Followers

Google
 

Aziz Bakhtiar dan Empat Sehat Lima Nekat

Wednesday, April 29, 2009

Dalam menjalankan usaha, seseorang tidak dapat terlalu egois, untuk memajukan usaha pengusaha harus jeli melihat peluang serta minat pasar yang ada. Dengan berprinsip seperti itu, Aziz Bakhtiar dapat mengembangkan usaha jual-beli barang antiknya. Saat ini omzet yang dapat diraup Aziz mencapai Rp 100 juta per bulan.

"Kalau mau sukses, prinsipnya cuma satu, yaitu empat sehat, lima nekat. Yang penting jeli membaca pasar dan nekat," kata Aziz membagi rahasia usahanya.

Sebelumnya pria jebolan fakultas ekonomi Universitas Gajah Mada ini berprofesi sebagai desainer komputer. Namun, pada tahun 1999, ia terpaksa menutup usahanya.

Tak betah menganggur, Aziz pun meneruskan usaha milik keluarganya. Mertua Aziz adalah pembuat keris dan mempunyai galeri di daerah Triwindu, Solo. Awalnya galeri itu hanya diisi keris-keris buatan sang mertua, kemudian Aziz merasa jika ingin usaha keluarga tersebut berkembang, maka ia harus memperlebar sayap usahanya.

"Saya berpikir kalau hanya menjual keris, usaha ini akan jalan di tempat. Lalu saya memutar otak apa yang harus dilakukan untuk memajukan usaha keluarga ini. Setelah beberapa lama memcari cara, akhirnya saya memutuskan untuk menambahnya dengan barang-baranga antik," ujar Azis.

Saat ini, galeri yang ia beri nama Amalia Javacraft&Antique menjual aneka barang-barang antik dan kerajinan khas Jawa lainnya, seperti patung-patung, radio kuno, kliping iklan zaman dulu, dan tidak ketinggalan keris buatan sang mertua.

Pada awalnya Aziz memang mengalami kesulitan dalam memperluas usahanya tersebut, kenalannya dalam hal barang antik masih sangat sedikit. Tak putus asa dengan hal itu, Aziz mencoba menghubungi beberapa relasi sang mertua, selain itu ia juga berburu barang-barang antik ke sekeliling pulau Jawa.

Kerja kerasnya tak sia-sia, dalam hitungan dua tahun jaringannya telah bertambah 3 kali lipat. Usaha Aziz terus berkembang, namun seakan terlena dengan kemajuannya tersebut, ia tidak memerhatikan sistem manajemen usahanya itu. Arus keluar-masuk barang tidak ia perhatikan, jual-beli pun tidak ia catat dengan baik. Akhirnya pada tahun 2004 usahanya rugi cukup besar, nominalnya dalam hitungan miliar rupiah.

"Semua modal dan uang tunai yang saya miliki habis, yang tersisa hanya barang-barang yang ada di galeri. Jumlahnya juga tidak terlalu banyak," kenangnya.

Untuk beberapa saat pria berkulit coklat ini merasa sangat terpukul, ia menyesali kelalaiannya. Setelah merenung beberapa saat, akhirnya ia memutuskan untuk bangkit dan menjalankan usahanya lagi. Dengan bermodal sisa-sisa barang antik yang ada di galerinya, Aziz menjajakan barang-barang antik itu dari toko ke toko.

Ia mengaku awalnya berat melakukan hal itu, badannya terasa memberontak, selain itu tidak mudah menjual barang antik apalagi jika pembeli belum mempunyai kepercayaan kepadanya. Gaya hidup keluarganya pun ikut berubah, sebelum usahanya bangkrut Aziz kerap kali mengajak keluarga makan di restoran. Namun setelah kejadian itu, ia tidak pernah lagi melakukan hal tersebut.

Selama tiga tahun Aziz bersusah payah membangun relasi dan usahanya. Perjuangannya tersebut tidak sia-sia, sedikit demi sedikit ia mengumpulkan jaringan dan kepercayaan dari para mitranya. Kini ia tak perlu bersusah-susah lagi mencari barang antik, jika ada barang antik mitra-mitra kerjanya akan menghubungi Aziz. Dengan para mitranya, Aziz melakukan sistem beli-putus.

Barang-barang dagangannya telah merambah seluruh Pulau Jawa, sebagian pulau Sumatera, Kalimantan, dan Malasyia. Untuk saat ini Aziz memang sengaja tidak melakukan ekspor, ia mengaku tidak cocok dengan sistem pembayarannya. "Kalau diekspor uang baru akan kembali 1,5 bulan kemudian, itu yang membuat saya berat. Lagi pula sekarang sudah ada penerbangan langsung dari KL (Kuala Lumpur) menuju Solo. Jadi banyak turis yang dapat langsung datang ke galeri saya," terangnya.

Untuk konsumen, Aziz lebih melirik kalangan menengah atas. Ia berpendapat, kalangan menegah atas lebih jelas pangsa pasarnya, selain itu peta persaingan antarpengusaha tidak terlalu berat. "Kalau mau diibaratkan, saya ini seperti petani, yang harus memilih mau berjualan di pasar tradisional atau supermarket. Kalau di pasar tradisional saingan sudah banyak, maka saya harus bermain di supermarket yang saingannya masih sedikit," tuturnya.

Untuk mengetahui apa selera pasar atau barang-barang yang sedang tren sekarang, ia rajin mengikuti pameran yang sering diselenggarakan oleh berbagai pihak. Saat ini tantangan terbesar yang ia rasakan adalah pengembangan produk, karena menurutnya masalah permodalan ataupun pemasaran dapat ia atasi.

"Kalau masalah keuangan pasti bisa dicari-cari jalan keluarnya, pemasaran juga begitu. Yang sering bikin saya bingung, barang-barang saya harus ditambah apa lagi karena tidak mungkin usaha dengan barang-barang yang sama terus," kata dia. Oleh karena itu ia mengharapkan bantuan dari pemerintah agar usahanya dan usaha-usaha UKM lainnya dapat berkembang.
RDI
Selengkapnya...

Mutiara Laut Tahuna Berkilau sampai Mancanegara

Sunday, April 26, 2009

Kerajinan mutiara laut mempunyai nilai jual yang tinggi di luar negeri. Tengok saja bagaimana masyarakat Jepang sangat menggemari mutiara laut asal Tahuna, Maluku Utara. Sayangnya, badai krisis mulai menerpa industri ini. Perlahan, permintaan mutiara ini makin berkurang.

Salah satu perajin mutiara laut Tahuna yang sukses adalah Meyke Sukoyo. Nenek dua cucu ini mengaku sudah delapan tahun menggeluti bisnis penjualan mutiara. Omzet penjualan perhiasan mutiaranya sudah mencapai Rp 1 miliar saban bulannya.

Awalnya, bisnis Meyke hanya bergerak di penjualan mutiara polos. Mutiara polos tersebut dijualnya ke beberapa kota di Indonesia, seperti ke Jakarta. "Bisnis mutiara saya tekuni karena jumlahnya melimpah di Tahuna," lanjut ibu 50 tahun ini.

Kemudian, tebersit keinginan Meyke untuk membuat produk perhiasan dari mutiara. Ia ingin produknya tersebut bisa terkenal sampai ke mancanegara.

Dengan pertimbangan yang matang, Meyke lantas mengajukan kredit ke BNI Sangir Talaud sejumlah Rp 350 juta. Modal tersebut digunakannya untuk membeli emas dan berlian yang digunakan untuk mengikat mutiara-mutiaranya. Dengan desain yang indah, mutiara-mutiara laut Meyke terlihat semakin berkilau.

Karena usahanya sukses, Meyke bisa melunasi kreditnya dalam waktu setahun. Setelah lunas, Meyke kembali mengajukan kredit. "Sampai saat ini, total kredit ke BNI sebesar Rp 700 juta," ujar Meyke.

Setiap bulan, Meyke bisa memasok bahan baku mutiara sebanyak 40 kilogram. Dari sekian banyak mutiara, terdapat kelas-kelas khusus. Ada mutiara yang kelasnya Rp 1,5 juta, Rp 1 juta, Rp 500.000, dan Rp 300.000 per gram.

Agar produknya cepat laku dan terkenal, Meyke rajin menyambangi pameran-pameran di luar negeri dan dalam negeri. Salah satu pameran yang selalu diikutinya adalah pameran di Hongkong serta Inacraft. "Kalau orang Indonesia menyukai perhiasan yang kualitas mutiaranya Rp 500.000 per gram. Kalau orang Jepang dan Hongkong suka yang Rp 1,5 juta dan Rp 1 juta per gram," terangnya.

