimaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, mampu menembus pasar ASEAN karena permintaan cukup tinggi di wilayah negara-negara tersebut.

"Kami saat ini merasa kewalahan untuk melayani permintaan kerajinan batu permata ke negara tetangga itu," kata Ardineswati, seorang perajin di Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Rabu (20/4/2011).

Ia mengatakan, selama ini permintaan pasar ASEAN cukup tinggi karena batu fosil dan kalimaya merupakan kekayaan alam yang ada di Kabupaten Lebak. Bebatuan yang bernilai ratusan juta rupiah tersebut terdapat di sejumlah Kecamatan Sajira, Maja, Cipanas, Cimarga dan Muncang.

Saat ini, kata dia, perajin batu fosil maupun kalimaya jumlahnya mencapai puluhan. "Saya sendiri sebagai perajin batu permata cukup berkembang hingga melayani transaksi melalui situs internet dengan laman ’Sandikala’," katanya.

Menurut dia, pihaknya menjual kerajinan batu kalimaya dan fosil ke beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Thailand dan Filipina. Adapun harga satuan batu fosil maupun permata kalimaya mulai dari harga Rp 500.000 sampai Rp 100 juta. "Saya kira para konsumen mereka tertarik karena batu permata itu memiliki nilai seni tinggi," ujarnya.

Seorang perajin batu permata di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Nong mengaku saat ini batu kalimaya asal daerah itu terbaik di dunia karena memiliki aneka warna jenis dibandingkan dengan Australia, Amerika Latin dan Somalia.

Permintaan batu kalimaya, selain pasar domestik juga mancanegara cukup banyak. Dia menyebutkan, batu kalimaya asal Kabupaten Lebak memiliki keunggulan dibandingkan dari negara lain di dunia. Selain warna tidak menghilang juga sangat mempesona karena punya aneka warna, seperti hitam, coklat, kuning ungu, biru dengan warna pelangi.

Batu kalimaya memiliki jenis warna, di antaranya Kalimaya Putih, Kristal Hijau, Kristal Pelangi, Kristal Hijau, Teh dan Kopi, Pelangi, Kristal susu dan lain-lain. "Semua jenis warna kalimaya memiliki daya tarik tersendiri juga pancaran warna pelangi dapat berubah-ubah. Itulah kelebihan permata asal Lebak," katanya.

Untuk mendapat batu permata itu, kata dia, dilakukan eksploitasi secara tradisional, yakni menggali lubang ke bawah tanah hingga puluhan meter. "Jika terdapat batu kalimaya di bawah tanah maka terlihat pancaran sinar," katanya.

Sementara itu, Kepala Bidang Industri Dinas Perindutrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak, Herisnen mengatakan, pemerintah daerah terus membina perajin batu kalimaya dan fosil karena dapat meningkatkan ekonomi masyarakat juga penyerapan tenaga kerja. "Saya kira usaha kerajinan batu permata ini di Banten hanya ada di Kabupaten Lebak," katanya.

Selengkapnya...

Meraih Untung dengan Mengolah Kaleng Bekas

Monday, April 18, 2011

Dengan kreativitas, kaleng minuman bekas pun bisa diolah menjadi benda bernilai jual tinggi. Kaleng-kaleng bekas softdrink diubah menjadi miniatur sepeda motor atau binatang untuk pajangan.

Seorang perajinnya bisa meraup omzet lebih dari Rp 10 juta per bulan.

Kaleng jelas bukan termasuk sampah yang mudah terurai oleh alam. Padahal, saban hari ada begitu banyak kaleng bekas, khususnya yang berasal dari minuman softdrink menyesaki tempat-tempat pembuangan sampah. Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada bumi kalau pembuangan kaleng bekas ini terus berlangsung.

Gifson Harianja pun menemukan cara unik memanfaatkan limbah kaleng-kaleng. Pria yang bermukim di Jatiwaringin, Bekasi, ini berhasil "menyulap" kaleng-kaleng bekas menjadi benda yang bernilai jual tinggi.

Awalnya dia melihat banyak kaleng bekas yang terbuang. "Saya berpikir kenapa tidak mencoba untuk merakit sebuah karya seni dari kaleng bekas itu," cerita Harianja.

Ia pun membawa kaleng-kaleng bekas ke tokonya. Sembari menunggui barang dagangan di tokonya, Harianja mengutak-atik kaleng yang dikumpulkan menjadi miniatur seorang pemulung. Tak disangka, tiba-tiba ada seorang yang melewati tokonya dan menawar hasil karyanya itu dengan harga Rp 25.000.

