Followers

Google
 

Limbah Kayu Jadi Puzzle Penghasil Laba

Monday, November 30, 2009

Tak semua mainan anak bersifat mendidik. Orang tua memang harus selektif memilih mainan yang tepat bagi si buah hati. Berbekal hal ini, Jumadi menciptakan puzzle sebagai mainan perangsang otak si kecil. Tak disangka, mainan ini laris sampai luar negeri.

Bisnis yang berkaitan dengan kebutuhan anak, termasuk mainan anak, jelas merupakan bisnis menjanjikan. Selama manusia masih berkembang biak di muka bumi ini, maka bisnis yang menyasar anak-anak sebagai konsumen tak akan pernah kehilangan pembeli. Sudah begitu, setiap anak pasti membutuhkan mainan.

Biasanya para orang tua tak keberatan keluar duit untuk membelikan mainan untuk sang buah hati. Bahkan, ayah bunda rela keluar duit banyak jika mainan tersebut bisa merangsang kecerdasan si kecil. Masalahnya, bukan perkara mudah mencari mainan anak yang mendidik. Beberapa jenis mainan malah membuat anak semakin konsumtif.

Bagi Jumadi, seorang pengusaha asal Bantul, Yogyakarta, kondisi tersebut adalah sebuah peluang bisnis. Dia pun membuat mainan puzzle sebagai salah satu mainan alternatif bagi anak. Tak disangka, puzzle berbahan kayu jati buatannya laris manis. Jumadi pun bisa meraup omzet ratusan juta rupiah saban bulannya.

Awalnya, Jumadi merupakan pengusaha mainan anak-anak dan barang rumah tangga dari tempurung kelapa. Waktu itu masih tahun 1991 dan umur Jumadi baru menginjak 36 tahun. Sayang, bisnis kerajinan tempurung kelapa Jumadi kurang berkembang.

Ia pun mencari peluang bisnis lain. Tapi lagi-lagi dia tertambat pada bisnis mainan anak. Muasalnya, tahun 1994 ia bertemu dengan Puji Santoso, yang ternyata gemar menciptakan puzzle kayu berbentuk bola. Darah bisnis Jumadi langsung berdenyut kencang melihat ide bisnis tersebut. Ia pun mengajak rekannya bergabung dalam perusahannya yang dinamakan Jatisae Handicraft.

Seiring berjalannya waktu, Jumadi ikut menciptakan kreasi berbagai puzzle. “Modalnya adalah ketekunan dan pantang menyerah untuk terus mencoba menciptakan model puzzle baru,” ujarnya.

Puzzle buatan Jumadi memang unik. Ada yang berbentuk bola, kubus, silinder, dan sebagainya. Semuanya terbuat dari bahan baku kayu limbah pabrik mebel di Semarang. “Setiap bulan saya butuh lima truk limbah kayu. Harga per truknya Rp 5 juta,” ujarnya.

Merambah alat musik

Di bengkel kerjanya, Jumadi dibantu 30 karyawan mengolah limbah kayu menjadi puzzle. “Ada sebelas tahapan membuatnya,” ujar Jumadi. Ada tahap pemotongan, pencetakan, pengamplasan, sampai tahap memperhalus serat kayu.

Saat ini Jumadi bisa membuat 156 jenis puzzle dengan kapasitas produksi 33.000 unit per bulan. Seluruh produksinya itu habis terjual. Harga puzzle-nya beragam mulai dari Rp 3.000 hingga Rp 150.000 per unit, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan membuatnya. “Omzet saya per bulan sekitar Rp 100 juta,” katanya. Dari omzet segitu, Jumadi mengaku menikmati margin sekitar 30 persen-35 persen.

Usaha puzzle milik Jumadi perlahan tapi pasti terus berkembang. Salah satu kiatnya, ia rajin mengikuti pameran dan festival di Jakarta maupun di kampung halamannya, Yogyakarta. Dengan cara ini, ia kerap mendapatkan pembeli dari luar kota dan luar negeri. Antara lain dari Bali, Surabaya, serta Singapura, Prancis, dan Malaysia. “Kebanyakan, pembeli dari Bali-lah yang menyalurkan puzzle saya ke negara-negara tersebut,” ujarnya kalem.

Sejak 2001, Jumadi berinovasi dengan membuat alat musik, seperti jimbe, gendang, dan alat musik suku aborigin, didgeridoo. “Bahan bakunya dari kayu mahoni di Blitar,” ujarnya. Dalam sebulan, alat musik bikinannya menyumbang omzet Rp 75 juta. “Purwacaraka juga kerap membeli alat musik dari saya,” pungkasnya ceria. (Rizki Caturini /Kontan)

Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Bisnis Jamur Yang Menggiurkan

Sunday, November 22, 2009

Ratidjo memutuskan berhenti sebagai karyawan PT Tuwuh Agung Yogyakarta yang bergerak di bidang ekspor jamur merang ke Amerika tahun 1997. Ia ingin sepenuhnya dekat dengan petani sebagai penyedia bibit. Ratidjo paham benar, jika keadaan petani tidak membaik, terutama dari sisi pemasaran hasil produksi jamur, maka usaha pembibitan yang ia rintis tidak akan berjalan baik.