Untuk satu perhiasan, Meyke menjualnya mulai harga Rp 30 juta sampai Rp 80 juta. Dari harga tersebut Meyke mendapat margin 10 persen. Dengan harga tersebut, dalam satu pameran, Meyke bisa menangguk omzet sampai Rp 600 juta. "Pameran Inacraft dua tahun lalu omzet saya Rp 600 juta. Tahun lalu Rp 500 juta. Tahun ini saya tidak tahu karena ada krisis," ujarnya.

Memang, usaha Meyke rawan terpaan krisis. Dua bulan ini saja, omzet penjualan perhiasan mutiara Meyke turun sampai 40 persen. "Saat ini saya hanya bisa bersabar sampai kondisi membaik," ujarnya lagi.

(Aprillia Ika/Kontan)
Selengkapnya...

Laba Ratusan Juta dari Cireng

Thursday, April 23, 2009

ANDA pernah mencicipi cireng? Anda akan mudah menjumpai makanan yang terbuat dari tepung ketela atau singkong ini di Jawa Barat. Warnanya putih dan agak liat ketika dikunyah. Kudapan ini akan terasa lebih lezat jika kita menyantapnya selagi hangat. Jika sudah dingin, cireng akan menjadi lebih alot.

Nah, selama ini, mungkin Anda hanya mengenal aci goreng ini sebagai makanan tradisional ini kerap dijajakan oleh tukang gorengan di pinggir jalan. Meski demikian, jangan sekali-sekali Anda meremehkan kudapan tradisional ini. Seorang pengusaha di kawasan Jakarta Selatan berhasil mengubah imaji cireng sebagai makanan murahan. Di tangannya, cireng malah menjadi mesin mesin uang yang handal.

Pengusaha itu bernama Yusuf Setiady. Kendati baru enam bulan menggeluti bisnis cireng, pencapaian Yusuf luar biasa cemerlang. Kini, saban bulan dia mampu menangguk omzet sampai Rp 120 juta. "Laba saya sekitar 20 persen," klaim Yusuf.

Salah satu kunci keberhasilan Yusuf adalah keberaniannya menciptakan inovasi. la menciptakan produk cireng dengan aneka isi. Misalnya, ia membuat cireng isi keju, oncom, daging sapi, daging ayam, kacang hijau dan cireng isi sosis. Terobosan lainnya, ia tidak hanya menjajakan cireng dalam keadaan matang.

Meski banyak produk cireng yang beredar di pasar, Yusuf mengklaim cireng hasil kreasnya memiliki kekhasan, yakni lebih renyah dan tidak terlalu liat ketika digigit. "Itu, karena saya memakai aci mendoan," kata Yusuf membuka isi dapurnya.

Yusuf membangun usaha cireng ini bersama lima orang temannya yang berasal dari Jakarta dan Bandung. Sebelumnya, hampir 11 tahun
mereka berbisnis tahu. "Modal awal bisnis cireng ini hanya Rp 100.000," tutur pria 39 tahun ini.

Belum ada merek yang melekat pada produk cireng Yusuf. la hanya menyebutnya Cireng Aneka Rasa. Yusuf menjajakan cireng berdiameter sekitar tujuh sentimeter (cm) ini dalam kemasan plastik. Satu plastik berisi 10 buah, dengan lima rasa. Jadi, dalam satu kemasan, ada dua bush cireng yang memiliki rasa sama. "Harga jual di konsumen Rp 5.000-Rp 6.000 per bungkus," kata Yusuf.

Yusuf memproduksi cireng ini di daerah Cibuntu, Bandung, tempat ia memproduksi tahu. Tak kurang, ada 20 orang karyawan yang membantu Yusuf membuat cireng dan tahu. Tapi, Yusuf sendiri lebih banyak menangani pemasaran. Sejauh ini, produknya telah tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Kapasitas produksi dapur Yusuf tergolong besar. Bayangkan saja, Yusuf setidaknya mendatangkan cireng dari Bandung sebanyak tiga kali seminggu. Setiap kali datang, kiriman cireng itu mencapai 50 boks yang masing-masing berisi 50 bungkus cireng. "Pengiriman setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu," kata pria kelahiran Cianjur ini.

Setelah sampai di Jakarta, Yusuf menyebarkan ratusan bungkus cireng tersebut kepada sekitar 30 agen penjualan. Agen lalu menjual lagi kepada pelanggan mereka dan menawarkan ke beberapa perumahan.

Melihat usahanya maju pesat, suami Nurjanah ini mengaku sangat optimistis. Yusuf sudah mengambil ancang-ancang untuk mengembangkan bisnisnya. Di antaranya ia akan memasang merek dan mengejar pengesahan status kelayakan produk dari Departemen Kesehatan.

Yusuf juga ingin menjual cireng dengan sistem gerobak di pinggir jalan. Dengan cara ini, ia berharap penjualannya bisa cepat meningkat. Kini, Yusuf sudah menyiapkan tiga gerobak. Nantinya, pengusaha juga ingin menjajal sistem kemitraan. "Saya akan mencoba bikin master (kemitraan) dulu," ujarnya. (Anastasia Lilin Yuliantina/Kontan)
Selengkapnya...

Gurihnya Keuntungan Bisnis Sosis Bandeng

Monday, April 20, 2009

Aneka olahan ikan 11 bandeng memang udah banyak beredar. Kendati begitu, bukan berarti tak ada peluang bagi produk bandeng olahan lain. Di Bekasi, bandeng diolah menjadi sosis. Tapi jangan keliru, sosis bandeng ini tidak lonjong. Bagian kepala dan ekor ikan tetap dipertahankan.

Ada banyak cara menikmati ikan bandeng. Dulu, bandeng presto sempat menjadi tren. Terobosan ini melindungi para penyantap ikan dari kemungkinan tertusuk tulang bandeng yang begitu banyak.

Kini, ada bandeng olahan dalam bentuk lain. Namanya, sosis bandeng. Beda dengan presto yang hanya membuat duri menjadi lunak, olahan ini memastikan bandeng sudah steril dari duri.

Adalah Imam Tantowi yang menekuni usaha sosis bandeng. Ia merintisnya sejak akhir 2005 di Bekasi. Untuk mendirikan Izzan, merek dagang sosis bandengnya, pria yang disapa Anton ini menggelontorkan modal Rp 1 juta. "Separuhnya saya pinjam dari kakak ipar saya," tuturnya.

Anton menggeluti bisnis ini karena perusahaan media tempatnya bekerja sebelumnya gulung tikar. "Beruntung saya sudah siap-siap," ujar lelaki berusia 35 tahun ini.

Sebelum meluncurkan Izzan, Anton melakukan uji coba resep selama tiga bulan. Racikan yang akhirnya ia pilih adalah menambahkan telor di dalam campuran daging bandeng. "Plus bumbu yang saya racik sendiri," ucapnya.

Teknik membuatnya begini. Pertama-tama, ikan bandeng, telor, dan bumbu di tempatkan dalam satu wadah. Lalu digiling hingga lembut dan dimasak dengan cara tertentu. Sayang, Anton tak bersedia menjelaskan teknik masaknya itu hingga adonan terbebas dari duri ikan.

Setelah matang, olahan ini diletakkan kembali di atas kerangka bandeng yang tinggal kepala dan ekor. "Jadi tetap mempertahankan bentuk asli ikan, tapi kalau dipotong tak ada durinya," kata pria kelahiran Brebes ini. Sosis bandeng Izzan ini bisa dikonsumsi langsung atau dipanaskan lebih dulu.

Untuk menghasilkan sosis yang berkualitas baik, Anton sengaja hanya memilih bandeng hitam. Alasannya bandeng hitam tak bercampur lumpur sehingga dagingnya tidak bau lumpur. Bandeng ini ia beli di daerah Bekasi, Cikarang, Karawang, dan Rengasdengklok. "Saya selalu pilih yang segar dengan harga Rp 15.000 sampai Rp 16.000 per kilogram," katanya.

Kata Anton, apa yang dia sebut sosis bandeng ini sebenarnya sudah dikenal di tiga daerah, yakni di Cirebon, Banten, dan Semarang. Namanya saja yang beda. "Kalau di Cirebon disebut bandeng gepuk, di Banten disebut sate bandeng, sedangkan di Semarang disebut otak-otak," paparnya.

Di mata Anton makanan ini punya nilai bisnis tinggi, hanya saja belum populer. Jika peredarannya bisa diperluas, usaha sosis bandeng ini bisa menghasilkan keuntungan berlimpah.

