Followers

Google
 

Dengan Kotoran Sapi, Hasil Pertanian Melimpah

Monday, August 31, 2009

Sapi memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dari kotorannya saja, yang sudah diperas menjadi energi biogas, masih bisa dimanfaatkan menjadi kompos organik.

"Semua kotoran sapi berguna, baik yang tidak dipakai untuk biogas maupun yang terpakai. Tidak ada yang dibuang," kata Yaya Sudrajat Sumama, wakil peneliti utama dalam proyek bioelektrik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Desa Giri Mekar, Kecamatan Cilengkrang, Bandung, pertengahan Agustus ini.

Dalam penelitian tersebut, LIPI berhasil mengonversi energi biogas berbasis kotoran sapi menjadi bioelektrik, yakni energi listrik yang bersumber dari bahan organik. "Limbahnya itulah yang kita manfaatkan untuk dibuat kompos," kata pria yang sebelumnya menjadi peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.

Menurut Yaya, limbah biogas bisa langsung digunakan karena mengandung banyak unsur NPK, yakni nitrogen, fosfor, dan kalium. "Ini bagus. Ciri lainnya kalau sudah siap dipakai adalah warnanya hitam pekat dan tidak berbau," ungkapnya.

Tidak hanya itu, ia melanjutkan, kotoran sapi yang tak terpakai dalam proses biogas, juga diolah menjadi pupuk kompos. Namun, kotoran sapi itu mesti dicampur dengan sampah organik dan difregmentasi dengan katalek.

Perbandingannya, ia menambahkan, 1 kilogram katalek untuk 1 ton kotoran sapi. Sementara perbandingan kotoran sapi dengan sampah organik, 1:3. "Katalek adalah hasil pengembangan teknologi LIPI yang mengandung 16 jenis jamur pengurai bahan organik," tuturnya.

Produk sampingan biogas ini sangat menguntungkan warga Desa Giri Mekar secara khusus dan Kecamatan Cilengkrang secara umum. "Karena tahun 2014 Kabupaten Bandung, di mana kecamatan ini berada, akan menjadi daerah pertanian organik," kata Marlan, Camat Cilengkrang, yang dihubungi secara terpisah.

Menurut Marlan, di desa yang menjadi percontohan bioelektrik itu sudah mempraktikkan pertanian organik. Dan hasilnya mencengangkan. "Kami sudah mencoba pada akhir 2008 untuk kedelai di Giri Mekar dengan lahan 2 hektar. Hasilnya 2 kali lipat. Kalau pakai pupuk kimia 1 hektar menghasilkan 0,9 ton, kalau pakai pupuk kompos biogas menjadi 1,8 ton," paparnya.

Untuk itu, ia menambahkan, pihaknya akan terus mendukung usaha biogas di daerahnya. "Sehingga juga terus berimbas pada sektor pertanian," kata Marlan.

Adapun, menurut Yaya, kompos yang merupakan hasil fragmentasi kotoran sapi dan sampah organik ini kemudian dijual. Kalau sudah dihaluskan dan dikemas, harganya Rp 5.000.

Produk yang dikelola oleh koperasi bina usaha Tenaga Listrik dan Mekatronik (Telimek) LIPI Bandung ini mengandung nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, air, dan lain-lain. "Kalau ada yang mau beli kiloan dan masih kasar, harganya Rp 700 per kilogram. Tapi belinya minimal 1 ton," jelas Yaya.

ONE
Selengkapnya...

Terbuka, Peluang Ekspor Batik ke Jepang

Saturday, August 29, 2009

Peluang pemasaran industri batik di luar negeri kini masih terbuka lebar, dengan syarat pengusaha bisa menjaga kualitas dan seni batik tulis yang mengikuti kemauan konsumen, kata perajin batik Cirebon.

"Pangsa pasar batik di luar negeri, seperti Jepang masih terbuka, asal kita bisa menjaga komitmen dengan konsumen," kata perajin batik Masnedi Masina kepada wartawan di Cirebon, Sabtu (29/8).

Masnedi, yang juta Sekretaris Koperasi Batik Trusmi Cirebon itu, menjelaskan ia sudah lama menjalin hubungan dengan konsumen di Jepang dalam memasarkan batik tulis khas Cirebon.

Menurut dia, konsumen Jepang tersebut sangat menghargai karya seni batik dan setiap tahun terus memesan sekitar 30 batik dengan harga di atas Rp 2 juta. "Orang jepang tersebut menanyakan kepada saya, berapa batik yang bisa dihasilkan setiap tahun? Saya jawab, tidak bisa ditarget karena membatik memiliki unsur seni," katanya.

Mendengar jawaban tersebut, konsumen Jepang itu menyampaikan kepuasannya, tambah Masnedi. Ia mengatakan peluang pasar batik di negeri Sakura tersebut masih terbuka luas.

Dalam perkembangannya, konsumen Jepang membawa foto yang harus diterakan dalam pembuatan batik. "Kalau sudah begitu kami tinggal memenuhi permintaan saja," katanya.

Ia mengatakan hingga kini ada enam pelanggan di Jepang yang setiap tahun memesan batik tulis Cirebon. "Kuncinya ialah melayani pelanggan luar negeri tersebut harus tepat waktu. Misal, mereka pesan 15 potong dalam enam bulan, jika hanya selesai 10 potong ia akan marah, jadi harus benar-benar selesai 15 potong," katanya.

Mengenai harga, konsumen Jepang sangat paham karena yang dibeli adalah karya seni batik, tambahnya pula. Karena itu, sekitar 95 persen batik tulis karya Masnedi dikirim ke Jepang. "Alhamdulillah, saya membatik sudah generasi ke tujuh dan kini delapan anak dan mantu sudah mewarisi cara-cara membatik yang berkualitas dan terus dikirim ke Jepang," katanya.
EDJ
Sumber : Antara
Selengkapnya...

Membelah Rejeki dengan Pisau Dapur

Wednesday, August 26, 2009

Sampai dengan Rabu (26/8), 47 perajin pisau dapur dan berbagai peralatan rumah tangga Desa Tenggeles Kecamatan Mejobo, 4 kilometer timur pusat pemerintahan Kabupaten Kudus kebanjiran pesanan, sehingga sebagian besar perajin mentrapkan tambahan jam kerja hingga 3-4 jam/hari. Atau bekerja sejak pukul 07.00 hingga pukul 22.00.

Banjirnya pesanan, menurut Ketua perajin pisau dapur, peralatan rumah tangga Kridho Taruno Wojo Desa Tenggeles, Anis Fanani, mampu mendongkrak produksi hingga 23 persen. Kemungkinan besar akan bertambah lagi, karena berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, setiap menjelang hari pertama puasa hingga 15 hari ke depan, pesanan terus men galir dan produksi melonjak hingga 50 persen. Lebih menggembirakan lagi pembayarannya tunai tuturnya.

Karlani (47) perajin pisau dapur menambahkan, dalam beberapa hari terakhir ia memproduksi 15 kodi, atau 300 buah pisau berbagai ukuran. "Saya cukup menyetor kepada pengepul warga Desa Hadipolo, tetangga Desa Tenggeles. Kemudian dijual berbagai daerah di Pulau Jawa hingga Bali,: tuturnya

Sementara ini ia belum membutuhkan bantuan tenaga kerja, cukup ditangani sendiri bersama anak dan isterinya., sehingga setiap kodi mampu meraih keuntungan bersih minimal Rp 5.000.

