Followers

Google
 

Memelihara Luwak untuk Hasilkan Kopi Enak

Friday, October 30, 2009

Pawang Luwak mungkin sebuah pekerjaan yang tak terbayangkan oleh kebanyakan dari kita. Namun pekerjaan ini muncul karena adanya pasar kopi yang prima. Pawang Luwak ini yang bertugas menangkap sekaligus memelihara Luwak, hewan yang memakan buah kopi terbaik.

Luwak kerap disandingkan dengan kopi. Ya, binatang ini memang dikenal karena kesukaannya mengonsumsi buah kopi. Kegemaran ini menyebabkan Luwak berperan sebagai pengolah biji kopi alamiah di dunia.

Buah kopi yang ditelan Luwak akan mengalami proses fermentasi selama berada di perut hewan tersebut. Setelah dicerna sang Luwak, buah kopi itu berubah menjadi biji yang dikeluarkan bersama kotoran sang hewan.

Jangan cemas kalau biji kopi itu tercemar kotoran Luwak. Biji kopi yang dikeluarkan Luwak ini masih berbentuk utuh. Tentu saja, sebelum diproses menjadi bubuk, bpi kopi akan dibersihkan dulu.

Dalam proses pencernaan Luwak inilah, akan diperoleh biji kopi dengan rasa spesial. Adanya proses inilah yang mengakibatkan harga biji kopi Luwak sangat tinggi.

Minum susu

Selama ini, bpi kopi Luwak hanya diperoleh secara tradisional. Pasalnya, Luwak pemakan kopi merupakan binatang liar yang hidup di alam bebas. Alhasil, pemungut kopi Luwak hanya mengumpulkan kotoran Luwak yang berserakan di perkebunan kopi.

Namun, sejak tahun 2006, PTPN XII berupaya memelihara Luwak demi menghasilkan biji kopi Luwak. Nah, untuk menangkarkan luwak-luwak liar ini, PTPN mengerahkan tenaga Pawang Luwak.

Tak mudah menangkap dan merawat Luwak yang pada dasarnya merupakan binatang liar. Itu sebabnya, menjadi Pawang Luwak bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.

Apalagi, selama ini tak ada buku-buku referensi tentang perhwatan Luwak. Tak heran, Pawang Luwak banyak belajar dari pengalamannya sendiri. Salah satu modal utama yang harus dimiliki Pawang Luwak adalah menguasai seluk beluk tentang Luwak. "Luwak itu rentan mati," kata Wuryanto, seorang Pawang Luwak dari PTPN XII.

Asal tahu saja, setelah ditangkap dari alam bebas untuk dikandangkan, Luwak seringkali stres. Itulah sebabnya, pada awal penangkaran PTPN XII, banyak Luwak yang telah ditangkap mati.

Menjaga agar sang Luwak tetap hidup di dalam kurungan merupakan tantangan terberat seorang Pawang Luwak. Wuryanto menuturkan, setelah penangkapan, Luwak memiliki masa kritis beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.

Masa kritis itu biasanya berlangsung selama satu hingga dua minggu. "Jika tak bisa lolos dari masa itu, Luwak bisa mati," ujarnya.

Dalam masa kritis itulah, Luwak butuh perhatian khusus. Untuk menghindarkan Luwak dari stres, biasanya Pawang teratur memberi makanan kegemaran Luwak. Dari hasil pengamatan Wuryanto, selain kopi, Luwak ternyata gemar makan pepaya dan pisang.

Bila Luwak yang ditangkap masih kecil, Pawang harus memperlakukannya seperti merawat bayi. "Luwak kecil harus teratur minum susu," ujar Wuryanto.

Setiap musim kopi, Luwak hanya diberi buah kopi sebagai menu utama di malam hari. Alhasil, Pawang atau pemelihara Luwak setiap sore harus menempatkan buah kopi di kandang Luwak.

Baru pada pagi harinya, para Pawang itu mengambil kotoran Luwak. Dalam satu malam, Luwak mampu melahap sekitar 3 kilogram buah kopi.