Sejak itulah lelaki asli Dusun Niron, Pendowoharjo, Sleman, Yogyakarta, ini berniat membuka rumah makan yang khusus menyediakan menu olahan jamur. ”Saya hanya ingin menyerap produksi jamur petani yang waktu itu sudah mencapai hitungan ton setiap hari,” tutur Ratidjo pada awal November 2009 di sela-sela padatnya pengunjung Warung Jejamuran miliknya.

Ide itulah yang menuntun Ratidjo membentuk plasma petani jamur di sekitar wilayah Sleman, terutama sekitar lereng selatan Gunung Merapi. Untuk menyediakan kecukupan bibit, di rumahnya Ratidjo membangun laboratorium untuk pengembangan dan pembibitan jamur.

Kini rumah makan dan laboratorium di atas tanah seluas 2.000 meter persegi itu telah mempekerjakan 110 karyawan. Bahkan, hasil bibit jamur Ratidjo sudah didistribusikan ke seluruh Indonesia. Pencapaian terpenting lelaki yang terjun dalam dunia perjamuran sejak tahun 1968 ini adalah membentuk 50 plasma petani jamur.

”Sekarang seperti manufaktur, saya sediakan bibit, lalu petani membudidayakan, dan saya beli lagi untuk konsumsi lokal di warung. Jadi, kalau budidaya jamur terus bergairah, usaha pembibitan saya akan tetap jalan,” tutur Ratidjo.

Setelah adanya Warung Jejamuran, harga jamur di tingkat petani meningkat. Jika sebelumnya harga jamur tiram Rp 7.000 per kilogram, sekarang Ratidjo membelinya dari petani Rp 9.000 per kilogram. Dulu harga jamur merang Rp 12.000 per kilogram, kini dibeli seharga Rp 17.000 per kilogram. Jika toh terjadi kelebihan produksi, Ratidjo tetap menyerapnya untuk dijadikan olahan jamur kering atau disalurkan kepada pasar swalayan.

Warung Jejamuran yang berlokasi 800 meter ke arah utara dari pertigaan Beran Lor Km 10,5 Jalan Raya Yogyakarta-Magelang itu kini menjelma menjadi ujung tombak pemasaran produksi jamur petani. Setidaknya, dengan sistem kerja sama plasma, petani jamur tak perlu lagi merasa didikte oleh pasar. Ratidjo sejak awal memang bertekad membawa petani keluar dari lingkaran kemiskinan dengan cara membagi ilmu budidaya jamur. Sebuah upaya kecil, tetapi pasti akan sangat berarti di tengah gelimang kesulitan yang terus-menerus menerpa petani kita. (CAN)
Editor: jimbon
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Limbah Kayu Yogyakarta Mejeng di Eropa

Thursday, November 19, 2009

Kecanggihan teknologi komunikasi kini menjadi sarana penting dalam dunia usaha. Transaksi bisnis berlangsung di depan layar kaca. Cara itu yang dijalani Gatot Mujiyana (44), pemilik usaha Amarta Furniture di Jalan Wates Km 3,5 Ngepreh RT 01 /30 No 69, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Ayah tiga anak ini nekat memilih keluar dari perusahaan furnitur tempatnya bekerja pada tahun 1994 dan berniat membuka usaha sendiri. Bekal pengalaman kerjanya itu yang membuatnya menjalani bisnis furnitur dan kerajinan tangan.

Alumnus Pascasarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu lalu memanfaatkan jaringan internet untuk menjual produknya ke luar negeri. Itu dilakukan bukan karena pasar lokal tidak menjanjikan. Menurutnya, banyak negara di Eropa menyenangi hiasan atau furnitur yang terbuat dari kayu jati.

Yang menarik dari bisnis Ketua Umum Komunikasi Ketoprak Kabupaten Bantul (FKKKB) itu adalah pemanfaatan limbah kayu jati. "Saya memanfaatkan limbah kayu jati, seperti akar kayu jati yang dijadikan kursi, tiang lampu hias. tempat buah, bola, dan sebagainya," kata Gatot saat ditemui di kediamannya di Bantul, Yogyakarta, pekan lalu.

Modal awal Gatot hanya sekitar Rp 8 juta, yang digunakan untuk biaya merakit mesin pemotong. Harga barang buatannya yang dijualnya tergolong murah di pasaran luar negeri, namun kualitas tetap terjaga.

Dari bisnis itu, Gatot membawahi sekitar 300 tenaga pengrajin. Tetapi, enam tahun kemudian, bisnisnya ambruk. Pemicunya adalah bom Bali pada 2002. Kondisi itu tak membuat pria bertubuh tambun itu menghentikan produksinya. Hal itu yang, membuat usahanya perlahan bangkit hingga sekarang. Dalam sebulan, Gatot mengekspor tiga kontainer produk furniture dan kerajinan tangan yang senilai Rp 300 juta. "Profit yang saya peroleh minimal 25 persen," kata pria berjenggot itu.

Hampir semua produknya terpajang di Belgia, Jerman, Perancis, Inggris, dan Singapura, mulai dari rumah penduduk, perkantoran, sampai hotel berbintang.