Pisau dapur produksi perajin Tenggeles, terdiri 17 jenis yang ukuran berbeda dan berbeda pula fungsinya. "Misalnya untuk mengiris sayur hingga mengiris daging. Harganya dari kami cukup Rp 15.500 hingga Rp 45.000/kodi. Entah dijual berapa di pasaran umum," tambah Karlani.

Anis Fanani yang cukup sering menjadi duta Kridho Taruna Wojo, ke ajang pameran, seminar di. Berbagai kota di Jawa, harga jual yang relatif rendah dibanding dengan harga produk China, bukan berarti kalah kualitas.

"Kami memang bermain sesuai pasar, yaitu pasar tradisional hingga ke pasar swalayan. Kami sebenarnya juga sanggup memproduksi pisau-pisau khusus berharga mahal. Sementara ini hanya sejumlah perajin yang memproduksi sesuai pesanan. Salah satu diantaranya masih dalam proses pengerjaan, harganya Rp 1,5 juta untuk sebuah pisau," paparnya.

Semula di Desa Hadipolo dan Tenggeles yang dikenal sebagai sentra pande besi, memiliki 183 unit usaha, namun karena kesulitan bahan baku, harga mahal dan harga bahan bakar minyak naik, maka sampai dengan Rabu (26/8) tinggal 47 unit. Sebagian besar perajin beralih profesi menjadi pemulung besi rongsokan

Dari 47 unit usaha tersebut bergerak di bidang pembuatan pisau dapur, peralatan rumah tangga (misalnya serok terbuat dari alumunium), menyusul cangkul, sabit, gunting dan sebagainya.

Kepala Dinas Perindustrian, Koperasi dan UMKM Kudus, Djoko Indratmo yang ditemui di ruang kerjanya, berencana menjadikan Desa Tenggeles sebagai klaster pande besi. Jika Desa Padurenan Kecamatan Gebog berhasil menjadi klaster bordir dan konveksi, maka tahun anggaran 2010 kami akan beralih dan mengembangkan Desa Tenggeles,

Menurut Anis Fanani, tanpa dukungan dari pemerintah kabupaten Kudus yang dianggap jauh tertinggal dengan sejumlah kabupaten di bekas Karesidenan Surakarta, sekarang ini Desa Tenggeles sebenarnya sudah menjadi klaster pisau dapur dan alat rumah tangga.

"Kami sebenarnya butuh dukungan pemasaran dan teknologi. Misalnya teknologi tepat guna yang diberikan Universitas Muria Kudus, seperti peleburan alumunium, pengkilap logam, pengasah pisau, sangat membantu perajin," ujarnya.

KOMPAS Natanael Suprapto
Selengkapnya...

Nazil dan Menyulam Pita Indah di Jilbab

Tuesday, August 25, 2009

Melihat sulaman pita di tas cangklong pemberian seorang teman, Nazil penasaran. Maka, mulailah dia mengambil pita dan benang, meniru sulaman itu. Beberapa kali mencoba, akhirnya sulamannya jadi, dan malah merasa hasil sulamannya lebih halus.

Rasa percaya diri mulai menghinggapinya. Tak hanya pada tas, Nazil lantas menyulam pita di jilbab, mukena, dan baju wanita. Ternyata bisa juga. Barangkali, bekal bisa menjahit membuat belajar sulam-menyulam pita otodidaknya cepat berhasil.

"Saya lalu coba-coba menawarkan jasa ke teman-teman, dan tetangga. Awalnya jasa sulaman pita hanya untuk jilbab dan mukena, sebab itu yang saban hari dipakai. Dengan sulaman pita, jilbab jadi terlihat lebih indah dan anggun," ujar Nazil, Senin (24/8), ketika ditemui di rumahnya, di Plosokuning IV Minomartani, Sleman.

Pesanan pun berdatangan. Bahkan beberapa butik meminta jasa sulamannya. Sarjana pendidikan lulusan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini lalu merekrut dua karyawan. Saking sibuknya, pekerjaan lama dia, yakni sebagai instruktur kursus menyulam, mesti ditinggalkan.

Lambat laun, wanita bernama lengkap Nazitul Mubarokah ini merasa perlu memberi nama usahanya. Dipilihlah Syifa Collection , dan resmi dipakai setahun lalu. Nama Syifa diambil dari nama sang anak, yakni Syifa, yang masih balita, sumber inspirasinya.

"Sekarang, langganan tetap saya yakni tiga butik. Untuk pelanggan perorangan, ada beberapa. Mereka, sebagian juga menjual lagi sulaman saya, ke butik atau orang lain. Saya jadi lebih pede, karena jika butik pun merespons hasil sulaman pita saya, berarti kualitas sulaman saya masuk kriteria mereka," ujarnya.

Untuk skala industri rumah tangga, produksinya terbilang lumayan. Sepekan, dari tiga butik tersebut, ia mendapat order sulaman pada 75-150 jilbab. Sedangkan untuk pelanggan perorangan, dalam sepekan bisa datang 10 pesanan jasa sulaman pita. Saat ini, ia baru mengkhususkan pada motif gambar bunga.

Sementara, untuk jasa sulaman pita pada baju, mukena, dan tas cangklong, ordernya belum banyak. Namun sepekan sekali, pasti ada. Ia menetapkan harga bervariasi, Rp 10.000-Rp 40.000 per sulaman, tergantung jenis dan kualitas pita yang dipakai. Untuk motif bunga sederhana, satu sulaman jilbab bisa selesai dalam satu jam.

"Awalnya saya menggambar motif bunga, baru menyulam pada kain jilbab. Ini handmade banget, sehingga pada dua jilbab, walau sketsanya sama, dan sepintas hasilnya nampak sama, namun sulaman antarjilbab sebenarnya tidak bisa sama persis. Pasti beda, tapi itulah uniknya. Menyulam itu gampang-gampang susah, tapi menyenangkan," papar perempuan kelahiran Brebes, 9 Agustus 1979 ini.

Mengapa hasil sulamannya bisa halus? ujung sulaman (dibawah permukaan kain), dikuncinya dengan cara dibakar pakai nyala korek api. Tapi mesti hati-hati... (Lukas Adi Prasetya)
Selengkapnya...

Ladang Emas dari Abon Tuna

Saturday, August 22, 2009

Bermula dari kegemaran makan ikan dalam keluarganya, Nurul Indah Khasanah (36) mencetuskan ide kreatif membuka usaha di bidang makanan ringan abon. Abon yang dibuat pun bukan berbahan daging sapi seperti yang selama ini lazim dikenal, melainkan dari olahan ikan tuna.

Usaha bermodal awal Rp 20 juta ini dilakoni Indah sejak tahun 2007. Meski masih seumur jagung, namun perkembangan usaha yang diberi nama dagang, Abon Tuna Khansa Food ini telah menggurita. Dalam satu bulan, Indah kini memasarkan sekitar 600 kilogram abon tuna bernilai lebih kurang Rp 72 juta.

”Tadinya saya tidak menyangka (usaha) akan jadi sebesar ini,” ujar Indah saat ditemui di rumah sekaligus tempat usahanya di Kayen, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (14/8).

Keluarga dari suami Indah yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan, yang ”menjerumuskannya” dalam bisnis ini. Dari mereka, Indah mempelajari pengolahan berbagai makanan berbahan ikan, termasuk makanan tradisional Palembang, ”sambel lingkung” atau di Jawa dikenal dengan abon.