Sekarang, Harianja pun berkonsentrasi pada pembuatan miniatur dari kaleng bekas. Ia membuat miniatur vespa, patung tugu pancoran, motor Harley Davidson dan pesawat. Harga jualnya berkisar Rp 50.000 hingga Rp 150.000 per unit.

Selain miniatur single, Harianja juga merancang miniatur kehidupan, seperti seorang pemulung atau orang tua yang sedang berjualan. Meski terlihat lebih rumit, harga jual miniatur kehidupan ini cukup murah, yakni Rp 80.000 per unit.

Proses pengerjaan produk miniatur kaleng bekas pun cukup sederhana. Harianja hanya menggunakan tang dan gunting pada proses produksi. Dia sendiri yang berperan mendesain model berbagai karyanya.

Ia pun membatasi bahan bakunya hanya kaleng bekas minuman. "Karena kaleng lain, semisal bekas susu, terlalu tajam dan susah dibentuk," ujarnya.

Harianja mengaku tak kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku kaleng bekas. Pasalnya, ia mempunyai banyak teman yang membuka usaha kafe. Alhasil, suplai kaleng bekas pun diperolehnya dari teman-temannya itu.

Sebagai tambahan, sering pula Harianja membeli kaleng bekas dari para pemulung. Ia pun sering menjual potongan kaleng yang benar-benar tak terpakai kepada mereka.

Ia pun memilih tak mewarnai sebagian hasil karyanya, karena, menurut Harianja, proses pewarnaan justru akan menghilangkan kesan daur ulang. "Nanti orang justru menebak miniatur ini dari kayu," ujarnya.

Dalam sebulan, Harianja mampu menjual 40 miniatur. Omzetnya pun mencapai Rp 2 juta. "Orang yang suka bisa langsung membeli empat sampai lima buah," ujar Harianja.

Lantaran hasil karyanya yang cukup unik ini, ada beberapa sekolah yang memintanya menjadi guru kesenian. Namun, Harianja terpaksa menolak karena tak ingin kiosnya terbengkalai.

Omzet yang lebih besar bahkan diperoleh Kusnodin, perajin miniatur kain bekas lainnya yang berlokasi di Yogyakarta. Dalam sebulan, ia bisa meraup omzet lebih dari Rp 10 juta.

Berbeda dengan Harianja, Kusnodin memilih membentuk miniatur binatang, seperti belalang, merak, burung elang, dan lainnya. Di bawah bendera Karya Baru, Kusnodin memulai usaha ini sejak tahun 1987.

Miniatur buatan Kusnodin ini bahkan sudah menembus pasar ekspor. Maklum, ia mempunyai distributor seorang warga negara Australia. Dari tangan distributor inilah, produk miniatur kaleng bekas ini dikirim ke Australia, Jepang, dan Belanda. "Saya hanya memproduksi saja," ujarnya.

Selain menyediakan miniatur dalam warna kaleng, Kusnodin juga menyediakan miniatur yang telah dicat. Maklum, Kusnodin punya kegemaran melukis. "Ini untuk memenuhi selera konsumen yang belum tentu suka warna kaleng," ujarnya.

Tak heran, rentang harga miniatur produksi Karya Baru ini cukup lebar. Banderol harganya Rp 125.000 hingga Rp 10 juta per unit. "Selain dari ukuran, patokan harga juga tergantung tingkat kerumitan saat pembuatan," jelasnya.

Kusnodin pun memberi contoh, ia pun pernah mematok harga hingga jutaan rupiah saat menjual miniatur elang. Ia mengklaim, miniatur itu sangat mirip aslinya.

Untuk mengerjakan berbagai pesanan yang mampir ke bengkelnya, Kusnodin bisa memperkerjakan hingga 60 karyawan. Tetapi jumlah karyawan berubah-ubah, tergantung order. Ia pun mengandalkan para pekerja yang berasal dari tetangga kanan kiri di lokasi bengkelnya, di Magelang.

Selain mendapatkan keuntungan, baik Harianja maupun Kusnodin mengaku senang karena dapat berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan. Karena tidak semua pabrik dapat mengolah kembali kaleng-kaleng bekas, di sinilah perajin berperan memanfaatkan kaleng bekas.

Harianja pun optimistis akan masa depan usahanya. Pasalnya, walaupun di Indonesia banyak yang menjual miniatur, biasanya bahan yang digunakan adalah kayu atau plastik. Sementara, perajin yang menggunakan kaleng bekas sebagai bahan baku masih sedikit. (Dharmesta/Kontan)

Selengkapnya...

Dengan Barang Bekas Menembus Eropa

Monday, April 11, 2011

Usaha craftnya yang kolaps, tidak lantas membuat Roni Dwi Hartoyo, si pengusaha mebel recycle dari Pasuruan, Jawa Timur, putus asa.

"Dulunya sih saya (usaha) craft, akhirnya berkembang ke barang-barang yang seperti sekarang ini, yang bahan bakunya dari recycle," tutur Rony, pemilik usaha mebel dengan nama Sono Indah Perkasa, kepada Kompas.com, di Jakarta, Minggu ( 10/4/2011 ).

Usaha craftnya, yang membuat kerajinan-kerajinan kecil, seperti mobil-mobilan, hingga alat makan, kolaps karena peristiwa bom Bali. Mengingat usahanya waktu itu dipasarkan ke pulau yang bersebelahan dengan Jawa Timur ini.

Dalam waktu sekitar setengah tahun, ia beralih ke usaha mebel yang memanfaatkan barang-barang bekas, seperti bekas bantalan kereta api, kapal kayu, bongkaran rumah, hingga roda pedati yang tidak lagi terpakai.

"Keuntungannya, satu, kita memanfaatkan limbah, barang-barang bekas. Yang kedua, kalau ekspor itu kita lebih mudah, karena masuk negara-negara maju itu sangat ketat menerapkan ijin masuk kayu-kayu baru, karena ada kaitannya dengan illegal logging," tuturnya, sebagai jawaban mengapa menggunakan barang atau kayu bekas.

Dengan penggunaan barang bekas, selain ramah lingkungan, Roni menuturkan, ekspor pun lebih mudah masuk. Mulai tahun 2005 hingga saat ini, usaha mebel recycle Roni telah memasuki sejumlah negara Eropa, seperti Belgia dan Bulgaria, hingga Timur Tengah. Namun, seiring dengan gejolak ekonomi di Eropa hingga gejolak politik di Timur Tengah, maka ekspor pun mulai berkurang. "Sekarang ini ekspor mulai kita kurangi. Ternyata pasar lokal lebih bagus. Karena ekspor (ke) Eropa nggak seberapa. Ekonomi di sana lagi nggak sehat," sebutnya.

Selain negara-negara jauh tersebut, Roni juga memasarkan produknya ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Brunei. Meskipun tidak banyak, karena permintaan pasar yang menginginkan produk bagusa tapi murah. Namun demikian, ia tetap menomersatukan pasar domestik. "Pasar lokal kalau kita garap benar. Itu bagus," jelasnya, sembari menyebutkan, pasar luar Jawa, seperti Kalimantan, yang cukup potensial dengan hadirnya orang-orang kaya baru yang merupakan pengusaha sawit dan batu bara.

Kelebihan lain dari produknya, yaitu penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan untuk proses finishing. "Kita nggak pakai bahan-bahan seperti melamin. Itu nggak sehat, beracun,"sebutnya. Ia lebih memilih menggunakan wax yang waterbase.

Mengenai omzet, Roni menyebutkan pendapatan kotor dapat mencapai Rp 300-500 juta sebulannya. Namun, sebenarnya ini bukan yang membanggakan. "Yang membanggakan, kita menyerap banyak tenaga kerja, yang nyari-nyari atau hunting (barang bekas)," tuturnya. yang dapat mencapai 50 orang, untuk mencari barang bekas hingga ke Pulau Madura. Sedangkan karyawan tetapnya hanya berjumlah 35 orang.

Terkait dengan kendala dalam usahanya, ia pun menyebutkan, kalau berusaha modal seberapapun tidak menjadi masalah. "Modal apa adanya, kemampuan kita bisa eksis merupakan kebanggaan tersendiri," jelasnya, yang menyebutkan di situlah seninya menjadi pengusaha.

Sebagai cara untuk menarik konsumen, Roni pun berkreasi dalam setiap pameran yang diikutinya dengan produk barang yang selalu berbeda 40 persen dari pameran sebelumnya.

Selengkapnya...

Berkat Limbah Kayu Raup Puluhan Juta

Sunday, April 10, 2011

Bagi sebagian orang, kayu sisa bangunan hanya dianggap sampah tidak bermanfaat. Namun, tidak demikian bagi Yoga Suratmoko. Di tangannya, kayu bekas bangunan yang sudah tidak terpakai dapat berubah menjadi suatu hasil karya yang unik dan menarik serta memiliki nilai jual tinggi.

Berbekal dengan menggunakan sebuah alat yang bernama pisau penyot dan kayu putih sebagai bahan utama, Yoga Suratmoko dibantu temannya, yakni Yuni Tri Purwanto, berhasil menciptakan sebuah kerajinan tangan yang menarik dan membuat decak kagum bagi masyarakat yang melihatnya.

Awal mula Yoga menekuni kerajinan dari bahan baku kayu putih adalah pada saat dirinya bekerja di pabrik kayu lapis. Setiap hari ia melihat kayu lapis hasil olahan dibuang begitu saja. Dari situ, Yoga mulai berpikiran bagaimana caranya supaya kayu bekas tersebut tidak terbuang sia-sia. "Waktu bekerja di pabrik kayu itu, saya iseng membuat sesuatu dari kayu sisa. Setiap hari saat istirahat kerja, saya gunakan untuk membuat gantungan kunci. Tidak disangka teman saya tertarik dengan hasil itu," ceritanya.

Selang tidak lama, pabrik tempat ia bekerja mengalami kebangkrutan. Terpaksa suami dari Kuntiati ini harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Berbekal darah seni yang telah mengalir dalam dirinya, ia berinisiatif mengembangkan hasil karyanya yang terbuat dari kayu sisa bekas bangunan tersebut.

Setelah berhasil membuat olahan kayu menjadi gantungan kunci, ia terus berupaya lebih mengasah kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang lebih unik. Dirinya dibantu dengan beberapa teman yang tergabung dalam KUB Ampel Handycraft yang beralamat di Jalan Sunan Ampel 5 RT 03 RW 2, Kota Magelang, ini mencoba menciptakan kerajinan tangan yang berbentuk serangga. Ide tersebut ia peroleh dari lingkungan sekitar.

Pria asli Magelang ini akhirnya berhasil membuat miniature serangga dari kayu putih sisa bangunan yang sudah tidak terpakai. Waktu itu, kerajinan yang benar-benar hanya menggunakan tangan tersebut tidak langsung dijual di pasaran. "Jika ada teman yang tertarik membeli, ya kami langsung berikan," katanya yang diamini oleh temannya.

Mendapatkan sambutan positif, memicu pria kelahiran 22 April 1969 itu untuk terus mengasah keahlian yang dimiliki. Lambat laun, naluri seninya mampu terasah dengan baik. Terbuki dengan banyaknya hasil karya yang telah ia ciptakan. "Jika dihitung-hitung, ya sudah ada 200 lebih kerajinan yang sudah saya ciptakan selama lima tahun," katanya yang berharap suatu saat ingin membuka galeri sendiri itu.

Seiring dengan perkembangannya, Yoga dibantu dengan 10 temannya, yang juga merupakan warga Ganten, mulai mendapatkan pesanan setiap hari. "Jika saya lakukan sendiri pastinya tidak sanggup, makanya saya ajak Mas Yuni cs untuk membantu," ujarnya.

Saat ini ia bersama temannya mampu membuat kerajinan berupa burung elang, berbagai macam serangga, dan sosok cerita anak, salah satunya Hulk.

Hingga saat ini ia telah menerima pesanan dari berbagai kalangan. Omzet yang dihasilkan tiap bulan pun dapat berkisar hingga puluhan juta rupiah. Pasalnya, dalam membuat satu macam hasil karya berupa burung elang, dihargai sekitar Rp 3,5 juta. Sementara itu, untuk penyelesaiannya diperkirakan memakan waktu dua minggu. Untuk kerajinan berwujud naga sekitar Rp 4 juta.

Harga tersebut tergantung dari tingkat kesulitan saat membuat dan ukuran juga sangat memengaruhi nilai jualnya. "Ya alhamdulilah hasil penjualan dapat digunakan untuk beli rokok dan makan sehari-hari," candanya yang tidak mau menyebutkan secara pasti berapa pasti omzet yang didapat setiap bulan.

Selengkapnya...

Jeli Memetik Bisnis Sandal dari Limbah Kelapa

Friday, April 8, 2011

Kejelian menangkap bisnis kerap kali membuat orang sukses menjadi wirausahawan. Hal ini lah yang dialami oleh Unardi perajin sandal dari limbah tempurung kelapa asal Purbalingga, Jawa Tengah.

Unardi mengungkapkan, ide membuat sandal tempurung kelapa muncul begitu saja. Inspirasinya berawal saat melihat potongan sisa tempurung yang telah dibuat berbagai macam kerajinan. Daripada potongan tempurung kecil-kecil tidak dipakai, ia lantas dimanfaatkan dengan cara dirangkai secara vertikal dan direkatkan dengan rem.

”Kebanyakan pesanan sandal tempurung untuk souvenir. Selain itu juga sejumlah pedagang dari luar kota seperti dari Bali, Jakarta dan Bandung, memesan sandal tempurung dari kami,” kata Unardi, Jumat (08/04/2011).

Selama ini alas kaki sandal kebanyakan dibuat dari karet atau bahan plastik. Produk milik Unardi ini justru memiliki ciri khas tersendiri, sehingga tak heran sandal Made in Purbalingga ini laris manis di banyak kota di Tanah Air.

Sandal ini ternyata diminati konsumen dari luar kota seperti Jakarta, Bandung dan Bali. Sementara di penjualan lokal, tidak begitu banyak dikenal. Bisa jadi, sandal tempurung buatan Purbalingga ini justru tidak banyak diketahui jika orang berasal dari Purbalingga.

Unardi menuturkan meski berbahan dasar sebagian besar dari tempurung kelapa, namun bagian alas sandal tetap menggunakan bahan karet atau plastik, sesuai selera konsumen. Sementara bagian pengikat kaki, juga sama dengan sandal lainnya. Tempurung hanya digunakan pada pelapis alas sandal.

Harga sepasang sandal ini juga tidak begitu mahal, cukup merogoh Rp 25.000, anda sudah bisa membawa pulang sepasang sandal unik ini. Harga itu berlaku untuk jenis sandal ukuran apa saja.

”Kami juga terus didorong oleh Disperindagkop Kabupaten Purbalingga untuk terus membuat produk-produk yang unik dan belum ada di masyarakat. Seperti sandal tempurung, juga meja tempurung, tempat tisue, kap lampu, asbak, tempat minuman dan sejumlah produk lainnya,” katanya.

Ketua kelompok pengrajin tempurung 'Manunggal Karya' Sutrisno mengatakan kini ia memiliki 42 orang anggota. Setidaknya ada 34 macam hasil kerajinan yang diproduksi dan dijual ke pasaran di sejumlah kota besar.

Hasil kerajinan ini sebagian besar untuk keperluan rumah tangga seperti irus, centong, sendok kayu kelapa, piring kayu, ciri dan penghalus sambal, jam tempurung dan sebagainya. Bahan dasar yang digunakan selain limbah tempurung, juga potongan kayu kelapa (glugu), dan potongan kayu melinjo.

”Kami secara terus menerus mendapat dukungan promosi dari Pemerintah Kababupaten Purbalingga melalui Disperindagkop Kabupaten Purbalingga, dan juga melalui Bank Jateng,” kata Sutrisno.

Unardi
Kelurahan Purbalingga Wetan, Kecamatan Purbalingga,
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
(hen/hen)
Selengkapnya...

Susu Membawa Aceng ke Mekkah

Friday, April 1, 2011

Ketekunan membawa Aceng (60), peternak sapi perah di Kampung Pajaten, Kelurahan Taruma Jaya, Kecamatan Kertasari, Bandung Selatan, naik haji ke Mekkah. Sedikit demi sedikit uang hasil perahan susu dikumpulkan hingga cukup membawa ia dan istrinya, Dedeh (59), ke Tanah Suci.

Pada 30 tahun silam, Aceng masih memiliki dua ekor anakan sapi. Satu sapi dia dapat dari hasil mengurus sapi milik orang lain. Ia dibayar dengan anakan ketika sapi yang dia urus melahirkan. Saat itu, Aceng mengurus sapi sambil bekerja di PT Perkebunan Nusantara VIII.

"Terus saya keluar dari perkebunan. Waktu itu beli anakan lagi pake uang hasil tabungan selama kerja di perkebunan," ucap Aceng ketika berbincang-bincang dengan Kompas.com di rumahnya.

Dua anakan itu lalu dia urus hingga dapat diperah dan beranak pinak. Berbeda dengan mayoritas peternak lain yang langsung menjual anakan, Aceng memilih memelihara anakan hingga dewasa. Kini, ayah empat anak itu memiliki tujuh ekor sapi, lima di antaranya sudah dapat diperah.

Untuk diketahui, mayoritas peternak mengeluhkan sulitnya bertahan hidup hanya dengan memerah sapi. Rata-rata, setiap peternak hanya memiliki dua hingga tiga ekor sapi perah. "Mereka enggak telaten. Ada anakan langsung dijual. Padahal, kalau sudah punya lima sapi cukup buat hidup, bahkan bisa naik haji," terang dia.

Dengan lima ekor sapinya, Aceng mendapat keuntungan bersih sekitar Rp 3,5 juta per bulan. "Dulu saya ingin sekali naik haji. Terus sedikit-sedikit saya kumpul uangnya sampai Rp 76 juta buat naik haji sama istri. Terus saya berangkat tahun 2008," paparnya.

Biogas

Dari ratusan peternak sapi perah di kampung penghasil susu perah itu, hanya Aceng yang masih mempertahankan menggunakan biogas. Setiap hari, Aceng membuang semua kotoran sapinya seberat 100 kg ke lubang penampungan di sekitar rumahnya. Kotoran itu lalu menghasilkan gas yang digunakan untuk bahan bakar memasak.

Awalnya, biogas berukuran 4 x 4 meter hasil bantuan pemerintah tiga tahun lalu itu digunakan untuk 10 keluarga. "Tapi, lama-kelamaan mereka enggak mau masukin kotorannya. Langsung disiram aja terus ke sungai (Citarum). Sekarang cuma saya aja yang pake gas itu. Yang lain beli gas," katanya.

Selengkapnya...

Sepatu Cibaduyut Bisa Hasilkan Rp 10 M

Thursday, March 31, 2011

Perajin sepatu Cibaduyut tidak hanya menyayangkan sikap pemerintah yang kurang memberikan perhatian kepada mereka. Namun, sedikitnya generasi muda yang mau belajar dan melanjutkan usaha juga menjadi faktor penting dalam keberlanjutan usaha kerajinan sepatu kulit ini.

"Saya sedih saat tahu ada pengrajin yang bisa menyekolahkan tinggi anaknya, tapi saat lulus tidak kembali ke Cibaduyut, malah kerja di perusahaan orang. Seharusnya mereka itu kembali ke Cibaduyut dan melanjutkan usaha sepatu," kata Jaya Sunarya (47) di pabrik sepatu rumahan miliknya, Cibaduyut Jaya, Kelurahan Cibaduyut, Kecamatan Bojongloa, Bandung, Jawa Barat, Rabu (30/3/2011).

Selain itu, tambah Jaya, banyak perajin sepatu mengarahkan anak-anaknya untuk tidak menjadi perajin sepatu. Padahal, sangat penting untuk menciptakan generasi muda yang mau, bisa, dan mampu mengelola usaha sepatu.

"Saya melihat para pengrajin sudah merasakan pahitnya menjadi pengusaha sepatu sehingga mereka tidak ingin anak-anak mereka merasakannya pahitnya juga. Padahal, anggapan ini salah. Justru di luar sana kehidupan lebih pahit. Orangtua harus menyiapkan anaknya untuk kembali, mengelola sumber daya yang ada, ya usaha sepatu Cibaduyut ini," kata Jaya.

Jaya mengisahkan bahwa dia belajar membuat sepatu dari orang lain. Setelah dia mampu membuat sepatu, dia mengumpulkan modal untuk bisa membuka usaha sepatu sendiri.

Ia memulai usaha dari tahun 1986, awalnya dalam sepekan dia hanya mampu membuat 40 pasang. Usahanya berkembang pesat hingga sekarang mampu membuat 2.000 pasang sepatu tiap bulannya. "Saya tidak lulus SD, hanya sampai kelas IV. Tapi saya mau belajar dan saya jadi seperti ini sekarang. Dan sebenarnya generasi muda Cibaduyut harus melihat pontensi ini, bukan malah jauh-jauh mencari makan di tempat lain," kata Jaya.

Potensi usaha sepatu Cibaduyut masih amat besar. Bahan baku untuk membuat sepatu pun tidak kurang. Jika sedang ramai pesanan, Jaya bisa mendapatkan Rp 8 miliar hingga Rp 10 miliar. "Saya merasa, penting sekali jika ada sekolah untuk pendidikan sepatu. Kemudian rekrut orang-orang yang putus sekolah untuk kemudian dipekerjakan di Cibaduyut," kata pria beranak tiga ini.

Harus ada keberanian dari generasi muda untuk kembali ke Cibaduyut dan meneruskan usaha ini. Ditakutkan, dengan semakin sedikitnya generasi penerus, ke depannya usaha sepatu Cibaduyut kian tenggelam.

Selengkapnya...