Bisnis perkayuan juga dilakoni oleh Jumadi, pemilik Jatisae Handicraft Industries di Jalan Parangtritis Km 5, Bangunharjo, Bantul, Yogyakarta. Pria yang hanya lulusan STM jurusan pembangunan di Yogyakarta ini sukses memasarkan produk puzzle dari limbah kayu ke negara-negara di Eropa.

"Ada sekitar 156 model yang saya buat sejak tahun 1996 usaha ini dirintis. Sebagian besar model dari keinginan klien," kata Jumadi. Hanya saja, dia menjual produknya separuh ke luar negeri dan separuh lagi ke pasar lokal. Omsetnya saat ini sebesar Rp 75 juta per bulan.

Komitmen Delia, Gatot Mujiana, dan Jumadi dalam berbisnis hanya satu, yakni terus bersemangat dalam menjalani usaha. Sebab, dari semangat itu lah banyak jalan keluar diperoleh dalam perjalanan bisnisnya. (Tri Broto)
Editor: Glo
Selengkapnya...

Omzet Rp 100 Juta dari Jus Mengkudu

Bentuk buah mengkudu atau pace yang bopeng-bopeng memang tak menarik. Baunya pun sungguh tak sedap. Namun, sudah lama orang mengenal mengkudu sebagai buah berkhasiat mengobati berbagai penyakit, mulai penyakit ringan sampai penyakit berat macam kanker. Mengkudu juga dipercaya bisa membantu menurunkan berat badan.

Lantaran memiliki banyak khasiat itulah orang mengolah mengkudu menjadi berbagai produk, salah satunya adalah jus mengkudu. Usaha jus mengkudu terus bertumbuh seiring semakin banyaknya orang yang menyadari khasiat jus mengkudu.

Salah satu yang merasakan nikmatnya berbisnis jus mengkudu adalah Philipus P. Soekirno. Pengusaha yang berdiam di Jakarta ini menjual jus mengkudu merek Morinda.

Philipus terjun ke bisnis bisnis jus mengkudu setelah merasakan sendiri manfaat jus buah ini.

Pengusaha berusia 61 tahun ini pernah menderita gagal ginjal, lever bengkak, jantung koroner dan asam urat tinggi. Saat itu, harapan hidup Philipus sudah tipis. Atas saran keluarga, dia pun rajin mengonsumsi jus mengkudu. Hasilnya, penyakit Philipus berangsur sembuh. “Sekarang, saya hidup normal tanpa pantang makan apapun,” ujarnya.

Setelah sembuh, Philipus mempelajari cara mengolah mengkudu jadi minuman yang enak dikonsumsi. Buah mengkudu termasuk sulit diolah. Sebab, di atas buahnya terdapat lapisan lilin yang berbahaya. Apalagi buah ini memiliki banyak biji. “Untuk mengolah mengkudu butuh suhu ruangan kira-kira 10 derajat celcius agar tak banyak jamur dan bakteri yang berkembang,” ujarnya.

Setelah menguasai teknik pengolahan jus mengkudu, mulai 2007 Philipus memulai usahanya. Bermodal Rp 250 juta dari Kredit Usaha Rakyat (KUR), Philipus membeli peralatan mengolah mengkudu dan membuka outlet di Jakarta Pusat. Awalnya, dia hanya bisa mengolah 200 kg-500 kg mengkudu seminggu. Saat itu, omzetnya Rp 20 juta tiap bulannya.

Nyatanya bisnis Philipus berkembang pesat. Kini Philipus mampu mengolah 1 ton sampai 2 ton mengkudu per minggu. Dari situ, Philipus bisa mendapat omzet sekitar Rp 100 juta per bulan. “Penjualannya sangat bagus,” kata Philipus sumringah. Philipus mengaku bisa memperoleh margin 60 persen dari penjualan jus mengkudu.
(Aprillia Ika/Kontan)


Editor: Edj
Selengkapnya...

Komunitas Djadoel, dari Hobi ke Bisnis

Sunday, November 15, 2009

Dalam suatu mimpi, Yanuar Christianto (39) datang ke sebuah toko mainan. Secara fisik, bangunanya sama sekali tidak menarik. Berdebu dan kotor. Hal serupa juga tampak dari mainan yang dijual, layaknya dagangan yang tak kunjung laku.

Ketika mentari telah bersinar, tanpa menghiraukan mimpinya, ia berkeliling Jakarta dengan sepeda motornya. Arah mana yang ia tuju hasil dari bisikan hatinya. Berjalan dan terus berjalan, melewati Jalan Gajah Mada lalu ke Jalan Hayam Wuruk, dan terus menuju ke Utara. Sampai di suatu tempat, yang ia sendiri tidak tahu di mana, Yanuar kaget tak terkira. Saat ia memberhentikan motornya untuk istirahat, dan menoleh ke kiri, tampak olehnya toko mainan yang ada dalam mimpinya.

Masih dengan rasa tidak percaya, Yanuar mengayunkan langkah menuju toko tersebut. Belum sempat ia bersuara, matanya telah menangkap kardus lusuh berisi mainan-mainan. “Saya borong semuanya. Ini terjadi pada akhir tahun kemarin,” kata Yanuar, kolektor mainan, kepada Kompas.com dalam kesempatan Atraksi Kota Tua di Taman Fatahillah Jakarta, Minggu (15/11).

