Followers

Google
 

Ujang, Anak Kemarin Sore dan Pertanian Organik

Tuesday, July 28, 2009

Petani konvensional di tanah Sunda umumnya mengenal falsafah ”kadenge, kadeuleu, karampa, karasa” atau mendengar, melihat, meraba, dan merasakan. Bagi Ujang Ahmad Zaenal Muttaqin, falsafah yang dianut oleh para petani tradisional tersebut menjadi hambatan serius ketika dia ingin mengajak mereka untuk bertani organik.

Para petani konvensional harus mendengar, melihat, dan meraba dulu baru mereka percaya terhadap teknologi baru dalam bertani. Susahnya minta ampun untuk meyakinkan petani konvensional bahwa bertani organik dengan cara budidaya baru itu merupakan cara terbaik guna meningkatkan kesejahteraan mereka,” kata Ujang, ayah dua anak ini.

Kegelisahan Ujang terhadap nasib petani di desanya, Jambenenenggang, Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mulai muncul sekitar akhir tahun 2000. Ketika itu Ujang baru kembali dari Jepang, setelah bekerja di sebuah pabrik sejak tahun 1997.

Ketika di Jepang, setiap akhir pekan Ujang menyempatkan diri magang di sebuah sentra pertanian. Ini bisa dia lakukan dengan rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi. Di sini dia melihat pertanian yang sudah sistematis dikerjakan mesin. Petani di Jepang hanya menjadi operator sejak membajak sawah, menyemai, menanam, hingga memanen. ”Produktivitas lahan mereka tinggi, mencapai 11 ton per hektar waktu itu,” ceritanya.

Pulang ke Indonesia, Ujang membuang mimpinya untuk melihat petani di kampungnya mengoperasikan mesin di sawah. Namun, muncul keyakinannya bahwa petani bisa meningkatkan taraf hidup jika mereka mau. ”Dari teknologi, jelas kita ketinggalan (dari Jepang). Tapi, kalau petani mau mengubah pola bertaninya, saya yakin mereka bisa meningkatkan taraf hidup,” kata Ujang.

Petani miskin

Lulusan Madrasah Aliyah Negeri Syamsul Ullum Sukabumi itu mendapati petani di sekitarnya sebagai petani miskin yang penghasilannya amat kecil. ”Di lahan seluas 1 hektar, petani penyewa hanya mendapat pemasukan sebesar Rp 2 juta selama satu musim, atau sekitar Rp 500.000 per bulan,” kata Ujang.

Penghasilan itu dihitung dari ongkos produksi, mulai dari pupuk dan pengolahan lahan sebesar Rp 2,2 juta per hektar serta sewa lahan Rp 7 juta per hektar per musim.

Hasil panen mereka hanya 5,6 ton per hektar dan dijual dengan harga Rp 2.000 per kilogram. Dengan demikian, panen semusim hanya memberi hasil Rp 11,2 juta. Setelah dikurangi ongkos produksi dan sewa lahan, petani hanya memperoleh Rp 2 juta per musim. ”Kami mengenal istilah, petani hanya timbul daki setelah bertani karena mereka memang tidak mendapat apa-apa,” kata Ujang.

Dengan falsafah yang dianut oleh para petani konvensional itu, dia harus memulai lebih dulu bagaimana bertani organik dan budidaya yang baik hingga bisa memberikan keuntungan.

Ketika memulai cara bertani organik, banyak petani konvensional yang mencemooh Ujang. Apalagi, dia masih termasuk ”anak kemarin sore” di kampung Kebonpedes. ”Banyak petani yang mengatakan bahwa mereka lebih dulu bertani daripada saya, jadi tentunya merasa lebih tahu. Saya diam saja, tetapi tetap yakin ketika melihat hasilnya, mereka akan percaya,” katanya.

Ujang kemudian memulainya dengan mengganti pupuk pabrik dengan pupuk kompos dari tumbuh-tumbuhan hijau dan granole (pupuk dari kotoran hewan yang dicampur dengan dekomposer). Ujang memerlukan waktu tiga musim untuk mengakhiri penggunaan pupuk pabrik karena kondisi tanah belum terbiasa.