Anton sudah menebar produknya ke seantero Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Makassar. Semua dia pasarkan dengan bantuan delapan agen penjualan.

Selain itu, Anton juga memasok ke pasar modern seperti Hero, Giant, Farmers Market Kelapa Gading, dan Mal Pondok Indah I. "Termasuk dijual di beberapa restoran Sunda di Jabodetabek," katanya.

Dibantu empat karyawan, dalam sebulan Anton mampu membuat 1.400 kardus sosis bandeng. Satu kardus berisi satu bandeng seberat 185 gram (gr). "Harga di pasaran Rp 15.000 sampai Rp 17.000 per kardus," ujarnya.

Anton memetik omzet Rp 13 juta sampai Rp 15 juta perbulan. Jumlah ini sudah turun sejak Februari lalu. "Dulu bisa antara Rp 15 juta sampai Rp 20 juta," katanya.

Untuk semakin mengembangkan usaha,kedepan Anton sudah berniat untuk melebarkan sayap dengan memasuki pasar Bandung. Alasannya, Bandung memiliki potensi pasar yang besar. "Kota in kerap jadi sasaran wisata bagi masyarakat Jakarta di akhir pekan maupun masyarakat lain," kata pria yang masih melajang ini. (Anastasia Lilin Yuliantina/Kontan)
Selengkapnya...

Monique Kocke, Lewat Kaus "Parental" Raup Puluhan Juta Rupiah

Ibu satu anak berusia 30 tahun ini mendirikan Parental Advisory Baby Clothing, sebuah distro baju anak. Desainnya tak biasa. Misalnya, t-shirt bertuliskan: Kill Sinetron-Kids Against Television, Where’s My Fuckin’ Milk, atau gambar gajah dan tulisan: It’s an elephant not a penis.

Menyeramkan? Ya. Tapi, Monique punya misi lain di balik desain yang ia gagas.

Kapan bikin Parental Advisory Baby Clothing (PABC)?
Sekitar akhir 2006. Ide awalnya sih karena saya enggak menemukan distro anak yang sesuai selera. Tahun-tahun itu di Bandung banyak distro buka, tapi 90 persen cuma menjual produk untuk remaja dan dewasa, enggak ada produk buat anak. Saya juga enggak begitu tertarik dengan baju anak yang kebanyakan ada.
Nah, kebetulan waktu itu saya baru saja melahirkan. Akhirnya terpikir membuat baju anak. Itu pun tadinya cuma buat anak sendiri atau buat anak teman-teman.

Punya latar belakang desain?
Enggak. Saya lulusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran, Bandung. Jadi, saya masuk bisnis pakaian ini ya ibaratnya terjun bebas saja. Selain karena soal selera, saya juga melihat ada peluang di situ. Ya sudah, jalan deh.

Kenapa memilih nama PABC?
Karena dari awal, idenya ingin membuat baju anak yang agak nyeleneh. Selain itu, ada misi yang ingin saya sampaikan. Kalau melihat desain atau kata-katanya, baju-baju PABC kata orang terlalu kasar untuk anak-anak. Padahal, justru sebetulnya saya ingin supaya orangtua yang membeli baju buat anaknya bisa menjelaskan maksudnya ke anak. Anak dapat bimbingan (parental advisory). Jadi, bukan hanya bikin tanpa ada makna apa-apa di balik desain. Rata-rata, desain atau kata-kata PABC ada sejarahnya.

Misalnya?
Contohnya t-shirt bertuliskan Kill Sinetron; Kids Against Television. Itu karena menurut saya, anak sekarang enggak bisa hidup tanpa televisi. Sementara acara buat anak-anak di televisi kita sekarang ini kayaknya enggak ada edukasinya, enggak ada yang pas. Baru sekarang ada "Si Bolang" atau "Laptop Si Unyil" lumayanlah. Sebelum-sebelumnya kan sinetron melulu. Hampir di semua stasiun televisi ada sinetron, dari pagi sampai malam. Jadi, kapan jam-jam anak bisa nonton?
Celakanya kalau orang tua juga suka sinetron. Supaya anaknya diam, anak diajak nongkrong di depan televisi, nonton sinetron. Yang ada anak mengikuti adegan di sinetron. Orang marah-marah, memaki-maki enggak jelas. Itu kan membunuh karakter anak.

Contoh lain?
Ada t-shirt tulisannya Where’s My Fuckin’ Milk? Lumayan laku. Penjualannya bagus terus meski sudah beberapa produksi ulang (repeat). Misi tulisan di desain itu adalah supaya ibu-ibu muda mau memberi ASI eksklusif minimal 6 bulan ke anaknya. Syukur-syukur 2 tahun. Soalnya ada kecenderungan, orang sekarang lebih mementingkan pekerjaan ketimbang hak anak. Nah, minum ASI itu hak anak. Ada kekhawatiran yang enggak perlu, seperti, “Aduh kalau saya nyusuin, bentuk badan jadi berubah”, “Saya enggak punya waktu nyusuin karena harus kerja,” dan sebagainya yang buat saya sangat tidak masuk akal.

Anda sendiri memberi ASI ke putri Anda?
Saya termasuk yang kurang beruntung enggak bisa memberi ASI eksklusif ke anak saya, Magia Calluella Chaszta Az-Zurra (2,8). Waktu itu habis melahirkan, saya harus menjalani operasi, masuk ICU 2 hari. Jadi, enggak bisa langsung kasih ASI. Setelah operasi, ASI jadi terhambat. Saya sudah coba bermacam cara, tapi enggak bisa keluar juga. Saya menyesal sekali. Bukan mau irit, tapi karena itu hak anak. Kalau saya bisa membayar, berapa pun saya akan bayar supaya saya bisa kasih ASI eksklusif ke anak saya. Tapi mungkin saya memang tidak beruntung, ya. Jadi, tolong kalau bisa memberi ASI esklusif, kasihlah anak ASI eksklusif. Kalau bisa yang alami, kenapa harus kasih susu pabrikan?

Efektif enggak pesan-pesan itu disampaikan lewat desain t-shirt?
Cukup efektif karena desain sangat berbicara. Desain Kill Sinetron tadi misalnya, ternyata banyak orang tua yang memang enggak setuju dengan acara-acara yang ada di televisi.

Orang yang enggak mengerti bisa-bisa berkomentar, “Kok kalimatnya seperti itu?”
Makanya ada product knowledge. Jadi kalau ada konsumen, kami jelaskan satu-satu maksud kalimatnya apa. Pernah ada yang berkomentar, “Gila, ini apa-apaan sih maksudnya? Ya saya sih mencoba berpikir positif saja, menerima itu sebagai masukan. Tapi, rata-rata konsumen yang beli di sini adalah pelanggan tetap yang sudah enggak kaget lagi. Ada sih satu-dua orang yang bilang, “Oh, ternyata ada desain begini buat anak?” Ya kami jelaskan saja. Jadi, kami enggak sekadar jual tanpa makna atau misi.

Pendekatan ke pelanggan personal sekali, ya
Betul. Kami ajak pembeli ngobrol dan memberi pengertian. Tapi sejauh ini enggak ada yang komplain sampai ngotot yang gimana gitu. Kami malah banyak melakukan kerjasama, misalnya jadi sponsor acara anak-anak. Jadi, enggak cuma sekadar jualan.

Sekilas seperti kaus dewasa yang dipakai anak, ya?
Bisa jadi ada yang melihat begitu. Tapi anak sekarang lebih kritis, lho. Banyak pelanggan yang datang anaknya memilih sendiri. Karena saya punya anak, jadi saya tahu juga. Dan memang orang tua harus menjelaskan.

Siapa sih yang membuat desain dan kalimat-kalimatnya?
Saya dibantu teman saya, Phaerly. Karena saya enggak punya latar belakang desain, biasanya kalau ada ide di benak langsung eksekusinya saya serahkan ke dia. Saya bikin gambar gunung aja pakai penggaris ha-ha-ha. Paling kalau ada yang kurang saya kasih masukan.

Sekarang sudah ada berapa desain?
Lebih dari 60 desain. Mayoritas warnanya memang hitam, putih, dan abu-abu. Kami sengaja pilih warna-warna tua karena baju anak-anak sekarang kan kebanyakan warna-warna pastel. Kami ingin beda. Dan ternyata banyak yang bilang justru lebih menarik. Karena itu tadi, warna mainstream-nya kan warna-warna pastel yang colourfull. Kami juga pikirkan bahan dan sablon seperti apa yang yang nyaman buat anak-anak.
Model kausnya juga panjang. Kebanyakan baju anak kan pendek di bagian torsonya. Nah, saya sengaja modifikasi. Saya masih ingat kultur orang Timur, kalau bajunya pendek pusarnya jadi kelihatan. Saya lihat masih banyak kok orangtua yang enggak kepingin pusar anaknya kelihatan. Model memanjang kayaknya juga lebih enak daripada ngatung.

Selain kaus, apalagi yang dijual PABC?
Macam-macam, dari diapers bag, tas anak, topi, jaket, celana, sepatu, sandal. Pasarnya lumayan bagus kok. Omzet per bulan kalau sedang ramai bisa Rp 70 juta. Meskipun sekarang sudah mulai banyak brand lain. Di Bandung aja ada sekitar 5 brand yang konsepnya mirip-mirip PABC. Cuma enggak tahu ya, mungkin orang tahu PABC lebih awal, jadi mereka biasanya membandingkan sama produk-produk PABC. Tapi banyak saingan justru bagus karena kami jadi harus berpikir, bikin saya terpacu.

Rencana bisnis ke depannya seperti apa?
Yang jelas saya mau ekspansi. Banyak sih yang minta atau menawarkan kerja sama, cuma belum ada yang menawarkan display sendiri. PABC ini kan baju anak, kalau display-nya disatukan sama baju dewasa, susah. Enggak kelihatan. Apalagi warna-warna kami warna dewasa.

Soal anak, pola pendidikan seperti apa sih yang Anda terapkan?
Saya dan suami sangat terbuka ke anak. Hal-hal yang masih tabu buat sebagian orang, saya sampaikan ke anak. Contohnya pendidikan seks, sudah saya kenalkan ke Magia sejak dini. Jadi, ia sudah tahu lho, proses kelahiran dia, dia keluar dari mana, dia punya vagina, menstruasi itu apa, dan sebagainya. Tapi tentu disesuaikan dengan perkembangannya. Hal-hal kecil seperti ini menurut saya justru jadi starting point yang harus disampaikan sejak dini.

Sambil bisnis, enggak repot punya anak balita ?
Saya selalu mengajari Magia untuk mandiri. Jadi, saya hampir enggak pernah merasakan repotnya punya anak balita. Saya enggak pernah gendong dia, tidur sendiri, saya tinggal pergi juga enggak rewel. Paling-paling dia nanya, “Ibu mau ke mana? Oh, mau nyari duit ya? Buat beli susu ya?” Dari lahir sampai sekarang enggak pernah pakai pembantu atau baby sitter. Semua saya kerjakan sendiri. Dia juga enggak pernah nonton televisi, kecuali acara musik. Kalau musik, 2-3 jam dia betah. Kalau pas kebetulan lihat adegan sinetron, dia malah suka nanya, “Kenapa sih orangnya marah-marah? Memang siapa yang nakal, kok dimarahin?”

Masih suka masak buat suami dan anak?
Oh masih. Suami saya, Mulki Fajar, seorang konsultan IT, jadi kami punya kesibukan sendiri-sendiri. Eh, memasak itu ternyata menyenangkan lho, bisa menghilangkan stres ha-ha. (Hasto Prianggoro/Nova)
Selengkapnya...

Menimang Laba dari Boneka Nan Lucu

Thursday, April 16, 2009

Kalau menyebut boneka, pasti Anda membayangkan mainan anak-anak berbentuk figur manusia yang cantik dan menggemaskan. Namun, banyak pula orang yang tetap suka mengoleksi boneka hingga dewasa dan tua. Selain sebagai benda koleksi, banyak pula yang menggunakan boneka sebagai bagian dari dekorasi ruangan.

Dengan pasar yang begitu besar, tak heran bisnis boneka terus berkembang. Irina Suharto telah menikmati sukses dari bisnis boneka ini. "Boneka saya hand made, bukan pakai mesin," ungkap Irina. Selain itu, ada ciri khas yang unik, yaitu boneka yang mencerminkan etnik tertentu, yang tecermin pada aneka ragam baju yang dikenakan si boneka.

Misalnya, ada boneka yang dibalut baju tradisional Meksiko, Belanda, dan Jepang. Tentu saja ada boneka yang mengenakan pakaian daerah Indonesia. Dengan keunikan itu, tak heran kalau boneka buatan Irina mempunyai daya tarik sendiri di pasar boneka. Lantaran peminat lumayan banyak, dia sampai harus merekrut delapan pekerja untuk memenuhi permintaan pasar.

Meski bisa menjadi teman bermain si kecil, boneka etnik kreasi Irina lebih banyak dipakai orang untuk dekorasi, misal dipajang di ruang tamu.

Irina menggeluti bisnis ini sejak pertengahan 2005. Ide bisnis ini muncul dari kegemaran Irina membuat boneka di sela-sela kesibukannya. "Sejak 1996 saya hobi mengutak-atik boneka dan belajar bikin boneka sendiri," ajar Irina.

Marginnya lebih dari 100 persen

Hobi Irina pun berubah menjadi ladang bisnis tatkala seorang teman mengajak Irina ikut pameran dan memajang boneka bikinannya. Ajang pameran pertama yang diikuti Irina adalah pameran di Brunei Darussalam. "Waktu itu saya bawa 100 boneka yang pernah saya buat," pasar Irina.

Tak disangka, lewat pameran tersebut produk Irina mulai dikenal luas dan diminati banyak orang. Maka, dengan modal koleksi boneka yang telah ia buat sebelumnya, Irina mulai berbisnis.

Seiring meningkatnya permintaan, dia merekrut empat pekerja dan kemudian menambah lagi hingga delapan pekerja. "Saya memproduksi boneka berdasarkan pesanan pembeli," katanya.

Kini, total produksi Irina sekitar 100-400 boneka per bulan tergantung permintaan pasar. Boneka tersebut dijual mulai dari Rp 45.000 untuk ukuran 12 cm sampai Rp 350.000 untuk ukuran 45 cm.

Kini Irina menerima pesanan boneka etnik dari sejumlah negara, di antaranya Brunei Darussalam, India, Jepang, Turki, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Mereka mengenal produk Irina lewat pameran-pameran yang secara rutin ia ikuti. Irina juga memajang produknya di outlet yang ia miliki di Jakarta. Sebagian besar pembeli Irina adalah kolektor.

Menurut Irina, peluang pasar boneka etnik cukup besar, bahkan ia belun bisa memenuhi semua permintaan. "Karena saya mau total menjaga kualitas," katanya.

Irina mengaku, omzet rata-rata per bulan Rp 15 juta. Tapi tingkat keuntungan alias marginnya besar, bisa lebih dari 100 persen.

Bagi yang mau menjajal bisnis ini, menurut Irina, cukup menyediakan modal Rp 3 juta dan Anda bisa menghasilkan 100 boneka. Dalam usaha ini memang bukan uang yang utama. Uang hanyalah modal pendamping. Modal utamanya adalah imajinasi untuk membuat desain baju dan karakter boneka. "Selama ini saya mendapat ide dari buku-buku dongeng yang banyak desain baju lucu," kata Irina. (Dessy Rosalina/Kontan)
Selengkapnya...

A Pramono, Dari Office Boy Jadi Miliarder

Tuesday, April 14, 2009

Kisah perjalanan hidup A Pramono (34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan.
Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?

"Kalau cerita saya dibikin sinetron mungkin akan menarik," kata pria pemilik usaha Ayam Bakar Mas Mono ini ketika bercakap cakap dengan Warta Kota di salah satu kedainya di Jalan Tebet Raya No 57, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Namun, ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.

"Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari. Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih tidur," ujar Pramono.

Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.

Dengan memakai kaus, celana gombrang dan sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran yang bekerja di wilayah tersebut.

"Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood," tutur Pramono sambil memperlihatkan foto lamanya di laptop.

Pria yang menamatkan S3 (maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.

Menurut Pramono, sejak dulu dia suka fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses. Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.

"Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat, sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di bank," ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai persis Rp 1 miliar.

Senang belajar

Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan lebih besar.

Pramono benar, karena kariernya terus meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.

Akhirnya, tahun 2001 dia keluar dart perusahaan tersebut dan memulai usaha dengan berjualan gorengan keliling di seputar,wilayah Pancoran, Jakarta Selatan. Langkahnya rada ekstrem. Sebab, bagi Pramono, untuk memulai usaha tidak perlu banyak berpikir, apalagi menghitung rugi laba. Yang terpenting adalah melakukan action.

"Banyak saudara saya yang tidak terima dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per hari," ujarnya.

Meski menghadapi banyak tantangan, Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir. Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.

"Kalau orang lain mungkin sudah mikir macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah, ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt," tegas Pramono.