Dari situ, insting bisnis Indah berjalan. Ia berpikir untuk menjual sambel lingkung yang menjadi menu favorit keluarganya itu dalam bentuk kemasan. ”Awalnya saya tawarkan ke saudara, tetangga, dan teman. Semuanya bilang enak,” katanya.

Indah pun memutuskan menekuni serius bisnis abon tuna ini dan mulai memasarkannya setelah mendesain kemasan dan mengurus segala perizinan usaha ke pemerintah daerah Sleman, DI Yogyakarta. Namun, kesuksesan tidak diperolehnya dengan mudah.

Awalnya, Indah harus bergelut dengan penolakan pasar tradisional karena harga jual produknya yang dinilai tinggi untuk pasaran DI Yogyakarta, yakni Rp 12.000-Rp 20.000 per 100 gram. ”Selain itu, produk makanan berbahan dasar ikan juga kurang familiar bagi masyarakat Yogyakarta,” katanya.

Indah yang sempat putus asa lalu mencoba mengalihkan pasarannya ke supermarket-supermarket yang dinilainya punya konsumen kelas menengah ke atas dan telah cukup familiar dengan produk makanan berbahan ikan. ”Setelah enam bulan berjuang, akhirnya produk saya bisa diterima pasar,” kata ibu dua anak ini.

Saat ini, produk Abon Tuna Khansa dipasarkan di 35 supermarket di DIY. Indah juga memakai strategi pemasaran secara online via situs internet yang dibuatnya.

Hasilnya, produk abon tuna juga sukses merambah keluar DIY melalui 23 agen Khansa Food. Kota-kota yang telah dipasok, seperti Jakarta, Lampung, Bali, Malang, Padang, Kalimantan, bahkan sampai ke Singapura.

Dari awalnya dikerjakan secara manual, berkat perkembangan usahanya itu, Indah kini telah memiliki empat mesin produksi abon tuna dengan kapasitas produksi berkisar 30-60 kg per hari yang dikerjakan empat orang tenaga kerja.

Rempah-rempah

Jenis produk yang dibuat kini juga berkembang menjadi nugget, bakso, dan otak-otak, yang kesemuanya tetap berbahan dasar tuna. Semua produk itu, kata Indah, tidak menggunakan MSG (monosodium glutamat) atau penyedap makanan berbahan kimia.

Indah mengatakan, yang digunakannya sebagai kunci rasa abon adalah paduan dari berbagai rempah-rempah nusantara yang diolahnya. ”Saya tidak bisa sebutkan apa saja rempah-rempahnya karena rahasia perusahaan,” kata perempuan yang sarjana arsitektur ini.

Sebenarnya, berbagai jenis ikan dapat diolah menjadi abon, tetapi Indah memilih ikan tuna karena daging yang tebal dan mudah diperoleh. Tuna juga punya kandungan gizi tinggi karena mengandung Omega 3 dan Omega 6 yang berkhasiat memperkecil risiko serangan jantung dan meningkatkan kecerdasan.

”Kalau ikan tenggiri terlalu mahal, ikan gabus banyak durinya, ikan marlin susah didapat,” ujarnya. Ikan tuna yang diolah juga tidak sembarangan karena harus berberat minimal 50 kg. Jika beratnya kurang dari itu, seratnya akan mudah hancur ketika diolah menjadi abon.

Saat ini, Indah masih bermimpi untuk meluaskan jaringan pemasaran ke seluruh Indonesia dan luar negeri. Dengan produknya itu, ia juga berharap bisa ikut menyukseskan program gerakan makan ikan yang digalakkan pemerintah.

Sumber : KOMPAS
Selengkapnya...

Menyeruput Laba dari Bisnis Es Krim

Wednesday, August 19, 2009

Siapa yang tidak kenal es krim. Kudapan es bertekstur lembut ini disukai banyak orang, mulai anak-anak hingga orang dewasa. Karenanya tak perlu heran jika bisnis ini terus tumbuh subur. Salah satu merek es krim yang sudah berkibar sejak puluhan tahun silam adalah Baltic Ice Cream.


Manajer Pemasaran Baltic Janto Tan menyebut, produk es krim merek Baltic berbeda dengan produk es krim merk lain. Semua bahan bakunya bersifat alami. Misalnya, Baltic selalu memakai susu sapi murni sehingga teksturnya lembut, tapi tak cepat lumer.

Nah, mulai April 2009, pemilik Baltic, Mulya Setiawan, menawarkan peluang waralaba bagi yang ingin menggeluti bisnis es krim. Ada tiga jenis penawaran, yaitu bentuk booth, mini cafe, dan cafe. Tapi sementara, tawaran waralaba ini hanya berlaku untuk Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Saat ini, gerai Baltic ada di empat lokasi, yaitu di Kramat Raya, Meruya, Cibubur, dan Radio Dalam. Rata-rata omzet gerai-gerai itu mencapai Rp 102 juta sebulan. Padahal, itu hanya hasil penjualan melalui sistem pesan-antar alias delivery order.

Balik modal 10 bulan

Jika ingin menjajal model gerobak atau booth, mitra waralaba mesti menyediakan dana Rp 75 juta. Mitra akan dapat satu set peralatan, seperti freezer, coffee maker, cash register, dan bahan dagangan pertama. Investasi itu sudah termasuk franchise fee Rp 25 juta untuk 5 tahun.

Model booth hanya menjual menu es krim, kopi, dan kentang goreng. Model ini lebih cocok untuk lokasi di rest area atau kampus. Harga jual es krim Rp 6.000 hingga Rp 10.000 per cup. Sedang harga kopi Rp 8.000-Rp 12.000.

Untuk jenis waralaba booth, Janto menjanjikan, terwaralaba bisa balik modal 10 bulan. Itu dengan asumsi, mereka mampu menjual sekitar 80-125 jenis produk, dengan omzet Rp 1 juta per hari atau Rp 30 juta per bulan.

Setelah dikurangi royalty fee 5 persen dari omzet, marketing fee 2 persen, sewa tempat, gaji dua pekerja dan bahan dagangan, laba terwaralaba Rp 7,65 juta per bulan.

Modal waralaba tipe mini cafe mencapai Rp 175 juta. Terwaralaba akan mendapat peralatan lengkap, termasuk meja dan kursi. Mereka juga bisa menjajakan menu lebih banyak. Selain es krim dan variasi kopi, ada juga menu ringan ice cream cake, smoothies, dan kentang goreng.

Asalkan mampu meraup omzet Rp 2 juta per hari atau Rp 60 juta per bulan, mitra waralaba jenis ini bisa balik modal 11 bulan. Sebab, setelah dikurangi biaya-biaya, mereka bisa meraup laba bersih Rp 15 juta setiap bulan.

Sementara untuk model cafe, modalnya Rp 275 juta. Tapi mitra harus memiliki lokasi 80 meter persegi dan delapan karyawan. Terwaralaba akan mendapat peralatan lengkap dengan volume yang lebih besar dan eksklusif. Perkiraan omzetnya Rp 3 juta per hari atau Rp 90 juta per bulan. Dengan laba bersih Rp 19 juta per bulan, terwaralaba bisa balik modal dalam 14 bulan.

Meski baru membuka penawaran April lalu, Baltic sudah menjaring empat terwaralaba yang tersebar di Puri Indah, Lippo Karawaci, BSD City, dan Kelapa Dua. (Dupla Kartin/Kontan)


Selengkapnya...

Sepatu Lukis Lagi "Ngetren"

Sunday, August 16, 2009

Sepatu kanvas lukis atau sneaker menjadi tren baru kawula muda sekaligus sebagai media alternatif untuk melukis.