Dia memproduksi sendiri granole dengan maksud agar tak bergantung pada pihak mana pun. Dia mendapatkan kotoran hewan dari warga yang beternak sapi dan para tetangga yang memiliki kambing dan ayam.

Apabila menggunakan kompos, sawah seluas 1 hektar memerlukan sekitar 5-7 ton. Adapun dengan granole, sawah luas yang sama hanya memerlukan 500 kilogram sampai 1 ton. Kebutuhan ini tergantung dari kondisi keasaman tanah.

Beralih ke organik

Selain beralih ke pertanian organik, Ujang juga memulai budidaya bertani yang baru, yakni dengan mengurangi penggunaan benih padi.

”Petani konvensional biasanya menggunakan hingga delapan bibit dalam satu lubang. Ketika tumbuh, maksimal hanya 18 anakan yang jadi karena bibit sulit tumbuh,” katanya.

Adapun cara yang dilakukan Ujang adalah dengan menggunakan satu-dua bibit saja per lubang. Ternyata setelah tumbuh, tanaman itu bisa menghasilkan 25 anakan per lubang.

Dengan cara itu, dia hanya memerlukan paling banyak 8 kilogram benih per hektar. Bandingkan dengan petani konvensional yang memerlukan benih sampai 35 kilogram per hektar.

Masih belum puas, Ujang berusaha menambah pengetahuan bertaninya dengan mengikuti Sekolah Lapangan Pengelola Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kebonpedes. Terbukti, Ujang bisa mendongkrak produktivitas tanaman padinya menjadi 8 ton lebih per hektar.

Adapun ongkos produksi yang diperlukan Ujang untuk mengolah 1 hektar lahan hanya Rp 2,1 juta. Ditambah sewa lahan Rp 7 juta, dia hanya menghabiskan biaya sebanyak Rp 9,1 juta. Namun, hasil panen dan harganya bisa naik signifikan.

Dengan hasil panen padi organik pada musim terakhir sebanyak 8,82 ton per hektar dan harga gabah basah Rp 2.400 per kilogram, Ujang memperoleh penghasilan Rp 21,168 juta. Jumlah itu, setelah dikurangi modal kerja, masih bersisa Rp 12,068 juta dalam semusim, atau Rp 3 juta per bulan.

Melihat keberhasilan Ujang, puluhan petani konvensional dan pemuda pengangguran di Kebonpedes mulai tertarik menekuni pertanian organik. Dalam satu musim terakhir, delapan kelompok tani setempat meminta Ujang mendampingi mereka mempraktikkan cara bertani organik. Setiap kelompok tani itu mempunyai anggota 20-25 petani.

Seiring dengan makin banyaknya petani konvensional yang menerapkan pertanian organik dan cara budidaya baru itu, Ujang yakin petani di Kebonpedes akan mandiri. ”Apa lagi yang mau dibantah? Pupuk sudah bisa kami produksi sendiri dan harga gabah padi organik juga jauh di atas harga padi nonorganik. Kalau ada kemauan, sebenarnya tidak sulit menjadi petani mandiri,” kata Ujang.
Sumber : Kompas Cetak

1 comments:

DC-012 SUPER POWER ORGANIK said...