Terlepas dart peristiwa itu, beberapa tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai 13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. "Sampai sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya," kata Pramono. (hes/Warta Kota)
Selengkapnya...

Sedapnya Laba Siomay ala Dimsum

Tuesday, April 7, 2009

Perut sudah lapar, namun waktu makan belum tiba. Bisa dipastikan Anda akan mencari cemilan yang setidaknya bisa menenangkan perut yang sedang keroncongan, sembari menunggu waktu makan tiba. Salah satu pilihannya adalah siomay atau kerap juga disebut sebagai soumay.

Selain harganya relatif terjangkau, banyak orang menyukai makanan berbahan dasar tepung dan ikan ini karena rasanya pas dengan lidah orang Indonesia, dan kandungan proteinnya terbilang tinggi.

Hal itu disadari betul oleh Jamilah El Fajriyah ketika memulal usaha Soumay Echo September 2008 silam. Ketika itu, Jamilah melihat masih minimnya makanan alias cemilan yang bergizi tinggi. Pilihannya pun dijatuhkannya pada siomay. "Karena siomay itu dari dulu banyak suka, jadi pasti lebih mudah diterima pasar," ujarnya.

Soumay ala dimsum

Jamilang bilang, idenya berbisnis siomay lahir dari kepedulian sebagai orang tua yang kerap kesulitan mencari makanan sehat bagi anak-anaknya. Makanya Jamilah akhirnya memilih mengolah ikan kakap merah menjadi siomay. "Meski bentuknya siomay, tapi di dalamnya ada ikan bergizi tinggi," ujarnya berpromosi.

Bisnis siomay Jamilah terus berkembang. Jamilah bilang keunggulan siomaynya dibandingkan siomay lain terletak pada cara memasaknya. "Saya memasaknya ala dimsum, kemudian ikan kakap saya selipkan ke dalam siomay," bebernya.

Keunggulan lain yang diklaim Jamilah adalah siomay bikinannya lebih lembut dan harum. Bau harum ini berasal dari daun pisang yang dia gunakan sebagai alas ketika melakukan pengukusan untuk menghilangkan bau amiss ikan kakap.

Selain soumay ala dimsum, Soumay Echo juga menawarkan soumay isi udang, serta makanan khas dimsum seperti ekado. "Tapi ekado bikinan saya berisi ikan kakap yang dibalut kulit tahu," imbuhnya.

Keunikan siomay buatan Jamilah inilah yang mendorong Efrani Amenah mengambil kemitraan Soumay Echo. "Soumay Echo itu khas dimsum, makanya saya yakin pasar akan suka," ungkap Efrani, yang merupakan mitra Soumay Echo di Cijantung.

Ya, meski bisnis siomaynya baru seumur jagung, pada awal tahun 2009 Jamilah telah melalui jalur kemitraan. Jamilah mengaku berani menawarkan kemitraan karena yakin pada kelebihan produknya. "Apalagi cukup banyak juga yang berminat untuk menjadi mitra," ujarnya sumringah.

Sejak melemparkan pola kemitraan, kini jumlah Soumay Echo telah berkembang menjadi 18 gerai. Mitra Soumay Echo tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. "Itu semua punya mitra, saya sendiri hanya mengelola satu booth," kata Jamilah.

Bagi yang berminat menjadi mitra Soumay Echo, Jamilah mensyaratkan biayainvestasi sebesar Rp 5,5 juta. Dari dana itu, sebesar Rp 5 juta untuk booth Soumay Echo, klakat (waduh pembungkus siomay berbahan bambu), kompor, wajan, seragam karyawan, dan sebagainya. Sedangkan yang Rp 500.000 sisanya digunakan untuk bahan baku awal. "Intinya dengan investasi sebesar itu, mitra bisa langsung berjualan," ujar Jamilah.

Minim pengalaman? Jangan khawatir, biaya investasi awal itu sudah termasuk pelatihan karyawan dan alat promosi bagi sang mitra.

Oh ya, kebanyakan kemitraan lain menawarkan paket kerjasama selama lima tahun. namun Soumay Echo terbilang unik, sebab duit yang dibayarkan mitra sebesar Rp 5,5 juta di awal tadi sudah termasuk biaya kerjasama yang berlaku seumur hidup.

Soal lokasi usaha, Jamilah punya kriteria tertentu. Sebelum mengajukan diri menjadi mitra, Anda harus terlebih dahulu mengajukan lokasi usaha. Tentu saja lokasinya tidak bisa sembarangan. "Pastinya harus berdekatan dengan pusat keramaian, seperti pusat perbelanjaan," ujar Jamilah.

Omzetnya Rp 20 juta

Setelah menjadi mitra, tentunya ada kewajiban yang harus Anda penuhi. Salah satunya adalah kewajiban untuk membeli semua bahan baku soumay, termasuk kecap, dan bumbu kacang soumay.

Untuk kecap ukuran 650 ml, misalnya, Jamilah membanderolnya dengan harga Rp 12.500. "Karena kami punya standar khusus kecap. Selain itu kami memproduksi sendiri kecap yang digunakan mitra," ungkapnya.

Yang asyik, marjin dari usaha ini ternyata sangat tebal dan legit. Jamilah mengungkapkan, selisih antara harga beli bahan bakunya bisa mencapai 100 persen. Sekadar contoh, jika mitra membeli satu siomay dengan harga Rp 1.350, nantinya dia bisa menjualnya kembali dengan harga Rp 2.500 sampai Rp 3.000, tergantung lokasi usahanya.

Bagaimana dengan balik modalnya? Jika si mitra bis mencapai target penjualan sebesar Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per bulan, dia bisa balik modal dalam waktu 4 bulan hingga 5 bulan. Tentu, jika penjualan si mitra lebih dari itu, pasti dia bisa balik modal lebih cepat lagi.

Seperti yang dialami Efrani. Setiap bulannya, Efrani yang memejeng boothnya di area foodcourt mengaku bisa meraup omzet sebesar Rp 20 juta.

Dari omzet itu, Efrani bisa mendapat keuntungan bersih Rp 10 juta. Itu setelah dipotong sewa tempat Rp 3 juta per bulan, dan pengeluaran rutin seperti bahan baku, gaji dua karyawan, dan lainnya. "Saya bisa dapat omzet segitu, karena juga menerima pesanan untuk acara seperti ulang tahun dan lainnya," ujarnya. (Dessy Rosalina/Kontan)
Selengkapnya...

Raup Jutaan Rupiah dari Tulang

Dua tahun lalu Beni menjadi korban pemutusan hubungan kerja massal. Ia lalu mencoba beternak lele. Ketika tengah menguras kolam untuk panen, Beni dan rekannya menemukan tumpukan tulang ikan dan ayam, sisa pakan lele. Tiba-tiba muncul ide di kepalanya.

Tulang belulang yang sering kali dianggap orang tak berharga itu mereka ubah menjadi sepeda ontel, naga, motor besar, sampai becak.

Kerajinan dengan bahan baku tulang belulang pula yang membuat laki-laki bernama lengkap Beni Tri Bawono ini mengikuti berbagai pameran kerajinan, di antaranya di Yogyakarta dan Jakarta.

Dalam berbagai pameran itu, miniatur sepeda ontel, monster, sepeda motor gede atau moge seperti Harley Davidson, becak, dan kapal layar diberi harga sekitar Rp 1 juta. Adapun kerajinan berbentuk naga yang panjangnya lebih dari satu meter ditawarkan sekitar Rp 10 juta. Harga yang relatif tinggi, menurut Beni, merupakan bagian dari penghargaan atas kreativitas mencipta.

Bahan baku utama kerajinan itu dari tulang belulang ”gratisan” yang sebagian merupakan limbah warung makan di sekitar rumahnya. Bahan baku kerajinan itu tak hanya tulang ayam, tetapi juga tulang ikan dan tulang bebek. Sebagian besar tulang itu tidak dibentuk sesuai kebutuhan, tetapi kreativitaslah yang disesuaikan dengan bentuk tulang-tulang yang tersedia.

Sadel untuk sepeda ontel, misalnya, dibuat dari potongan punggung ayam, ban sepeda dari leher ayam yang dibentuk melingkar. Jeruji dibuat dari patahan tulang sayap, sedangkan kemudi sepeda dari tulang bebek. Ini yang menyebabkan pembuatan kerajinan seperti sepeda onthel bisa memakan waktu 10-15 hari, sementara untuk membuat naga yang lebih rumit diperlukan waktu hampir empat bulan.