"Kalau sekarang, sepatu lukis atau sneaker ini sedang digandrungi anak muda, khususnya anak SMA dan mahasiswa," kata pengusaha sepatu lukis, Demas Adityha (24), di Jalan Ciwastra Kota Bandung, Minggu.

Ia menjelaskan, tren sepatu lukis itu berasal dari luar negeri, tetapi pada awal tahun 90-an mulai masuk ke Indonesia dan kini semakin digandrungi anak muda yang ingin tampil beda dalam hal berpenampilan.

Dengan sedikit sentuhan kreativitas dari tangan berbakat seperti Demas Aditya atau yang akrab dipanggil Aditya, jadilah sepasang sepatu unik dengan goresan cat di seluruh permukaannya.

Menariknya, sering kali pengusaha sepatu kanvas lukis di berbagai Kota Indonesia, menjadikan slogan "one and only in the world" sebagai daya tarik bagi produk sepatunya.

"Karena dikerjakan dengan tangan, maka lukisan tiap sepatu tak ada yang sama persis. Maka, tak salah bila slogan tersebut disandangkan pada sepatu kanvas lukis yang selalu berbeda tiap pengerjaannya atau ’one and only in the world’," kata Aditya.

Berbagai corak dan warna yang tergores di permukaan sepatu ini telah memikat anak muda, terlebih para wanita. "Kalau di Bandung sendiri, tren sneaker ini semakin digandrungi sekitar awal tahun 2000," kata Aditya.

Untuk harga, sebuah sepatu lukis dijual dengan kisaran harga Rp 50.000 hingga Rp 100.000. "Untuk harga itu bervariasi, tapi bisa lebih murah kalau motif di sepatu yang akan dilukis berdasarkan keinginan pembeli atau sepatunya dari pembeli, kita tinggal melukisnya," ujar Aditya.

Saat ini, motif sepatu lukis yang sedang digandrungi oleh pembeli ialah motif tokoh kartun, logo grup band seperti The Rolling Stone, atau grafiti.

"Kalau untuk motif sendiri, ada tiga motif yang paling banyak diminati pembeli, tapi di antara tiga motif itu yang paling banyak dipesan itu motif grafiti," katanya.

"Perawatannya cukup sulit, karena ada lukisannya itu, sehingga harus dirawat ekstra hati-hati, terutama saat mencuci," kata Aditya.

Sepintas, tak ada yang berbeda dari bentuk sepatu lukis dengan laiknya sepatu biasa, tetapi jika diperhatikan permukaannya, corak yang menghiasi sepatu ini bukan buatan pabrik, melainkan lukisan tangan.

ABI
Sumber : ANT
Selengkapnya...

Meneguk Untung dari Bisnis Es Dawet

Tuesday, August 11, 2009

Es dawet memang khas Banjarnegara, Jawa Tengah. Namun, bukan berarti minuman segar dengan campuran cendol, santan, dan gula itu tak bisa berkembang di daerah lain.

Nun jauh di Sumatera Utara, Hafiz Khairul Rigal, penduduk asli Medan, menjadikan minuman ini sebagai bisnisnya. Orang Medan itu bahkan agresif menawarkan kemitraan es dawet di wilayahnya. Hafiz memilih nama usaha Es Dawet Cah mBanjar untuk usaha dawet yang ia tekuni sejak 2007.

Ia mengaku memang harus mencontek resep kawannya, orang Banjarnegara. Namun, ia memodifikasi resep tersebut dengan campuran nangka, cincau, ketan hitam, atau tape, walaupun tetap menggunakan bahan gula merah asli dari Banjar. Sementara itu, tepung beras, daun suji (pandan), dan santannya bisa dia dapat di Medan.

Sukses dengan 25 gerobak di Medan, Hafiz mulai menawarkan kemitraan. Cara dagang yang ia gulirkan sejak September 2008 menghasilkan 74 mitra baru di wilayah Medan dan Banda Aceh.

Tertarik menjadi mitra? Hafiz mensyaratkan calon mitra menyiapkan biaya Rp 6 juta. Mitra mendapat satu gerobak komplet dengan semua perlengkapan penjualan, seragam, dan training penyajian es dawet.

Hitungan Hafiz, dalam sehari, mitra bisa meraup omzet Rp 300.000, dengan perkiraan penjualan 100 gelas sehari. Harga segelas antara Rp 3.000 dan Rp 7.000, tergantung jenisnya.

Dengan omzet itu, dipotong bahan baku, gaji tenaga penjual, dan royalty fee 2 persen dari omzet, maka keuntungan bersih mitra minimal Rp 2.250.000 per bulan.

Kalau pendapatan segitu kurang nendang, Anda bisa memilih menjadi agen besar. “Keagenan ini lebih tepat untuk luar Medan,” sebutnya.

Calon agen harus menyiapkan investasi awal Rp 35 juta. Dengan jumlah itu, agen akan mendapat tiga gerobak di awal beserta peralatan memasak dawet. Selanjutnya, agen bisa merekrut mitra maksimal hingga 20 gerobak.

Agen berhak memakai nama Cah mBanjar selama 3 tahun. Setiap bulan, mitra harus menyetor royalty fee 1,5 persen dari omzet per gerobak ke manajemen pusat.

Selain dari penjualan sendiri, agen besar ini bisa meraup 10 persen dari penjualan bahan es dawet kepada para mitra di bawahnya. Selain itu, agen mendapat bagian 0,5 persen dari royalty fee mitra, dan komisi Rp 1 juta untuk setiap mitra yang berhasil direkrut.

Alween, salah satu mitra Cah mBanjar di Medan, mengaku bisa menjual sekitar 100 gelas es dawet dalam sehari.

“Pasarnya memang bagus, tapi harus pandai memilih tempat yang ramai dan punya potensi pembelinya,” sebut Alween yang juga seorang mahasiswi Universitas Sumatera Utara yang membuka gerai di dekat perpustakaan kampusnya. (Dupla Kartini/Kontan)
Selengkapnya...

Dluwang, Limbah Koran Jadi Lembaran Uang

Friday, August 7, 2009

Tiga anak muda asal Yogyakarta iseng ikutan seminar soal daur ulang. Iseng pula mempraktikkan ilmunya pada kertas koran. Iseng-iseng berhadiah, tak hanya rupiah tapi juga sunah.

Dluwang, dipelopori tiga sekawan Yunnas Habibillah, Dande Noradi Ardian, dan Briko Alwiyanto. Ketiganya mampu mengubah nilai kertas koran yang rendah kembali berdaya guna menjadi tas-tas cantik nan unik. Mereka memplintir-plintir kertas koran, merangkainya membentuk tas dengan teknik yang hampir serupa seperti tas anyaman dari rotan atau eceng gondok.

"Bener-bener iseng awalnya, plintir-plintir koran, trus jadi. Awalnya belum kuat. Trus kita pikirin lagi gimana supaya tahan air," tutur Dande ketika dijumpai Kompas.com di sela-sela acara Young Enterpreneurs Start up (YES) Competition Award 2009 di Balai Kartini, Kamis (6/8).

Melalui hasil evaluasi akhirnya mereka menggunakan khasiat lem dan pelitur atau antitoksin untuk mengakali agar bahan kertas koran yang sudah dirangkai menjadi tas tersebut tidak mudah hancur ketika terkena air.

Setelah menemui bentuk awalnya pada awal tahun 2008, tiga sekawan ini memutuskan untuk membangun usaha daur ulang kertas koran ini atas merek Dluwang. Dalam bahasa Jawa, dluwang artinya kertas.

"Awalnya kita enggak langsung jual. Kita coba pakai aja yang sudah kita bikin di Festival Kesenian Yogyakarta waktu itu. Lalu ketemu teman yang sedang jalan dengan seorang wisatawan dari Hawaii. Dia kemudian tertarik dan mendorong kami untuk menekuninya," lanjut Dande.

Sejak itu, mereka serius menekuni bisnis daur ulang kertas koran ini hingga kemudian mampu bekerja sama dengan 15 orang pekerja lokal melalui sistem desa binaan. Order dari konsumen diserahkan kepada para pekerja dari desa binaan ini.

Dengan bekerja sama, Dluwang dapat memproduksi 500-700 tas setiap bulannya. Bagian Dande, Yunnas dan Briko sekarang berkisar soal pemasaran. Bukan hanya tas, bisnis daur ulang dikembangkan ke bentuk pigura.

Sebagai produk pendukung, mereka juga membuat pulpen dari ranting pohon dan juga sandal berdesain unik. Tas-tas Dluwang dibanderol pada harga Rp 30.000- Rp 100.000, pulpen Rp 5.000, dan sandal diharga Rp 35.000-Rp 40.000.

Karena keunikan produk dan prospek bisnis yang cerah, merek Dluwang kemudian dipilih sebagai salah satu pemenang dalam YES Competition Business Award 2009 dan berhak memperoleh uang tunai Rp 10 juta serta memperoleh pendampingan dari eksekutif bisnis pilihan Indonesia Business Link (IBL).

Dande mengatakan, dia dan kedua temannya akan tetap serius menggarap Dluwang. Dande mengaku pemasaran yang dilakukan Dluwang baru melalui pameran dan penawaran online melalui alamat website dluwangart.com, menempel di website lain dan akun Facebook. "Melalui online, justru produk kita bisa dikenal luas juga sih," ungkap Dande.

Namun, Dande mengatakan, mereka masih berharap memiliki gerai sendiri di kawasan pariwisata Yogyakarta. Menurut Dande, jika negosiasi berhasil, dalam waktu dekat mereka akan membuka gerai di Jl Rotowijaya Alun-Alun Utara, Yogyakarta. (Caroline Damanik)
LIN
Selengkapnya...

Putu, dari Laptop Pinjaman Sekarang Omzet Miliaran

Thursday, August 6, 2009

Berawal dari sebuah ruangan dan laptop pinjaman seorang teman, Putu Sudiarta membangun penyebaran teknologi dengan cara unik ke seluruh Indonesia hingga mancanegara. Bahkan, PT Bamboomedia Cipta Persada di Jalan Merdeka, Denpasar, Bali, sebagai aktualisasi karyanya itu pun tak pernah sepi dari kunjungan mahasiswa sampai rekan bisnis kecil dan besar.

Lalu, keunikan apa yang membuatnya beromzet miliaran rupiah sejak berdiri tahun 2002 lalu?

Putu Sudiarta yang berperawakan tinggi, kurus, dan berpenampilan sederhana ini pun langsung menunjuk ke sebuah lemari kaca di salah satu sudut ruangan rapat di kantornya. ”Ini adalah lemari sejarah perjalanan Bamboomedia,” katanya sambil tersenyum.

Di dalam lemari itu tersimpan beberapa disket, telepon rumah, brosur-brosur, CD, kabel internet, beberapa buku, serta sebuah hair dryer. Barang-barang tersebut yang mengawalnya menjadi dikenal di dunia teknologi informasi. Ia sendiri pun tak menyangka bisa sebesar sekarang dan banyak pebisnis dan puluhan mahasiswa teknik informatika dengan beberapa bus dari luar Bali mengunjunginya karena penasaran dengan siapa di balik Bamboomedia.

Bamboomedia Cipta Persada dikenal sebagai penghasil perangkat lunak (software) aplikasi komputer untuk perkantoran, pelajar, karyawan, perusahaan besar ataupun kecil, sampai ke anak-anak. Intinya, perusahaan ini hanya mementingkan pendidikan dan bagaimana aplikasi ini bisa menyebar secara benar, baik, mudah, dan murah tanpa batas.

Bayangkan, Putu Sudiarta hanya menjual CD aplikasinya itu mulai harga Rp 25.000 per keping dan kurang dari Rp 50.000 per keping. Tidak berhenti di situ, aplikasinya juga boleh diakses oleh siapa pun dari CD, hanya dengan mendaftar atau membayar sejumlah uang sesuai harga CD tanpa harus datang ke kantornya.

”Kami ingin siapa pun bisa mudah untuk belajar meski jaraknya jauh dari sini. Buktinya, kami memiliki pelanggan di daerah Papua yang hanya dengan mengirimkan pesan singkat untuk mendapatkan nomor registrasi dan transfer uang. Satu CD bisa dipakai berulang kali,” jelasnya.

Sebelum memutuskan pulang ke pulau kelahirannya, Bali, Putu Sudiarta menyelesaikan S-1 di Jurusan Informatika Stikom Surabaya, Jawa Timur, dan pernah bekerja di kota itu. Ia yang lahir dan besar dari keluarga cukup mampu ini mulai merasa iba ketika suatu saat menemui lingkungannya yang serba kekurangan, termasuk sulitnya siswa mengakses teknologi.

Dari pengalaman itu, Putu Sudiarta bertekad mencari cara bagaimana ilmu yang selama ini dia geluti juga bisa dinikmati oleh mereka yang minim bangku pendidikan.

Menurut dia, dunia akan terus berkembang. Namun, apa artinya jika ada bagian dari negara ini masih serba kekurangan hanya karena tak memiliki kemampuan menjangkau dan dijangkau dari perkotaan.

Ia pun bertekad pulang ke Bali. Selanjutnya bersama seorang adik dan seorang temannya, Putu Sudiarta menggalang kekuatan menembus pasar dengan menjual beberapa aplikasi yang sudah disusun secara mudah untuk dicerna dan diikuti tanpa merasa digurui.

Bermodalkan persis sama seperti di ”lemari sejarah”-nya, Putu Sudiarta yang gemar masakan Padang ini terus menggali potensi. Sejak tahun 2002 hingga sekarang, ia sudah menyabet beberapa penghargaan edukasi untuk produk-produknya.

Koleksi produknya pun sudah sekitar 108 produk. Omzetnya pun bisa jutaan rupiah dan pernah mencatat sampai Rp 1,6 miliar. Tapi menurut dia, lagi-lagi ini merupakan bagian dari perjalanan. Baginya, kegigihan menjadi salah satu motivasinya agar air itu pun terus mengalir.

Saat awal membangun Bamboomedia dia hanya berbekal laptop pinjaman untuk menembus pasar melalui Gramedia pada tahun 2003. ”Wah, kala itu bergaya sekali memamerkan aplikasi produk kami kepada pihak Gramedia di salah satu tokonya di Denpasar ini. Padahal, laptopnya pinjaman. Siapa yang tahu, kan?” ujarnya sambil sedikit berkelakar.

Menembus Microsoft

Mimpinya menembus pasar melalui Gramedia pun terkabul. Lalu bagaimana dia bisa pula menggaet Microsoft, perusahaan teknologi informasi besar itu?

Menurut Putu Sudiarta, itu lagi-lagi merupakan sebuah keberuntungan yang tak terkira. Dengan ilmu coba-coba, ia menelepon kantor Microsoft. Singkatnya, setelah diminta menghubungi ini dan itu, dia berangkat ke Jakarta dan lagi-lagi harus memperagakan produknya.