Yanuar adalah salah satu anggota Komunitas Djadoel, komunitas pencinta barang antik, yang berdiri pada Mei 2009. Ia mengaku laki-laki yang kesehariannya bekerja sebagai waitress di Kapal Pesiar berbendera Italia ini dari umur 5 tahun gemar mengumpulkan barang. Didukung pekerjaannya, koleksinya berasal dari banyak negara seperti Italia, Malta, Spanyol, Perancis, Inggris dan Jerman. “Kalau di jalan saya menemukan skrup atau baut, saya bawa pulang dan ditaruh dalam kotak korek api. Sampai banyak,” papar Yanuar.

Anggota komunitas lainnya, Muchlis Amir (57) juga mengumpulkan barang antik bermula dari hobi. Dari sekian banyak barang, ia memilih kalender untuk dikoleksi. Dalam perjalana waktu, kalender koleksinya yang mulai tahun 1940-1980 banyak dicari orang. "Mereka ingin tahu hari lahirnya kapan. Juga apakah bertepatan dengan hari besar (agama maupun nasional). Di kalender juga ada hari pasaranya,” ujar pensiunan pekerja swasta ini.

Lebih lanjut, anggota komunitas ini tidak sekadar mengumpulkan barang. Tetapi juga menjualnya, karena pasar untuk barang-barang antik cukup menjanjikan. Menurut Daniel Supriyono, Ketua Komunitas Djadoel, meski barang jadul, namun pemeblinya tidak hanya orang-orang berumur, tepai anak baru gede dan juga anak-anak kecil pun menjadi pasar. “Anak kecil suka pada mainan. ABG yang ingin bergaya jadul beli kaca mata berlensa gede. Sedangkan Kakek nenek (selain) nostalgia juga diberikan untuk cucunya untuk memperkenalkan barang pada zamannya” tutur Daniel yang juga wartawan Nova, kelompok Gramedia Majalah.

Baik Yanuar, Muchlis maupun Daniel sama-sama memahani jika sebagaian orang keberatan kalau barang antik mahal. Padahal hanya barang “bekas.” Menurut Daniel, mencari untung wajib hukumnya saat menjual barang koleksinya. Tapi perhitungan untung tersebut bukan sekadar nilai ekonomi tetapi perjuangan mendapatkannya dan nilai kesejarahannya. “Untung harus berlebih karena barangnya tidak selalu didapat. Mahal itu sebagai penghibur saat kami menyerahkan barang yang sulit didapat dan kami miliki,” tuturnya.

Orang-orang yang tergabung dalam komunitas Djadoel ini sebenarnya bisa dikatakan sudah mapan. Ada yang bekerja di perusahaan media, bengkel mobil, designer grafis dan ada juga di departemen keuangan. Selain itu tidak semua barang koleksi mereka dijual. "Laku syukur, gak ya gak apa-apa," ucap Daniel.

Masing-masing kolektor memilih barang tertentu untuk dikoleksi, seperti buku, iklan film, jam weker, (bungkus) rokok, kalender, mainan, fashion, perabotan rumah tangga, kacamat, kaset sampai ke aksesoris sepeda ontel. Kategori antik jika barang yang bersangkutan paling muda tahun 1980. Untuk harga, misalnya komik lokal Rp 20.000, gelas PRJ 1979 dihargai Rp 35.000, kacamata Rp 100.000 dan iklan film Rp 50.000. Adapun untuk mainan, sebagaimana dijual Yanuar mulai dari Rp 50.000 – Rp 200.000. “Yang saya koleksi sendiri, tahun 2007 saya beli mainan robot Jepang Rp 200.000. Setelah saya cek di internet ternyata sekarang harganya 1.000 dollar AS,” aku Yanuar.

Para kolektor ini tidak pernah menyangka hobinya mengumpulkan barang yang sebagian besar orang menganggapnya sampah ternyata memiliki nilai ekonomi. Lebih dari itu, ketekunan mereka membuat rantai sejarah bangsa terus turun dari generasi ke generasi. Setidaknya, mulai dari keluarga merekalah rantai itu diteruskan untuk memupuk rasa cinta dan bangga pada tanah air karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. “Anak saya, sering saya ajak ke museum dan galeri. Juga saya ajak untuk gemar membaca,” pungkas Yanuar.
ONE
Editor: Edj
Selengkapnya...

Peluang Bisnis Alpukat Hawaii Jumbo

Sunday, November 8, 2009

Dahulu, jenis alpukat paling populer dibudidayakan masyarakat Indonesia adalah alpukat mentega yang rasanya manis. Tapi, saat ini tren ini bergeser. Kini varietas alpukat Hawaii yang meroket.

Salah satu pionir pembudidaya alpukat Hawaii ini adalah Prakoso Heryono. Pemilik Satya Pelita Nursery di Demak itu sudah mengembangkan alpukat Hawaii sejak sembilan tahun lalu. Kini, ia memiliki sekitar lima pohon.

Menurut Prakoso, selain lebih manis, ukuran alpukat Hawai jumbo juga jauh lebih besar dibanding jenis lain. Berat satu buah bisa mencapai 2 kilogram (kg), tiga kali lipat lebih alpukat biasa. Tekstur daging buah ini juga lebih padat, tapi tetap lunak ketika digigit.

Dengan berbagai keunggulan itu, alpukat jenis ini dijual Prakoso seharga Rp 25.000-Rp 30.000 per butir. Ini harga premium. Sekadar perbandingan, harga jual alpukat biasa saat ini hanya Rp 10.000 per kg isi sekitar 3 butir.

“Permintaan dari Jakarta dan Surabaya ke tempat saya mencapai empat kuintal per bulan. Tapi saya baru bisa memenuhi dua kuintal setiap kali panen,” ujar bapak 52 tahun ini.

Prakoso bukannya tak mau meningkatkan produksinya. Saat ini, Prakoso memilih lebih fokus menjual bibit alpukat Hawaii. Sebab, permintaannya sangat tinggi. “Saya juga ingin varietas ini dapat dibudidayakan secara massal,” ujarnya.

Untuk satu bibit setinggi 50 cm dengan usia 7 bulan, Prakoso mematok harga Rp 150.000. Ini hampir 10 kali lipat harga bibit alpukat mentega. Dalam setahun, Prakoso bisa menjual 500 bibit alpukat Hawaii jumbo senilai Rp 75 juta. Ia meraup margin laba di atas 50 persen. Selain berbisnis bibit alpukat, ia juga menjual bibit tanaman eksotis lain. Prakoso juga mempunyai beberapa perkebunan.

Oh, iya, buat yang belum tahu, Alpukat merupakan tanaman yang tumbuh di ketinggian medium, antara 200-1.200 di atas permukaan laut. Soalnya, tanaman ini tidak butuh banyak air.

Pohon akan mulai berbuah setelah 3,5 tahun. Empat tahun pertama, buahnya masih sedikit, kira-kira 20 butir saja. Setelah itu, dalam setiap tahun, jumlah buahnya akan meningkat 20 persen sampai 30 persen.

Pertumbuhan jumlah buah akan berhenti di usia pohon 7 tahun. Sampai usia itu, panen per pohon bisa mencapai 2 kuintal. “Panen alpukat bisa dua kali setahun,” kata Prakoso.
(Aprillia Ika/Kontan)


Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id

Selengkapnya...

Arang Batok Kelapa Beromzet Miliaran

Monday, November 2, 2009

Batok atau tempurung kelapa kerap kali dibuang begitu saja di pasar-pasar tradisional. Padahal, batok kelapa bisa sebagai bahan baku mentah untuk diolah menjadi arang. Produk arang batok kelapa sebagai bahan baku setengah jadi itu pun dapat diolah lagi menjadi produk arang yang inovatif.

Produk batu arang tempurung kelapa (coconut shell briquette charcoal) dapat diproduksi sesuai kebutuhan pasar dan menjadi produk ekspor unggulan. Pengolahan tempurung kelapa menjadi arang dilakukan dengan cara pembakaran. Setumpuk tempurung kelapa dimasukkan ke dalam drum. Kemudian, tempurung kelapa dibakar. Setelah itu, tempurung kelapa yang belum dibakar dimasukkan lagi setahap demi setahap ke dalam drum.

Hal itu terus-menerus dilakukan sampai drum penuh dengan tempurung kelapa. Setelah penuh, drum ditutup dan seluruh batok kelapa di dalam drum mengalami proses pembakaran. Lambat laun, tempurung kelapa akan menjadi arang. Setelah dipisahkan dengan sampah- sampah hasil pembakaran itu, arang tempurung kelapa akan menjadi bahan baku produk arang inovatif yang akan diekspor ke pasar dunia.

Pembakaran tempurung kelapa itu dilakukan pekerja di PT General Carbon Industry (PT GCI) di Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Sayangnya, jumlah tempurung kelapa—sebagai bahan baku dasar—untuk dibakar menjadi arang itu masih sangat terbatas.

Akibatnya, PT GCI harus mendapat pasokan arang tempurung kelapa sebagai bahan baku dari pemasok yang berasal dari berbagai daerah, seperti Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. PT GCI membutuhkan 300-400 ton arang tempurung per bulan sebagai bahan baku untuk produksi arang tempurung yang inovatif. ” Empat kilogram tempurung atau batok kelapa hanya dapat menghasilkan 1 kilogram arang tempurung,” kata General Manajer PT GCI Tonny. Jika kebutuhan bahan baku arang tempurung 300-400 ton per bulan, berarti dibutuhkan 1.200 ton batok kelapa per bulan.

Dari arang tempurung, PT GCI mengolah atau memprosesnya lebih lanjut menjadi produk arang yang berorientasi ekspor. Arang tempurung dibentuk dan dicetak dengan mesin pencetak sesuai kebutuhan pasar. Setelah dicetak, produk arang itu pun masih harus dipanaskan dalam mesin pemanas. Volume produksi arang tempurung PT GCI saat ini mencapai 300 ton per bulan.

Untuk produk tertentu, menurut Tonny, produk arang itu juga diberi bahan kimia. Fungsi bahan kimia itu hanya untuk dapat menyalakan api pada arang tersebut tanpa harus menggunakan bahan bakar, seperti minyak tanah.

Untuk mengontrol kualitas arang tempurung, PT GCI juga memiliki beberapa alat kontrol. Sebelum produk dikirim, arang tempurung yang diproduksi juga diuji coba untuk melihat kualitas, seperti lama pembakaran pada arang.

Saat ini, arang tempurung kelapa yang diproduksi PT GCI sudah menembus pasar dunia. Di Eropa, arang tempurung PT GCI menembus Perancis, Belgia, Belanda, Inggris, Austria, Italia, Jerman, Swedia, dan Denmark.

Di Asia, produk arang PT GCI menembus pasar Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Bahkan, PT GCI juga menggarap pasar Timur Tengah (Timteng), seperti Lebanon dan Suriah.

Dari ekspansi ke pasar dunia itu, menurut Tonny, nilai ekspor per tahun rata-rata 1 juta-1,2 juta dollar AS (sekitar Rp 9,5 miliar-Rp 10,8 miliar). ”Nilai ekspor per tahun mencapai belasan miliar rupiah,” katanya.

Potensi pasar

Potensi pasar ekspor produk arang tempurung masih besar. Di Eropa, arang tempurung dibutuhkan untuk memanggang daging (barbecue).

Di Timteng, arang tempurung lebih banyak digunakan untuk ”merokok” atau shisha. Sementara itu, di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan, arang tempurung digunakan untuk keperluan memasak di restoran.

Arang tempurung dinilai memang lebih mudah masuk ke pasar dunia, khususnya Eropa. Produk itu lebih mudah digunakan. Kualitas dinilai lebih baik daripada arang berbahan baku tanaman bakau. ”Daya tahan pembakaran arang tempurung lebih lama,” kata Tonny.

Produk arang tempurung juga dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak merusak tanaman, seperti tanaman bakau. Apalagi, isu pemanasan global yang sangat sensitif di Eropa.

Direktur Utama Avava Group, yang membawahi PT GCI, Tarman mengungkapkan, arang tempurung yang diproduksi PT GCI biasanya diubah nama produk oleh pemesan. Namun, pihak PT tetap mensyaratkan pada kemasan tetap dicantumkan ”buatan Indonesia”.

Jika tidak mencantumkan ”buatan Indonesia”, pihak PT GCI membatalkan pemesanan. ”Label buatan Indonesia memang harus dicantumkan. Itu kebanggaan. Produk arang bisa memasuki Eropa dan negara- negara lain,” kata Tarman. Saat ini, pihak PT GCI berencana memperluas produksi mengingat pesanan kian banyak.

Tarman menjelaskan, industri pembuatan arang tempurung yang dilakukan PT GCI saat ini pada mulanya merupakan industri milik investor dari Korea Selatan tahun 2004. Namun, industri itu merugi.

Tahun 2007, lanjut Tarman, pihaknya mengambil alih dan meneruskan bisnis arang tempurung kelapa. Pemasaran pun terus dilakukan. Dengan peluang pasar ekspor yang besar, itu berarti kebutuhan bahan baku batok kelapa pun akan semakin besar. Peluang itu pun seharusnya dapat ditangkap oleh pelaku usaha kecil dan menengah untuk memanfaatkan batok kelapa.

Batok kelapa dapat dimanfaatkan untuk pembuatan arang. Arang dari batok kelapa pun dapat menjadi bahan baku bagi industri menengah untuk diolah lebih lanjut menjadi produk arang berorientasi ekspor.

Editor: Edj
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Adi Kharisma, Pencipta Olahan Ubi Ungu

Sunday, November 1, 2009

Kesehatan itu mahal harganya. Slogan inilah yang membuat Adi Kharisma mengubah jalan hidupnya dari seorang pengusaha ritel sukses beromzet miliaran rupiah menjadi seorang penjual aneka makanan dan minuman dari ubi ungu. Dalam dunia pangan lokal, nama Adi Kharisma sudah cukup terkenal.

Pria asli Bali ini sukses memperkenalkan nasi dan es krim dari ubi jalar sebagai salah satu kekuatan makanan lokal sekaligus sebagai produk makanan yang sehat.

Gara-gara inovasi produk dari ubi jalarnya ini, Adi Kharisma memperoleh penghargaan dari Dewan Pangan Italia. Tak hanya itu, sebagai duta pangan lokal, Adi juga sudah menyambangi Jepang dan Fiji untuk mempresentasikan produk jus dan sirup ubi ungunya.

Adi sendiri tak menyangka prestasinya bakal sebesar itu. Sebab, inovasi produk pangannya ini lahir dari ketakutannya terhadap kanker. Sampai tahun 1995, ada tujuh kerabat Adi termasuk ibu, paman, mertua serta kakaknya yang terkena penyakit kanker.

Karena dekat dengan orang-orang tersebut, Adi pun turut menyaksikan melihat pola makan mereka. “Ternyata pola makan yang salah merupakan penyebab terbesar terjadinya kanker,” ujar pria 50 tahun ini.

Adi pun kemudian banyak membaca buku-buku kesehatan. Ia tak ingin istri dan anaknya ikut menjadi korban. Maka, lima tahun berselang, Adi masih berkutat mempelajari aneka macam bahan makanan yang bisa memerangi kanker.

Tahun 2000, Adi menemukan resep diet dengan menjalankan pola makan sehat. Ia mulai menjauhi aneka sea food, daging merah serta memperbanyak sayur dan buah. “Daging yang saya makan hanya daging ayam dan ikan,” ujarnya. Pengaruh bagi kesehatan Adi sangat signifikan. “Sampai sekarang, pilek pun saya tak pernah,” ujar pria berperawakan tinggi besar ini.

Karena yakin dengan hasil dietnya ini, Adi pun kemudian mencoba merambah bisnis virgin coconut oil (VCO) sejak tahun 2004. Sayang, bisnis minyak kelapa itu kandas di tengah jalan. Padahal, Adi sudah menggelontorkan uang Rp 100 juta-an untuk mempelajari aneka hal tentang budidaya kelapa dan pengolahannya. “Para petani hanya mau menjual kelapa. Tidak mau dibina untuk memanfaatkan sabut, batok, air serta daging kelapanya,” keluh anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini.

Namun, pada tahun tersebut, usaha Adi yang lain sangat sukses. Bisnis distribusi makanan dan minumannya menyumbang duit Rp 1,5 miliar per bulan ke kantongnya. Belum lagi pemasukan dari 10 convenient mart, empat gerai warung soto, serta satu gerai waralaba Subway Sandwich di Australia.

Gagal menjalani bisnis kelapa, Adi pun banting setir melirik ubi jalar ungu. Pasalnya, makanan yang berwarna ungu, hitam atau kemerahan mengandung zat antosianin yang ampuh memerangi kanker. Karena itu, sejak tahun 2006, Adi fokus menggeluti usaha pengolahan makanan dari ubi jalar ungu.

Saat ini Adi mengelola dua gerai penjualan produk makanan dari ubi jalar di Bali dan di Jakarta dengan omzet sekitar Rp 50 juta sebulan. Satu per satu bisnisnya yang lain pun ia lepas. “Untuk distribusi barang, saat ini dipegang istri saya,” ujarnya. Sementara convenient mart, warung soto, serta gerai waralaba Subway Sandwich-nya sudah sudah ia lepas.

Beralih ke bisnis kuliner ubi jalar

Gagal mengembangkan bisnis kelapa, Adi Kharisma beralih ke bisnis kuliner ubi jalar. Di bisnis barunya ini, Adi sukses mengembangkan aneka makanan dari ubi, terutama ubi ungu. Namun, ia harus bersaing ketat dengan para pesaingnya.

Kegagalan bisnis kelapa yang pernah dijalaninya membuat Adi Kharisma memetik pelajaran berharga. Salah satunya, ia merasa harus berubah dan berani keluar dari zona nyamannya. Apalagi, menurut Adi, dari seluruh jumlah manusia di bumi ini, hanya 20 persen yang ingin dan berani melakukan perubahan itu.

Tak mau tenggelam dalam kegagalannya, pria kelahiran Bali 50 tahun silam ini kemudian mengalihkan bisnisnya ke pengolahan aneka umbi-umbian. Untuk memulai usaha ini, masalah yang pertama-tama ia hadapi adalah pasokan bahan baku. Untuk mengatasinya, Adi berencana bekerja sama dengan para petani di Yogyakarta.

Ada alasan mengapa ia membidik petani-petani di Kota Gudeg itu. Menurut Adi, selama ini produksi umbi-umbian dari Yogyakarta cukup besar. Misalnya saja umbi yang lazim dikenal dengan nama gembili.

“Namun sayang, penanaman umbinya lama, bisa sampai delapan bulan,” kata Adi. Karena itu, akhirnya ia memilih mengolah ubi jalar. Sebab, selain sudah banyak ditanam, ubi ini juga mudah dibudidayakan.

Ada alasan penting lain mengapa ia akhirnya memilih ubi jalar, yaitu karena ubi jalar mengandung banyak zat antosianin yang bisa mencegah kanker. “Antosianin itu berguna untuk mengencerkan darah yang kental serta menyerap racun dan polusi di darah,” ujarnya.

Namun, hingga sekarang ini Adi masih mengandalkan pasokan ubi jalar dari beberapa petani lokal di Bali. Selain itu, ia juga memiliki kebun sendiri seluas 1,5 hektare “Saat ini dalam sebulan saya butuh lebih dari tiga ton ubi jalar,” ujarnya.

Sebelum memulai bisnisnya, Adi mengaku melakukan eksperimen sendiri selama enam bulan. “Selama itu, saya makan semua hasil eksperimen saya,” kenangnya sembari tertawa. Produk pertamanya yang keluar adalah nasi ubi ungu, lalu disusul dengan es krim ubi ungu dan brownies ubi ungu.

Ada pula pebisnis lain yang membuat olahan ubi ungu ini dan menjadi pesaing Adi. Pebisnis tersebut, antara lain, ada di Malang. Di kota tersebut sudah ada dua toko yang menjual aneka olahan ubi ungu. Itu sebabnya, setelah Pulau Bali, ia lebih memilih merambah Jakarta daripada merambah pasar di dekat Bali.

Selain itu, untuk menyiasati persaingan, Adi kemudian membuat produk ubi jalar dari empat warna ubi jalar yang ada, yaitu ungu, putih, kuning, dan oranye. “Dengan begitu saya jadi produsen makanan dari ubi yang pertama mengolah ubi empat warna,” ujarnya senang.

Ketika meritis pasar di Bali, Adi memakai toko warisan keluarga yang ada di Jalan Teuku Umar, Denpasar, untuk menjajakan aneka produk makanannya. Namanya Warung Sela Boga.

Namun, tempat yang dulunya merupakan pusat jajanan itu ternyata tidak cukup ramai. Adi hanya mengantongi omzet Rp 30 juta-Rp 50 juta setiap bulannya. Maka dari itu, tahun 2008 silam, Adi merambah Jakarta dan mendirikan warung di daerah Bintaro Sektor 1, Jakarta Selatan. Ia menyewa warung kecil dengan tarif Rp 1,5 juta per bulan.

Bersaing ketat dengan Burger Blenger

Menembus pasar Jakarta ternyata tak mudah. Adi Kharisma harus bersaing ketat dengan gerai makanan lain, salah satunya Burger Blenger yang juga membuka gerai di D’Hoek Bintaro. Ia pun berusaha mencari cara membesarkan usahanya, salah satunya dengan waralaba.

Ketika pertama kali merambah Jakarta pada awal 2008, Adi membayangkan ia bakal sukses dengan gampang. Soalnya di mana-mana orang pasti perlu makanan. Tetapi menembus pasar Jakarta ternyata tak semudah perkiraannya. Dia harus berjuang keras agar mampu bersaing dengan pengusaha lain. “Di Jakarta, saya bagaikan terjun ke hutan belantara,” ujar lelaki berusia 50 tahun ini.

Selama delapan bulan pertama, Adi sempat kepayahan mencari tempat berjualan. Sampai akhirnya dia mendapatkan sebuah gerai di D’Hoek Bintaro sektor 1. Untuk menempati tempat tersebut, Adi harus membayar uang sewa Rp 1,5 juta per bulan. “Tempat itu saya namakan Sweet Purple, artinya warna ungu yang cantik,” ujarnya.

Seperti gerainya di Bali, di gerai barunya yang berada di Jakarta, Adi juga menjual olahan ubi ungu. Namun, belakangan dia memperbanyak jenis produk olahan ubi. Misalnya saja, ia membuat burger es krim ubi ungu dengan roti burger. Adi menjual burger es krim tersebut dengan harga Rp 12.000 per buah. “Roti burgernya juga dibuat dari ubi, lo,” ujar Adi berpromosi.

Ia juga membuat jus ubi ungu yang ia jual dengan harga Rp 11.000 hingga Rp 17.000 per gelas. Kreasi lainnya adalah brownies ubi ungu yang ia jual dengan harga Rp 35.000 per 250 gram, dan pia ubi ungu seharga Rp 17.000 per kotak isi enam buah.

Untuk pesanan khusus, Adi juga membuat nasi ubi ungu. Harganya Rp 17.000 per kotak, sudah termasuk empat tusuk sate ayam lilit. “Dari harga jual ini, secara eceran saya mendapat margin sekitar 30 persen,” ujar Adi.

Tentu Adi punya alasan memperbanyak produk di gerainya di Jakarta. “Kalau menu tidak banyak, pembeli bakal cepat bosan,” kata Adi. Apalagi, persaingan antara sesama pedagang makanan di D’Hoek Bintaro sangat ketat. Salah satu rival terberatnya adalah Burger Blenger. Akibat persaingan yang sengit itu, omzet Sweet Purple hanya sekitar Rp 20 juta sebulan.

Untuk meningkatkan omzetnya, Adi pun rajin mengikuti pameran. “Lumayan, dalam sebulan ada satu atau dua pameran,” ujarnya. Dari setiap pameran, dia bisa mencetak laba bersih Rp 1 juta.

Adi juga sempat membuka cabang-cabang baru. Di antaranya di Police Academy, Ancol, dan di Pasar Pagi. Tapi gerai-gerai baru itu hanya ramai di akhir pekan. “Penjualan kurang bagus dan saya tutup,” ujarnya.

Sejak dua pekan lalu, dia pun memindahkan gerainya ke Summarecon Serpong dan ke Lippo Karawaci. Sebelumnya, Adi sudah lebih dulu memindahkan gerainya di D’Hoek ke belakang McDonald’s Bintaro sektor 9. Di pusat jajanan tersebut, aroma persaingan tidak begitu kental. Maklum, kendati di situ ada sekitar 90 gerai makanan, tetapi jenis makanan yang mereka jajakan berbeda-beda dan memiliki kekhasan sendiri.

Adi mengaku mendapat tawaran membuka gerai di Ranch Market, Kelapa Gading, dan di Dufan. Tapi ia masih pikir-pikir dulu. Kini ia ingin mewaralabakan usahanya. Namun, belum ada mitra yang berminat. (Aprillia Ika/Kontan)

Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...