Proses pembuatan kerajinan itu diawali dengan membersihkan tulang dari sisa-sisa daging. Untuk menghemat tenaga, hasil berburu tulang pada malam hari di warung-warung makan itu dia lemparkan ke kolam lele di belakang rumahnya. Setelah tiga hari, tulang itu diangkat dan direndam dalam air berformalin selama sehari semalam. Tulang-tulang itu kemudian dijemur hingga berwarna putih kering sambil sesekali disemprot formalin.

Tulang yang sudah benar-benar kering lalu mulai direkatkan dengan lem, sesuai dengan ide bentuk benda yang muncul. Setelah jadi, sebagai sentuhan akhir, rangkaian itu disemprot dengan cairan pembersih dan disapu dengan pewarna mutiara. Untuk memberi nilai tambah pada produknya, kerajinan itu dimasukkan ke dalam bingkai kaca.

”Kaca bingkainya juga kami potong sendiri dan sengaja dibentuk agar bisa dibuka. Ini supaya orang mudah membersihkannya, cukup disemprot cairan pembersih supaya awet. Asal tidak berada di tempat lembab, kerajinan ini bisa tahan lama,” kata Beni yang tinggal di Kelurahan Kebonbimo, Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Andil rekan

Kreativitas membuat kerajinan tulang yang diberi label nama Boneart-Tlatar itu tak terlepas dari andil teman mainnya sejak kecil, Parmono atau Mono (27), panggilannya. Tentang nama merek produknya itu, kata Beni, ”boneart” untuk menggambarkan kerajinan ini terbuat dari tulang belulang. Adapun ”Tlatar” adalah tempat kelahirannya.

Mono membantu Beni mengurus 13 kolam lele di belakang rumahnya. Memelihara lele adalah usaha yang dijalani Beni untuk menyambung hidup setelah terkena PHK massal dari pabrik tekstil di Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, akhir tahun 2007.

Pada awal tahun 2008, Beni dan Mono mulai memanen lele. Setelah menguras habis air kolam, di tepian kolam teronggok tumpukan tulang-tulang sisa pakan tambahan lele. Mono melihat kepala ayam yang sudah menjadi kerangka. Entah mengapa, ketika itu imajinasinya melayang, membayangkan kepala ayam itu seperti kepala monster. Hari itu juga Mono dibantu Beni mencoba membentuk sosok monster yang tergambar dalam benak mereka.

Hasilnya ternyata lumayan unik meski masih sederhana. ”Monster” itu lalu dipajang di ruang tamu rumah Beni. Beberapa kenalannya yang melihat ”monster” berbahan tulang sisa pakan lele itu tertarik dan memesan produk serupa.

Merasa ada peluang, jiwa bisnis Beni muncul. Dia mengajak Mono membuat lebih banyak kreasi hingga kemudian hasil karya mereka juga diketahui dinas usaha kecil dan menengah setempat. Mereka kemudian diajak ikut pameran ke berbagai tempat dan kota.

”Sewaktu pameran di Yogyakarta, kami sudah mendapat pesanan meski jumlahnya relatif kecil. Namun, karena ini produk kerajinan tangan, memang tak bisa langsung dikerjakan dalam waktu cepat,” katanya.

Duet Beni dan Mono lalu mencoba mengembangkan bentuk selain sosok monster. Mereka mencoba membuat sesuatu yang lebih menantang. Namun, Mono memutuskan untuk berhenti dua bulan lalu. Maka, Beni bekerja sendiri meneruskan usaha kerajinan berbahan baku tulang belulang itu.

Tawaran lewat ”blog”

Meski bisa dikatakan unik, kata Beni, pemasaran produk kerajinan tulang ini masih tertatih-tatih. Ia baru bisa berharap dari pameran ke pameran. Dia masih enggan menawarkan kerajinan tulang itu melalui galeri seni.

”Saya berencana membuat galeri sendiri di rumah, tetapi masih belum terwujud karena terkendala modal. Untuk membuat karya yang dipamerkan di Jakarta saja, saya sudah habis-habisan. Uang dari hasil menjual lele nyaris semuanya dipakai untuk modal membuat kerajinan,” tuturnya sambil menunjukkan belasan kerajinan tulang.

Untuk mengatasi masalah pemasaran, sekitar sebulan lalu Beni dibantu sepupunya mencoba menggunakan jejaring internet. Dia membuat blog yang berisi foto-foto dan narasi singkat tentang kerajinan tulang produknya dalam www.boneart-tlatar.blogspot.com. Namun, media ini masih sangat sederhana, baik tampilan maupun isinya.

”Saya tetap merasa kerajinan ini unik dan bernilai tinggi. Saya berharap setelah pemasarannya bisa lebih luas, saya bisa mengajak orang-orang di kampung untuk ikut membuatnya. Sepanjang ada kreativitas, pasti ada jalan,” ungkapnya optimistis. (Antony Lee)
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Dari Modal Gunting Kain, Henry Kini Punya 800 Karyawan

Monday, April 6, 2009

Pemilik Salon Anata, Henry Setiadi Halim, yang kini memiliki 11 tempat potong rambut di Kota Bandung sudah mencoba-coba memangkas rambut teman dan keluarganya sejak usia 18 tahun. Usaha itu memang berawal dari hobinya memotong rambut.

Namun, teman dan keluarga Henry sering marah karena potongan yang tak sesuai keinginan. Akan tetapi, ia tak patah semangat dan terus menekuni hobinya. "Saya kurang paham, ternyata bentuk kepala berbeda-beda. Apalagi, saya masih pakai gunting kain yang besar," katanya.

Usaha itu pertama kali dibuka di rumahnya, Jalan Emong, Bandung, tahun 1985. Padahal, ia tak pernah sekolah potong rambut dan hanya mengikuti berbagai seminar. Kini, nama salonnya telah terkenal dan termasuk tempat potong rambut yang terbanyak di Kota Bandung.

Tarif potong rambut di Salon Anata dengan total pegawai 800 orang dan sekitar 4.000 pengunjung per hari itu mulai dari Rp 17.000. Ketika baru memiliki satu salon, Henry hanya memiliki delapan pegawai. Kendala bukannya tak ada dalam menggeluti pekerjaan itu. Banyak rekan-rekan Henry berperangai tidak seperti kebanyakan laki-laki. Mereka memiliki perasaan yang sangat halus.

"Saya tak betah dengan lingkungan seperti itu. Sempat saya berniat tak menggeluti lagi profesi pemotong rambut, tapi keinginan itu akhirnya pudar," katanya.

Menurut pria kelahiran 28 Februari 1958 itu, kesulitan terbesar yang dialaminya adalah mempertahankan pelanggan. Para pemotong rambut yang berpengalaman memiliki pelanggan setia. Jika mereka dibajak salon lain, pelanggan akan mengikutinya. Pendapatan pun hilang.

Karyawan yang sudah pintar rawan dibajak. "Sekali pindah, mereka yang keluar bisa berbondong-bondong, apalagi pelanggannya," kata Henry di Bandung, Senin (6/4). (bay)
Selengkapnya...

Menyesap Laba Sirup Markisa

Sunday, April 5, 2009

Buah markisa punya segudang manfaat. Lantaran kandungan nutrisinya tinggi, buah markisa ini mampu menjadi antioksidan kanker. Buah ini juga bagus untuk melawan penyakit infeksi kandung kemih, anemia, alzheimer, jantung lever dan ginjal. Dus, bisa menjadi penenang saraf, penyehat alat reproduksi serta penambah stamina.

Salah satu produsen sirup markisa adalah Amran Sutiono atau Ayung. Pria 31 tahun ini sudah sekitar setahun menggarap prospek sirup markisa. "Sebelumnya saya punya usaha yang dikenal dengan Raja Jus," ujar pria asli Medan ini bersemangat.

Salah satu keunggulan markisa Ayung adalah markisa asli petikan hutan di Medan. Sehingga bahan bakunya sangat terbatas. Setiap minggu, Ayung hanya memasok empat keranjang markisa. Satu keranjang berbobot 60 kilo.

Tak semua markisa Ayung dibuat sirup. Hanya sesuai pesanan saja. "Rata-rata pemesan sangat menggemari rasa asli markisa buatan saya," ujarnya. Agar mudah diingat, Ayung melabeli produknya dengan nama Raja Markisa.

Satu botol sirup markia Ayung dibanderol Rp 20.000. Dari harga tersebut, Ayung hanya mendapat margin sekitar Rp 3.000 saja.

Dalam seminggu, Ayung bisa membuat selusin sirup. Tak heran, saban minggu Ayung minimal meraup omzet Rp 240.000. Akan tetapi, jika musim lebaran tiba, Ayung bisa memproduksi 150 lusin sirup. Saat itu, Ayung bisa meraup omzet Rp 36 juta hanya dalam waktu semingggu.