Sejarah pertanian di Indonesia secara intensif telah dimulai kurang lebih semenjak tahun 1969 pada saat dimulainya program intesifikasi massal (INMAS) untuk petani sebagai dampak revolusi hijau di tingkat dunia. Pada saat tahun 1969 para petani mulai diperkenalkan dengan berbagai jenis pupuk buatan yang bersifat kimia disertai dengan obat-obatan pembasmi hama penyakit dan gulma (Pestisida dan Herbisida).
Dari sektor pemumpukan dari penggunaan pupuk kimia atau yang lebih dikenal dengan anorganik disertai dengan paket-paket lainnya yang dikenal dengan nama Panca Usaha Tani mengakibatkan peningkatan produktivitas tanaman yang cukup tinggi dibandingkan kondisi sebelumnya sehingga Indonesia dapat mencapaim swasembada pangan pada tahun 1986 dan mendapat penghargaan dari organisasi pangan dunia di PBB yaitu FAO.
Namun peralihan dalam budaya bertani dari penggunaan pupuk organik (pupuk kandang, kompos, dll) ke penggunaan pupuk kimia dalam jangka waktu yang relatif panjang hingga saat ini telah menimbulkan dampak samping yaitu mengakibatkan tanah-tanah pertanian di Inonesia menjadi semakin keras sehingga menurunkan produktivitasnnya. Hal ini bukan dikarenakan hilangnya tanah lapisan atas (Top Soil) melainkan disebabkan oleh penumpukan sisa atau residu pupuk kumia dalam tanah yang mengakibatkan tanah menjadi sulit terurai. Hal ini disebabkan salah satu sifat bahan kimia adalah relatif sulit terurai atau hancur dibandingkan dengan bahan organik. Jika tanah semakin keras, maka akan mengakibatkan tanaman akan semakin sulit menyerap pupuk/unsur hara tanah dan untuk menghasilkan panen yang sama dengan hasil panen yang sebelumnya diperlukan dosis pupuk lebih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan mengapa dosis pupuk semakin lama semakin tinggi. Selain itu dengan semakin kerasnya tanah, maka proses penyebaran akar dan aerasi (pernafasan) akar akan terganggu yang berakibat pertumbuhan dan kemampuan produksi tanaman akan semakin berkurang. Selain masalah pengerasan tanah akibat penggunaan pupuk kimia masalah yang patut di perhatikan di Indonesia adalah adanya indikasi proses pemiskinan atau pengurangan kandungan 10 jenis unsur hara meliputi sebagian unsur hara makro yaitu Ca, S dan Mg (3 unsur) serta unsur hara mikro yaitu Fe, Na, Zn, Cu, Mn, B dan CL (7 jenis unsur hara). Seperti yang diketahzui sazazt ini (Jornal ilmiazh soil science, 1998) dari sekian banyak unsur yang ada di alam, semua jenis tanaman membutuhkan mutlak (harus tersedia/tidak boleh tidak 13 macam unsur hara untuk keperluan proses pertumbuhan dan perkembangannya sering dikenal dengan nama unsur hara essensial. Unsur hara ini diperlukan dalam jumlah yang berbeda satu sama lain yang secara garis besar dibedakan menjadi unsur hara makro (6 jenis) yang dibutuhkan dalam jumlah lebih besar (unsur N,P,K,Ca,S dan Mg) dan unsur hara mikro (7jenis) yang dibutuhkan lebih sedikit (Unsur Fe,Na,Zn,Mn,B,Cu dan Cl). Walaupun berbeda dalam jumlah kebutuhannya namun dalam fungsi pada tanaman masing-masing unsur sama pentingnya dan tidak bisa mengalahkan atau menggantikan satu sama lainnya. Dalam hal ini masing-masing unsur hara mempunyai fungsi dan peran khusus tersendiri terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga jika terjadi kekurangan satu jenis unsur hara saja akan mengakibatkan tidak optimalnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Jadi ke 13 unsur hara tresebut jika pada manusia ibarat menu makan 4 sehat 5 sempurna yang masing-masing mempunyai peran sendiri-sendiri. Melihat hls tsb diatas makan PT. Pandhu Subur Persada dengan Pupuk Organik Cair Lengkap SUPER POWER merupakan solusinya. Pupuk Organik cair lengkap Super Power mengandung 13 macam unsur hara esensial yang sangat dibutuhkan oleh tanaman dan hingga 77 macam unsur lainnya yang tidak terdapat pada pupuk kimia, mengingat pupuk organik Super Power mdiformulasikan dari bahan-bahan dasar alami 100% organik terbaik sehingga aman bagi tanaman, ternak maupun manusia.
Komposisi unsur-unsurnya diramu begitu cermat dan tepat sehingga benar-benar sesuai dengan kebutuhan segala jenis tanaman