Ia berhasil. Microsoft bersedia menggaetnya sebagai salah satu vendor bisnis. Uniknya, banyak perusahaan bisnis besar yang telah ditembusnya selalu tak percaya dengan keberadaan kantor Bamboomedia yang hanya sebuah rumah sebelum menempati kantor besarnya di kawasan mewah Renon, Denpasar, sekarang ini.

Distribusinya pun terus berkembang hingga ke seluruh pelosok Tanah Air. Termasuk sedikitnya 30.000 perusahaan kecil dan menengah yang sudah menggunakan produknya. Ini juga berawal dari kepedulian dan keprihatinannya terhadap pembajakan.

Bayangkan, jelasnya, para perusahaan kecil dan menengah ini bisa menjadi sasaran empuk dari mereka yang tidak punya hati dengan pembajakan atau permainan harga.

”Kasihan kan, perusahaan kecil dan menengah ini tak bisa maju hanya karena alasan membeli aplikasi untuk usahanya saja mahal sekali. Bisa sampai jutaan rupiah. Kami tidak menginginkan itu. Kami melayani dan memberikan aplikasi yang mudah dan murah agar bisa maju bersama. Bisa menghemat karena cuma dengan puluhan atau kurang dari satu juta rupiah, usaha tetap berjalan dengan aplikasi modern,” katanya. (AYU SULISTYOWATI)
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Ini Dia Belia Pendulang Omzet Jutaan Rupiah

Sebanyak 10 pemuda dan pemudi dinobatkan sebagai pemenang YES Business Competition Award 2009, Kamis (6/8), atas bisnis yang telah mereka bangun dan menghasilkan omzet jutaan rupiah per bulan. Padahal, mayoritas dari pemenang tak berumur lebih dari 30 tahun.

Sebanyak tujuh pemenang dari kategori pemula adalah Darwati (31) dengan usaha Adist Parfum; Erryza Susilo (28) dengan usaha 1001 Bros Cantik; Kiswanto (24) dengan usaha minuman dan makanan Wedang Uwuh Celup, Tortila Chips, dan Kerupuk Jagung; kemudian M Apip Firmansyah (28) dengan lembaga pendidikan Super Tensis English Center; Novianty Tandjung (29) dengan bisnis online tas bermerek Simply Her Style; Nur Anissa Rahmawaty (27) dengan butik online Annisa, Yunnas Habibilah (27) dengan produk daur ulang limbah koran Dluwang.

Sementara tiga orang pemenang dari kategori usaha, yaitu Arian Taufik (22) dengan usaha pulsa Colek D-Cell; Dyah Ayu Setyaningsih (24) dengan berbagai produk kuliner berbahan dasar labu (Pumpkin House) serta Heranggara (22) dengan usaha Angga Craft dari kain atau bahan spanduk.

Direktur Eksekutif Indonesia Business Link (IBL) Yanti Koestoer mengatakan, sepuluh pemenang ini dipilih dari 411 peserta dan dipilih karena produk yang inovatif, strategi pemasaran yang mapan dan memiliki potensi profitable serta dampak ekonomi dan sosial ke masyarakat sekitar.

Tentu saja, syarat-syarat ini ada di para pemenang karena sebagian besar dari mereka telah mampu menghimpun omzet puluhan juta per bulan dari usaha mereka. Sebut saja, Apip yang mampu meraih omzet Rp 25 juta per bulan dari pelatihan bahasanya serta Novianty Tandjung yang mampu meraup omzet Rp 55 juta per bulan.

"Setelah ini, para pemenang akan diberi pendidikan dan mentoring gratis dari para eksekutif korporasi yang sudah kami pilih. Hadiah uang Rp 10 juta yang tadi dipilih itu hanya modal awal," tutur Yanti.

KOMPAS.com Caroline Damanik
Selengkapnya...

Entrepreneurs Expo Sebarkan Semangat Wirausaha

Wednesday, August 5, 2009

Guna menyebarkan semangat kewirausahaan, para pengusaha muda yang tergabung dalam Indonesia Young Entrepreneurship mengadakan Entrepreneurs Expo bertema Creating Synergy of Creativity, Opportunity, Energy & Ethics.

Dalam kegiatan yan g akan berlangsung pada 7-9 Agustus 2009 di Mazee-fX Jalan Sudirman, Jakarta tersebut, sejumlah pengusaha yang telah berhasil bidangnya akan memberikan pemaparan dan berbagai ilmu tentang cara mereka memulai usaha. Terdapat pula workshop membuat rencana bisnis.

Sejumlah pembicara yang akan hadir antara lain Era Soekamto, Rene S Canoneo, Charles Bonar Sirait, dan Sinta Bubu. Sejumlah pengusaha muda akan memamerkan produk mereka di sekitar 30 gerai dan bersedia memberikan penjelasan langsung kepada para pengunjung.

Ketua pelaksana Young Entrepreneurs Expo, Budi Dewobroto mengatakan, acara tersebut terbuka untuk umum tanpa bayaran. "Tidak ada batasan usia, siapa saja yang tertarik dengan kewirausahaan dapat hadir. Termasuk para siswa sekolah menen gah atas atau pun mahasiswa. Ini kesempatan belajar sebanyak mungkin," ujarnya.

Bagi para pengusaha muda sendiri, acara tersebut akan menjadi ajang untuk meningkatkan sinergi bisnis, jejaring sesama serta memberikan pertukaran ilmu dan pengetahuan bisnis diantara sesama anggota.

Pendiri komunitas IYE, Christovita Wiloto mengatakan, Indonesia Young Entrepreneurship sendiri merupakan sebuah komunitas yang semula aktif berhubungan lewat milis dengan anggota sekitar 4000 orang. Sebagian besar merupakan pengusaha kecil menengah yang bergerak di bidang jasa, industri kreatif, dan manufaktur. Selain itu, mereka kerap mengadakan acara pertemuan dan diskusi mengenai kewirausahaan.

"Kendala yang dirasakan para pengusaha umumnya ialah jaringan, pemasaran dan finansial. Lewat ajang tersebut, diharapkan pula tercipta jaringan yang lebih luas," ujarnya.

IN
Selengkapnya...

Triyono, Guru yang Pengusaha Mainan Edukatif

Triyono tergolong orang yang susah diam. Di sela-sela kesibukan sebagai guru sekolah dasar, ia mendirikan usaha pembuatan alat permainan edukatif.

Tidak sekadar membangun usaha beromzet puluhan juta rupiah sebulan, tetapi ia juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang.

Ini belum termasuk 10 kelompok usaha serupa yang dilatihnya dan kini beranjak mandiri.

Setiap bulan Triyono bisa memproduksi sekitar 120 paket alat permainan edukatif untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak. Omzetnya rata-rata setiap bulan Rp 75 juta. Kualitas barang yang memadai dan jenis yang beragam membuat produk milik Triyono merambah berbagai kabupaten dan kota sampai ke Kalimantan dan Sumatera.

Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) Regional II Semarang Ade Kusmiadi mengakui jaminan kualitas produk Triyono. Dia yakin bahwa alat permainan edukatif tersebut mampu bersaing apabila dipasarkan ke luar negeri.

Bahan baku dan cat yang digunakan Triyono, menurut Ade, aman bagi anak-anak. Sayang, upaya ekspor ini masih terkendala minimnya jejaring usaha yang dimiliki perajin setempat. ”Selama ini kami turut membantu memasarkan produk itu ke berbagai daerah. Kami juga sudah meneliti alat permainan yang dihasilkan Triyono itu memiliki makna apa saja, semisal ada yang merangsang emosi atau motorik anak, dan berbagai aspek tumbuh kembang anak,” tutur Ade.

Ia menyebut puzzle sebagai contoh. Puzzle angka yang terbuat dari papan keras berfungsi mengenalkan angka atau huruf, sekaligus melatih motorik halus anak-anak. Balok umum dari kayu mahoni untuk anak usia 4-6 tahun bermanfaat mengembangkan kreativitas, melatih motorik halus, daya cipta, serta mengenalkan bentuk dan ukuran untuk mereka.

Triyono sudah menciptakan dan memproduksi sekitar 180 jenis alat permainan edukatif. ”Syukurlah, hasilnya selama ini cukup baik. Dari usaha ini, saya bisa membeli mobil, sawah, dan kebun. Saya juga masih bisa menabung dan punya cadangan uang untuk pendidikan anak-anak serta biaya naik haji,” tutur Triyono.

Untuk memenuhi bertambahnya jumlah pesanan alat permainan edukatif, Triyono dibantu 18 pekerja. Mereka bisa dibilang bekerja terus-menerus karena pesanan yang diterima Triyono relatif bertambah.

Tengok pula nilai aset produksinya yang sudah mencapai lebih dari Rp 150 juta. Dari usahanya itu, Triyono juga bisa mempunyai ruang pamer berukuran 6 meter x 12 meter di samping rumahnya, di Desa Ujung-ujung, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Modal berani

Padahal, saat memulai usaha alat permainan edukatif ini, tahun 2001, Triyono hanya dibantu seorang pekerja. Modal awalnya pun hanya sekitar Rp 300.000. Uang itu dia gunakan untuk membeli bahan baku dan sejumlah alat pertukangan manual, seperti gergaji, ampelas, dan alat penghalus kayu. Namun, modal seadanya itu lalu dia olah dengan tambahan ”bumbu” keberanian, ketekunan, keuletan, dan pantang menyerah.

Triyono mengaku masa awal usahanya itu relatif penuh tantangan. Dia belum banyak tahu soal alat permainan edukatif. Namun, dia yakin produk itu bakal laku di pasaran karena semakin banyak orangtua yang memberi perhatian lebih baik terhadap pendidikan anak usia dini.

Dia kemudian mencari-cari bentuk alat permainan edukatif itu, dengan belajar dari berbagai buku dan mencoba membuatnya sendiri. ”Ketika mencoba membuat alat permainan edukatif ini, saya tidak langsung jadi. Ya, bisa dibilang saya pun mengalami proses trial and error,” ceritanya.

Berkali-kali ia gagal. Dari kegagalan produk itu pula, Triyono lalu belajar memperbaikinya. Misalnya, saat produk kayunya banyak terbuang akibat jamur. Dia kemudian berusaha mengatasi jamur dengan lebih dulu memasukkan kayu ke dalam oven agar benar-benar kering.

Dia juga pernah tertipu sekitar Rp 14 juta hanya gara-gara kurang teliti. Ketika pesanan datang, Triyono tak meminta uang muka produksi. Oleh karena itu, belakangan ini ia mewajibkan para pemesan memberikan uang muka setengah dari harga barang.

Semangatnya yang tinggi juga dipicu kenyataan bahwa ia tak bisa sekadar mengandalkan gajinya sebagai guru sekolah dasar untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan pendidikan kedua anaknya. ”Saya sampai mencari-cari peluang dengan mendatangi rumah pengelola P2PNFI, yang dulu bernama BPPNFI (Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal). Saya sempat takut ditolak, tetapi terus berusaha memberanikan diri,” kenang Triyono.

Gayung pun bersambut. Barang yang dihasilkan Triyono ternyata cukup memuaskan sehingga BPPNFI ketika itu memesan sejumlah alat permainan edukatif. Instansi itu pula yang awalnya menyebarluaskan produk alat permainan edukatif tersebut ke berbagi daerah hingga pesanan terus berlanjut hingga kini.

Melatih penganggur

Sejak tahun 2006 Triyono juga disibukkan dengan pekerjaan tambahan sebagai instruktur bagi 10 kelompok, yang setiap kelompok terdiri dari 3 orang. Mereka dilatih cara membuat alat permainan edukatif. Anggota kelompok itu sebagian besar penganggur atau siswa yang baru lulus sekolah di Desa Ujung-ujung dan Jembrak, Kecamatan Pabelan.

”Saya mau melatih dan berbagi ilmu dengan anak-anak itu. Buat saya, mereka bukan saingan, tetapi justru mitra usaha. Saat ini enam kelompok di antaranya sudah sangat aktif. Selain memasok produk lewat koperasi yang saya pimpin, mereka juga sudah bisa memasarkan sendiri produknya,” katanya.

Mengelola usaha tak lantas membuat Triyono menganaktirikan tugas utamanya sebagai guru. Ia tetap berusaha membagi waktu dengan baik. Caranya, dengan berbagi tugas dengan sang istri, Siti Munjaemah.

Oleh karena itu, tak heran kalau atas prestasi mengajarnya selama ini, mulai Juli 2009 dia dipercaya menjadi Kepala Sekolah SDN 3 Kopeng di Kecamatan Getasan. ”Saya ingin pembuatan alat permainan edukatif ini lebih berkembang, agar semakin banyak orang muda pengangguran di desa kami yang bisa bekerja,” kata Triyono. (Antony Lee)

Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Shinta, Rezeki Dunia Digital

Tuesday, August 4, 2009

Shinta W Dhanuwardoyo (39) yakin benar, media generasi mendatang adalah media digital. Keyakinan itu mendorong dia masuk ke bisnis ini. Kini, Shinta menuai hasilnya.


Awalnya, Shinta bersama beberapa teman mendirikan PT Bubu Kreasi Perdana (bubu.com) tahun 1996 yang memberikan layanan perancangan situs. Ketika itu belum ada perusahaan sejenis di Indonesia. Sumber daya manusia di bidang itu pun masih minim. Pasarnya belum terbentuk. Orang bahkan belum banyak yang melek internet, apalagi merasa perlu membikin situs.

Namun, Shinta tidak menyerah. Dia berusaha mengedukasi masyarakat agar melek situs internet. Salah satunya dengan menggelar Bubu Awards, semacam kompetisi pembuatan situs. Hingga 2009, kompetisi ini telah berlangsung enam kali.

”Responsnya bagus. Sekarang, Bubu Awards tidak hanya mengompetisikan web design, tetapi juga konsep digital advertising,” ujar Shinta, Chief Executive Officer bubu.com, Selasa (28/7).

Meski edukasi berjalan, bisnis ini awalnya berkembang lambat. Hingga tahun 2000, kata Shinta, baru segelintir perusahaan Indonesia memiliki situs. Baru dua tahun belakangan kebutuhan membuat situs bermunculan.

Fenomena ini, menurut Shinta, antara lain dipicu semakin meluasnya penggunaan telepon seluler, merebaknya situs Facebook, dan krisis ekonomi global. ”Krisis memaksa perusahaan membuat kampanye yang murah, tetapi efektif. Internet kemudian jadi pilihan utama.”

Sejak saat itu, berbagai perusahaan, besar atau kecil, berlomba membuat situs kreatif. Permintaan pembuatan situs yang datang ke bubu.com pun deras berdatangan. Shinta mengatakan, dua tahun terakhir omzet usahanya tumbuh rata-rata 100 persen setiap tahun, tetapi dia tidak bersedia menyebutkan jumlahnya.

Bukan hanya bubu.com, para perancang situs yang bekerja paruh waktu pun kebanjiran order dari dalam negeri dan juga mancanegara. ”Saya sampai sering kehabisan tenaga freelance karena mereka juga sibuk semua,” ujar Shinta.

Pemain baru di bisnis ini pun bermunculan, tetapi menurut Shinta persaingannya belum tajam karena bisnis ini tumbuh terus.

Seiring dengan itu, Shinta memperluas layanan bubu.com dari perancangan situs ke digital marketing. Perusahaan itu sekarang memberikan layanan terintegrasi mulai dari pembuatan strategi kampanye di internet, perancangan, pengelolaan, pemeliharaan, hingga pengembangan situs. Perusahaan itu pun menjelma menjadi semacam perusahaan periklanan digital.

Ini memang zaman digital, Bung! (Budi Suwarna)

Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Menjaring Uang dari Bisnis Ikan Hias

Monday, August 3, 2009

Bisnis penjualan ikan hias ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata. Pasalnya, bisnis tersebut memiliki prospek yang cukup menjanjikan. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan Beni (25) dan Mardiah (55) untuk terus eksis menggeluti bisnis tersebut.

Beni dan Mardiah adalah penjual ikan hias di kawasan kios penjualan ikan hias yang berada di Kompleks Perikanan Balai Budi Daya Perikanan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta, yang berlokasi di Jalan Mohammad Kahfi I, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Di kawasan tersebut terdapat 11 kios penjual ikan hias. Berbagai jenis ikan hias dari harga termurah hingga harga termahal pun dapat ditemui di sana. Misalnya ikan hias jenis maskoki, manvis, komet, neo tetra, cupang, aligator, yuppy, kura-kura, hingga ikan hias jenis arwana. Selain itu, kawasan tersebut juga turut menjual berbagai macam obat-obatan, makanan, dan aksesori untuk ikan hias, seperti blitz-icht, obat untuk penyakit jamur bagi ikan, cacing beku, pelet, akuarium, dan batu karang.

Sebelum dirinya menekuni bisnis penjualan ikan hias, Beni mengaku sempat beternak lobster air tawar, tetapi dikarenakan harga lobster yang semakin lama semakin murah, Beni pun akhirnya memutuskan beralih ke bisnis penjualan ikan hias di kawasan penjualan ikan hias di Kompleks Perikanan Ciganjur pada tahun 2006.

Sedangkan Mardiah mengaku berjualan ikan hias sejak tahun 2003 semenjak sang suami, Didi, pensiun dari pekerjaannya. Saat itu kawasan penjualan ikan hias di Kompleks Perikanan Ciganjur baru didirikan. "Saya jualan ikan hias dari semenjak suami saya pensiun, dari tahun 2003. Dari pas tempat ini pertama kali dibuka," kata ibu tiga orang anak ini saat berbincang dengan Kompas.com di kios ikan hias yang dimilikinya, Minggu (2/8) pagi.

Saat pertama kali mengeluti bisnis tersebut, Beni, yang merupakan sarjana lulusan tahun 2009 Jurusan Ilmu Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor, itu mengaku mengeluarkan modal awal sebesar Rp 23 juta. Sedangkan ibu Mardiah mengaku mengeluarkan modal awal sebesar Rp 20 juta. Namun, dalam jangka waktu satu tahun berjualan, modal awal yang dikeluarkan kedua orang tersebut, diakui mereka berdua, sudah dapat kembali.

"Salah satu alasan saya jualan ikan hias karna prospek penjualan ikan hias ke depan bagus, dilihat dari jumlah pendapatannya yang lumayan bagus dan pertama kali buka tahun 2006 modal awalnya Rp 23 juta, tapi dalam waktu setahun modal sudah balik," kata Beni.

Dari hasil berjualan ikan hias tersebut, Beni mengaku dapat memperoleh keuntungan bersih per bulan sekitar Rp 5 juta. Sementara Mardiah mengaku dalam satu bulan dapat memperoleh pendapatan kotor sebesar Rp 9 sampai Rp 10 juta. Namun, keduanya mengaku, keuntungan tersebut tidak secara langsung didapatkannya dalam waktu yang singkat. Keuntungan tersebut baru didapatkannya setelah mereka berdua berjualan selama hampir dua hingga tiga tahun.

"Dulu pertama kali dagang (ikan hias) sehari saya cuma dapat Rp 30.000 dan itu kotor (bukan keuntungan bersih), dan sebulan paling dapat untung Rp 300.000, malahan kadang cuma balik modal saja, baru sekitar dua tahun jualan pendapatan meningkat menjadi Rp 3 sampai Rp 5 juta-an per bulan," ujar Beni.

Salah satu faktor yang memengaruhi jumlah pendapatan kedua orang tersebut adalah jumlah pengunjung yang datang ke kawasan penjualan ikan hias tersebut. Pada hari-hari biasa, jumlah pengunjung yang datang ke kawasan tersebut hanya sekitar 100-an, pendapatan kotor yang didapatkan kedua orang tersebut pun hanya sekitar Rp 500.000 per hari.

Namun pada akhir pekan, Sabtu, Minggu, dan pada hari-hari libur nasional dan libur anak sekolah, jumlah pengunjung ke kawasan tersebut meningkat drastis, bisa mencapai 1.000 orang per harinya. Omset yang didapatkan Beni dan Mardiah pun bertambah beberapa kali lipat dibanding pendapatan di hari-hari biasa. Bahkan, Beni mengaku sempat mendapatkan Rp 20 juta dalam satu hari (pendapatan kotor). "Saya sempat mendapatkan Rp 20 juta dalam sehari. Waktu itu hari libur nasional," kata Beni.

Meski begitu, keduanya mengaku, krisis ekonomi global yang memengaruhi kondisi perekonomian dunia internasional termasuk Indonesia cukup membawa pengaruh yang besar bagi pendapatannya. Pasalnya, sejak tiga bulan terakhir, April hingga Juni, pendapatan yang diperolehnya cenderung menyusut, bahkan bisa mencapai 50 persen, atau sekitar Rp 2 juta. Hal itu dikarenakan menyusutnya jumlah pembeli yang datang ke kiosnya. "Tapi bulan Juli ini sudah mulai membaik. Hari hari biasa dapat Rp 300 sampai Rp 400.000. Hari Sabtu dan Minggu dapat Rp 3 juta-an. Kalau sebelum krisis, hari biasa dapat Rp 500.000 dan Sabtu, Minggu Rp 5 sampai Rp 10 juta," ujar Beni.

Ke depan, Beni dan Mardiah mengaku akan terus menggeluti bisnis yang ditekuni tersebut. Sebab, selain mendapatkan untung yang relatif besar, kesulitan yang dialami mereka berdua dalam berjualan ikan hias dinilai keduanya tidak terlalu besar. Selain itu, mereka berdua juga merasa optimistis profesi yang dijalaninya tersebut memiliki prospek yang cerah. "Terus jualan ikan hias dong. Soalnya prospek ke depannya lumayan bagus, soalnya sekarang orang makin banyak yang suka sama ikan hias. Kalau masalah susah (kesulitan dalam bisnis ikan hias) semua usaha juga ada susahnya, tapi ketutup sama rasa senang karena kan kita juga hobi pelihara ikan hias. Yah jualan mah enak-enak ajalah," ujar Mardiah.
C10-09
Selengkapnya...