Sayangnya, karena tanpa pengawet, sirup markisa Ayung tidak tahan lama. Hanya dalam waktu seminggu produk ini bakalan basi. "Kalau mau tahan lama, sebaiknya dimasukkan kulkas, bisa awet sampai dua minggu," celotehnya lagi. (Aprillia Ika/Kontan)
Selengkapnya...

Sate Kuda, Nikmat Omzetnya, Dahsyat Khasiatnya

Thursday, April 2, 2009

Sate daging kuda tak hanya enak, tetapi konon juga berkhasiat menyembuhkan penyakit seperti asma, diabetes, dan mampu meningkatkan vitalitas kejantanan para kaum pria. Tak heran, banyak orang sengaja mencari sate jenis ini. Pemilik usaha ini bisa meraup omzet hingga jutaan rupiah per hari.

Kuda merupakan lambang kekuatan. Jangan heran jika gambar kuda sering diabadikan sebagai logo obat kuat. Bahkan, ada juga mitos yang menceritakan kehebatan Patih Gajah Mada berasal dari kegemarannya menyantap daging kuda saban hari.

Saat ini, masih banyak yang meyakini mitos ini. Alhasil, cukup banyak yang menjual makanan olahan dari daging kuda. Salah satunya adalah sate kuda. Bila bertandang ke Kota Gudeg Yogyakarta, Anda bisa menemui cukup banyak warung yang menjual sate kuda.

Salah satunya adalah warung Sate Kuda Gondolayu di Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta. Warung sate ini cukup terkenal lantaran letaknya di jantung kota. Sandra Sukarti mengelola warung ini sejak tahun 1997. Wanita kelahiran 1965 ini tahu betul bagaimana mengolah daging kuda yang keras menjadi menu nikmat.

Sandra mengaku tertarik berjualan sate kuda setelah melihat manfaatnya. "Selain jadi obat kuat, daging kuda juga bagus buat mengobati penyakit asma," ujarnya. Uniknya, kebanyakan pengunjung warung Sandra adalah kaum Adam. "Mungkir mereka ingin sekuat kuda," kelakarnya.

Sandra mendatangkan bahan baku daging kuda dari Segoyoso, Plered, Bantul. Saat sepi, biasanya ia hanya bisa menjual lima kg daging kuda sehari. Omzet hanya sekitar Rp 500.000 per hari. Tapi, saat musim liburan atau lebaran, warung ini bisa menghabiskan 30 kg daging kuda dan membukukan omzet sekitar Rp 3 juta sehari. "Kalau lagi sepi kami buka sampai jam 10 malam. Kalau lagi ramai, saya sudah tutup jam lima sore," katanya.

Sandra mengolah satu kilogram daging kuda menjadi 10 porsi sate. Harga satu porsi sate yang berisi lima tusuk Rp 10.000. Sementara, harga satu kg daging kuda Rp 60.000. "Margin saya bisa 30 persen," ucapnya.

Daging kuda untuk sate tidak bisa sembarangan. Harus daging has dalam. Bagian tersebut, menurut Sandra, adalah bagian terempuk dari keseluruhan daging kuda. "Kalau daging sapi, biasanya ada di bagian lulur dalam," ujarnya.

Akan tetapi, karena pasokan daging kuda tidak banyak, Sandra kerap mendapat daging kuda yang sudah berumur sehingga dagingnya alot. Untuk mengakalinya, daging kuda yang sudah ditusuk-tusuk diberi pelapis daun pepaya, lantas dimasukkan ke lemari pembeku. "Daun pepaya akan membuat daging menjadi empuk tanpa berubah warna atau berbau," ujarnya.

Selain sate daging kuda, Sandra juga menyuguhkan sate zakar kuda. Namun, untuk mendapatkannya, pembeli harus memesan terlebih dulu. Satu zakar kuda bisa menjadi beberapa tusuk sate. Harganya Rp 100.000 per zakar. "Cukup mahal karena harga zakar mentahan mencapai Rp 70.000," ujarnya. Proses memasaknya juga lebih sulit karena bisa menghabiskan dua liter minyak tanah agar daging lebih empuk.

Di Jakarta, salah satu penjual sate kuda yang laris adalah Haji Salindra di Duren Sawit, Jakarta Timur. Warung ini sudah 1,5 tahun berdiri dan punya banyak langganan tetap. Setiap hari, Haji Lili, sapaan akrabnya, bisa menghabiskan 15 kilogram daging kuda yang didatangkan dari Yogyakarta. Dalam sehari, omzetnya mencapai sekitar Rp 1,5 juta.

Haji Lili membuka warung sate kuda khusus buat pengobatan. la menyarankan agar pengunjung yang kena penyakit diabetes atau masuk angin akut sebaiknya menyantap daging kuda minimal sebulan dua kali.

Haji Lili membanderol harga sate kuda Rp 2.500 per tusuk. Satu porsi berisi 10 tusuk. "Dari harga ini, saya sudah mengantongi margin 30 persen," ujarnya. (Aprillia Ika/Kontan)
Selengkapnya...

Edy dan Briket Kulit Kacang

Sehari-hari Edy Gunarto bergelut dengan kulit kacang. Kulit kacang itu dia masukkan ke dalam sebuah drum besar lalu dibakarnya selama sekitar dua jam. Agar cepat dingin, arang kulit kacang itu kemudian dijemur.
Setelah dihancurkan hingga menyerupai tepung, adonan itu diaduk dengan lem kanji. Proses terakhir adalah mencetaknya menjadi briket siap pakai.

Eny Prihtiyani warga Dusun Plebengan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, DI Yogyakarta, ini menggeluti usaha itu setidaknya sejak lima tahun terakhir. Briket produksinya itu sudah dipasarkan ke berbagai kota, seperti Surabaya dan Jakarta. Sebagian besar pelanggannya adalah kalangan industri rumah tangga.

Gagasan membuat briket kulit kacang muncul ketika Edy menghadapi banyaknya sampah kulit kacang di daerahnya. Sampah itu dibiarkan berserakan di pinggir jalan atau dibuang begitu saja di kebun-kebun. Di rumahnya sendiri, sampah kulit kacang juga tidak kalah banyaknya. Apalagi istrinya adalah pengepul kacang tanah.

”Bila panen tiba, banyak petani yang menjual kacang kepada istri saya. Setelah dikupas, oleh istri saya lalu dijual kepada pedagang pasar tradisional, terutama di Beringharjo. Jadi, sampah kulit kacang di rumah selalu menumpuk,” katanya.

Sampah kulit kacang itu makin menumpuk ketika Edy berhasil membuat alat pengupas kacang dengan kapasitas 2 kuintal per hari. Alat itu terus dia sempurnakan hingga kapasitasnya mencapai 1,5 ton per hari. Alat itu dibuatnya setelah mengamati alat perontok padi karena prinsip kerjanya hampir sama.

”Dengan bantuan alat pengupas, kacang tanah yang tertampung semakin banyak. Tidak hanya dari petani di Bantul, tetapi juga dari wilayah Gunung Kidul dan Kulon Progo. Itu membuat usaha istri saya berkembang pesat. Dampak lainnya, ya semakin menumpuknya sampah kulit kacang di rumah kami,” ujarnya.

Awalnya Edy hanya menjual sampah kulit kacang itu kepada para perajin tahu seharga Rp 30.000-Rp 35.000 per truk. Oleh perajin, kulit kacang dipakai sebagai bahan bakar mengolah tahu.

Setelah mendapat informasi dari berbagai sumber, seperti buku dan pelatihan tentang pembuatan briket, dia pun tertarik membuat briket kulit kacang. ”Saat itu yang diperkenalkan adalah pembuatan briket dari serbuk gergaji. Namun, karena bahan bakunya di tempat saya sulit dan yang tersedia kulit kacang, ya saya coba saja,” cerita Edy.

Eksperimen

Selama masa eksperimen, Edy masih mencampur kulit kacang dengan serbuk gergaji. Dia khawatir, kalau semua bahan bakunya dari kulit kacang, briketnya tidak bisa sempurna. Lambat laun dia mulai meninggalkan serbuk gergaji dan hanya menggunakan kulit kacang.

Keuletan dan ketelatenan Edy melakukan eksperimen membawanya pada satu kesimpulan, yakni briket bisa dibuat dari semua jenis limbah organik. Selain kulit kacang, briket juga bisa dibuat dari bahan baku seperti cangkang jarak, tempurung kelapa, dan tongkol jagung.

Sekarang, bila stok kulit kacang tengah menipis, Edy beralih pada bahan baku yang lain. ”Karena di daerah sini terkenal sebagai sentra kacang, stok kulit kacang praktis selalu tersedia meskipun pada masa-masa tertentu stok kulit kacang kadang memang agak berkurang. Dalam kondisi seperti ini, biasanya saya beralih ke tongkol jagung,” katanya.

Dalam sehari Edy bisa memproduksi sekitar 70 kilogram briket. Setiap 1 kg briket membutuhkan sekitar 2 kg kulit kacang. Jadi, dalam sehari kebutuhan bahan bakunya mencapai 180 kg kulit kacang.

Selain memanfaatkan sampah kulit kacang milik sendiri, Edy juga membeli dari petani seharga Rp 50 per kg. Briket kemudian dia jual Rp 2.500 per kg. Edy menjualnya dalam bentuk kemasan 2 kg.

”Produksinya memang belum terlalu tinggi, padahal permintaannya cukup banyak. Salah satu kendalanya adalah peralatan yang kami gunakan sebagian besar masih tradisional. Kalau saja ada investor yang tertarik, mungkin usaha ini bisa dikembangkan lebih maksimal mengingat potensi sampah organik di sini sangat besar,” ujar Edy.

Sederhana

Semua peralatan yang dipakai Edy memang tergolong sederhana. Ia memodifikasi semuanya sendiri. Latar belakang pendidikan teknik mesin semasa belajar di STM 2 Jetis Bantul ternyata cukup membantu.

Misalnya, untuk mesin pengaduk molen briket, dia membuat sendiri dengan meniru prinsip kerja mesin buatan pabrik. Untuk membuat alat itu, ia menghabiskan sekitar Rp 2 juta, sementara jika membeli di pabrik bisa sampai Rp 5 juta. Untuk mencetak briket, Edy juga memanfaatkan alat cetakan genteng yang sudah dia modifikasi.

Untuk memanfaatkan briket, konsumen tinggal membeli tungku yang terbuat dari tanah liat seharga sekitar Rp 10.000. ”Sebelumnya memang belum ada perajin gerabah yang membuat tungku untuk briket. Ketika itu yang ada tungku dari besi seharga Rp 150.000. Setelah saya bicarakan dengan para perajin, mereka lalu memproduksi tungku gerabah sehingga konsumen tidak kesulitan mendapatkannya,” kata Edy.

Untuk menyalakan briket di tungku gerabah tidaklah susah. Caranya, briket ditaruh di lubang di atas tungku lalu dinyalakan dari atas. Menyalakannya pun tidak sesulit briket batu bara. Untuk menyalakan api, orang bisa menggunakan bantuan secuil kain atau kertas.

Keuletan Edy dalam mengembangkan usahanya ternyata mendapat respons positif. November tahun lalu dia berhasil menggondol juara pertama tingkat nasional kategori pengembangan entrepreneurship yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia bekerja sama dengan Citi Peka.

Penghargaan itu membuat Edy semakin bersemangat. Atas prestasinya tersebut, dia mendapat hadiah Rp 11 juta. Rencananya uang itu akan dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha.

Dia yakin, usahanya akan semakin berkembang mengingat ketersediaan minyak tanah bersubsidi semakin langka. Di wilayah Kota Yogyakarta dan Sleman, misalnya, minyak tanah bersubsidi sudah ditarik, sedangkan di kawasan Bantul kemungkinan hanya sampai Desember mendatang.

”Tanpa subsidi, harga minyak tanah bisa Rp 8.000 per liter. Jadi mungkin akan semakin banyak masyarakat yang beralih pada bahan bakar alternatif,” kata Edy.

Menurut dia, briket buatannya mirip dengan briket batu bara. Setiap 1 kg briket bisa menghasilkan panas hingga sekitar dua jam.

Menggunakan briket untuk bahan bakar memasak juga terhitung lebih irit dibandingkan dengan memakai minyak tanah. Untuk keperluan memasak nasi, sayur, dan lauk, jika menggunakan kompor minyak tanah bisa menghabiskan sekitar satu liter minyak yang harganya sekitar Rp 8.000 (harga nonsubsidi). Jika memakai briket, hanya mengeluarkan uang Rp 2.500.

Selain lebih irit, briket kulit kacang juga tidak menimbulkan asap dan jelaga sehingga tidak mengotori dinding dan peralatan memasak, kata Edy. (Eny Prihtiyani)
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Laba Hangat dari Steak Martabak

Wednesday, April 1, 2009

Martabak merupakan menu yang sudah akrab di lidah kita. Makanan ini paling enak dinikmati saat masih hangat. Selama ini, Anda mungkin hanya mengenal dua jenis martabak: yakni martabak manis dan telur. Tapi, ini bukan berarti tak ada jenis martabak lain lagi.

Paulus Gunawan mempunyai ide membuat martabak yang unik di kafenya. Ia sengaja menyajikan martabak sebagai menu utama. Pria berusia 38 tahun ini juga menyajikan martabak di atas loyang panas seperti steak. la menamakannya steak martabak atau martabak hot plate.

Tak heran, di kafe miliknya yang bernama Martabak House, orang menik mati martabak ibarat makan nasi. "Di sini, orang makan martabak tidak dibawa pulang, tapi dimakan di tempat," ungkap Paulus.

Martabak House menyajikan beragam menu martabak, seperti Martabak Ufo, Steak Martabak Bakar, Crispy Martabak, Martabak Mayo, dan sejenisnya. "Semua bermenu martabak, tapi punya bentuk dan cita rasa unik. Misalnya, Crispy Martabak, yakni martabak telor tapi dibikin garing dengan resep tepung khusus," beber Paulus yang memajang tulisan "Cara asik menikmati martabak" di gerainya.

Berkat keunikan martabak ini, kini Paulus mendulang omzet gede. Tiap bulan, ia bisa mengantongi omzet sebesar Rp 120 juta dari usaha Martabak House di Semarang. Padahal, ia baru mendirikan usaha ini pada Juni 2007. "Sebelumnya, saya sudah jualan martabak di gerobak sejak 1994. Jadi, saya paham betul resep martabak," paparnya. Setelah sukses di Semarang, pada Desember 2008, Paulus membuka cabang Martabak House di Yogyakarta.

Melihat minat masyarakat semakin tinggi, sejak Februari lalu, Martabak House melebarkan sayap dengan menawarkan konsep kemitraan. "Sudah ada lima orang berminat menjadi mitra, tapi saya tolak," tutur Paulus. Sebab, para talon mitra mengajukan lokasi usaha yang tidak cocok. Ia yakin, bisnis ini sukses jika berada di lokasi strategis.

Bila Anda berminat jadi mitra, selain punya lokasi usaha yang strategis, Paulus mematok beberapa syarat lain. Pertama, menyiapkan modal sebesar Rp 25 juta sebagai biaya kerjasama selama lima tahun. Selain itu, Anda juga harus merogoh Rp 40 juta untuk investasi peralatan dapur, seperti kompor, tungku, dan sejenisnya. "Bila ditotal, investasi awal mencapai Rp 100 juta sampai Rp 150 juta," jelasnya.

Paling cepat setahun

Dengan dana investasi awal sebesar itu, mitra bakal mendapat fasilitas peralatan lengkap, pelatihan karyawan, dan bahan baku awal buat usaha senilai Rp 10 juta.

Nantinya, jika bisnis berjalan, mitra wajib setor biaya royalti sebesar 5 persen dari omzet bulanan. Selain itu, agar rasa tetap standar, mitra harus membeli tepung martabak ke Paulus. Harga per bungkus tepung yang cukup buat sekitar tujuh porsi martabak adalah Rp 3.000 - Rp 3.500.

Paulus memperkirakan, mitra bisa balik modal paling cepat setahun dan paling lama dua tahun. Syaratnya, pendapat kotor mitra stabil Rp 4 juta sehari. Jika kurang dari itu atau pengeluarannya lebih mahal, waktu balik modal lebih lambat. Ini terjadi jika mitra membuka usaha di Jakarta dan sekitarnya.

Martabak House Paulus di Semarang bisa jadi gambaran. Saat ini, omzet per bulan mencapai Rp 120 juta. la mengeluarkan Rp 17 juta per tahun buat sewa tempat. Selain itu, ia menghabiskan 50 persen dari omzet per bulan buat belanja bahan baku dan menggaji 15 karyawannya. "Laba bersih sekitar 20 persen," ungkapnya. (Dessy Rosalina/Kontan)
Selengkapnya...