Perhatian pada Luwak tak sebatas pada masa setelah penangkapan atau soal makanannya. Dalam pemeliharaannya, Pawang harus menjaga kebersihan kandang setiap hari. Maklum, Luwak termasuk binatang yang suka tinggal di tempat yang bersih. Bahkan, ketika membuang kotoran pun, Luwak akan memilih tempat yang bersih. Seperti di tanah kering, di atas bebatuan atau di atas dahan yang tumbang. (Fathoni Arief/Kontan)
Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Raup Jutaan Rupiah dari Keripik Jamur Tiram

Tuesday, October 27, 2009

Tahun 2006 merupakan tahun perkenalan pasangan Tri Sugiatno dan Wiwik Widiastuti dengan jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Namun, hanya dalam waktu tiga tahun, mereka berhasil membudidayakan jamur dan mengolahnya menjadi keripik sehingga menghasilkan pendapatan jutaan rupiah.

Perkenalan itu dimulai saat Wiwik datang ke acara lomba desa di Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Di sana, hasil budidaya jamur tiram petani menjadi salah satu peserta lomba. Setelah melihat dan mengetahui budidaya jamur itu mudah dan murah, Wiwik pun terdorong membudidayakannya.

”Hanya coba-coba awalnya,” ujar Wiwik. Latar belakang Tri adalah lulusan jurusan mesin Universitas Merdeka, Madiun. Wiwik lulusan jurusan ekonomi Universitas Merdeka, Malang. Namun, ketidaktahuan mereka mengenai budidaya jamur tidaklah menjadi penghalang.

Dibelilah 200 bag log (campuran bibit jamur, serbuk kayu, bekatul kapur kawur, dan pupuk dalam plastik) seharga Rp 300.000. Bag log itu lalu disusun di kumbung (rumah jamur) berdindingkan anyaman bambu seluas 42 meter persegi, di samping rumahnya di RT 29 RW 3 Jatirogo, Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun.

Hanya dengan disiram air bersih setiap hari, jamur berwarna putih bertumbuhan di setiap bag log. Dalam waktu satu bulan, jamur sudah bisa dipanen. Jamur itu terus muncul sampai empat hingga lima bulan berikutnya, sebelum kemudian bag log harus diganti baru.

Jamur putih yang dipanen sekitar lima kilogram setiap hari itu lalu dijual ke tetangganya Rp 8.000 per kilogram. Tanpa dinyana, mereka tertarik membeli guna dipakai membuat sayuran.

Banyaknya peminat itulah yang mendorong Wiwik dan Tri menambah jumlah bag log sampai akhirnya tahun 2007 sebanyak 1.000 bag log dibudidayakan di kumbung. Hasilnya, setiap hari mereka panen sampai 30 kilogram jamur putih.

Namun, banyaknya jamur putih yang dipanen itu justru membingungkan Wiwik dan Tri. Pasalnya, dari 30 kilogram hasil setiap hari, hanya sekitar 5 sampai 10 kilogram yang bisa terjual. Sisanya, menumpuk di gudang, tak ada pembelinya.

Dari situlah Tri lalu berpikir mengolah jamur tiram menjadi keripik, tetapi tidak mudah diwujudkan. Percobaan membuat keripik jamur tiram tidak kunjung berhasil. ”Ada yang keripiknya melempem, ada yang rasanya enggak enak,” kata Tri.

Sampai pada percobaan memasak ke-10, Tri dan Wiwik menemukan takaran yang pas. Jamur tiram yang digoreng dengan dicampur tepung terasa gurih dan enak rasanya.

Dengan pegangan ”resep rahasia” itu, keduanya memasak sekitar lima kilogram jamur untuk dijadikan keripik. Ada dua jenis keripik yang dijual, keripik berkualitas baik dijual Rp 70.000 per kilogram. Keripik yang nomor dua dijual Rp 1.250 per kemasan kecil.

Keripik jamur tiram awalnya dicoba dijual ke tetangga, warung, dan restoran sekitarnya. Awalnya ada penolakan karena sejauh yang mereka tahu jamur bisa membuat keracunan. Namun, setelah keripik dicoba dan aman, mereka pun membelinya dan menjadi pelanggan tetap.

Permintaan mengalir

Penyebaran dari mulut ke mulut membuat keripik kian dikenal. Awal 2009, permintaan bertambah, tetapi produksi jamur tiram terbatas.

”Permintaan datang dari luar Madiun, seperti Banjarmasin, Samarinda, Riau, dan Madura. Ada eksportir dari Lumajang yang menawarkan ekspor produk saya. Banyak juga tenaga kerja Indonesia yang membawa keripik saya untuk dijual di luar negeri,” ujar Tri.

Tri pun mencoba bekerja sama dengan 11 petani jamur di wilayah Dungus dan Kresek, Madiun. Jamur petani dibeli Rp 8.500 per kilogram ditambah jamur budidaya sendiri, Tri dan Wiwik mendapatkan jamur setengah kuintal per hari. Jamur dimasak dengan enam penggorengan untuk menghasilkan setengah kuintal keripik per hari.

Omzet penjualan keripik sekitar Rp 3 juta per hari. Penghasilan bersih sekitar 10-20 persen dari omzet, antara Rp 300.000 sampai Rp 600.000. Padahal, tiga tahun yang lalu, omzet dari menjual jamur tiram putih hanya Rp 40.000 per hari.

Ternyata jumlah produksi itu belum cukup memenuhi permintaan, terutama seperti mendekati Lebaran. ”Permintaan naik 100 persen. Butuh satu kuintal jamur tiram putih per hari untuk memenuhi permintaan. Hanya separuh permintaan yang dipenuhi,” kata Tri.

”Budidayanya mudah, murah, dan potensi pasarnya besar, tetapi sayang tidak banyak warga yang mengetahui hal ini sehingga ragu membudidayakannya,” tambahnya.

Karena itu, setiap kali warga atau mahasiswa datang belajar budidaya jamur tiram, dia memberikan pelajaran gratis. Biar semakin banyak orang mau menanam jamur tiram. Jika pasokan jamur tiram itu terbatas, obsesinya membuat waralaba keripik produksinya pun terganjal.

Dia harus berkutat sendiri dengan usahanya karena perhatian Pemerintah Kabupaten Madiun, terutama Dinas Pertanian pada pengembangan budidaya jamur sangat minim. Padahal, budidaya itu bisa menambah kesejahteraan petani.

”Perhatian pemerintah baru muncul kalau mengadakan acara. Kami diperebutkan oleh dinas-dinas yang mengklaim kami sebagai industri binaan mereka,” kata Tri sambil tersenyum. (A Ponco Anggoro)

Editor: Edj
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Sukarjo, dari Preman Jadi Kades Petani

Tuesday, October 20, 2009

Siapa itu Sukarjo ? Jika pertanyaan tersebut dilontarkan 12 tahun lalu, warga Desa Sukoharjo Ngalik, Sleman bakal menjawab Sukarjo itu preman. Namun jika pertanyaannya dijawab sekarang, Sukarjo adalah petani yang juga kepala desa.

Sukarjo (49) baru 1,5 tahun menjabat. Namun ketika peringatan Hari Pangan Sedunia di DIY dua pekan lalu ia ditunjuk mewakili kepala-kepala desa se-DIY menerima bantuan 500-an bibit sukun sebagai program diverifikasi pangan dan penghijauan desa , tentu ada alasannya.

Salah satu alasannya ialah, Sukarjo dianggap sukses memberdayakan tanah bengkok dan mengajak masyarakat untuk menyelami pertanian dan banyak menanam pohon . Tanah bengkok yang oleh banyak kepala desa hanya disewakan, di tangan Sukarjo, tanah bengkok ditanami aneka macam.

Tanah bengkok seluas sembilan hektar ditanami ketela pohon dan cabai. Ketela pohon juga ditanam di lahan miliknya yang seluas 2.000 meter persegi lebih. Dari hasil bertaninya ini, dalam sebulan Sukarjo bisa mendapat keuntungan Rp 30 juta lebih.

Dari daun ketela ketela pohon saja, yang didapat sudah lebih Rp 4 juta per bulan. Konsumennya adalah sejumlah rumah makan padang. Saat ini Sukarjo bisa mempekerjakan 25 orang, yang sebagian adalah warga. Beberapa petani lain warga desa yang sudah melihat cara bertaninya, lantas terinspirasi meniru. Beberapa tenaga kerjanya pun sudah mengundurkan diri karena ingin mandiri sebagai petani. Tapi, sejatinya hal itulah yang diinginkan Sukarjo.

Titik tolak hidup Sukarjo yang akrab dipanggil Gandung ini bermula tahun 1998, saat dia jenuh dengan dunianya: sebagai tenaga kontrak perusahaan kayu, sekaligus preman, tukang onar, dan tukang judi. Namun di sisi lain, kejenuhan itu tampaknya berbarengan dengan keinginannya menanam padi.

"Saya ingin menanam padi, juga menanam apa saja. Mungkin karena orang tua saya adalah petani, yang ditanam dikonsumsi sendiri dan rasanya kok enak. Saya lantas bilang ke orang tua dan saudara bahwa saya mau nggarap sawah, eh mereka ketawa. Sepertinya mereka nggak percaya bahwa saya yang sering gonta-ganti sekolah karena berkelahi ini, mau jadi petani," ujar lelaki tamatan SMP ini.

Namun karena berani ditantang, akhirnya sebagian tanah milik keluarga bisa didapat. Sukarjo lalu minta bantuan beberapa petani asal Magelang untuk bercocok tanam, dan ia sendiri berguru pada mereka. Nada sinis plus ditertawakan sering diterima, sehingga dalam bertani Sukarjo seperti petani yang single fighter , sendirian,

"Orang lebih gampang percaya jika melihat saya membawa kartu untuk judi dan keluyuran buat onar, ketimbang melihat saya mengangkut bibit dan menyentuh tanah. Karena itu, dulu kalau saya ke lahan, seringnya malam-malam karena agak malas ketemu warga dan dicurigai melulu. Kalau saya membawa bambu untuk tonggak tanaman cabai, lha nanti malah dikira mencuri bambu, hahahaha," ujarnya.

Walau Sukarjo sudah menjadi petani sejak tahun 1998 dan warga desa melihat gambaran kerjanya, urusan maju sebagai calon kades tetap tak mudah. Butuh kerja keras menyakinkan warga bahwa ia sekarang punya dunia baru, yaitu bertani, dan dia ingin memajukan desa lewat pertanian. Ia berprinsip jadi petani bisa kaya asal strateginya tepat.

Sekitar 20 tahun menjadi preman dan penjudi, dianggap Sukarjo cukup untuk memberinya karakter tak kenal takut dan tak ragu berspekulasi. "Seperti menanam cabai dan ketela, ya tanam saja. Rugi ya sudah, tapi besok coba menanam lagi. Jika rugi lagi ya menanam lagi. Kalau tetap rugi ya apes. Judi dan bertani sama-sama gambling. Dulu, uang jutaan saja bisa lenyap di meja judi dalam semalam dan saya tidak sedih. Masa sekarang saya takut berspekulasi, padahal istri dan anak saya mendukung," ujarnya. (Lukas Adi Prasetya)
PRA
Editor: Edj
Selengkapnya...

Wow... Budidaya Jambu Jamaica Mulai Diminati

Monday, October 19, 2009

Tanaman jambu jamaica cocok dikembangkan di Kabupaten Lampung Timur sehingga banyak warga yang mulai berminat membudidayakannya.
"Setelah tahu, kalau buah jambu jenis jamaica cocok ditanam di Lampung Timur, makanya saya tertarik untuk membudidayakannya di pekarangan rumah," ujar Saiful (43), warga di Desa Tulusrejo, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur, Senin (19/10).

Dia mengaku sangat berminat dan tertarik membudidayakan tanaman jambu jamaica yang masih terdengar asing di telinga warga. Bahkan, banyak warga yang langsung membeli bibit jambunya di sentra pembibitan Pekalongan.

Dikatakan, banyak warga tertarik saat melihat tanaman buah jambu di Taman Agro Wisata Pekalongan yang tumbuh subur, apalagi buahnya lebih besar dari jambu-jambu biasa.

"Saya belum pernah melihat buah jambu sebesar itu, makanya saya tertarik membudidayakan di kebun," ujar Saiful.

Menurut Koordinator Pengelola Taman Agro Wisata Pekalongan, Zaenal Arifin, komoditas buah jambu jamaica memang masih baru terdengar di Provinsi Lampung, karena buah ini juga baru pertama kali dibudidayakan di Kabupaten Lampung Timur.

"Memang belum untuk dipromosikan secara luas, karena baru dibudidayakan di daerah," katanya.

Taman Agro Wisata Pekalongan, lanjutnya, juga mulai mengembangkan jenis buah jambu lain selain jambu jamaica, karena struktur tanah dan cuaca di daerah Lampung Timur sangat memungkinkan untuk dibudidayakan berbagai jenis jambu dan buah-buahan lain.

Zaenal Arifin berharap, ada investor yang tertarik untuk mengoptimalkan budidaya buah jambu jamaica yang mulai diproduksi di Kabupaten Lampung Timur tersebut.

"Buah jambu jamaica bisa dipanen dalam waktu relatif singkat, selain itu sama sekali tidak bergantung musim, sehingga jika dikembangkan menjadi tanaman industri jelas sangat menguntungkan," katanya.

SOE
Editor: hertanto
Sumber : ANT
Selengkapnya...

Mencicipi Ranumnya Laba Buah Pepino

Thursday, October 15, 2009

Buah pepino (Solanum muricatum Aiton) atau di Indonesia biasa disebut buah melodi, mungkin masih asing bagi banyak orang. Tapi belakangan, permintaan buah yang termasuk keluarga terung ini mulai meningkat.


Maklum, masyarakat mulai mengenal khasiat buah yang berasal dari pegunungan Andes di Amerika Selatan ini. Buah ini kaya berbagai kandungan gizi, misalnya vitamin C, protein, beta karoten, asam, dan serat.

Karena itu, banyak orang mulai membudidayakan buah ini. Salah satunya adalah Bakri, pembudidaya pepino di kawasan Muntilan, Jawa Tengah. “Saya mulai budidaya pepino lima tahun lalu,” ceritanya.

Bakri menilai, prospek budidaya pepino ini cerah. Pria berusia 42 tahun ini mengatakan permintaan pepino cukup banyak. Bakri memasarkan buah hasil panennya ke pasar-pasar tradisional di sekitar Muntilan, Magelang, Ambarawa, dan Salatiga. Selain itu, dengan bantuan rekannya, ia juga memasarkan pepino ke supermarket di Solo, Yogyakarta, Purwokerto, dan Semarang.

Selama sebulan, biasanya Bakri bisa memanen empat ton pepino. Harga jual buah ini sekitar Rp 5.000 per kilogram (kg) kalau dijual lewat pengepul dan Rp 10.000 per kg jika dipasarkan langsung ke konsumen. Bakri mengambil margin laba sekitar 30 persen.

Menurut Bakri, peluang budidaya pepino masih terbuka. Apalagi, budidaya buah ini tidak terlalu sulit. Hanya saja, buah ini bisa tumbuh bagus bila di tanam di lahan yang lokasinya cukup tinggi. Saat ini budidaya pepino kebanyakan dilakukan di Dieng atau dataran tinggi Jawa Tengah.

Ada dua jenis pepino, yaitu yang berwarna ungu dan putih kehijauan. Rasa dan aroma buah ini seperti perpaduan mentimun, blewah, dan melon.

Untuk memulai budidaya, bibit difermentasi lebih dulu selama seminggu. Lalu bibit ditanam dalam lubang yang diberi pupuk kandang dengan jarak 1 meter x 50 cm. Bibit juga harus disiram sekitar 10-12 hari sekali, tergantung kondisi. “Kalau sudah subur tidak perlu ditambah pupuk, kalau agak kurang baru ditambahkan,” imbuh Bakri.

Buah melodi mulai bisa dipanen saat usianya tiga bulan. Pengalaman Bakri, ia bisa memanen satu ton sampai 1,2 ton pepino per hektar tiap minggu. Umumnya, masa produktif pepino hanya setahun. Setelah itu pepino perlu peremajaan dengan bibit baru. (Dupla Kartini/Kontan)

Editor: Edj
Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Usaha Manisan Mangga Cirebon

Saturday, October 10, 2009

Melimpahnya buah mangga di Cirebon merupakan sumber produk makanan olahan yang kaya rasa. Salah satunya, manisan mangga buatan keluarga Handrawati (45) yang menjadi oleh-oleh khas dari ”Kota Udang” ini.

Tak banyak orang tahu, sebagian manisan mangga yang dibeli wisatawan di toko oleh-oleh di Kota Cirebon itu berasal dari sebuah rumah sederhana di Jalan Garuda, Kota Cirebon.

”Hampir 80 persen manisan mangga yang kami buat dibeli toko oleh-oleh tanpa merek. Mereknya mereka buat sendiri sesuai nama toko masing-masing atau nama dagangnya. Hanya 20 persen yang pakai merek kami sendiri,” ujar Handrawati, yang menggunakan merek Taci Kembar pada produk manisan mangganya.

Saat ini, sudah mulai banyak pelancong yang datang ke Cirebon mengenal manisan mangga Taci Kembar. Mereka terkadang sengaja datang ke rumah Wawa, panggilan akrab Handrawati. Dia sudah merintis bisnis ini selama 30 tahun.

Sukses bisnis Wawa diraih berkat kegigihan. Jatuh bangun dan kegagalan usaha dalam usaha manisan mangga sudah pernah dialaminya.

Semua anggota keluarganya pun ikut terlibat dalam memasarkan manisan mangga ini. ”Kami dari keluarga biasa. Kalau barang tidak terjual, kami tidak bisa sekolah. Jadi, di sekolah, saya juga jualan manisan mangga,” kenang Wawa.

Usaha pembuatan manisan mangga dimulai sebelum tahun 1970 oleh almarhum kakak perempuan dari ayah Handrawati.

Mulai tahun 1980-an, usaha pembuatan manisan mangga diteruskan Handoko, ayah Handrawati. Karena respons pasar bagus, pemasaran mulai diperluas sampai ke Bandung, Cianjur, Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

Asli dan alami

Satu hal yang selalu menjadi komitmen usaha Wawa selama puluhan tahun adalah terus mempertahankan resep asli dan alami manisan buatan keluarganya. Menurut dia, konsumen sekarang sangat kritis sehingga mereka akan memilih yang terbaik untuk mereka konsumsi.

Oleh karena itu, keaslian cita rasa harus dijaga. Salah satunya, menggunakan mangga segar dan tidak menggunakan bahan pengawet.

Semua mangga yang diproses adalah mangga yang baru dibeli dari petani di daerah Ciledug dan Tengah Tani, Kabupaten Cirebon. Jenis mangga yang dibeli terdiri dari cengkir, golek, kidang, dan mangga lalijiwo.

Tidak ada mangga yang distok lebih dari seminggu. Akibatnya, proses produksi hanya berjalan selama delapan bulan, hanya saat panen mangga.

Mangga-mangga itu langsung dikupas, direndam dengan garam selama sehari semalam untuk menghilangkan getah. Kemudian direndam dengan air gula selama dua hari. Selanjutnya, dijemur di bawah terik matahari selama 3-4 hari sampai benar-benar kering.

Tidak memakai bahan kimia pengawet dan pengeras atau mesin pengering. Semua proses pembuatan masih alami dan tradisional sehingga rasa yang ditimbulkan juga alami.

”Rasa tidak bisa bohong, Mas. Biarpun (harganya) lebih mahal, kalau rasanya enak, pasti tetap dicari,” ujar Wawa yang kini menjalankan usahanya bersama adik perempuannya.

Selama 6-8 bulan, sekali produksi, Taci Kembar membutuhkan 100 kilogram mangga, yang bisa menghasilkan 15 kg manisan mangga berbagai jenis. Pembuatan manisan mangga 5-7 hari bergantung pada cuaca. Jika musim hujan, akan lebih lama karena tidak banyak sinar matahari untuk menjemur.

Saat ini, harga manisan mangga Taci Kembar dijual Rp 40.000-Rp 60.000 per kg. Ukuran kemasan yang ditawarkan mulai dari 100 gram, 250 gram, 500 gram, sampai 1 kg. Manisan mangga juga dijual hingga ke Jakarta, Surabaya, dan Pulau Dewata Bali.

Editor: jimbon
Sumber : Kompas Cetak
Selengkapnya...

Membiakkan Laba dari Bibit Jamur Merang

Friday, October 9, 2009

Jamur merang atau Volvariella volvacea kini kian populer. Para petani pun kian bersemangat menanamnya. Karenanya, kebutuhan akan bibit jamur ini cukup besar. Adalah PT Agrocendawan Persada di Semarang yang sejak lima tahun silam mengembangkan bibit jamur merang.

Menurut Slamet Trismiyanto dari bagian pemasaran Agrocendawan, umumnya petani jamur belum mampu memproduksi bibit jamur merang sendiri. Karena itu, kebutuhan akan bibit jamur merang hasil pengembangan industri cukup besar.

Agrocendawan mengembangkan bibit jamur lewat teknik kultur jaringan. Prosesnya bermula dengan pengambilan spora dari jamur yang kemudian diletakkan dalam cawan petri berisi media agar-agar dari kentang yang diberi hormon penumbuh dan anti bakteri. Setelah muncul iselium atau serabut kecil, ia dipindahkan atau diturunkan ke dalam cawan baru hingga tiga kali penurunan.

“Tujuannya agar tumbuh sampai maksimal dengan memakan media baru dalam setiap cawan,” tutur Slamet. Dari satu spora tadi bisa dihasilkan sekitar 200-600 bibit dalam cawan petri.

Kemudian, setiap isi cawan petri dipindahkan ke botol bekas saus yang diberi media tanam berupa biji-bijian seperti jagung untuk memperbanyak jumlah bibit. Dari satu cawan petri bisa dipindahkan menjadi 3.000 botol bibit jamur.

Selanjutnya, bibit dalam botol diturunkan ke dalam media tebar atau log yang terbuat dari campuran kotoran kuda yang sudah kering, kapur, dan merang yang dimasukkan ke dalam plastik dan dipadatkan.

Bagian ujung log disumbat dengan kapas, dan diikat dengan aluminium foil. Setelah baglog disterilkan selama tiga jam dalam suhu 121 derajat, dan didinginkan, lalu bagian ujungnya diberi satu sendok bibit bermediakan jagung tadi. “Dari satu botol bibit tadi, bisa diturunkan menjadi 20-30 baglog. Bibit akan memakan media tebar,” sebut Slamet.

Harga jual bibit berkisar Rp 5.000 - Rp 7.000 per baglog. Setiap bulan Agrocendawan memproduksi 1.000 - 2.000 baglog. Dari setiap log menurut Slamet bisa mengambil keuntungan berkisar Rp 1.200 - Rp 1.700, atau sekitar 25 persen. Setidaknya petani membutuhkan 100-120 baglog untuk membudidayakan dalam satu kumbung atau satu rumah jamur berukuran 6×4 meter. (Dupla Kartini PS/Kontan)


Editor: Edj

Sumber : www.kontan.co.id
Selengkapnya...

Mencetak Fulus dengan Sajadah Cetak Digital

Saturday, October 3, 2009

Barlian Tata Winarta, pebisnis di Jakarta, mulai memproduksi sajadah dengan metode cetak digital atau digital printing sejak tiga bulan lalu. Inovasi terbaru Barlian ini berawal dari permintaan agen dan distributornya.

Meski baru tiga bulan membuat sajadah digital printing, Barlian sendiri telah terjun ke bisnis cetak digital sejak dua tahun lalu dengan bendera CV Media Digital Printing.

Produk sajadah buatan Barlian menggunakan bahan flexy outdoor, layaknya bahan pembuat banner. Meski memakai cetak digital, “Gambar di atas sajadah bisa tahan dua tahun, yang penting tidak terkena bahan tiner atau bensin,” kata Barlian berpromosi.

Pembuatan sajadah tersebut mengandalkan komputer dan mesin cetak digital dengan kapasitas besar. Proses diawali dengan menyalin gambar masjid yang diinginkan. Selanjutnya dengan menggunakan komputer, dibuat desain sajadah beserta pinggirannya.

Desain kemudian ditransfer ke komputer produksi yang sudah terkoneksi langsung dengan mesin cetak digital atau printer. Di dalam mesin sudah disiapkan gulungan bahan flexy outdoor. Lalu, proses pencetakan dimulai. Sekitar 5 menit - 10 menit, sajadah hasil cetak diangin-anginkan agar kering. Kemudian, sajadah dipotong sesuai ukurannya, dan bagian pinggirnya dilipat, lalu dilem.

Konsumen bisa memesan desain sajadahnya sendiri atau memakai desain Barlian. Saat ini, ada sekitar 36 total desain sajadah digital printing yang tersedia.

Selain digunakan sendiri, ada juga konsumen yang membeli sajadah ini sebagai cindera mata. “Apalagi menjelang Lebaran seperti kali ini, sudah banyak yang memesan, baik itu individu, perusahaan atau bahkanpartai,” tandasnya.

Barlian bilang, kelebihan sajadah cetak ini adalah bobotnya yang ringan dan mudah dibersihkan, “Cukup menggunakan lap saja,” tandasnya.

Selain di Jakarta, sajadah buatan Barlin sudah menyebar ke berbagai daerah seperti Jawa Barat, Jawa timur, Jawa Tengah, Banjarmasin, Lampung, hingga Palu.

Untuk memperluas usahanya, pria kelahiran Palembang 33 tahun yang lalu ini juga membuat suvenir sajadah yang ia pasarkan di tiga mesjid terkemuka, yaitu Mesjid At tin di TMII, Mesjid Dian Al Masri (Kubah Emas) di Depok, dan Mesjid Istiqlal di Gambir. “Saya ambil cara ini sebab banyak banyak orang berziarah ke mesjid itu dan mencari cinderamata,” ujarnya.

Produksi sajadah Barlian rata-rata sebesar 75 lembar per hari. Ini belum termasuk produksi 120 lembar per bulan yang ia pasok ke toko dan sebagai suvenir masjid.

Harga jual tergantung ukuran. Barlian melego sajadah dewasa ukuran 60 cm x 120 cm seharga Rp 30.000 per lembar untuk ritel, dan Rp 12.500 per lembar di untuk agen. Adapun sajadah anak ukuran 40 cm x 60 cm ia lepas Rp 15.000 - Rp 20.000 untuk pembeli ritel, sedang untuk agen harganya sebesar Rp 10.000 per lembar.

Dari penjualan sajadah cetak digital ini, Barlian mengaku bisa mengumpulkan omzet hingga sekitar Rp 180 juta per bulan, dengan margin laba 50 persen untuk penjualan langsung, dan 30 persen jika berjualan lewat agen.

Kompas.com
Selengkapnya...