Followers

Google
 

Biogas: Banyak Jalan Menuju Terang

Friday, July 3, 2009

Angin laut selatan bertiup dari arah Pantai Malingping, Kabupaten Pandeglang, Banten. Embusannya memutar pelan kincir angin sekitar 100 meter dari pantai. Di bawah kincir angin itu berjejer dua belas panel surya memantulkan sinar matahari yang terik.

Kincirnya baru menyala dua hari yang lalu. Terakhir nyala setahun lalu, tetapi enggak sampai tiga bulan mati tersambar petir,” ujar Hendra (30), warga Desa Tenjolaya, Kecamatan Wanassalam, Kabupaten Pandeglang, 23 Juni lalu.

Sudah dua malam pula Hendra dan keluarganya bisa merasakan lagi listrik menerangi rumah mereka. Lampu cempor yang biasa ia gunakan pun diistirahatkan. ”Lumayan, kalau anginnya bagus, listriknya bisa menyala terus-terusan sampai pagi. Tetapi, kalau anginnya lagi lemas, paling listrik menyala sampai jam 12 malam saja,” kata ayah dua anak itu.

Di rumah, listrik hanya dipakai untuk menyalakan dua titik lampu. Hendra termasuk 40 keluarga di Desa Tenjolaya yang sempat menikmati aliran listrik yang dihasilkan proyek percobaan Penyediaan Listrik Sistem Kombinasi Energi Angin, Matahari, dan Hidrogen. Proyek itu berada di bawah Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Warga sekitar lebih mengenalnya sebagai proyek kolecer. Kolecer adalah istilah warga setempat untuk kincir angin.

Penyediaan listrik sistem kombinasi ini merupakan model penggunaan energi setempat untuk memenuhi kebutuhan listrik. Idenya adalah menggabungkan tiga sumber energi sekaligus di satu lokasi untuk memaksimalkan daya yang bisa dihasilkan. Energi yang diperoleh disimpan di dalam aki besar yang mampu menyalurkan daya sampai 20 volt ampere.

Juned, warga Desa Tenjolaya, yang sehari-hari ditugasi menjaga fasilitas proyek, mengatakan, proyek penyediaan listrik itu diresmikan 28 Desember 2007. ”Waktu itu ada 40 rumah yang menyala. Lumayanlah tiap rumah bisa dapat dua titik lampu,” kata Juned.

Sebenarnya lokasi Desa Tenjolaya hanya sekitar 1,5 kilometer dari jaringan distribusi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun, keterbatasan penyambungan listrik oleh PLN membuat warga harus menunggu cukup lama untuk penyambungan baru. Sejumlah warga bahkan sampai menumpang pasang kWh meter di rumah-rumah yang sudah berlistrik. Tak heran di satu rumah bisa ada empat kWh meter sekaligus.

”Makanya semua senang sewaktu ada alternatif pasokan listrik langsung dari kincir angin ini. Warga yang punya televisi tak perlu mematikan lampu kalau mau menonton karena ada tambahan listrik pada waktu malam. Iurannya sebulan tak sampai Rp 20.000,” ujar Juned.

Warga yang belum mendapat listrik seperti Bu Juju masih menggunakan lampu cempor. Namun, sejak pemerintah mencanangkan program konversi minyak tanah ke elpiji, minyak tanah sulit didapat.

Peneliti senior LIPI, Achiar Oemry, mengatakan bahwa pihaknya masih menghitung keekonomian penggunaan energi angin dan matahari untuk menghasilkan listrik. Hanya saja energi primer intensitasnya sangat fluktuatif. ”Matahari hanya ada saat siang, angin bisa ada bisa tidak. Ini yang harus dihitung apakah cukup,” ujarnya.

Penggunaan energi setempat menjadi kunci untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Meskipun kecil, daya yang dihasilkan cukup untuk memenuhi penggunaan listrik oleh masyarakat desa yang juga tidak banyak karena pemakaian listrik masih sebatas untuk penerangan. Rata-rata daya yang digunakan tidak lebih dari 300 watt.

Selain angin dan matahari, Desa Tenjolaya sebenarnya juga berpotensi untuk lokasi pengembangan biogas karena banyak warga yang beternak sapi potong. Pemanfaatan energi alternatif biogas dari kotoran ternak sudah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1970. Tahun 1981, Organisasi Pangan dan Pertanian sempat mendukung proyek pengembangan biogas. Namun, upaya ini tidak berkembang karena harga bahan bakar minyak bersubsidi murah. Biogas sebagai energi alternatif kembali dilirik setelah harga minyak meroket. Proyek biogas semakin terjangkau masyarakat dengan dikembangkan instalasi biogas sistem plastik bongkar pasang yang harga peralatannya cukup murah. Biogas dapat dihasilkan melalui penguraian bahan-bahan organik dalam kotoran sapi oleh mikroorganisme.

Dalam kondisi normal, dua ekor sapi perah menghasilkan biogas sebanyak 4,14 meter kubik per hari. Jumlah ini setara dengan 1,9 kilogram elpiji, 2,5 liter minyak tanah, dan 3,5 kilogram kayu bakar. Biogas dapat dibakar seperti elpiji dengan memakai kompor gas atau digunakan sebagai bahan bakar genset. Warga Desa Haurngombong, Kabupaten Sumedang, sudah merasakan pemakaian genset listrik dengan biogas.

Sayangnya, pemanfaatan energi setempat ini tidak digarap secara serius oleh pemerintah. Bahkan, pelaksanaannya cenderung tumpang tindih. Anggaran untuk pengembangan energi ada di beberapa departemen, yaitu Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Selama 64 tahun Indonesia merdeka, rasio elektrifikasi baru 60 persen. Setiap kali harga minyak naik, pemerintah mengeluhkan kenaikan beban subsidi listrik. Padahal, masih banyak jalan menuju terang.

Sumber: Kompas

0 comments: