Followers

Google
 

Saptu, Himpun Laba dari Bisnis Narsis

Monday, June 29, 2009

Peluang usaha bisa tercipta lewat pengalaman berharga. Saptuari Sugiharto sukses menjadi pengusaha cenderamata juga berkat pengalaman. Kesuksesan itu bermula ketika pemilik Kedai Digital ini menyelenggarakan acara pentas musik tahun 2003.

Kala itu, pria kelahiran Yogyakarta, 8 September 1979, ini melihat dua orang pengunjung acaranya saling baku hantam gara-gara berebut cenderamata berupa pin foto dari seorang artis Ibukota. “Saya heran, pengunjung, kok, berebut pin artis sampai berkelahi segala. Padahal, mereka juga bisa bikin pin foto diri mereka sendiri,” kata sulung dari dua bersaudara yang akrab disapa Saptu ini.

Rupanya, peristiwa itu selalu terngiang di benaknya. Dari situlah, Saptuari ingin mematahkan anggapan bahwa gaya narsis alias mengidolakan diri sendiri tak hanya bisa dilakukan oleh kaum selebriti. Masyarakat awam pun bisa. “Setiap orang mempunyai jiwa narsis yang butuh penyaluran,” ujar dia.

Pemikiran ini pula yang melahirkan inspirasinya untuk membuka usaha percetakan digital. Bermodal uang pinjaman bank sebesar Rp 28 juta, pada Maret 2005, Saptuari mendirikan Kedai Digital. Di kedainya ini setiap pelanggan bisa mencetak pas foto, nama, gambar benda, dan tulisan di atas pin, mug, jam, kaus, piring, mouse pad, serta gantungan kunci.

Berbeda dengan cetak sablon yang memakan waktu pembuatan hingga tiga pekan, cetak di Kedai Digital hanya butuh waktu maksimal tiga hari. Maklumlah, proses cetak-mencetak aksesori cenderamata di Kedai Digital juga memanfaatkan mesin cetak digital.

Pelanggan pun tak perlu mengorder dalam jumlah banyak. Sebab, mesin cetak digital memungkinkan Kedai Digital memenuhi satu desain pesanan hanya melalui sekali proses produksi. Alhasil, Kedai Digital laris manis diserbu pelanggan. “Biasanya pelanggan memesan cenderamata buat kado pacarnya, keluarga, teman, atau relasi,” kata Saptu.

Jangan heran bila saat ini pelanggan Kedai Digital bukan hanya berasal dari kalangan individu, tapi juga dari korporat. Di antaranya, PT Excelcomindo Pratama Tbk, PT Telekomunikasi Seluler, PT Indosat Tbk, PT Sampoerna Tbk, dan juga instansi pemerintah.

Menjalin kemitraan

Bukan tanpa sebab jika Saptuari berhasil menggaet pelanggan sebanyak itu; kendati sesungguhnya Kedai Digital pribadi miliknya hanya tujuh unit. Untuk memenuhi order itu, ia menjalin kemitraan dengan sejumlah pemodal yang berminat menekuni bisnis serupa dengan memakai bendera usahanya. Saptuari menamakan kemitraan itu sebagai peluang bisnis.

Saptuari menawarkan tiga model kemitraan. Pertama, investasi awal Rp 50 juta. Di sini, mitra usaha boleh menyematkan nama Kedai Digital dan diakui sebagai gerai cabang. Lalu, mitra akan mendapat seperangkat mesin cetak digital, bahan baku, dan pendampingan operasional Kedai Digital. Setiap bulannya mitra diwajibkan menyetor 2,5 persen dari omzet yang didapatnya kepada kantor Digital Pusat. Saat ini sudah ada 28 gerai Kedai Digital hasil kemi-traan melalui model ini.

Kedua, kemitraan dengan modal Rp 20 juta. Di sini mitra akan mendapatkan alat produksi dan bahan baku. Namun, mereka harus melabeli bendera usaha sendiri dan tidak mendapatkan pendampingan operasional. Dari kemitraan model ini, Kedai Digital memiliki 34 gerai dengan lokasinya tersebar di Palembang, Balikpapan, Samarinda, hingga Sorong.

Ketiga, model Kedai Digital Cutting dengan investasi Rp 35 juta. Ini merupakan kedai digital khusus kaus. Kini sudah ada tiga cutting yang beroperasi di Purwakarta dan Yogyakarta.

Dengan menjalin kemitraan seperti itu, bisnis Saptuari pun terus berbiak. Kini ia sudah memperkerjakan 210 karyawan. Tahun lalu, kedainya mampu meraih omzet Rp 3 miliar.

Sejatinya, sukses Saptuari ini merupakan buah dari semangat wirausahanya yang tak kenal putus asa. Mental pengusahanya telah terasah sejak masih kuliah. Maklumlah, kedua orangtuanya hanya buruh pasar berpenghasilan pas-pasan.

Demi meringankan beban orangtua, semasa kuliah di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 1998, Saptuari bekerja serabutan, mulai dari jasa penitipan tas, menjual celana, staf pemasaran radio, hingga menjadi petugas sales kartu seluler.

Bosan menjadi pedagang, Saptuari mencoba peruntungan dengan menjadi pengusaha. Bermodal Rp 3 juta, duit hasil utang bank, ia menjajal beternak ayam kampung. Namun, dari tiga kali ‘panen’, untungnya cuma sekali. Tak kapok, Saptuari beralih ke bisnis stiker dengan modal Rp 150.000. Di bisnis ini, ia juga gagal. “Omzetnya Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per bulan. Padahal pengeluarannya lebih dari itu,” kata dia.

Toh, pengalaman bisnis stiker telah menjadi jembatan baginya untuk menekuni bisnis digital printing. Ia pun yakin bisnisnya terus melaju. Tahun ini Saptu menargetkan membuka 40 gerai Kedai Digital baru dengan pertumbuhan pendapatan 50 persen. (Gloria Haraito/Kontan)
Selengkapnya...

Sale Pisang Ciamis Tembus Manca Negara

Sunday, June 28, 2009

Keripik pisang dan sale pisang dari Ciamis. Jawa Barat yang diproduksi secara tradisional oleh pengrajin makanan ringan dalam beberapa tahun terakhir telah mampu menembus pasar luar negeri.


"Usaha makanan ringan yang kami tekuni telah diekspor dengan volume sekitar dua ton per bulan," ujar Anggraeni (37), kepala pemasaran keripik pisang dan sale keripik "Suka Senang" dari Ciamis di arena Jakarta Fair Kemayoran (JFK), kemarin.

Ia menjelaskan, produk yang dipamerkan di JFK 2009 dengan menempati stan Jawa Barat itu telah mengisi pasar Kanada, kemudian Hongkong, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura.

Dalam sebulan terakhir pisang yang diolah menjadi keripik dari bahan baku pisang siem dengan tujuh rasa dan sale pisang dengan lima rasa itu juga diminati oleh pasar Jepang dengan permintaan kebutuhan dua ton per minggu.

"Namun kami masih belum menyatakan kesanggupan untuk memenuhi permintaan dua ton per minggu karena kami memiliki kendala produksi dan harus memenuhi permintaan pasar yang ada," katanya.

Dewasa ini usaha rumah tangga yang ditekuni sejak tahun 1996 itu memiliki kapasitas produksi sekitar 400 kg per hari itu telah mempunyai pasar dalam negeri yakni Jawa Barat, Jakarta, Jambi, Medan, Surabaya, Purwokerto dan Manado.

Nunung Nurhayati (42), kepala pemasaran keripik pisang dan sale keripik "Suka Senang" mengatakan usaha makanan ringan itu banyak melibatkan pekerja terutama para ibu rumah tangga yang bekerja sampingan dengan pola bapak angkat.

"Sedikitnya 100 tenaga pengrajin untuk melakukan pengambilan pisang, seleksi pisang, pengirisan, penjemuran dan pemotongan pisang," ujarnya.

Lalu pisang-pisang yang berasal dari Ciamis dan Banjar, Jawa Barat itu disetor kepada ketua kelompok binaan masing-masing yang dikirim ke perusahaan "Suka Senang" sebagai bapak angkat.

Perusahaan yang pernah meraih penghargaan "Parama Karya" dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2007 sebagai salah satu UKM terbaik di tanah air itu pada arena JFK kembali menawarkan produknya kepada para pengunjung, katanya.

Sebanyak 12 jenis rasa produk pisang yang ditawarkan pada pengunjung dikemas dalam dua ukuran yakni 250 gram dan 500 gram dengan harga masing-masing Rp 15.000 dan Rp 25.000 per satuan.

EDJ
Sumber : Ant
Selengkapnya...

Merangkai Laba dari Tas Lidi

Wednesday, June 24, 2009

Dari masa ke masa, tas menjadi perlengkapan tak terpisahkan bagi kaum hawa. Dalam setiap aktivitasnya, perempuan selalu menenteng barang satu ini. Jangan heran jika produsen tas juga rajin menggelontorkan model baru ke pasar.

Bahkan, untuk membuat produk ini berbeda, tak jarang produsen melakukan pelbagai inovasi. Salah satunya, membuat tas dari bahan sapu lidi. Salah satu produsennya adalah Sutarpi.

Ide membuat tas drai lidi ini terbersit dui benak Sutarpi saat ia mencari bahan baku tas yang lebih murah. “Ketika krisis, saya mencari ide mendapatkan bahan baku tas yang murah,” tutur perempuan yang telah menggeluti usaha produksi tas sejak 1994 ini.

Bermodalkan duit Rp 1 juta buat membeli batang-batang lidi, sejak awal 2008, perempuan berusia 35 tahun ini mulai menjalankan produksi tas berbahan baku lidi.

Dibantu empat orang karyawan, Sutarpi merangkai batang-batang lidi menjadi sebuah tas. Tentu, batang lidi itu sebelumnya telah diwarnai agar lebih menarik.

Di kawasan Wirobrajan, Yogyakarta, Sutarpi mulai memperkenalkan tas lidi buatannya itu ke masyarakat.Meski terbilang barang baru, ternyata banyak yang kecantol dengan tas lidi Sutarpi.

Dalam waktu singkat, ia bisa meraup omzet Rp 300.000 sehari dari jualan tas lidi. “Ini kan jenis baru. Jadi, banyak orang suka dengan tas lidi saya,” katanya.

Permintaan yang terus meningkat memaksa Sutarpi menambah jumlah karyawannya menjadi enam orang. Bahkan, ia kadang harus menambah jumlahnya menjadi 10 orang, jika ada pesanan dalam jumlah besar.

Sejauh ini, Sutarpi relatif tidak menemui kesulitan soal pasokan bahan baku. Sebab, selain harga lidi relatif murah, barangnya juga mudah didapat. “Saya membelinya di pasar,” ujarnya.

Pembeli dari India

Setiap hari, Sutarpi mampu memproduksi 10 model tas dengan jumlah total 100 unit. Namun, jika ia kebetulan sedang membuat model agak susah, produksinya hanya 50 tas per hari. Harga tas bervariasi, mulai Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per unit, tergantung model dan kualitas.

Sutarpi mengaku bisa meraup omzet sampai Rp 750.000 per hari. “Marjin masing-masing tas mulai dari Rp 2.000 sampai Rp 5.000,” ungkapnya.

Selama ini, pembeli tas lidi Sutarpi tak terbatas pada masyarakat Yogyakarta. Ada beberapa pelanggan dari Jakarta, Medan, bahkan India. “Pembeli dari India rutin memesan setiap tiga bulan sekali,” katanya bangga.

Bicara soal pemasaran, Sutarpi menggunakan dua cara: tradisional dan modern. Cara tradisional adalah dengan menjajakan sendiri barang dagangannya hingga menitip ke kios. Sedangkan cara modern, ia memasarkan produknya lewat dunia maya. “Tapi, selama ini, promosi lewat internet masih belum maksimal,” akunya.

Bagi Anda yang tertarik mencoba bisnis tas lidi ini, ada beberapa tip menarik dari Sutarpi.

Pertama, siapkan modal minimal Rp 1 juta buat membeli bahan baku lidi. “Perkiraan saya, uang segitu mampu memproduksi hingga 50 tas lidi per hari,” ujar Sutarpi.

Kedua, cari pekerja yang ulet dan mahir merangkai lidi menjadi tas nan apik. Maklum, membuat tas ini cukup sulit.

Ketiga, Anda harus jeli melihat selera pasar yang mudah berubah. “Makanya, sekarang saya memadukan bahan lidi dengan aksesori akar wangi, enceng gondok, dan bahan lainnya,” papar Sutarpi. (Dessy Rosalina/Kontan)
Selengkapnya...

Usaha Berbasis Waralaba Jasa Mulai Berkembang

Monday, June 22, 2009

Pengembangan calon wirausahawan muda hingga kini masih terganjal akses, baik permodalan, pembinaan, dan informasi. Hal itu kerap melemahkan motivasi para calon wirausahawan untuk bertahan di tengah arus kompetisi.

Direktur Eksekutif Indonesia Business Links (IBL) Yanti Koestoer, di Jakarta, Senin (22/6), mengemukakan, hambatan calon wirausahawan muda untuk berkembang adalah kurangnya inisiatif untuk berbisnis, serta minimnya akses informasi, pendanaan, dan bimbingan.

"Kaum muda kerap mengalami kesulitan akses informasi, permodalan, dan bimbingan dari pebisnis yang berpengalaman. Kendala itu berlangsung tidak hanya di desa, melainkan di perkotaan," ujar Yanti.

Berdasarkan hasil program Inisiatif Wirausaha dan Karyawan Muda (YEEI) yang dilaksanakan IBL pada tahun 2006-2009, jumlah pemuda dan pemudi berumur 18-24 tahun yang dibina untuk wirausaha adalah 650 orang dan karyawan 1.200 orang. Dari jumlah itu, kaum muda yang menjadi wirausahawan 580 orang atau 89 persen, dan disalurkan ke perusahaan 1.000 orang (83 persen).

Program Advisor YEEI, Muchlis Ali, mengemukakan, upaya untuk mendorong wirausahawan muda antara lain mendukung akses permodalan, pembinaan, dan pasar. Mulai September 2009, pihaknya berencana mengembangkan fase kedua program YEEI untuk pemuda berusia 18-24 tahun dengan melibatkan kemitraan dengan perusahaan, dan lembaga swadaya masyarakat.

Usaha jasa

Sementara itu, usaha berbasis waralaba di bidang jasa mulai menggeliat. Sebagian usaha berbasis waralaba jasa itu memanfaatkan peluang bisnis dari gaya hidup konsumtif segmen masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.

Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar mengemukakan, usaha berbasis waralaba di bidang jasa yang mulai marak antara lain pendidikan, termasuk bimbingan belajar, dan kursus.

Sementara itu, bisnis berbasis waralaba di bidang cucian kendaraan juga mulai berkembang dengan menawarkan keunikan obat-obatan dan pola pencucian. Bisnis itu bertumbuh seiring dengan terus bertambahnya jumlah kendaraan.

Data AFI menunjukkan, hingga Juni tahun 2009, terdapat 750 usaha berbasis waralaba dan waralaba lokal di Indonesia. "Masyarakat yang konsumtif adalah peluang pasar," ujar Anang.
KOMPAS Brigita Maria Lukita
Selengkapnya...

Berkah Laba dari Barbie Muslimah

Thursday, June 11, 2009

Ide berbisnis bisa datang berloncatan dari mana saja. Termasuk dari rasa prihatin. Inilah yang dialami Sukmawati Suryaman saat memulai bisnis membikin pakaian muslim untuk boneka.

Suatu hari, Sukma, panggilan karib Sukmawati, bertandang ke rumah salah seorang saudara. Pandangannya langsung tertuju pada sang keponakan yang tengah bermain boneka Barbie berpakaian serba minim.

Perempuan asal Ciamis yang menutup rapat badannya dengan pakaian muslim ini tergerak untuk menyediakan boneka dengan pakaian tertutup. “Apalagi, saya tahu persis di pasaran ketika itu tak ada boneka seperti itu,” ujar Sukma yang membuka usaha di tahun 2006.

Bergegas, dia menyiapkan modal segede Rp 5 juta untuk membeli selusin boneka, mesin jahit, dan bahan-bahan untuk membuat baju boneka. Cuma, langkah Sukma terkendala lantaran tak bisa menjahit. Tak kurang akal, Sukma pun menyewa seorang penjahit profesional untuk membuatkan pola dasar baju boneka.

Untuk urusan desain baju, Sukmawati sendiri yang menggarapnya. “Saya memberi nama boneka ini Salma,” ujar lulusan S2 Teknik Elektro UGM yang pernah mengajar di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, itu mengenang.

Sukma mengaku mencomot nama Salma lantaran teringat pada usaha roti Salim yang pernah digelutinya di Yogyakarta pada 2003. Usaha itu tutup lantaran Sukma harus ikut sang suami pindah ke Jakarta.

Awalnya, Sukma menjajakan boneka berpakaian muslimah ke sanak saudara serta para tetangganya. Baru pada Juni 2006 Salma mulai dijual lewat internet. “Launching awal hanya 10 model baju busana muslim untuk boneka,” ujar Sukma.

Pilihan berjualan lewat dunia maya tak lepas dari peran suaminya. Selain tak membutuhkan modal besar seperti membuka gerai, internet juga tanpa batas dalam memasarkan produknya. Tak hanya di pelosok dalam negeri, tapi juga sampai luar negeri. “Sudah begitu biayanya murah. Hanya Rp 300.000 per bulan,” ujar Sukma. Untuk urusan desain webstores, Suk-ma menyerahkan kepada suami yang lulusan Ilmu Komputer UGM.

Tak hanya menjual boneka berbalut baju muslim, webstore Sukma juga menyediakan baju ganti yang dijual terpisah, pin, hingga tas boneka.

Sukma bilang, untuk membuat baju muslim maupun pernak-pernik boneka tak membutuhkan biaya yang mahal. Bahan-bahannya pun dengan mudah bisa dicari di pasar. Kain katun, batik, songket, satin, dan tile adalah bahan yang kerap dia gunakan mendandani Salma.

Sejak berjualan perdana di internet, peminatnya terus bertambah. Pernah, saking membeludaknya, Sukma harus menyediakan 1.000 boneka berpakaian muslim dalam sebulan. Kini, order atau pesanan terus mengalir rutin. “Mendekati bulan Ramadhan, pesanan biasanya naik lumayan tinggi,” ujar Sukma. Setelah masa itu lewat, tak banyak pesanan datang.

Itu sebabnya, omzet Sukma juga masih naik turun, yakni minimal Rp 5 juta dan maksimal Rp 20 juta per bulan. Dari omzet itu, Sukmawati mengaku memperoleh keuntungan bersih sebesar kurang lebih 20 persen.

Jika ingin ikut menggeluti bisnis ini, Sukma tak pelit berbagi ilmu. Biaya untuk berbisnis ini yakni membeli boneka telanjang yang harganya Rp 10.000 per biji. Adapun ongkos produksi sekitar Rp 30.000 sampai Rp 40.000 tergantung bahan. Ongkos sebesar itu untuk membeli bahan atau kain, pernak-pernik, kemasan berupa kotak karton persegi panjang, ongkos menjahit, serta ongkos kirim.

Pendek kata, satu boneka membutuhkan biaya Rp 40.000. Dengan harga jual Rp 55.000 sampai Rp 65.000, keuntungan yang bisa diperoleh antara ?Rp 15.000 - Rp 25.000. Dalam hitungan Sukma, modal usaha akan kembali setengah tahun. “Paling tidak itu yang sudah saya alami,” ujar dia.

Agar konsumen tak bosan, Sukma memang harus rajin menggali inspirasi model-model baru busana bonekanya yang sering dijuluki The Moslem Barbie Doll oleh orang-orang bule pelanggannya. Pelanggan nya datang dari Jerman, Bang-ladesh, Malaysia, Inggris, dan Amerika.

Berjualan lewat internet tak cukup bagi Sukma. Makanya, Sukma mengaku rajin ikut pameran. Adalah PT Pertamina yang mengajaknya ikut dalam berbagai pameran kerajinan. Maklum, sejak lima bulan lalu, Sukma menjadi mitra BUMN itu setelah mendapatkan modal sebesar Rp 25 juta dengan bunga superringan, yakni sebesar 3 persen per tahun.

Dana itu dia pakai mengembangkan usaha dengan menambah karyawan dan menambah aset usaha. Lewat Pertamina juga Sukma berharap mendapat pasar baru untuk Salma.

Sukma juga berharap, usaha keras membuat boneka Salma yang santun bisa menandingi kepopuleran boneka Barbie, di mata anak-anak pecinta boneka. (M. Fasabeni/Kontan)
Selengkapnya...

Jeli Bioetanol, Bahan Bakar dari Jerami

Konversi minyak tanah ke gas yang sempat menimbulkan kontroversi dikalangan warga masyarakat beberapa waktu lalu mengundang perhatian kalangan kelompok mahasiswa peneliti dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung yang kemudian berhasil menemukan alternatif pengganti minyak tanah.

Hasil penelitian kelompok mahasiswa Fakultas Farmasi Unpad menemukan bahan bakar yang mereka namakan "Jeli bioetanol" dari bahan utama jerami menjadi pengganti minyak tanah ditampilkan pada Pameran Kreativitas Mahasiswa (PKM) di kampus Unpad Jalan Dipati Ukur Bandung, Kamis (11/6).

Salah seorang mahasiswa peneliti Sylvia, mengatakan jerami yang selama ini dianggap remeh tidak lebih dari sekedar limbah justru mengandung hemoselulosa dan jika dilakukan proses difermentasi dapat menghasilkan etanol. "Etanol merupakan zat mudah terbakar seperti terdapat pada minyak tanah," ucap Restu, anggota kelompok mahasiswa peneliti lainnya.

Bentuk jeli dipilih karena bersifat membungkus etanol dan pembungkusan itu bertujuan menjaga agar etanol tidak mudah menguap. Cara pembuatan jeli bioetanol tersebut cukup mudah, jerami dimasukkan ke dalam tempayan 15 liter yang kemudian diberi ragi.

Setelah itu, etanol menguap dan masuk ke dalam pipa kondensor untuk pengembunan. Kemudian yang muncul ialah cairan yang akhirnya diberi basis jel dan jadilah jeli bioetanol yang siap digunakan sebagai bahan bakar. Penelitian kelompok mahasiswa Fakultas Farmasi Unpad yang dilakukan awal maret 2009 itu dijadwalkan rampung pertengahan Juni 2009.

Tim penelitian mengaku belum akan memasarkan produknya, sebab mereka masih mencari formula tepat. Tapi jika selesai, hasil penelitian itu diharapkan dapat dimanfaatkan kalangan home industry dalam menggerakan usaha sebagai pengganti minyak tanah yang harganya terus melambung dan semakin sulit dicari.
EDJ
Sumber : Ant
Selengkapnya...

101 Ide Bisnis Tanpa Kantor, Apa Itu?

Saturday, June 6, 2009

Bagi anda yang belum mendapatkan pekerjaan, bosan dengan rutinitas kerja kantor dan kemacetan setiap hari, ingin memulai tantangan baru, mungkin anda bisa mulai mencoba usaha sederhana di rumah yang dapat memberikan berbagai keuntungan.

"Pertumbuhan usaha yang dijalankan dari rumah terus meningkat secara signifikan," kata perencana keuangan serta penulis buku Sulistyawati, saat peluncuran bukunya yang berjudul 101 Ide Bisnis Tanpa Kantor di Jakarta, Sabtu (6/6).

Sulistyawati mengatakan, banyak keuntungan yang didapat dengan berbisnis di rumah seperti tidak perlu menyewa tempat khusus, cukup mendesain dan mengatur ulang ruangan rumah untuk dijadikan ruang kerja sesuai yang diinginkan. "Tinggal menentukan ruang mana yang memungkinkan, bahkan ruang tidur pun bisa disulap menjadi kantor," katanya.

Selain itu, tidak perlu waktu khusus untuk berangkat ke lokasi kerja yang bisa memakan waktu berjam-jam akibat kemacetan dan dapat menghindari stres di jalan.

Keuntungan lain adalah, menghemat biaya baik untuk kendaraan, baju, sepatu, tas kerja, makan siang, dan sebagainya, serta waktu kerja yang fleksibel. "Bisa juga melakukan peran ganda seperti mengurus keluarga, serta dapat menjadi potensi peningkatan pendapatan keluarga," ucapnya.

Sedangkan kelemahan berbisnis di rumah, kata Sulistyawati, adanya perasaan terisolir dari lingkungan kerja, kesendirian, pendapatan yang tidak teratur, perasaan jenuh bekerja di tempat yang sama.

Selain itu, ada anggapan usaha di rumah sebagai pekerjaan yang tidak serius dan kurang profesional karena lokasinya di rumah dan tanpa ikatan. "Kendala lain usaha di rumah sering dilakukan tidak kosisten, banyak gangguan seperti dari anak, tetangga, serta adanya perasaan takut gagal," katanya.

Untuk itu, lanjutnya, sebelum terjun ke dalam bisnis sebaiknya mempelajari resiko dan kelemahan sehingga mampu menghadapi segala kemungkinan.

Menurut Sulistyawati, banyak ide bisnis sederhana yang banyak dibutuhkan orang. Sebagai contoh, usaha yang berhubungan dengan kamar tidur seperti produksi seprei dan bed cover, agen atau toko seprei dan bed cover. Contoh lain, yang berhubungan dengan kamar mandi seperti distributor detergen dan pembersih kamar mandi, sabun, lulur, dan peralatan mandi.

"Usaha lain yang banyak dibutuhkan khususnya kaum wanita, seperti salon, butik, penjahit, distributor busana muslim, produksi jilbab, ritel aksesoris, penjual parfum, Multi Level Marketing produk kecantikan, kerajinan aksesoris dan sebagainya," katanya.

Untuk usaha yang berhubungan dengan dapur, kata Sulistyawati, seperti toko sembako, pembuatan kue, katering, kafe, kursus memasak dan membuat kue, penyedia pembantu rumah tangga dan sebagainya.

Sedangkan yang berhubungan dengan anak, lanjut dia, seperti butik perlengkapan bayi, desainer kamar anak, jasa penitipan anak,toko mainan anak dan kado, serta kelompok bermain dan taman kanak-kanak. "Usaha lain seperti penerjemah, agen koran dan majalah, rental buku dan komputer, penulis, kreasi bunga, penyedia jasa kurir, percetakan, budidaya tanaman hias,rental sepeda motor," kata dia.

Sulistyawati juga membagi ide usaha sederhana lainya dari banyak bidang yang dapat di lakukan di rumah dengan modal yang tidak terlalu banyak dalam buku setebal 194 halaman tersebut.

Sulistyawati manambahkan, untuk memulai usaha harus diperhatikan beberapa hal, seperti apakah menyukai bisnis tersebut, adakah keahlian yang mendukung, tahu bagaimana menjalankanya, modal yang cukup, dan ada kaitannya dengan hobi. "Jika jawabannya 'ya' berarti siap memulai usaha tersebut," ucapnya.

Selain itu, harus dibuat perencanaan dan konsep bisnis yang baik, meliputi nama usaha, jenis usaha, rencana pengembangan, keuangan, cara memperoleh dan pengembalian modal, perkiraan laba rugi, rencana pemasaran dan sebagainya..

Sulistyawati juga membagikan tips bagaimana cara menjalankan usaha dan bagaimana memasarkan produk yang baik dalam buku tersebut.

Jadi sekarang anda tidak perlu lagi khawatir memulai bisnis di rumah. Silahkan mencoba...
C8-09
Selengkapnya...

Menikmati Pulennya Laba Bisnis Kreasi Nasi

Monday, June 1, 2009

Meski kita memakannya tiap hari, tapi bisnis jualan nasi tetap saja menggiurkan. Syaratnya, nasi yang dijajakan itu harus unik dan nyantel di lidah.

Adalah Samsianata yang mencoba peruntungan dari bisnis makanan wajib orang Indonesia ini. Agar laku di pasaran, dia mengolah nasi menjadi santapan yang berbeda dari nasi yang biasa kita makan sehari-hari. "Saya menanak beras merah dengan campuran rempah sehingga aromanya harum dan teksturnya lembut," ujarnya.

Sam, panggilan akrabnya, menamakan menu kreasinya itu Nasi Jambronk. Tak hanya memproduksi Nasi Jambronk, Sam juga,menyajikan menu nasi di wadah di bumbung alias bambu, itu sebabnya makanan tersebut diberi nama Nasi Bumbung.

Sam mengawali usaha restoran yang mengandalkan olahan nasi tersebut pada pertengahan 2008 di Yogyakarta. Sesuai harapannya, peminatnya membludak. Omzetnya mencapai Rp 3 juta per hari, atau Rp 90 juta per bulan

Melihat menu racikannya digemari banyak orang, Mei 2009 Sam menawarkan kemitraan restoran Nasi Jambronk dan Nasi Bumbung.

Lewat merek dagang itu, Sam menjajakan aneka makanan seperti Nasi Bumbung Komplit, Nasi Jambronk Babat, Karedok, dan sebagainya. Menu minumannya antara lain teh tarik, teh jaha (campuran jahe, teh dan rempah), dan teh sablenk (campuran mahkota dewa dan jamur). Harga menu di kedai Nasi Jambronk dan Nasi Bumbung berkisar Rp 20.000 - Rp 75.000 per porsi.

Meski belum genap satu bulan melego kemitraan, Sam sudah punya satu mitra. "Satu mitra akan buka dalam waktu dekat di Gading Serpong, Tangerang," ujarnya. Kata Sam, mitra tersebut tertarik lantaran melihat keunikan Nasi Jambronk dan Nasi Bumbung.

Sam menanjkan bisnis ini bakal moncer. Dia menunjukkan contoh restoran miliknya di Kaliurang yang omzetnya Rp 3 juta sehari. Setelah dikurangi berbagai biaya, seperti bahan baku 50 persen, sewa tempat Rp 4,2 juta sebulan, dan gaji 14 pegawai, "Laba bersihnya Rp 500.000 per hari atau 15 persen dari omzet," ujarnya.

Mulai dari Rp 50 juta

Kepada yang berminat menjadi mitra, Sam mensyaratkan calon mitra harus memiliki modal awal Rp 50 juta. Ini untuk gerai dengan kapasitas 40 kursi. "Jika tempat usahanya mencapai 100 kursi,. tentu harganya berbeda," jelas Sam.

Dengan menyerahkan modal awal itu, si mitra akan terikat kerjasama selama lima tahun, mendapat resep, pelatihan karyawan, dan 10.000 lembar brosur. "Mitra juga mendapat ikan di media lokal selama tujuh kali tayang dalani bulan pertama pembukaan restoran," ajar Sam.

Biaya investasi tadi belum termasuk biaya sewa dan renovasi tempat. "Interior gerai harus seragam, mengikuti restoran yang saya punya," ujar Sam. Jika mitra tak ma repot mengurusi tetek bengek pendirian gerai, dia harus menyerahkan modal Rp 200 juta.

Jika gerai sudah berdiri da usaha berjalan, Sam mewajil kan mitra membeli bumbu siap pakai darinya. Harga bumbu tersebut saat ini Rp 70.000 per kilogram. Bumbu sebanyak 1 kilogram cuku membuat 2.000 porsi nasi.

Sam mewajibkan mitra membeli bumbu darinya dengan alasan untuk menjaga standar dan keseragaman citarasa di semua gerai yang bernaung di bawahnya. Jika usahanya sudah jalan si mitra juga harus membayar biaya royalti sebesar 2 persen dari omzet setiap bulannya.

Soal balik modal, Sam menjanjikan mitra bisa balik modal dalam 1,5 tahun dengan asumsi pendapatan kotor si besar Rp 2.5 juta per hari.

(Dessy Rosalina/Kontan)
Selengkapnya...